Kamis, 31 Juli 2008

Islamic Wealth Management (3)

Memahami logika pengelolaan kekayaan berdasarkan prinsip Islam, dapat dilakukan menggunakan penjelasan pemaksimalan kepuasan (utility function) individu Islam dalam mengalokasikan pendapatannya. Orientasi penggunaan pendapatan (kekayaan) secara sederhana akan tertuju pada dua motif. Pertama, orientasi pada alokasi barang dan jasa (barang X; sebagai konsekwensi kebutuhan hidup), dan yang kedua orientasi pada alokasi amal shaleh (G; good deeds). Seiring dengan pemahaman pada ketentuan syariat dan keyakinan pada nilai-nilai akidah dan akhlak, maka diyakini kecenderungan prilaku individu pemilik kekayaan adalah mengalokasikan pendapatannya untuk barang dan jasa maksimum sebatas kebutuhan dasarnya (BN; basic needs), sehingga sebagai trade-off sisa pendapatannya teralokasikan pada amal shaleh. Dan pada kondisi itu alokasi amal shaleh akan mencapai tingkat yang maksimal.

seiring dengan maksimalnya alokasi pendapatan untuk amal shaleh, individu tersebut yakin bahwa Allah akan melipatgandakan rizkinya, sehingga pada masa yang akan datang garis Budget Constraint (M) akan semakin meningkat. Secara ekstrem, bagi individu mukmin (muslim yang beriman), peningkatan pendapatan tidak merubah tingkat alokasi pendapatannya untuk barang dan jasa (karena ia akan memelihara pada tingkat kebutuhan dasarnya yang sejak awal telah teridentifikasi), tetapi yang berubah dan meningkat adalah amal shaleh. Ini yang disebut dengan pengelolaan kekayaan yang berorientasi pada pemaksimalan kemanfaatan diri (diukur berdasarkan kekayaannya (belum termasuk waktu, pikiran dan tenaga).

Selasa, 29 Juli 2008

ISLAMIC WEALTH MANAGEMENT (2)

Aktivitas utama dalam pengelolaan kekayaan adalah:

Mencari Harta
1. Niat, cara dan tujuan hanya dikarenakan, digariskan dan ditujukan untuk Allah (halal dan thayib)
2. Mendukung Ibadah dan amal shaleh bukan menghambat Ibadah dan amal shaleh
3. Mempertimbangkan optimalisasi kontribusi secara waktu, tenaga dan harta bagi; dakwah, masyarakat dan keluarga


Membelanjakan Harta
1. Mempertimbangkan kebutuhan dasar
2. Mempertimbangkan kemanfaatan atau optimalisasi amal shaleh; kepentingan dakwah dan masyarakat
3. Mempertimbangkan kepentingan dakwah, masyarakat dan keluarga yang bersifat mendesak

Menyisihkan Harta
1. Menabung
i. Kebutuhan (bukan keinginan) di masa depan
ii. Kebutuhan sekarang yang mendesak
iii. Tidak bermotif menumpuk harta
2. Investasi/Usaha
i. Niat, cara dan tujuan hanya dikarenakan, digariskan (syariat) dan ditujukan untuk Allah (halal dan thayib)
ii. Mempertimbangkan kontribusi kemanfaatan atau amal shaleh yang maksimal
iii. Mendukung kesejahteraan (kemandirian ekonomi ummat) dan dakwah

Aktivitas pengelolaan harta juga harus dilandasi oleh prinsip keyakinan bahwa setiap harta yang dibelanjakan dijalan Allah akan Allah lipat gandakan balasannya, baik berupa pahala maupun balasan harta materil. Keyakinan ini pula yang nanti pada pembahasan pengelolaan kekayaan selanjutnya dalam rangka melindungi nilainya, menjadi sangat krusial. Karena salah satu cara melindungi nilai kekayaan dalam Islam (Islamic Hedging) adalah menginfakkannya di jalan Allah. Aneh? Ya seperti itulah sebenarnya logika ekonomi Islam yang seharusnya menjadi keyakinan para pelakunya, yang kemudian menjadi built in dalam prilaku ekonomi.

ISLAMIC WEALTH MANAGEMENT: Things to Ponder

"Allah SWT tidak mewahyukan kepadaku untuk mengumpulkan harta benda dan menjadi pedagang. Namun aku diperintahkan sebagaimana yang tercantum dalam firman-Nya, Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat). Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal). (QS. Al Hijr: 98-99). (HR. As Suyuthi) Lihat Bab 13 Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali.

Rabu, 23 Juli 2008

ISLAMIC WEALTH MANAGEMENT

Munculnya outlet-outlet berikut produk yang semakin bervariasi jasa pelayanan keuangan Syariah ternyata secara perlahan memunculkan bentuk industri keuangan Syariah baru, yaitu pengelolaan kekayaan pribadi secara Syariah (Islamic Wealth Management). Beragam portfolio keuangan Syariah berupa deposito, reksadana, asuransi, pasar modal dan lain sebagainya menjadi pilihan keluarga muslim kelas menengah keatas dalam pengelolaan harta mereka. Perkembangan industri tersebut mampu meng-entertain golongan masyarakat tersebut terhadap kebutuhan aktifitas ekonomi sesuai dengan prinsip-prinsip syaria. Kebutuhan tersebut muncul seiring dengan semakin merekahnya populasi muslim menengah keatas Indonesia yang merefleksikan pula semangat keislaman yang tumbuh diantara mereka.

Penghasilan cukup memadai dan tingkat saving yang semakin meningkat dikalangan keluarga-keluarga muslim, semakin merangsang industri jasa pengelolaan kekayaan, terlebih lagi kondisi tersebut didukung kondisi dimana pribadi-pribadi muslim tersebut semakin sempit memiliki waktu luang untuk mengurusi kekayaan mereka. Kehadiran pengelola kekayaan tentu saja akan sangat membantu segmentasi masyarakat ini.

Namun satu hal yang perlu digaris bawahi adalah bahwa praktek wealth management sejauh ini belum mencerminkan hakikat pengelolaan kekayaan dalam Islam. Nilai-nilai moral; akidah dan akhlak, belum tergambar secara utuh dalam aktifitas industri baru tersebut. Oleh sebab itu, selintas praktek Islamic wealth management terkesan sebatas ”pengelolaan harta para pemilik orang kaya untuk memelihara atau bahkan menggandakan kekayaan mereka secara syariat (jika tidak ingin didefinisikan aktifitas penumpukan harta secara syariat)”. Kondisi ini tentu akan mengkerdilkan makna Islamic wealth management terbatas hanya aktifitas berorientasi materil, tanpa “ruh”, tanpa “jiwa” keislaman yang lebih kental nuansa ibadah pada setiap aktifitas muamalah.

Dengan demikian, sebelum memahami secara lebih menyeluruh apa hakikat Islamic wealth management dan menanamkan jiwa keislaman dalam muamalah-muamalah ekonomi-keuangan, sebaiknya diidentifikasi dulu nilai-nilai moral Islam yang berkaitan erat dengan harta. Beberapa nilai yang bisa dijadikan pedoman adalah:
Harta yang baik adalah harta yang berada di tangan orang shaleh
Sebaik-baik manusia adalah manusia yang memberikan manfaat bagi manusia lain

Nilai moral yang disebutkan oleh hadits yaitu harta yang baik adalah harta yang berada di tangan orang-orang shaleh, berarti terkait dengan wealth management ini, pengelolaan harta pada dasarnya akan mencerminkan keshalehan pelaku atau pemilik harta. Apa indikasinya? Indikasinya adalah harta tersebut dikelola dengan niat, cara-cara dan tujuan untuk kepentingan Allah SWT semata. Nilai moral kedua mungkin akan semakin mentekniskan definisi keshalehan, yaitu nilai manusia yang paling baik adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lain. terkait dengan wealth menagement, kekayaan sepatutnya menjadi alat untuk menyebarkan atau memaksimalkan kemanfaatan pemiliknya. Dengan kata lain, keshalehan seseorang akan semakin bisa diukur berdasarkan jumlah kekayaannya yang mampu memberikan manfaat bagi lingkungannya.

Berdasarkan nilai-nilai moral Islam ini, orientasi manusia dalam mengelola hartanya berdasarkan syariah Islam akan berorientasi utama pada dua hal. Yang pertama, pemanfaatan harta tersebut digunakan untuk kelangsungan kehidupan diri dan keluarganya, sebagai sebuah kebutuhan yang wajib berdasarkan kefitrahannya sebagai manusia. Yang kedua adalah pemanfaatan harta tersebut bagi manusia diluar keluarga, atau pemanfaatan yang bermotif pada amal shaleh sebagai alat dalam rangka mendapatkan gelar kemuliaan dari Tuhan berdasarkan standard-standard yang dikhabarkan juga oleh Tuhan.

Motif kebutuhan primer dan amal shaleh menjadi dua sasaran utama penggunaan atau pemanfaatan harta. Karena lazimnya kebutuhan primer tersebut relatif tetap bagi setiap individu, maka pertambahan kekayaan sepatutnya mempengaruhi penambahan amal shaleh atau pemanfaatan kekayaan tersebut bagi manusia lain. Dan tentu saja, paradigma ini akan mempengaruhi motivasi seseorang dalam mencari kekayaan. Diyakini bahwa semangat mencari harta pada hakikatnya adalah refleksi dari semangat memaksimalkan amal shaleh, bukan semangat memaksimalkan penikmatan atasnya.

Lihatlah contoh-contoh yang disajikan oleh kehidupan manusia-manusia mulia terdahulu, para Nabi dan Rasul, Sahabat dan para Wali, meskipun sejarah mengenali mereka sebagai saudagar-saudagar yang melimpah perniagaannya, tetapi sejarah tak luput memotret kehidupan keseharian mereka yang bersahaja. Mereka mengambil apa yang cukup untuk hidup mereka dan selebihnya mereka ikhlaskan untuk manusia lain, untuk ummat, untuk Tuhan mereka. Seseoarang diantara mereka yang mulia itu pernah berkata: ”manusia di dunia itu seperti tamu, dan harta mereka seperti pinjaman. Akhirnya tamu akan pergi dan pinjaman pasti dikembalikan.”

Dengan begitu tujuan pengelolaan harta tidak dilimitasi pada kegiatan penumpukan harta sesuai syariat tetapi lebih dari itu adalah pengelolaan harta untuk memaksimalkan diri menjadi manusia yang terbaik di mata Allah SWT. Orientasi kepemilikan harta tidak pada orientasi penikmatan atasnya tetapi berorientasi pada pemanfaatan demi sebuah kebahagiaan sejati.

Disamping itu tanpa upaya penjagaan secara disiplin kepatuhan pada prinsip-prinsip syariah kecenderungan system berikut aplikasi ekonomi – keuangan syariah akan mimicry dengan apa yang ada dalam konvensional. Karena pelaku industri akhirnya hanya concern dengan penyediaan produk dalam rangka pengelolaan kekayaan ataupun likuiditas para pemilik harta tanpa memperhatikan hubungan atau implikasi sector kuangan Syariah terhadap volume sector riil. Portfolio-portfolio yang digunakan dalam pengelolaan kekayaan akhirnya hanya outlet keuangan yang semakin memperpanjang labirin uang disektor keuangan yang sedikit saja bermuara pada aktifitas produktif penciptaan barang dan jasa. Dengan begitu, at the end of the day, system ekonomi-keuangan Syariah kehilangan karakternya, kabur fungsinya dan tak jelas maksud serta tujuannya.

Semoga kedepan, seiring dengan pembelajaran dan peningkatan keyakinan/pemahaman terhadap akidah dan akhlak, dilengkapi dengan pengetahuan dan skill Syariah yang memadai, akan muncul manusia-manusia yang mampu memelihara ruh Islam terjaga dalam aplikasi dan pengembangan ekonomi-keuangan Islam. Khusus bagi Islamic Wealth Management, harapannya adalah industri ini semakin membentuk dan melayani golongan orang-orang kaya yang shaleh. Bismillah.

Kamis, 10 Juli 2008

MEMILIH KEMISKINAN MENOLAK KEFAKIRAN

Menarik membaca artikel-artikel EMHA yang kental dengan nuansa sufi tetapi dikemas dengan bahasa sederhana sehingga mudah untuk "dikunyah" oleh siapa saja. salah satu kalimatnya yang membuat kita sedikit merenung adalah "Muhammad SAW memilih kemiskinan tetapi menolak kefakiran". secara bahasa kalimat itu seolah-olah kontradiktif, tetapi menjadi menarik untuk dikaji, apalagi menggunakan perspektif ekonomi Islam.

apa beda kemiskinan dan kefakiran? menyepakati bahwa definisi miskin bermakna orang yang berada dalam kondisi kekurangan meskipun mereka memiliki nafkah. sementara fakir berarti orang yang tidak mampu karena memang sama sekali tidak memiliki nafkah.

menerawang ingatan kita pada prilaku hidup para manusia-manusia mulia masa lalu, para sahabat Rasulullah. yang tak terkira kemuliaan kisah-kisahnya. kebanyakan sahabat-sahabat Rasulullah digambarkan sebagai saudagar ulung yang sekaligus merefleksikan kemampuan harta mereka. tetapi mengapa kisah itu diikuti dengan kisah kesederhanaan atau bahkan kepapaan mereka? mereka banyak harta tetapi gaya hidupnya tak menunjukkan kemewahan.

ada yang salah? tidak! sama sekali tidak ada yang salah! mereka tidak mengingkari atau bahkan berkhianat dengan peringatan Nabinya; "sesungguhnya kefakiran itu mendekatkan diri pada kekufuran". mereka sungguh-sungguh memahami peringatan itu bahkan semakin lengkap dengan peringatan Nabi yang lain; "harta yang baik adalah harta yang berada di tangan orang shaleh" dan "manusia terbaik di antara kalian adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lain".

akhirnya muncul kesimpulan dalam hati dan jiwa mereka tentang hidup dan harta, bahwa harta akan bernilai bagi mereka ketika harta mereka memberikan kemanfaatan, menebalkan iman, menegaskan keshalehan. sehingga mereka tidak begitu berkehendak pada harta yang melimpah. nafsunya untuk menumpuk harta adalah dalam rangka menumpuk kemanfaatan dirinya bagi alam semesta. dengan begitu tentu mereka jauh dari kefakiran yang bersifat pasif.

mereka memilih memaksimalkan kemanfaatan harta mereka, sehingga harta yang tinggal bagi mereka hanyalah apa yang mereka butuhkan untuk hidup saja, bukan untuk melayani keinginan yang tak terhingga batasnya. bahkan tak jarang dalam keadaan seperti itu mereka terus menekan tingkat kebutuhannya, seperti dengan puasa.

dengan begitu kalimat EMHA menjadi sangat tepat. MEREKA MEMILIH KEMISKINAN, TETAPI MENOLAK KEFAKIRAN.

apa yang membuat mereka dapat menjelma menjadi manusia seperti itu? tak lain dan tak bukan adalah kefahaman terhadap akidah, akhlak dan syariat Islam. kefahaman, sekali lagi kefahaman pada Islam itu yang membuka tabir dan merubah jiwa manusia. akhirnya Islamlah yang membuat manusia menjadi berbeda, pada hatinya, akalnya dan jasadnya.