Tersenyum aku disela renungan ringan i’tikafku, aku membayangkan jika kegilaan dunia ini berhasil menyeret kesantunan agama masuk dalam arus gegap gempita hedonisme, bayangkan jika prosesi peribadahan ternyata menjadi kemasan-kemasan industri.
Bayangannya jadi mengusikku untuk tersenyum. Bayangannya jadi seperti ini; para ustadz tidak sekedar tokoh tauladan yang memberikan tuntunan, tetapi sudah menjadi selebriti sebagai ikon tontonan, haji bukan hanya ibadah wajib bagi mereka yang mampu, tetapi sudah menjadi destinasi wisata dan simbol status sosial, Ramadhan tidak sekedar menjadi bulan untuk pembersihan jiwa dan perbaikan kualitas ibadah, tetapi menjadi periode menjustifikasi prilaku malas pada siang dan foya-foya pada malamnya.
Bagaimana dengan i’tikaf? Aku membayangkan suatu saat nanti mungkin masjid akan juga menjadi bagian dalam hiruk-pikuk industrialisasi, dimana masjid memiliki space dan rate tersendiri bagi orang kaya yang ingin beri’tikaf. Duh Allah yang Maha Suci, memang kemuliaan-Mu tidak akan pernah berkurang sedikitpun jikalau semua makhlukmu bermaksiat dihadapan-Mu tetapi aku tidak rela melihat Engkau diperlakukan seperti itu. Semua prosesi pengabdian dan peribadahan kepada-Mu sekedar produk-produk dagangan dengan kemasan-kemasan spiritual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar