Selasa, 06 Maret 2012

Politik Islam (juga) Politik Setoran?


Saya tidak memahami politik, baik logika maupun budayanya, atleast politik yang saat ini lazim diketahui dan dijalankan oleh para politisi. Tetapi saya ingin sekali menyampaikan kegelisahan saya terhadap satu bidang ini, mengingat perannya yang sangat penting bagi ummat. Kegelisahan ini juga muncul setelah lama mengamati praktek-praktek berpolitik (even dikalangan partai-partai Islam) yang tidak masuk atau pas dalam rasional dan logika saya.

Secara umum saya beranggapan bahwa ketika partai Islam masuk dalam ikhtiyar dan ijtihad politik, maka rasionalnya adalah apa-apa yang dilakukan dalam politik semua berada dalam bingkai Islam, dari niat, tujuan sampai dengan cara-caranya. Ketika politik sebelumnya dikenal sebagai ladang yang kotor karena budayanya dipenuhi oleh praktek korupsi, kolusi, rekayasa dan konspirasi serta dibumbui dengan lobi-lobi, sepatutnya partai Islam dengan politisinya memberikan ketauladanan seperti apa seharusnya berpolitik dengan baik dan benar. Memang dengan kondisi “kotor” yang dominan, awal-awal perjuangan politisi Islam membutuhkan energy ekstra baik secara ruhiyah, intelejensia maupun stamina.

Banyak “unek-unek” saya yang ingin saya sampaikan tentang seperti apa profil politisi itu sepatutnya. Tetapi rasanya masing-masing kita semua khususnya yang telah lama berada di dunia dakwah, tahu betul seperti apa sosok politisi dakwah itu. Sudah ada standardnya, telah terbangun gambaran itu sejak kita memahami seperti apa sosok muslim yang ideal itu. Sehingga, saya ingin langsung menyampaikan satu praktek yang dilakukan (pula) oleh politisi dakwah yang selama ini belum saya temukan jawaban rasionalnya. Apa itu? Budaya menyetor sejumlah uang untuk kepentingan jabatan politis. Seorang calon politisi atau pejabat publik yang ingin “manggung” diwajibkan menyetor sejumlah dana kepada partai yang mengusung. Apa rasionalnya ini?

Bukankah pengusungan seorang pemimpin dalam Islam inisiasinya berasal dari ummat? Bukankah kita tidak mengakui motivasi memimpin berasal dari ambisi? Sehingga logika setoran menyadi tidak relevan. Karena ummat yang menginisiasi maka dana itu sebaiknya dari ummat. Karena begitu bergairahnya ummat ingin dipimpin oleh seorang yang shalih lagi kompeten (profesional), maka tak segan-segan mereka akan berkorban menyediakan fasilitas bagi orang itu. Jadi, pemimpin betul-betul adalah orang yang terbaik diantara ummat, terbaik dalam keshalihan prilaku, ibadah dan kerja-kerja pelayanan ummat. Pemimpin tidak secara instan muncul hanya kerena mampu mendominasi jalan dengan spanduk-spanduk, poster-poster dan baligho besarnya, atau mendadak timbul di sudut-sudut kampung membagikan sembako dengan program-program bakti sosialnya. Pada saya, sungguh pemimpin-pemimpin yang muncul dengan cara-cara seperti itu adalah pemimpin yang kehormatannya runtuh sebelum ia terbangun.

Para ustadz dakwah dulu mengajarkan pada saya dan mungkin juga anda, bahwa kerja-kerja mulia itu bersyarat pada niat karena Allah, tujuannya untuk Allah dan caranya dilakukan dengan cara Allah. Nah, jika saya takar prilaku politisi dengan 3 parameter ini, maka prilaku mereka akan berhadapan dengan tembok tebal parameter ketiga, yaitu cara politisi yang tidak sesuai dengan cara Allah. Kalau sudah seperti itu, tidak mungkin kita berharap keberkahan dari politisi yang jabatannya diperoleh dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan cara Allah. Ketika ukuran kelayakan seseorang untuk menjadi politisi atau pejabat dinilai dari “setoran”, apalagi kesuksesannya saat menjabat juga diukur dengan ukuran yang sama, apa rasionalnya saya harus menyerahkan kepercayaan pada pemimpin seperti ini?

Duh, bukannya saya tidak tahu kalau berpolitik itu butuh biaya, tetapi tidak dengan cara tak terhormat seperti itu. Dakwah sudah mengajarkan dan sejarah juga sudah mencontohkan, logika pembiayaan dakwah memiliki skenarionya sendiri. Pembiayaan dakwah, entah itu dilevel gerakan dakwah, masjid, majelis taklim, ustadz keliling atau di tingkat elit politik seharusnya memiliki standard bersih yang harus dijaga. Dan jika di level politik belum ada sebaiknya para politisi dakwah (aktifis dakwah) memberikan contoh seperti apa itu. kenalkan ummat dengan budaya bersih. Jadikan budaya ini menjadi budaya baru di tengah dunia politik. Bukankah peradaban baru memang berawal dari budaya baru manusia-manusianya? Islam pun begitu bukan?

Ketika ini diabaikan atau budaya lama dijustifikasi, maka akan ada gelombang pengabaian kelaziman Islam selanjutnya, atau gelombang justifikasi budaya lama selanjutnya. Misalnya, gaya hidup politisi yang katanya aktifis dakwah, komitmen dakwah yang harus simpang siur dengan lobi-lobi dan angin politik, atau kerja-kerja yang tidak nampak perbaikan ummat dengan dalih macam-macam. Khusus untuk gaya hidup, banyak politisi dakwah kebingungan (kalau tidak mau dikatakan tidak peduli) bagaimana menerjemahkan dan mengimplementasikan kuliah-kuliah kezuhudan dalam kehidupan sebagai elit politik dan pejabat publik.

Ala kulihal, semua ini seakan menunjukkan para dalang dunia politik Islam kesulitan mempercayai betapa maha kayanya Tuhan, serta tidak yakin dengan janji-janji Tuhan kalau mereka berjuang dan membantu agama Allah ini, maka Beliau akan memfasilitasi semua yang dibutuhkan oleh perjuangan. Atau mungkin penegakkan panji Allah ini lupa untuk siapa panji ini ditegakkan?

Tidak ada komentar: