Selasa, 04 Maret 2008

Ekonomi Munafik

Betul-betul memalukan, ada manusia mati karena kelaparan diantara mereka ternyata beritanya tak dianggap lebih dahsyat dari berita polah keserakahan manusia. Gemanya tenggelam oleh kabar gonjang-ganjing kerakusan pemimpin-pemimpin bangsa. Karena boleh jadi kabar kerakusan itu mempengaruhi proses kerakusan yang sedang dilakukan oleh masing-masing warga bangsa. Padahal berita kematian itu sinyal yang keras dan jelas dari Tuhan seperti apa wajah bangsa.

Ada yang mati diantara kita karena tidak cukup makan, karena tidak ada yang bisa dimakan! Dimana kita saat itu?! Apa artinya kesantunan dan kecerdasan yang kita punya? Dimana solidaritas agung yang selalu kita dengungkan kita miliki sebagai bangsa? Mau membangun apa bangsa ini? Bukankah lapar adalah masalah pertama manusia sejak pertama ia menghuni dunia? Bukankah ketika masalah ini masih ada bermakna kita sebagai bangsa manusia belum beranjak kemana-mana dalam pembangunan hidup dan kehidupan?

Lihat saja, acara kuliner, tamasya, property, gaya hidup di sederet TV yang begitu menggoda. Acara-acara yang mempertontonkan sejauh mana kepuasan manusia dapat dilayani. Fenomena itu semakin menunjukkan bahwa batasan kepuasan manusia adalah tak terhingga. Bayangkan ditengah-tengah kemegahan itu, ada yang mati diantara kita! Ada yang tak sanggup untuk sekedar mendapatkan sepiring nasi untuk diri dan keluarganya!! Terlaknat kita semua!!!

Tolong lebih jeli lihat sekitar kita. Bahkan pada waktu yang tak berbeda, ada manusia yang tertekan hanya karena rumahnya tak seluas alam semesta. Ada yang tega membelanjakan hartanya yang berlimpah hanya untuk memanjakan binatang peliharaannya. Ya Allah, sementara untuk tetangga, untuk saudaranya yang meratap lapar ia jawab dengan ”mereka jangan dimanja, tidak usah kasi ikan, kasih pancing saja.” Di lain gang kehidupan, ada orang yang memanjakan dirinya dengan rumah yang luasnya sampai-sampai tak pernah ia tahu kamarnya ada berapa, atau sekedar mengunjungi semua sudut rumahnya, karena ternyata ia lebih suka menghabiskan waktunya di kamar-kamar hotel yang cuma satu kamar! Ia beli motor besar dan mobil mewah hanya untuk dilihat orang, sehingga hakikatnya untuk membuat orang melihat dirinya ia membayar lebih dengan membayar harga barang mewah itu.

Pasar pun merespon dengan terus menyediakan segudang barang pada tingkat harga yang selangit. Barang-barang yang bahkan jauh dari imajinasi manusia-manusia pinggiran, tetapi itu ada. Tak salah jika sebuah buku mengklaim bahwa zaman ini, peradaban ini adalah zaman atau peradaban keserakahan. Lihat manusia zaman ini, lihat peradabannya; katanya manusia humanis, beradab, modern, ternyata tidak lebih seperti srigala atau bahkan lebih buruk. Lihat peradabannya, bagaimana mungkin disebut peradaban agung, ketika hari-harinya bergelimpangan manusia-manusia miskin terkorban dalam ketiadaan.

3 komentar:

Ast... mengatakan...

Berbicara tentang ekonomi umat memang sangat menarik. Mengenai kepuasan manusia yang tidak tebatas memang benar... jadi ingat tentang teori konvensional tentang munculnya permasalahan ekonomi yaitu karena "kebutuhan manusia tidak terbatas namun SDA terbatas". Tapi sebenarnya yang tidak terbatas itu kebutuhannya atau keinginannya ??? kalau kebutuhan cenderung apa yang kita butuhkan dan memiliki value yang besar bagi kebermanfaatan kita, misalnya saja kebutuhan manusia itukan seperti udara, air, dll. Sebenarnya itu semua tidak terbatas, namun manusia sendirilah yang dapat membatasi kebutuhan itu sesuai dg kadar yang dibutuhkannya... jadi kalau dikatakan munculnya permasalahan ekonomi karena "kebutuhan manusia tidak terbatas namun SDA terbatas", saya cenderung kurang setuju.. karena "SDA kita sebenarnya tidak terbatas" Allah SWT telah mengaturnya sedemikian rupa agar kita tetap dapat hidup di bumi, tinggal kesadaran manusia itu untuk mau "membatasi keinginannya sesuai dengan kadar kebutuhannya".

Tulisan diatas sebenarnya apresiasi saya terhadap tulisan dari bapak Dr. Muhamad . dan saya sepakat tentang pendapat tersebut. Bagaimanapun juga, sistem ekonomi islam langsung bersumber pada kemurnian tauhid, "didasarkan pada aqidah", sementara perekonomian konvensional "didasarkan pada ideologi bisnis". Bayangkan bila ekonomi islam mampu berkembang di tengah-tengah perekonomian dunia yg sedang carut-marut ini, InsyaAllah tidak akan terjadi ketimpangan yang cukup signifikan antara si kaya dan si miskin, kerana islam menyuburkan zakat, infak dan shadaqah. Jadi mencari makan dan rezeki bukan tujuan akhir, namun hakikinya adalah membangun kekuatan dalam manusia agar dapat mengarahkannya kepada pembangunan kemakmuran dan kesejahteraan hidup manusia secara universal.

Bagaimana dengan pendapat bapak ?
terimakasih...

PENGURUS mengatakan...

betul sekali mbak astuti, namun yang juga penting dilakukan oleh kita yang memahami kondisi ini adalah bagaimana membahasakan premis-premis ekonomi berikut fenomenanya dengan kacamata yang berbeda, dapat diterima oleh mereka yang memiliki pemahaman konvensional.

teori robert malthus yang diyakini konvensional, dimana SDA bertambah mengikuti pertambahan; 1,2,3,4... sementara populasi manusia bertambah; 1,2,4,8,16... memang tidak akan memiliki relevansi jika dilihat dengan logika-logika ekonomi Islam. tapi bagaimana kita bisa membahasakan logika itu agar diterima oleh mereka.

untuk itulah dibutuhkan berbagai elaborasi keilmuan menggunakan logika universal.

tetapi, pada dasarnya saya sepakat dengan pendapat mbak astuti

Unknown mengatakan...

Salut, buat para mas dan mbak yang mulai memikirkan kebangkitan ekonomi islam. kalo kita berfikir teori nya om adam smith sangat berkebalikan dengan ajaran islam, sebagai fakta kebutuhan manusia dikatakan tak terbatas tapi dalam islam sendiri dikatakan bahwa kita adalah makhluk yang terbatas dan dibatasi kemudian yg kedua mengenai faktor alat pemenuhan yg terbatas tetapi lagi-lagi dikatakan dalam Al-Quran bahwa kita diharuskan bertebaran di muka bumi karna rezeki atau ni'mat itu tak terbatas.
wah4x, benar2 penyimpangan aqidah ya.