Senin, 23 Juli 2012

Financial Inclusion atau Economic Inclusion?

Financial inclusion kini menjadi trending topic dalam dunia keuangan, baik di sektor syariah maupun konvensional. Arah angin dalam dunia keuangan kini sedang berhembus pada dimensi kualitas dari industri keuangan, seiring dengan perkembangan kuantitasnya yang babak belur dihantam krisis. Selain memang industri ini mulai dipertanyakan esensi kemanfaatannya daripada sekedar prestasi mencetak profit.

Ide financial inclusion pada dasarnya adalah membuka seluasnya akses terhadap jasa keuangan bagi masyarakat khususnya masyarakat golongan bawah yang punya preseden sebagai golongan unbank atau juga unbankable. Melihat rendahnya tingkat akses jasa keuangan Indonesia, maka isu financial inclusion menjadi sangat relevan untuk dimunculkan dan dioptimalkan. Dengan struktur pelaku usaha dalam perekonomian Indonesia yang didominasi oleh unit usaha mikro dan kecil yang mencapai 51,2 juta unit atau mencapai 99,91% dari pelaku usaha di Indonesia (data Kemenkop-UMKM), maka tentu saja dengan isu financial inclusion ini diharapkan sektor keuangan mampu menjawab dan melayani kebutuhan akses jasa keuangan segmen raksasa (dominan) sektor usaha Indonesia ini.

Berdasarkan survey yang dilakukan oleh World Bank, 60% penduduk Indonesia meminjam uang, namun hanya 26% yang meminjam dari bank atau Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Secara spesifik hanya 17% yang dilayani oleh perbankan, sisanya dilayani oleh lembaga keuangan semi-formal (9%). Selebihnya pinjaman yang didapatkan oleh penduduk Indonesia berasal dari sektor informal (34%), yaitu dari tetangga, teman dan keluarga. Sementara penduduk yang belum terlayani masih juga relatif besar yaitu 40%, dimana 60% dari kelompok ini dinilai tidak layak mendapatkan pinjaman karena tergolong miskin dan sangat miskin.

Khusus untuk lembaga keuangan sebagai lembaga intermediary, kemanfaatannya masih dirasakan oleh 26% penduduk Indonesia pada semua segmen usaha yang ada (usaha besar, menengah, kecil dan mikro). Kondisi ini tentu jauh dari ideal. Sebagai lembaga intermediary lembaga keuangan belum mampu menjalankan fungsinya dalam mendorong optimalisasi potensi ekonomi bangsa. Boleh jadi hal ini akibat infrastruktur yang belum lengkap, industri yang belum mapan atau sekedar karena preferensi komersial yang memusatkan pelayanan jasa keuangan terbatas pada kelompok masyarakat tertentu.

Data dan kondisi diatas semakin menguatkan alasan mengapa financial inclusion dibutuhkan. Namun pertanyaannya siapa yang sepatutnya melakukan dan bagaimana caranya? Bank atau lembaga keuangan non-bank atau kembali menjadi tugas pemerintah? Jika dimintakan kepada lembaga keuangan komersial, baik bank maupun non-bank, apa mungkin, mengingat financial inclusion akan menyasar masyarakat usaha kecil yang notabene berisiko tinggi secara komersial atau bahkan masyarakat miskin yang membutuhkan akses keuangan relatif untuk start-up business.

Ini masalah besar yang tidak sendirian harus dijawab oleh lembaga keuangan komersial, tetapi bersama pihak lain khususnya pemerintah. Dengan nature kelompok masyarakat unbankable itu tentu dibutuhkan pemerintah dalam men-support program pendukung seperti program jaminan atau subsidy bunga. Tanpa mengurangi penghargaan atas upaya meningkatkan kualitas sektor keuangan melalui program financial inclusion ini, namun akan sangat berguna jika masalah ini juga dipahami menggunakan perspektif ekonomi Islam.

Dalam ekonomi Islam secara garis besar menggunakan konsep zakat, masyarakat dibagi dalam dua kelompok berdasarkan kemampuan zakatnya, yaitu masyarakat muzakki (kaya) dan masyarakat mustahik (fakir-miskin). Khusus bagi masyarakat (ekonomi) miskin, treatments yang diberlakukan (masih berdasarkan pada konsep zakat) relatif lengkap, yaitu penyediaan kebutuhan pokok mereka dan kebutuhan berusaha. Masyarakat miskin tidak hanya memiliki masalah akses modal untuk usaha, tetapi cenderung kompleks pada masalah lain seperti masalah kebutuhan pokok (basic necesities), integritas dan kompetensi, masalah keluarga dan bentuk masalah lainnya.

Konsep zakat Islam menyadari itu dan kemudian ia terjawab secara baik, karena konsep zakat secara prinsip mengakomodasi treatments untuk kebutuhan tersebut. Secara build-in, treatments itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam konsep zakat. Oleh karena itu, istilah economic inclusion akan relatif lebih cocok digunakan dibandingkan dengan financial inclusion. Bersandar pada konsep zakat masyarakat miskin yang tidak punya apa-apa tidak hanya di berdayakan sebagai pelaku usaha dengan disediakan akses permodalan (financial), tetapi juga diberikan solusi dalam menjawab kebutuhan dasar mereka seperti makanan, pakaian, rumah atau pendidikan.

Konsep Islam bukan hanya ingin memposisikan masyarakat usaha mikro dan miskin sebagai aktif dalam industri keuangan dengan membuka akses bagi mereka memperoleh modal, tetapi lebih luas ingin memposisikan mereka aktif secara ekonomi, baik di sisi demand maupun di sisi supply dari ekonomi. Itu mengapa tolak ukur kemajuan ekonomi bukan hanya dilihat dari pertumbuhan ekonomi tetapi juga dari tingkat partisipasi masyarakat dalam ekonomi atau tingkat keikutsertaan ekonomi (economic involvement level).

Pilar utama untuk memastikan masyarakat aktif secara ekonomi dalam Islam adalah zakat. Keberadaan zakat yang diwajibkan (dengan derajad kewajiban setara dengan shalat), pada dasarnya akan selalu memelihara kemampuan atau daya beli (purchasing power) dari kelompok masyarakat paling bawah dalam piramida ekonomi. Sehingga, dengan kondisi masyarakat indonesia yang masih besar kelompok masyarakat miskinnya, mungkin lebih tepat bagi pemerintah untuk menggulirkan program economic inclusion. Dengan program ini dipastikan tidak ada seorangpun warga fakir miskin indonesia yang terabaikan secara ekonomi.

Isu sentral dari logika ini sebenarnya berasal dari prinsip ekonomi islam yang ingin memelihara proses distribusi kekayaan dan pendapatan (wealth and income distribution) berjalan dengan maksimal. Tidak heran jika Ibnu Khaldun berpendapat bahwa sebuah wilayah yang penduduknya banyak akan memberikan kemakmuran yang lebih baik, sepanjang proses distribusi kekayaan dan pendapatan berlangsung dengan baik (anti teori dari Robert Malthus).

Logika Ibnu Khaldun sangat sederhana, sepanjang economic inclusion berjalan dengan maksimal, tentu sektor demand ekonomi akan tetap terjaga pada level yang baik, dengan tingkat purchasing power dari masyarakat mustahik sebagai level minimum dari demand ekonomi, maka diharapkan sektor supply akan dapat juga terpelihara. Dengan begitu interaksi dasar ekonomi dapat terjaga untuk selalu berjalan, sepanjang tidak terjadi pengacauan sistem melalui aktifitas keuangan menggunakan riba dan spekulasi. Praktek Riba dan spekulasi cenderung mengganggu putaran ekonomi melalui misalokasi produksi dalam ekonomi, akibat uang beredar (potensi modal) tidak sepenuhnya bergerak menghasilkan barang dan jasa (economic value added).

Tidak ada komentar: