Menyempatkan diri untuk sedikit lama di depan televisi, menyimak berita tentang apa saja yang terjadi di negeri ini, dari berita politik, hukum, budaya, ekonomi sampai dengan olah raga dan selebriti, membuat saya menjadi kecil hati dan sedikit demotivasi. Berita politik yang mengabarkan gegap-gempita politisi dengan nafsu politik dan prilaku serakah korupsinya. Cerita hukum yang selalu memojokkan rakyat kecil yang tak punya kuasa, paradoks dengan kongkalikong penguasa dan orang kaya yang mempu membeli sengketa dari para hakim, jaksa dan polisi, yang memang sudah tenggelam dalam samudera korupsi. Budaya yang tercipta bukan lagi representasi keluhuran budi dan tingginya daya kreasi, tetapi kini berubah orientasi berupa inovasi korupsi dan drama-drama konflik sosial hampir disemua segmen masyarakat.
Sementara di jagad ekonomi nasional tak habis-habisnya dituturkan cerita sedih kelompok dhuafa bangsa ini, mereka yang tidak diterima dan diusir dari rumah-rumah sakit, sementara tata-kelola uang rakyat dihamburkan bagi kelompok kaya yang berteriak karena tumpukan harta mereka pertambahannya menurun. Sedangkan dunia olah raga dimeriahkan dengan perseteruan antara pengurus, tata-kelola dan pembinaan yang tak jelas serta pengadaan fasilitas dan prasarana yang menjadi objek pungli dan korupsi. Di dunia selebriti, tak habis-habis cerita aib seseorang, dari pribadinya sampai keluarganya, di eksplorasi dalam kemasan industri.
Melihat dan mendapatkan berita seperti itu bukannya mencerahkan apalagi membangkitkan semangat hidup dan motivasi kerja, tetapi membuat semakin suntuk, bad-mood untuk melakukan apa saja. Namun, apakah seperti itu bangsa ini? Apa mungkin kesan itu hanya salah bangsa ini dalam bercerita dan berbagi berita? Jangan-jangan perasaan pesimis, pandangan skeptik dan prasangka buruk terhadap bangsa sendiri yang telah begitu kronisnya, yang menjadi masalah utama bangsa ini?
Bukankah bangsa dan negara Indonesia ini begitu besarnya, melimpah anugerah Tuhan berupa kekayaan alam diberikan hampir di setiap pulau yang berbaris dari ujung Sabang hingga pulau Papua. Lautan, selat, dan sungai pun tak kalah kayanya. Tak mampukah itu semua membuat kita sembuh dari penyakit kronis tadi? Apalagi kini, ekonomi berjalan lebih baik dari yang sudah-sudah, pencapaian kesejahteraan boleh dikatakan terbaik dalam sejarah bangsa ini. Mengapa ini belum dapat menjadi momentum untuk menjadi bangsa yang penuh optimis, saling menyemangati, saling membantu, saling menasehati dan saling menjaga.
Mungkin generasi yang ada belum menyadari ini atau mungkin belum siap menjadi bangsa yang dominan dan besar untuk diteladani. Potensi besar bangsa belum diikuti kebesaran jiwa bangsanya untuk menjadi negara yang pantas untuk ditonton dan dipanuti. Sekian lama bangsa ini hanya menjadi penonton dan terbiasa mengekor bangsa lain.
Kalau seperti itu, mungkin sudah waktunya kita bangkitkan generasi yang memiliki jiwa yang berbeda. Generasi yang menatap positif dan optimis masa depannya, berjiwa besar untuk siap menjadi generasi yang mengantarkan bangsanya menjadi bangsa yang dihormati dan diteladani. Melihat setiap kelemahan yang ada pada rakyat dan semua yang ada di dekatnya sebagai sebuah kesempatan baginya untuk berbuat baik dan menumpuk kebaikan. Tidak ada gelisah, cemas atau khawatir, karena generasi ini yakin bahwa setiap langkahnya selalu dibantu Sang Kuasa. Kegagalan dan keberhasilan dipercayai sebagai satu set skenario baik dari Tuhan. Musibah dan bencana hanyalah bagian dari “perhatian” Tuhan untuk mendidik diri mereka menjadi pribadi yang lebih baik. Kesalahan dan kealpaan tidak menyurutkan semangat atau bahkan menghentikan langkah mereka, karena mereka sangat sadar kalau itu menjadi kefitrahan yang setiap waktu harus diperbaiki.
Sudah saatnya Indonesia memiliki generasi yang berprasangka baik pada Tuhan, pada bangsa dan negaranya, pada lingkungan dan semua yang terjadi pada dirinya. Tetapi pertanyaannya, siapa mereka itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar