Rabu, 04 April 2012

Saya adalah Aktifis


Saya adalah aktifis. Statement ini bisa terkesan narsis, lebay atau mungkin terlalu berlebihan. Tetapi statement ini akan relevan saja ketika ditujukan untuk meyakinkan diri sendiri. Ya ini seruan untuk mengingatkan diri saya sendiri. Mengingatkan bahwa saya bukanlah pribadi bebas yang bisa melakukan apa saja, mendapatkan apa saja dengan cara apa saja. Saya ini pribadi yang sudah mengikatkan dan mewakafkan diri berikut semua yang melekat dan saya miliki, dengan sebuah nilai yang saya yakini. Saya ini aktifis. Dan seorang aktifis memiliki motivasi dan kepentingan kerja yang berakar pada idealisme. Motivasinya adalah keyakinan pada sebuah nilai dan ingin menempatkan diri sebagai bagian dari pengusung nilai-nilai itu. Sementara kepentingannya adalah kepentingan nilai itu sendiri.

Dengan begitu, saya juga ingin mengatakan pada diri sendiri, bahwa yang menggerakkan diri saya untuk semua kerja-kerja bukanlah orientasi material benefit, jabatan, status social, harum nama atau sekedar kondite kerja. Yang menggerakkan saya adalah keyakinan pada pengusungan nilai-nilai, yang akan memberikan imbal berupa keselamatan dan kedamaian yang sejati pada kehidupan saya setelah mati. Memang akan terkesan mengawang-awang seruan ini, tidak realistis dengan kelaziman zaman, berlebihan dalam memandang dan menjalani hidup, sehingga boleh jadi seruan ini hanya tepat diteriakkan dalam forum-forum motivasi yang seremonial untuk tujuan-tujuan tertentu. Seruan ini tidak tepat untuk menjadi motivasi aktifitas harian sepanjang hidup.

Setiap kita memiliki cara sendiri-sendiri dalam menentukan harapan dan menghimpun semangat, kita juga memiliki alasan sendiri-sendiri dalam bertindak, menyikapi setiap peristiwa yang terjadi di depan mata, menyesuaikan diri dengan keterbatasan dan kelebihan, merespon masalah atau kenikmatan. Cara dan alasan itulah hal yang harus diputuskan dengan hati-hati. Ketika saya menyerukan diri bahwa jalan yang saya pilih adalah sebagai seorang aktifis, maka saya harus sadar bahwa harapan saya tidak bebas saya tentukan, karena nilai-nilai yang saya yakini punya kontribusi dominan dalam membentuk harapan itu. Sementara semangat, akan datang dengan sendirinya ketika harapan sudah diobsesikan dalam setiap aspek hidup. Barulah setelah itu kerja-kerja berupa tindakan dilakukan.

Saya selalu merenungi, betapa hari-hari yang dilewati begitu berat ketika nilai-nilai yang diyakini selalu mempertanyakan keinginan yang muncul dalam diri. Betapa kehidupan menjadi semakin berat saat idealisme harus digugat oleh kelaziman yang ada. Ada yang kokoh bertahan dan berhasil menjaga idealismenya, memelihara ke-aktifis-an jalan hidupnya, tetapi tidak sedikit yang tersungkur dan tersingkir, karena tidak mampu menahan keinginan “manusiawi”nya dan tidak mampu bertahan dari badai kelaziman zaman.

Itulah mengapa kesimpulan saya sampai sejauh ini, jalah hidup aktifis pada hakikatnya akan sangat bergantung pada belas kasihan Tuhan, karena sebagai manusia seorang aktifis pasti tidak akan sanggup menanggung besarnya amanah nilai yang dia usung. Jika tersungkur seorang aktifis berharap Tuhan menghiburnya dengan nikmat yang tidak disangka-sangka baik bentuk dan dari mana datangnya, atau dihadiahi realisasi harapan dari janji-janji Tuhan yang selama ini menjadi semangat mereka. Ketika tak mampu menahan ingin dan nafsu dari hal-hal yang hakikatnya mudharat, Tuhan berikan peristiwa-peristiwa yang menghalangi mereka dari bala dan petaka, Tuhan berikan kantuk dan tidur, Tuhan berikan lupa dan segudang masalah yang menghijab mereka dari benda-benda seperti itu. Jikapun ia tersingkir, Tuhan tidak akan melupakannya dan segera membangkitkan dirinya, kembalikan dengan cara yang penuh pelajaran dan hikmah Dan ketika mereka bersalah Tuhan terima istighfar dan taubat mereka.

Tidak ada komentar: