Keunikan ekonomi Islam yang sulit dimengerti oleh pemerhati ekonomi adalah dominasi Islam itu sendiri dalam dinamika keilmuan ekonomi. Kesatuan ruang gerak antara ekonomi dan Islam tidak mampu diartikulasikan dengan tepat, ketika seseorang belum mengerti peran Islam dalam ekonomi. Tidak dapat dipisahkannya fungsi muamalah ekonomi dari fungsi utama Islam yaitu ibadah, membuat ekonomi (Islam) pada dasarnya memiliki bentuk baru, definisi baru, atau bahkan entitas baru.
Tidak dapat dipisahkannya shalat sebagai sokoguru ibadah dari zakat sebagai sokoguru muamalah karena keduanya dalam satu kalimat perintah, menjadi satu pesan jelas bahwa ekonomi dalam Islam memiliki logika yang berbeda dari logika-logika ekonomi lazimnya. Pesan tersebut juga secara implisit terkandung pada kesatuan perintah yang tidak memisahkan anjuran jual-beli dan larangan riba. Kesatuan ini menjadi salah satu keunikan ilmu dalam Islam, bukan hanya dalam ekonomi tetapi pada semua cabang ilmu. Karena memang Islam pada dasarnya merupakan sumber dari segala sumber keilmuan.
Pemahaman seperti ini sepatutnya menjadi perhatian awal bagi pemerhati ekonomi Islam. Dan sewajarnya hal ini menjadi diskusi awal sebelum berlanjut pada analisa atau pengembangan setelahnya. Ketika pemahaman ini tidak menjadi asumsi dan rujukan, maka akan terlihat ketimpangan analisa, ketidaktepatan pengembangan atau ketidak-rasionalan logika ekonominya. Satu contoh, bahwa akan menjadi tidak logis ketika motivasi ibadah ekonomi harus diukur kesuksesannya dari kelimpahan harta atau kepuasannya dinilai dari kenikmatan materi/fisik. Banyak hal yang akan membuat ekonomi Islam tidak pas dibahasakan, tidak tepat dianalisa, atau bahkan dinilai dan dikembangkan, ketika salah memposisikan Islam dan ekonomi pada pemahaman awal.
Senin, 24 Desember 2007
Sabtu, 08 Desember 2007
MAKNA EKONOMI ISLAM
Ekonomi yang berfokus pada aktifitas dan parameter kolektif dengan nilai-nilai terpuji yang melebur secara sempurna pada prilaku manusia, menjadikan ekonomi Islam jauh dari imajinasi siapa saja yang memang tidak mengerti dan memahami peran dan fungsi Islam, bukan hanya sebagai agama tetapi juga sebagai sistem hidup dan kehidupan manusia. Ekonomi yang mengkombinasikan aplikasi sistem dan prilaku ekonomi berdasarkan satu paradigma, satu hukum, membuat siapa saja yang ingin memiliki gambaran yang utuh mengenai sistem ekonomi ini tentu harus benar-benar memahami Islam dengan baik. Tanpa memiliki keluasan ikhlas bagi kemutlakan kuasa Tuhan, tanpa mampu menyelami hakikat berikut hikmah hukum Tuhan serta tanpa mampu menyerap nilai-nilai luhur dalam bentuk ketawadhuan, seseorang akan tersesat dalam mengartikulasikan ekonomi Islam.
Karena sesungguhnya ekonomi Islam itu bukan ekonomi dalam Islam, bukan nilai-nilai mandiri ekonomi yang coba dicarikan posisinya dalam Islam, tetapi Islam dalam berekonomi, nilai-nilai orisinil berikut ketentuan Islam yang kemudian membentuk wajah ekonomi seperti apa sepatutnya ia menjadi. Ekonomi Islam adalah Islam yang berbahasa ekonomi. Ekonomilah yang kemudian dibentuk oleh Islam bukan sebaliknya. Inspirasi tunggal dari ekonomi ini adalah Islam. Islam menjadi himpunan semesta dari ruang gerak mengembangnya ekonomi. Dengan demikian, menjadi salah besar membangun dan mengembangkan Ekonomi Islam beranjak dari Ekonomi. Ia harus berawal dari Islam. Oleh sebab itu, tak salah jika awal memahami ekonomi Islam adalah memahami Islam terlebih dahulu. Jadi untuk maksud ini, sistem pengajaran yang tepat dan optimal adalah pengajaran yang mendahulukan kepahaman manusia pada Islam. Pemahaman yang sahih dan komprehensif tentang Islam, sederhananya akan membentuk manusia-manusia yang berpola laku serta fikir sesuai dengan apa-apa yang Islam mau. Singkatnya pemahaman itu bukan hanya akan membentuk warna dan bangunan ekonomi secara khas, tetapi juga hampir pada semua jengkal sisi kehidupan manusia; hukum, budaya, politik dan lain sebagainya.
Oleh sebab itu, tidak dapat dibayangkan seorang pakar mampu membedah dengan komprehensif, berimbang dan valid tentang ekonomi Islam, sementara ia tidak memahami Islam, jauh darinya atau bahkan menolak eksistensi dan fungsinya. Pakar seperti itu, tidak memiliki ”rasa” minimal terhadap Islam untuk beranalisa. Landasan dominan dalam penilaiannya hanyalah prasangka dalam bingkai pragmatisme tanpa hakikat dan hikmah. Terlebih lagi logika-logika alami yang bersifat terbatas dari fitrah manusia, juga turut ambil bagian dalam analisa ”ilmiah” tentang ekonomi Islam. Dimana kesahihan analisa ketika mereka tak mengenal apa yang mereka analisa?
Ketika ada perbedaan prakira dalam diskusi-diskusi komparasi, yang mencoba mempertanyakan relevansi dan kesahihan ekonomi Islam, sepatutnya ditelusuri sejak awal. Karena boleh jadi perbedaan bukan terletak pada mekanisme ekonomi sebenarnya ada pada perbedaan posisi dan intensitas dalam memahami Islam.
Karena sesungguhnya ekonomi Islam itu bukan ekonomi dalam Islam, bukan nilai-nilai mandiri ekonomi yang coba dicarikan posisinya dalam Islam, tetapi Islam dalam berekonomi, nilai-nilai orisinil berikut ketentuan Islam yang kemudian membentuk wajah ekonomi seperti apa sepatutnya ia menjadi. Ekonomi Islam adalah Islam yang berbahasa ekonomi. Ekonomilah yang kemudian dibentuk oleh Islam bukan sebaliknya. Inspirasi tunggal dari ekonomi ini adalah Islam. Islam menjadi himpunan semesta dari ruang gerak mengembangnya ekonomi. Dengan demikian, menjadi salah besar membangun dan mengembangkan Ekonomi Islam beranjak dari Ekonomi. Ia harus berawal dari Islam. Oleh sebab itu, tak salah jika awal memahami ekonomi Islam adalah memahami Islam terlebih dahulu. Jadi untuk maksud ini, sistem pengajaran yang tepat dan optimal adalah pengajaran yang mendahulukan kepahaman manusia pada Islam. Pemahaman yang sahih dan komprehensif tentang Islam, sederhananya akan membentuk manusia-manusia yang berpola laku serta fikir sesuai dengan apa-apa yang Islam mau. Singkatnya pemahaman itu bukan hanya akan membentuk warna dan bangunan ekonomi secara khas, tetapi juga hampir pada semua jengkal sisi kehidupan manusia; hukum, budaya, politik dan lain sebagainya.
Oleh sebab itu, tidak dapat dibayangkan seorang pakar mampu membedah dengan komprehensif, berimbang dan valid tentang ekonomi Islam, sementara ia tidak memahami Islam, jauh darinya atau bahkan menolak eksistensi dan fungsinya. Pakar seperti itu, tidak memiliki ”rasa” minimal terhadap Islam untuk beranalisa. Landasan dominan dalam penilaiannya hanyalah prasangka dalam bingkai pragmatisme tanpa hakikat dan hikmah. Terlebih lagi logika-logika alami yang bersifat terbatas dari fitrah manusia, juga turut ambil bagian dalam analisa ”ilmiah” tentang ekonomi Islam. Dimana kesahihan analisa ketika mereka tak mengenal apa yang mereka analisa?
Ketika ada perbedaan prakira dalam diskusi-diskusi komparasi, yang mencoba mempertanyakan relevansi dan kesahihan ekonomi Islam, sepatutnya ditelusuri sejak awal. Karena boleh jadi perbedaan bukan terletak pada mekanisme ekonomi sebenarnya ada pada perbedaan posisi dan intensitas dalam memahami Islam.
Minggu, 02 Desember 2007
HAKIKAT EKONOMI
Banyak yang berfikir bahwa belajar ekonomi adalah belajar memahami mekanisme ekonomi, belajar memecahkan masalah ekonomi dengan mengetahui berbagai cara kemudahan mendapatkan harta, mendapatkan kekayaan. Hal ini tidak dapat disalahkan mengingat sejak awal ilmu ini lekat dengan persepsi bahwa ilmu ini mampu membuat manusia dapat memaksimalkan kepuasannya terhadap harta dan segala bentuk kenikmatan. Tak dapat dipungkiri, kecenderungan dan kecintaan manusia pada semua bentuk kenikmatan semakin memperkuat persepsi dan akhirnya fungsi ilmu ekonomi bagi orang mempelajarinya. Apakah betul demikian? Bagaimana Islam memandang ilmu ini?
Dalam Islam, ilmu ekonomi pada dasarnya merupakan ilmu yang tidak terpisahkan dengan agama. Dengan kata lain ekonomi adalah Islam itu sendiri dengan wajah ekonomi, dengan bahasa dan wilayah bahasan ekonomi. Ekonomi merupakan bahasa Islam atas semua aktifitas, pengetahuan dan apa saja yang terkait dengan penyikapan manusia terhadap kenikmatan dunia, terhadap faktor produksi atau sumber daya ekonomi. Oleh sebab itu kegunaan ekonomi sudah semestinya tidak lepas dari fungsi Islam itu sendiri.
Apa fungsi Islam? Ya sederhananya, Islam merupakan instrumen agar manusia menjadi manusia yang diinginkan Tuhan, yaitu manusia yang selalu menyembah, mengabdi dan tunduk pada-Nya. Dengan demikian, Ekonomi dapat difungsikan sebagai alat bagi manusia untuk tetap menjadi manusia dalam segala aktifitas yang terkait dengan harta, dengan segala kenikmatan dunia. Aktifitas seperti apa yang membuat manusia tetap menjadi manusia yang diinginkan Tuhan?
Jika tadi sudah kita klarifikasi bahwa persepsi manusia secara umum yang menganggap ekonomi adalah alat untuk mendapatkan harta sebanyak-banyaknya dalam rangka memaksimalkan kepuasannya atas segala jenis kenikmatan, maka dalam Islam fungsi ekonomi boleh jadi bermakna sebaliknya. Ekonomi yang dikenali sebagai jalan untuk mengenal harta dan kemudian mendapatkannya, dalam Islam tidak bermakna berlebihan hingga memuaskan diri tanpa batas. Bahkan terkesan ekonomi dalam Islam adalah alat untuk mengenal harta dengan segala tabiat harta, daya tariknya, kecenderungan manusia padanya untuk kemudian tidak terjebak dan terlena dengan semua itu. Cukup saja mengenal dan kemudian dapat mengambil apa yang cukup bagi manusia untuk menjalankan aktifitas utama kemanusiaan yaitu ibadah. Jikapun ada kesempatan dan kemudahan untuk mendapatkan harta, sepatutnya dilihat sebagai kasih sayang Tuhan pada manusia agar ia dapat memaksimalkan ibadahnya pada Tuhan dengan memberikan kesempatan manusia lain untuk bisa terpenuhi kebutuhannya sehingga mereka terlepas dari kendala ekonomi yang pasti menghalangi aktifitas utama kemanusiaan mereka yaitu beribadah kepada Tuhan.
Ya dengan kata lain, mempelajari ekonomi bukan untuk berdekat-dekat dengan harta dan akrab dengannya, sehingga terlena dengan segala kenikmatan yang menjadi tabiatnya, tetapi malah menjauhi, memutuskan segala kecenderungan dan keterikatan dengan harta. Kecintaan padanya harus diputuskan dengan pengetahuan tentang tabiatnya dan pengetahuan karakteristik manusia itu sendiri yang kecintaannya amat sangat pada harta. Oleh karena itu, kesuksesan ekonomi seseorang bukan dilihat dari semakin banyaknya harta pada orang tersebut tetapi semakin jauhnya ia dari harta. Manusia sukses secara ekonomi itu jauh dari harta bukan karena kondisi yang bersifat terpaksa, tetapi karena memang secara sadar ia mengambil pilihan untuk jauh dari harta dengan segala kenikmatannya. Terkesan mitos? Teori? Tidak mungkin? Tidak, sama sekali tidak. Sudah pernah bukan hanya seorang tetapi sekelompok manusia pernah hadir di dunia ini dengan memilih sikap hidup seperti itu. Mereka menorehkan sejarah dengan tinta emas dalam peradaban manusia. Mereka mengantarkan manusia pada derajad kemanusiaan tertinggi di mata Tuhan dan manusia itu sendiri.
Dan akhirnya kemakmuran ekonomi memiliki definisinya sendiri, yaitu kasih sayang Tuhan pada mereka yang mengantarkan mereka pada keselamatan dunia dalam definisi yang sebenarnya. Ya pada akhirnya, ekonomi bukan mewujudkan peradaban kehidupan manusia dengan bentuk kemegahan fisik tetapi keluasan hati yang selalu tunduk pada Tuhan, keharmonisan hidup yang selalu terjaga rasa persaudaraan dan berbagi diantara manusia. Dan puncaknya ekonomi mengantarkan manusia pada obsesi tunggalnya yaitu syurga.
Dalam Islam, ilmu ekonomi pada dasarnya merupakan ilmu yang tidak terpisahkan dengan agama. Dengan kata lain ekonomi adalah Islam itu sendiri dengan wajah ekonomi, dengan bahasa dan wilayah bahasan ekonomi. Ekonomi merupakan bahasa Islam atas semua aktifitas, pengetahuan dan apa saja yang terkait dengan penyikapan manusia terhadap kenikmatan dunia, terhadap faktor produksi atau sumber daya ekonomi. Oleh sebab itu kegunaan ekonomi sudah semestinya tidak lepas dari fungsi Islam itu sendiri.
Apa fungsi Islam? Ya sederhananya, Islam merupakan instrumen agar manusia menjadi manusia yang diinginkan Tuhan, yaitu manusia yang selalu menyembah, mengabdi dan tunduk pada-Nya. Dengan demikian, Ekonomi dapat difungsikan sebagai alat bagi manusia untuk tetap menjadi manusia dalam segala aktifitas yang terkait dengan harta, dengan segala kenikmatan dunia. Aktifitas seperti apa yang membuat manusia tetap menjadi manusia yang diinginkan Tuhan?
Jika tadi sudah kita klarifikasi bahwa persepsi manusia secara umum yang menganggap ekonomi adalah alat untuk mendapatkan harta sebanyak-banyaknya dalam rangka memaksimalkan kepuasannya atas segala jenis kenikmatan, maka dalam Islam fungsi ekonomi boleh jadi bermakna sebaliknya. Ekonomi yang dikenali sebagai jalan untuk mengenal harta dan kemudian mendapatkannya, dalam Islam tidak bermakna berlebihan hingga memuaskan diri tanpa batas. Bahkan terkesan ekonomi dalam Islam adalah alat untuk mengenal harta dengan segala tabiat harta, daya tariknya, kecenderungan manusia padanya untuk kemudian tidak terjebak dan terlena dengan semua itu. Cukup saja mengenal dan kemudian dapat mengambil apa yang cukup bagi manusia untuk menjalankan aktifitas utama kemanusiaan yaitu ibadah. Jikapun ada kesempatan dan kemudahan untuk mendapatkan harta, sepatutnya dilihat sebagai kasih sayang Tuhan pada manusia agar ia dapat memaksimalkan ibadahnya pada Tuhan dengan memberikan kesempatan manusia lain untuk bisa terpenuhi kebutuhannya sehingga mereka terlepas dari kendala ekonomi yang pasti menghalangi aktifitas utama kemanusiaan mereka yaitu beribadah kepada Tuhan.
Ya dengan kata lain, mempelajari ekonomi bukan untuk berdekat-dekat dengan harta dan akrab dengannya, sehingga terlena dengan segala kenikmatan yang menjadi tabiatnya, tetapi malah menjauhi, memutuskan segala kecenderungan dan keterikatan dengan harta. Kecintaan padanya harus diputuskan dengan pengetahuan tentang tabiatnya dan pengetahuan karakteristik manusia itu sendiri yang kecintaannya amat sangat pada harta. Oleh karena itu, kesuksesan ekonomi seseorang bukan dilihat dari semakin banyaknya harta pada orang tersebut tetapi semakin jauhnya ia dari harta. Manusia sukses secara ekonomi itu jauh dari harta bukan karena kondisi yang bersifat terpaksa, tetapi karena memang secara sadar ia mengambil pilihan untuk jauh dari harta dengan segala kenikmatannya. Terkesan mitos? Teori? Tidak mungkin? Tidak, sama sekali tidak. Sudah pernah bukan hanya seorang tetapi sekelompok manusia pernah hadir di dunia ini dengan memilih sikap hidup seperti itu. Mereka menorehkan sejarah dengan tinta emas dalam peradaban manusia. Mereka mengantarkan manusia pada derajad kemanusiaan tertinggi di mata Tuhan dan manusia itu sendiri.
Dan akhirnya kemakmuran ekonomi memiliki definisinya sendiri, yaitu kasih sayang Tuhan pada mereka yang mengantarkan mereka pada keselamatan dunia dalam definisi yang sebenarnya. Ya pada akhirnya, ekonomi bukan mewujudkan peradaban kehidupan manusia dengan bentuk kemegahan fisik tetapi keluasan hati yang selalu tunduk pada Tuhan, keharmonisan hidup yang selalu terjaga rasa persaudaraan dan berbagi diantara manusia. Dan puncaknya ekonomi mengantarkan manusia pada obsesi tunggalnya yaitu syurga.
Kamis, 22 November 2007
Relevansi Sistem Ekonomi Konvensional
PERNYATAAN: "Joseph Stiglitz boleh mengkritik sampe berbusa2 sistemyang ada di negara maju. Dunia barat boleh mengalami krisis, jangankata 20 kali, 1 juta kali krisis pun boleh terjadi. Yang jadi acuansaya cuma satu: BUKTI EMPIRIS mereka MASIH BERJAYA. Negara-negarabarat itu TAK RUNTUH. Negara-negara barat itu MASIH BERJAYA hinggahari ini."
Menganalisa "sistem" sepatutnya melihat semua elemen yang terangkum dalam mekanisme interaksi dalam himpunan sistem tadi, sehingga menilai bahwa sistem tersebut berjaya atau tidak sangat tidak valid hanya diukur dari kesuksesan satu elemen/komponen/pelaku dalam sistem tadi. Terkait dengan sistem ekonomi, maka akan sangat relevan ketika ingin menilai sistem tersebut baik atau tidak, lihat ia pada skala implikasi yang bersifat global tidak dari skala mikro (satu pelakunya saja). karena sistem ekonomi pada dasarnya ada aktivitas interaksi, mekanisme sebab-akibat, dari fenomena ketergantungan hingga fenomena trade-off.
Amerika, eropa, khusus lagi negara-negara skandinavia yang saat ini selalu menjadi rujukan kesuksesan sistem konvensional menjadi tidak valid berdasarkan landasan fikir tadi, mereka merupakan salah satu pemain dari sekian pemain yang ada, yang berinteraksi dalam sistem ekonomi (konvensional). mekanisme sebab-akibat, membuat mereka ada pada posisi "berjaya" (lihat Roy Culpeper, New Economic Architecture: Getting The Right Specs, Remarks to the Canadian American Research Centre Faculty of Law, University of Windsor, The North-South Institute, February 15, 1999. atau Peter Barberton dan Allen Lane, Excerpts from Debt and Delusion, The Pinguin Press, 1999). Kalau dilihat pada skala global, mohon cek data-data sosial ekonomi dunia (mungkin world bank bisa dijadikan rujukan), apakah data pengangguran semakin menurun, data kelaparan, gelandangan, social unrest, kriminalitas, kesenjangan sosial, ketimpangan ekonomi (ketimpangan sektor riil dan keuangan yangrasionya sudah mencapai 6:500).
Umer Chapra (2000) mengungkapkan dalam sistem ekonomi konvensional terdapat kesenjangan atau lebih tepat disebut kontradiksi antara kecenderungan pribadi pada tingkat mikroekonomi dengan tujuan-tujuan kolektif makroekonomi. Masalah yang ditimbulkan akibat kontradiksi ini, seperti tak tercapainya full employment dan pertumbuhan ekonomi yang sustainable, juga tidak dapat dipecahkan oleh pemikir konvensional baik mazhab klasik maupun Keynessian.Namun perlu diakui bahwa ekonomi konvensional mengandung kebenaran-kebenaran yang bersifat universal. Tapi perlu dibedakan kebenaran-kebenaran tersebut dengan konsekwensi-konsekwensi logis dari filosofi, nilai dasar dan paradigma ekonomi konvensional, sehingga dalam membangun mekanisme ekonomi Islam tidak terjadi kebingungan dan kerancuan, seperti terjebak pada usaha-usaha pemadanan apa yang ada di konvensional.
Tak dapat dipungkiri bahwa kapitalisme telah memberikan begitu banyak hasil positif bagi peradaban ummat manusia. Kemudahan fasilitas hidup, perkembangan teknologi, variasi produk, infrastruktur, menjadi bukti bahwa kapitalisme menunjukkan perannya yang signifikan dalam sejarah peradaban ummat manusia. Namun terlepas dari hal itu semua, tak juga salah ketika ternyata dalam analisa, dibalik kesuksesan kapitalisme memberikan kemajuan ekonomi bagi manusia, ada kerancuan atau bahkan kontradiktif yang pada hakikatnya menghancurkan kesuksesan tadi.
Selama abad 20, yaitu masa pembangunan ekonomi kapitalisme, selain megahnya pembangunan fisik ekonomi, ternyata terdapat data-data yang begitu jelas menunjukkan bahwa sistem kapitalisme memberikan goncangan-goncangan ekonomi dan implikasi-implikasi negatif. Jeratan hutang di hampir seluruh negara berkembang, kemiskinan yang semakin meluas di negara dunia ketiga, dan krisis-krisis ekonomi khususnya sektor keuangan tak putus-putusnya menyerang perekonomian dunia. Bahkan krisis-krisis ekonomi tersebut, setelah runtuhnya kesepakatan Breeton Woods (1971) atau runtuhnya Smithsonian Agreement (1973), semakin tinggi frekuensi kekerapannya. Dalam interaksi ekonomi internasional terlihat bagaimana sistem ekonomi kapitalis menciptakan kondisi kompetisi yang tidak sehat dalam percaturan ekonomi dunia, bahkan wujud kecenderungan eksploitasi ekonomi dari sekelompok negara terhadap sekelompok negara yang lain. Sehingga kekacauan ekonomi yang cenderung diciptakan oleh ekonomi kapitalis, wujud bukan hanya dalam perekonomian lokal tapi juga menggurita dalam perekonomian dunia secara menyeluruh. Ketimpangan ekonomi diantara negara-negara dunia bahkan kemudian bukan sekedar menjelma menjadi eksploitasi ekonomi tapi meluas pada wilayah hukum, social budaya dan bahkan politik.
Ada yang mengungkapkan kontraksi-kontraksi ekonomi merupakan sebuah kewajaran, baik berupa krisis ekonomi, resesi atau bahkan depresi. Kontraksi ekonomi tersebut dipercayai mampu memperkokoh sistem ekonomi pada masa selanjutnya. Artinya bahwa sebuah krisis secara logis menunjukkan kelemahan yang ada dalam struktur ekonomi yang ada, sehingga diperlukan sebuah kebijakan (treatments) yang kemudian secara tak langsung memperkokoh bangunan ekonomi. Namun kenapa krisis kini semakin sering terjadi ? Hal ini kontradiktif dengan hipotesa pakar ekonomi di atas. Kesimpulan yang sangat masuk akal adalah ada yang salah dengan sistem yang dianut.
Kontradiksi kemajuan ekonomi pada dasarnya bersumber dari paradigma dasar pengembangannya, disini saya ingin mengungkapkan sedikit apa yang menjadi definisi, motivasi, paradigma ekonomi konvensional:Definisi yang menyebutkan ekonomi adalah segala tingkah laku manusia dalam memenuhi kebutuhannya yang tak terbatas dengan menggunakan factor-faktor produksi yang terbatas. Dari definisi ini ada dua makna yang dapat kita simpulkan; pertama, definisi ini menyiratkan tingkah laku manusia tersebut terfokus sebagi tingkah laku yang bersifat individual. Kedua, bahwa tingkah laku manusia itu bukan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan (needs), tetapi pada hakekatnya untuk memuaskan keinginan (wants) yang memang tak terbatas. Definisi ini berkembang dari pemahaman motif-motif ekonomi yang dijelaskan oleh pemikir ekonomi konvensional. F.Y. Edgworth (1881) merupakan tokoh utama yang mengemukakan motif self interest (egoism) dari prilaku ekonomi manusia . Namun hal ini juga sebenarnya sudah dijelaskan secara garis besar oleh Herbert Spencer (1879) dan Henry Sidgwick (1874) . Sebenarnya hal ini merupakan kelanjutan dari pemikiran Jeremy Bentham (1748-1823) tentang utilitarianism. Menurut Jeremy Bentham (1748-1823) rasionalitas berpegang pada prinsip maximizing pleasure minimizing pain. Dengan demikian, asumsi yang digunakan oleh Bentham adalah; kesenangan yang paling besar adalah yang jumlahnya paling banyak (the greatest happiness of the greatest number). tindakan yang baik adalah segala tindakan yang mengarahkan manusia menambah jumlah kesenangan, sementara tindakan yang tidak mengarah kepada kesenangan atau yang mengurangi jumlahnya adalah tindakan yang tidak baik.
Dari diskusi intelektual mengenai motif prilaku ekonomi di kalangan pakar ekonomi konvensional, diakui bahwa moralitas dan nilai agama memiliki andil dalam prilaku ekonomi manusia. Namun Edgworth memiliki alasan kuat bahwa hanya egoismelah yang menjadi landasan nilai yang sangat konsisten bagi prilaku manusia (egoistic behaviour). Alasan ini juga yang menjawab hipotesa-hipotesa yang dikemukakan Herbert Spencer dalam menganalisa hubungan antara egoisme (individualistic) dan altruisme (collectivity).Prilaku ekonomi yang diwarnai oleh moral sebenarnya pernah menjadi diskusi hangat dalam ekonomi konvensional, namun karena kesulitan menentukan alat ukurnya maka wacana beralih dari moralitas ke sesuatu yang lebih materi/kuantitatif yaitu egoisme. Beberapa tulisan yang berguna untuk dijadikan referensi diantaranya “Short Introduction to Moral Philosophy”-nya Francis Hutcheson (konon guru dari Adam Smith) atau “The Crisis in Economics Theory: Model and Reality in Economics”-nya Daniel Bell (edited by Daniel Bell & Irving Kristol). Berdasarkan beberapa literatur diakui sejak Alfred Marshall menulis bukunya “Principles of Economics” (1890) ekonomi memisahkan aktivitas moral dalam pembahasan dan pengembangan ekonomi. Pada akhirnya ekonomi hanya mengenal “instrumental” yang bersifat terukur dan konsisten dalam pengembangannya, oleh sebab itu nilai dasarnya cenderung menggunakan egoism dan utilitarianism yang focus pada pengejaran kepentinganpribadi. Transformasi pemikiran ini juga tergambar dari tulisan Bapak Ekonomi modern Adam Smith yaitu dari “Theory of Moral Sentiments” ke “Wealth of Nations”.
Landasan nilai egoisme ini menurut A.K. Sen kemudian menjadi motif ekonomi menggunakan pendekatan rasional (rational choice). Pendekatan rasional ini sebenarnya menunjukkan konsistensi internal dari seorang individu dalam berprilaku. Dan dengan landasan inilah kemudian secara substansi ekonomi konvensional dibangun dan dikembangkan.
Menganalisa "sistem" sepatutnya melihat semua elemen yang terangkum dalam mekanisme interaksi dalam himpunan sistem tadi, sehingga menilai bahwa sistem tersebut berjaya atau tidak sangat tidak valid hanya diukur dari kesuksesan satu elemen/komponen/pelaku dalam sistem tadi. Terkait dengan sistem ekonomi, maka akan sangat relevan ketika ingin menilai sistem tersebut baik atau tidak, lihat ia pada skala implikasi yang bersifat global tidak dari skala mikro (satu pelakunya saja). karena sistem ekonomi pada dasarnya ada aktivitas interaksi, mekanisme sebab-akibat, dari fenomena ketergantungan hingga fenomena trade-off.
Amerika, eropa, khusus lagi negara-negara skandinavia yang saat ini selalu menjadi rujukan kesuksesan sistem konvensional menjadi tidak valid berdasarkan landasan fikir tadi, mereka merupakan salah satu pemain dari sekian pemain yang ada, yang berinteraksi dalam sistem ekonomi (konvensional). mekanisme sebab-akibat, membuat mereka ada pada posisi "berjaya" (lihat Roy Culpeper, New Economic Architecture: Getting The Right Specs, Remarks to the Canadian American Research Centre Faculty of Law, University of Windsor, The North-South Institute, February 15, 1999. atau Peter Barberton dan Allen Lane, Excerpts from Debt and Delusion, The Pinguin Press, 1999). Kalau dilihat pada skala global, mohon cek data-data sosial ekonomi dunia (mungkin world bank bisa dijadikan rujukan), apakah data pengangguran semakin menurun, data kelaparan, gelandangan, social unrest, kriminalitas, kesenjangan sosial, ketimpangan ekonomi (ketimpangan sektor riil dan keuangan yangrasionya sudah mencapai 6:500).
Umer Chapra (2000) mengungkapkan dalam sistem ekonomi konvensional terdapat kesenjangan atau lebih tepat disebut kontradiksi antara kecenderungan pribadi pada tingkat mikroekonomi dengan tujuan-tujuan kolektif makroekonomi. Masalah yang ditimbulkan akibat kontradiksi ini, seperti tak tercapainya full employment dan pertumbuhan ekonomi yang sustainable, juga tidak dapat dipecahkan oleh pemikir konvensional baik mazhab klasik maupun Keynessian.Namun perlu diakui bahwa ekonomi konvensional mengandung kebenaran-kebenaran yang bersifat universal. Tapi perlu dibedakan kebenaran-kebenaran tersebut dengan konsekwensi-konsekwensi logis dari filosofi, nilai dasar dan paradigma ekonomi konvensional, sehingga dalam membangun mekanisme ekonomi Islam tidak terjadi kebingungan dan kerancuan, seperti terjebak pada usaha-usaha pemadanan apa yang ada di konvensional.
Tak dapat dipungkiri bahwa kapitalisme telah memberikan begitu banyak hasil positif bagi peradaban ummat manusia. Kemudahan fasilitas hidup, perkembangan teknologi, variasi produk, infrastruktur, menjadi bukti bahwa kapitalisme menunjukkan perannya yang signifikan dalam sejarah peradaban ummat manusia. Namun terlepas dari hal itu semua, tak juga salah ketika ternyata dalam analisa, dibalik kesuksesan kapitalisme memberikan kemajuan ekonomi bagi manusia, ada kerancuan atau bahkan kontradiktif yang pada hakikatnya menghancurkan kesuksesan tadi.
Selama abad 20, yaitu masa pembangunan ekonomi kapitalisme, selain megahnya pembangunan fisik ekonomi, ternyata terdapat data-data yang begitu jelas menunjukkan bahwa sistem kapitalisme memberikan goncangan-goncangan ekonomi dan implikasi-implikasi negatif. Jeratan hutang di hampir seluruh negara berkembang, kemiskinan yang semakin meluas di negara dunia ketiga, dan krisis-krisis ekonomi khususnya sektor keuangan tak putus-putusnya menyerang perekonomian dunia. Bahkan krisis-krisis ekonomi tersebut, setelah runtuhnya kesepakatan Breeton Woods (1971) atau runtuhnya Smithsonian Agreement (1973), semakin tinggi frekuensi kekerapannya. Dalam interaksi ekonomi internasional terlihat bagaimana sistem ekonomi kapitalis menciptakan kondisi kompetisi yang tidak sehat dalam percaturan ekonomi dunia, bahkan wujud kecenderungan eksploitasi ekonomi dari sekelompok negara terhadap sekelompok negara yang lain. Sehingga kekacauan ekonomi yang cenderung diciptakan oleh ekonomi kapitalis, wujud bukan hanya dalam perekonomian lokal tapi juga menggurita dalam perekonomian dunia secara menyeluruh. Ketimpangan ekonomi diantara negara-negara dunia bahkan kemudian bukan sekedar menjelma menjadi eksploitasi ekonomi tapi meluas pada wilayah hukum, social budaya dan bahkan politik.
Ada yang mengungkapkan kontraksi-kontraksi ekonomi merupakan sebuah kewajaran, baik berupa krisis ekonomi, resesi atau bahkan depresi. Kontraksi ekonomi tersebut dipercayai mampu memperkokoh sistem ekonomi pada masa selanjutnya. Artinya bahwa sebuah krisis secara logis menunjukkan kelemahan yang ada dalam struktur ekonomi yang ada, sehingga diperlukan sebuah kebijakan (treatments) yang kemudian secara tak langsung memperkokoh bangunan ekonomi. Namun kenapa krisis kini semakin sering terjadi ? Hal ini kontradiktif dengan hipotesa pakar ekonomi di atas. Kesimpulan yang sangat masuk akal adalah ada yang salah dengan sistem yang dianut.
Kontradiksi kemajuan ekonomi pada dasarnya bersumber dari paradigma dasar pengembangannya, disini saya ingin mengungkapkan sedikit apa yang menjadi definisi, motivasi, paradigma ekonomi konvensional:Definisi yang menyebutkan ekonomi adalah segala tingkah laku manusia dalam memenuhi kebutuhannya yang tak terbatas dengan menggunakan factor-faktor produksi yang terbatas. Dari definisi ini ada dua makna yang dapat kita simpulkan; pertama, definisi ini menyiratkan tingkah laku manusia tersebut terfokus sebagi tingkah laku yang bersifat individual. Kedua, bahwa tingkah laku manusia itu bukan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan (needs), tetapi pada hakekatnya untuk memuaskan keinginan (wants) yang memang tak terbatas. Definisi ini berkembang dari pemahaman motif-motif ekonomi yang dijelaskan oleh pemikir ekonomi konvensional. F.Y. Edgworth (1881) merupakan tokoh utama yang mengemukakan motif self interest (egoism) dari prilaku ekonomi manusia . Namun hal ini juga sebenarnya sudah dijelaskan secara garis besar oleh Herbert Spencer (1879) dan Henry Sidgwick (1874) . Sebenarnya hal ini merupakan kelanjutan dari pemikiran Jeremy Bentham (1748-1823) tentang utilitarianism. Menurut Jeremy Bentham (1748-1823) rasionalitas berpegang pada prinsip maximizing pleasure minimizing pain. Dengan demikian, asumsi yang digunakan oleh Bentham adalah; kesenangan yang paling besar adalah yang jumlahnya paling banyak (the greatest happiness of the greatest number). tindakan yang baik adalah segala tindakan yang mengarahkan manusia menambah jumlah kesenangan, sementara tindakan yang tidak mengarah kepada kesenangan atau yang mengurangi jumlahnya adalah tindakan yang tidak baik.
Dari diskusi intelektual mengenai motif prilaku ekonomi di kalangan pakar ekonomi konvensional, diakui bahwa moralitas dan nilai agama memiliki andil dalam prilaku ekonomi manusia. Namun Edgworth memiliki alasan kuat bahwa hanya egoismelah yang menjadi landasan nilai yang sangat konsisten bagi prilaku manusia (egoistic behaviour). Alasan ini juga yang menjawab hipotesa-hipotesa yang dikemukakan Herbert Spencer dalam menganalisa hubungan antara egoisme (individualistic) dan altruisme (collectivity).Prilaku ekonomi yang diwarnai oleh moral sebenarnya pernah menjadi diskusi hangat dalam ekonomi konvensional, namun karena kesulitan menentukan alat ukurnya maka wacana beralih dari moralitas ke sesuatu yang lebih materi/kuantitatif yaitu egoisme. Beberapa tulisan yang berguna untuk dijadikan referensi diantaranya “Short Introduction to Moral Philosophy”-nya Francis Hutcheson (konon guru dari Adam Smith) atau “The Crisis in Economics Theory: Model and Reality in Economics”-nya Daniel Bell (edited by Daniel Bell & Irving Kristol). Berdasarkan beberapa literatur diakui sejak Alfred Marshall menulis bukunya “Principles of Economics” (1890) ekonomi memisahkan aktivitas moral dalam pembahasan dan pengembangan ekonomi. Pada akhirnya ekonomi hanya mengenal “instrumental” yang bersifat terukur dan konsisten dalam pengembangannya, oleh sebab itu nilai dasarnya cenderung menggunakan egoism dan utilitarianism yang focus pada pengejaran kepentinganpribadi. Transformasi pemikiran ini juga tergambar dari tulisan Bapak Ekonomi modern Adam Smith yaitu dari “Theory of Moral Sentiments” ke “Wealth of Nations”.
Landasan nilai egoisme ini menurut A.K. Sen kemudian menjadi motif ekonomi menggunakan pendekatan rasional (rational choice). Pendekatan rasional ini sebenarnya menunjukkan konsistensi internal dari seorang individu dalam berprilaku. Dan dengan landasan inilah kemudian secara substansi ekonomi konvensional dibangun dan dikembangkan.
Senin, 12 November 2007
Zakat & Konsumsi
C = Co + b Yd
Co = konsumsi yang tak tergantung income
b = MPC
Yd = income yang bisa dibelanjakan
Dimana dalam konvensional Yd = Y – Tx
Dalam Islam Tx konvensional tidak dikenal (lihat Al Kharaj, Abu Yusuf), maka, Yd = Y – Z. karena kewajiban bukan hanya untuk muslim (berupa zakat) tetapi juga non muslim (berupa Kharaj & Jizyah), maka Yd = Y – Z – Jz – Kh.
Dengan demikian konsumsi menjadi
C = Co + b (Y – Z –Jz – Kh)
C = Co + bY – bZ – bJz – bKh
Berarti Z (zakat) berkorelasi negative terhadap C (konsumsi), dimana Z naik maka C berkurang? Betul! Karena persamaan diatas tepat bagi golongan muzakki (orang kaya) dimana zakat akan mengurangi income yang mereka bisa belanjakan, sehingga secara keseluruhan zakat akan mengurangi kemampuan konsumsi mereka. Kalau begitu konsumsi dalam Islam ada dua: konsumsi untuk muzakki (orang kaya) yaitu Ci dan konsumsi untuk mustahik (fakir-miskin) yaitu Ck, dimana:
C total = Ci + Ck.
Ci = Co + bY – bZ – bJz – bKh
Ck = Z + Jz + Kh
C = Co + bY – bZ – bJz – bKh + (Z + Jz + Kh)
C = Co + bY + Z(1 – b) + Jz(1 – b) + Kh(1 – b) atau
C = Co + bY + (Z + Jz + Kh) (1 – b)
Selalunya MPC bernilai: 0 <> 0, maka Z akan selalu berkorelasi positif dengan C, zakat naik pastinya C naik. Secara makro zakat naik, konsumsi naik, output nasional juga naik. Ada zakat volume ekonomi bertambah. Kenapa akhirnya zakat berpengaruh positif padahal ia negatif ditangan orang-orang kaya? Kuncinya pada perbedaan sensitifitas konsumsi orang kaya dan orang fakir-miskin terhadap zakat (sebagai pemotong dan sumber income). Karena ada MPC, maka korelasi negatif zakat terhadap konsumsi pada muzakki akan lebih kecil daripada korelasi positif zakat terhadap konsumsi pada mustahik. Wallahu a’lam.
Co = konsumsi yang tak tergantung income
b = MPC
Yd = income yang bisa dibelanjakan
Dimana dalam konvensional Yd = Y – Tx
Dalam Islam Tx konvensional tidak dikenal (lihat Al Kharaj, Abu Yusuf), maka, Yd = Y – Z. karena kewajiban bukan hanya untuk muslim (berupa zakat) tetapi juga non muslim (berupa Kharaj & Jizyah), maka Yd = Y – Z – Jz – Kh.
Dengan demikian konsumsi menjadi
C = Co + b (Y – Z –Jz – Kh)
C = Co + bY – bZ – bJz – bKh
Berarti Z (zakat) berkorelasi negative terhadap C (konsumsi), dimana Z naik maka C berkurang? Betul! Karena persamaan diatas tepat bagi golongan muzakki (orang kaya) dimana zakat akan mengurangi income yang mereka bisa belanjakan, sehingga secara keseluruhan zakat akan mengurangi kemampuan konsumsi mereka. Kalau begitu konsumsi dalam Islam ada dua: konsumsi untuk muzakki (orang kaya) yaitu Ci dan konsumsi untuk mustahik (fakir-miskin) yaitu Ck, dimana:
C total = Ci + Ck.
Ci = Co + bY – bZ – bJz – bKh
Ck = Z + Jz + Kh
C = Co + bY – bZ – bJz – bKh + (Z + Jz + Kh)
C = Co + bY + Z(1 – b) + Jz(1 – b) + Kh(1 – b) atau
C = Co + bY + (Z + Jz + Kh) (1 – b)
Selalunya MPC bernilai: 0 <> 0, maka Z akan selalu berkorelasi positif dengan C, zakat naik pastinya C naik. Secara makro zakat naik, konsumsi naik, output nasional juga naik. Ada zakat volume ekonomi bertambah. Kenapa akhirnya zakat berpengaruh positif padahal ia negatif ditangan orang-orang kaya? Kuncinya pada perbedaan sensitifitas konsumsi orang kaya dan orang fakir-miskin terhadap zakat (sebagai pemotong dan sumber income). Karena ada MPC, maka korelasi negatif zakat terhadap konsumsi pada muzakki akan lebih kecil daripada korelasi positif zakat terhadap konsumsi pada mustahik. Wallahu a’lam.
Rabu, 26 September 2007
Konsep Ekonomi Berbagi
ekonomi pada dasarnya merupakan alat yang mempermudah hidup dan kehidupan manusia. ia menjadi disiplin ilmu yang kemudian membuat manusia semakin sadar akan fungsi dan posisi hidupnya untuk menyelesaikan permasalah kehidupan. sehingga, kata kunci berbagi memiliki beribu makna yang dapat merangkum apa hakikat ekonomi. (to be continued)
Selasa, 25 September 2007
Konsep Investasi dalam Islam
Dengan absennya bunga dalam perekonomian, hubungan investasi dan tabungan dalam perekonomian Islam tidak sekuat seperti yang ada dalam konvensional. Dalam konvensional hubungan investasi dan tabungan dihubungkan oleh peran bunga dalam perekonomian. Sehingga bunga menjadi indicator fluktuasi yang terjadi di investasi dan tabungan. Ketika bunga (bunga simpanan dan bunga pinjaman) tinggi maka kecenderungan tabungan akan meningkat, sementara investasi relatif turun. Begitu sebaliknya, ketika bunga rendah, maka tabungan akan menurun dan investasi akan meningkat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa motivasi dalam aktivitas tabungan dan investasi dalam konvensional didominasi oleh motif keuntungan (returns) yang bisa didapatkan dari keduanya.
Sedangkan dalam perspektif ekonomi Islam, investasi bukanlah melulu bercerita tentang berapa keuntungan materi yang bisa didapatkan melalui aktivitas investasi, tapi ada beberapa faktor yang mendominasi motifasi investasi dalam Islam. Pertama, akibat implementasi mekanisme zakat maka asset produktif yang dimiliki seseorang pada jumlah tertentu (memenuhi batas nisab zakat) akan selalu dikenakan zakat, sehingga hal ini akan mendorong pemiliknya untuk mengelolanya melalui investasi. Dengan demikian melalui investasi tersebut pemilik asset memiliki potensi mempertahankan jumlah dan nilai assetnya. Berdasarkan argumentasi ini, aktifitas investasi pada dasarnya lebih dekat dengan prilaku individu (investor/muzakki) atas kekayaan atau asset mereka daripada prilaku individu atas simpanan mereka. Sejalan dengan kesimpulan bahwa sebenarnya ada perbedaan yang mendasar dalam perekonomian Islam dalam membahas prilaku simpanan dan investasi, dalam Islam investasi lebih bersumber dari harta kekayaan/asset daripada simpanan yang dalam investasi dibatasi oleh definisi bagian sisa dari pendapatan setelah dikurangi oleh konsumsi.
Kedua, aktivitas investasi dilakukan lebih didasarkan pada motifasi social yaitu membantu sebagian masyarakat yang tidak memiliki modal namun memiliki kemampuan berupa keahlian (skill) dalam menjalankan usaha, baik dilakukan dengan bersyarikat (musyarakah) maupun dengan berbagi hasil (mudharabah). Jadi dapat dikatakan bahwa investasi dalam Islam bukan hanya dipengaruhi factor keuntungan materi, tapi juga sangat dipengaruhi oleh factor syariah (kepatuhan pada ketentuan syariah) dan factor sosial (kemashlahatan ummat).
Melihat praktek ekonomi kontemporer, definisi investasi cenderung meluas dari definisi orisinilnya. Definisi investasi kini juga digunakan dalam menggambarkan aktivitas penanaman sejumlah capital dalam pasar keuangan konvensional, dimana aktivitasnya berbeda jauh dengan maksud yang terkandung dalam kata investasi itu sendiri yang biasa digunakan dalam sector riil.[1]
Masuk pada makna investasi di sector keuangan tentu aktivitas ini lebih dekat dengan motivasi spekulasi dan capital gain. Prilaku investasi seperti ini tentu akan memberikan wajah atau corak ekonomi yang berbeda, bahkan konsekwensi terhadap interaksi dalam mekanisme ekonomi juga akan sangat berbeda dengan sistem ekonomi non-spekulasi (syariah). Dan yang pasti teori-teori yang terbangun dari analisa prilaku dan kecenderungan dalam mekanisme perekonomian konvensional tentu akan berbeda dengan perekonomian Islam (atau bahkan bertolak belakang). Jadi perlu ditegaskan kembali, bahwa dalam perekonomian Islam spekulasi dalam segala bentuknya atau menanamkan dana atas motif profit atau return dalam bentuk bunga (interest rate) bukanlah investasi!
Selanjutnya melihat segmentasi masyarakat Islam, maka golongan masyarakat yang aktif melakukan aktifitas investasi adalah golongan masyarakat muzakki. Golongan masyarakat ini memiliki potensi melakukan investasi akibat sumber daya ekonominya berlebih setelah memenuhi kebutuhan dasar dan kebutuhan untuk berjaga-jaga. Investasi ini tentu akumulasi dan perannya dalam perekonomian secara makro sangat besar. Dengan berfungsinya sistem zakat dan dilarangnya riba serta spekulasi, maka akumulasi dana besar yang dimiliki oleh golongan muzakki akan ditransfer menjadi investasi, sebagai reaksi untuk menghindari risiko berkurangnya harta mereka akibat kewajiban zakat dan motif ingin menjaga atau bahkan menambah jumlah kekayaan (harta) para muzakki. Berarti akumulasi investasi tersebut akan terus berputar dan berputar. Dengan begitu tingkat velocity akan terjaga atau bahkan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah akumulasi investasi.
Jadi dapat disimpulkan investasi dalam Islam ditentukan oleh beberapa variabel yang diantaranya adalah ekspektasi keuntungan pada sebuah projek, pendapatan dan kondisi perekonomian (bukan oleh tingkat bunga yang selama ini dikenal dalam teori ekonomi konvensional[2]).
Seperti yang telah dijelaskan pada sub-bab tabungan, warga non-muslim yang memiliki kelebihan uang atau harta (idle money) tidak diberi kesempatan oleh sistem untuk bisa menanamkannya dalam pasar keuangan karena pasar tersebut tidak ada (no interest rate and speculative transaction). Pasar keuangan dalam arti konvensional tentunya. Sehingga kelebihan uang atau harta dari warga non-muslim akan mengalir pada aktifitas investasi.
Pembahasan prilaku tabungan dan investasi dalam perspektif Islam ini akan menjadi salah satu landasan dalam pendefinisian dan pengembangan sistem moneter Islam. Karena prilaku tabungan dan investasi dalam Islam jelas sekali berbeda dengan apa yang diyakini dalam ekonomi konvensional.
Menggunakan definisi dan mekanisme investasi yang telah disebutkan diatas, maka investasi menjadi sektor yang tidak kalah penting dalam perekonomian. Sector inilah yang menjelaskan bagaimana kegiatan ekonomi riil dapat bergerak melalui penyediaan instrument-instrumen investasi dan preferensi golongan pemilik modal untuk menggunakan dananya. Realisasi investasi tentu saja ditentukan oleh dua kekuatan pasar, yaitu penawaran investasi dan permintaan investasi.
Apa yang menjadi objek penawaran dan permintaan investasi? Jawaban dari pertanyaan ini menjadi sangat penting dalam memahami konsep investasi, dimana konsep ini secara berulang dan intens dibahas pada bab – bab selanjutnya dalam buku ini. Secara sederhana yang menjadi objek dari pasar investasi adalah projek – projek investasi, yang menunjukkan berapa besar realisasi aktifitas usaha yang dilakukan oleh pemilik modal untuk memproduksi barang dan jasa. Merekalah, pemilik modal, yang menjadi inisiator wujudnya usaha – usaha yang menyediakan kebutuhan atau permintaan akan barang dan jasa. Namun dalam aktifitas pasar selama ini, ternyata terdapat segolongan pelaku ekonomi yang ingin ikut secara keuangan dalam proses usaha tersebut. Bahkan tak jarang keberadaan mereka menjadi urgen menentukan perkembangan kuantitas usaha (bisnis) yang ada, disamping memang inisiator tidak mampu memenuhi skala ekonomi dan produksi yang diinginkan oleh pasar, hal ini wujud akibat nature aktifitas ekonomi yang sejak dulu tidak pernah lepas dari kerangka kerjasama yang menguntungkan melalui proses sharing baik risiko, untung maupun rugi.
Pada aplikasinya, keseimbangan keduanya kemudian akan membentuk tingkat ekspektasi keuntungan (expected return) pada pasar investasi. Keterlibatan pemilik modal (yang membentuk permintaan investasi) yang menanamkan dananya dalam projek investasi pada gilirannya akan membentuk informasi pasar tentang ekspektasi keuntungan dalam berusaha.[3]
Sedangkan dalam perspektif ekonomi Islam, investasi bukanlah melulu bercerita tentang berapa keuntungan materi yang bisa didapatkan melalui aktivitas investasi, tapi ada beberapa faktor yang mendominasi motifasi investasi dalam Islam. Pertama, akibat implementasi mekanisme zakat maka asset produktif yang dimiliki seseorang pada jumlah tertentu (memenuhi batas nisab zakat) akan selalu dikenakan zakat, sehingga hal ini akan mendorong pemiliknya untuk mengelolanya melalui investasi. Dengan demikian melalui investasi tersebut pemilik asset memiliki potensi mempertahankan jumlah dan nilai assetnya. Berdasarkan argumentasi ini, aktifitas investasi pada dasarnya lebih dekat dengan prilaku individu (investor/muzakki) atas kekayaan atau asset mereka daripada prilaku individu atas simpanan mereka. Sejalan dengan kesimpulan bahwa sebenarnya ada perbedaan yang mendasar dalam perekonomian Islam dalam membahas prilaku simpanan dan investasi, dalam Islam investasi lebih bersumber dari harta kekayaan/asset daripada simpanan yang dalam investasi dibatasi oleh definisi bagian sisa dari pendapatan setelah dikurangi oleh konsumsi.
Kedua, aktivitas investasi dilakukan lebih didasarkan pada motifasi social yaitu membantu sebagian masyarakat yang tidak memiliki modal namun memiliki kemampuan berupa keahlian (skill) dalam menjalankan usaha, baik dilakukan dengan bersyarikat (musyarakah) maupun dengan berbagi hasil (mudharabah). Jadi dapat dikatakan bahwa investasi dalam Islam bukan hanya dipengaruhi factor keuntungan materi, tapi juga sangat dipengaruhi oleh factor syariah (kepatuhan pada ketentuan syariah) dan factor sosial (kemashlahatan ummat).
Melihat praktek ekonomi kontemporer, definisi investasi cenderung meluas dari definisi orisinilnya. Definisi investasi kini juga digunakan dalam menggambarkan aktivitas penanaman sejumlah capital dalam pasar keuangan konvensional, dimana aktivitasnya berbeda jauh dengan maksud yang terkandung dalam kata investasi itu sendiri yang biasa digunakan dalam sector riil.[1]
Masuk pada makna investasi di sector keuangan tentu aktivitas ini lebih dekat dengan motivasi spekulasi dan capital gain. Prilaku investasi seperti ini tentu akan memberikan wajah atau corak ekonomi yang berbeda, bahkan konsekwensi terhadap interaksi dalam mekanisme ekonomi juga akan sangat berbeda dengan sistem ekonomi non-spekulasi (syariah). Dan yang pasti teori-teori yang terbangun dari analisa prilaku dan kecenderungan dalam mekanisme perekonomian konvensional tentu akan berbeda dengan perekonomian Islam (atau bahkan bertolak belakang). Jadi perlu ditegaskan kembali, bahwa dalam perekonomian Islam spekulasi dalam segala bentuknya atau menanamkan dana atas motif profit atau return dalam bentuk bunga (interest rate) bukanlah investasi!
Selanjutnya melihat segmentasi masyarakat Islam, maka golongan masyarakat yang aktif melakukan aktifitas investasi adalah golongan masyarakat muzakki. Golongan masyarakat ini memiliki potensi melakukan investasi akibat sumber daya ekonominya berlebih setelah memenuhi kebutuhan dasar dan kebutuhan untuk berjaga-jaga. Investasi ini tentu akumulasi dan perannya dalam perekonomian secara makro sangat besar. Dengan berfungsinya sistem zakat dan dilarangnya riba serta spekulasi, maka akumulasi dana besar yang dimiliki oleh golongan muzakki akan ditransfer menjadi investasi, sebagai reaksi untuk menghindari risiko berkurangnya harta mereka akibat kewajiban zakat dan motif ingin menjaga atau bahkan menambah jumlah kekayaan (harta) para muzakki. Berarti akumulasi investasi tersebut akan terus berputar dan berputar. Dengan begitu tingkat velocity akan terjaga atau bahkan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah akumulasi investasi.
Jadi dapat disimpulkan investasi dalam Islam ditentukan oleh beberapa variabel yang diantaranya adalah ekspektasi keuntungan pada sebuah projek, pendapatan dan kondisi perekonomian (bukan oleh tingkat bunga yang selama ini dikenal dalam teori ekonomi konvensional[2]).
Seperti yang telah dijelaskan pada sub-bab tabungan, warga non-muslim yang memiliki kelebihan uang atau harta (idle money) tidak diberi kesempatan oleh sistem untuk bisa menanamkannya dalam pasar keuangan karena pasar tersebut tidak ada (no interest rate and speculative transaction). Pasar keuangan dalam arti konvensional tentunya. Sehingga kelebihan uang atau harta dari warga non-muslim akan mengalir pada aktifitas investasi.
Pembahasan prilaku tabungan dan investasi dalam perspektif Islam ini akan menjadi salah satu landasan dalam pendefinisian dan pengembangan sistem moneter Islam. Karena prilaku tabungan dan investasi dalam Islam jelas sekali berbeda dengan apa yang diyakini dalam ekonomi konvensional.
Menggunakan definisi dan mekanisme investasi yang telah disebutkan diatas, maka investasi menjadi sektor yang tidak kalah penting dalam perekonomian. Sector inilah yang menjelaskan bagaimana kegiatan ekonomi riil dapat bergerak melalui penyediaan instrument-instrumen investasi dan preferensi golongan pemilik modal untuk menggunakan dananya. Realisasi investasi tentu saja ditentukan oleh dua kekuatan pasar, yaitu penawaran investasi dan permintaan investasi.
Apa yang menjadi objek penawaran dan permintaan investasi? Jawaban dari pertanyaan ini menjadi sangat penting dalam memahami konsep investasi, dimana konsep ini secara berulang dan intens dibahas pada bab – bab selanjutnya dalam buku ini. Secara sederhana yang menjadi objek dari pasar investasi adalah projek – projek investasi, yang menunjukkan berapa besar realisasi aktifitas usaha yang dilakukan oleh pemilik modal untuk memproduksi barang dan jasa. Merekalah, pemilik modal, yang menjadi inisiator wujudnya usaha – usaha yang menyediakan kebutuhan atau permintaan akan barang dan jasa. Namun dalam aktifitas pasar selama ini, ternyata terdapat segolongan pelaku ekonomi yang ingin ikut secara keuangan dalam proses usaha tersebut. Bahkan tak jarang keberadaan mereka menjadi urgen menentukan perkembangan kuantitas usaha (bisnis) yang ada, disamping memang inisiator tidak mampu memenuhi skala ekonomi dan produksi yang diinginkan oleh pasar, hal ini wujud akibat nature aktifitas ekonomi yang sejak dulu tidak pernah lepas dari kerangka kerjasama yang menguntungkan melalui proses sharing baik risiko, untung maupun rugi.
Pada aplikasinya, keseimbangan keduanya kemudian akan membentuk tingkat ekspektasi keuntungan (expected return) pada pasar investasi. Keterlibatan pemilik modal (yang membentuk permintaan investasi) yang menanamkan dananya dalam projek investasi pada gilirannya akan membentuk informasi pasar tentang ekspektasi keuntungan dalam berusaha.[3]
[1] Dalam aplikasi investasi sector riil konvensional juga lazimnya memang berbeda dengan aplikasi syariah. Di konvensional aktifitas investasi lekat dengan konsep bunga dimana setiap investasi yang terjadi diasumsikan selalu berakhir untung (positif). Investasi konvensional tidak mengakomodasi kemungkinan rugi. Berbeda dengan syariah, system ini menggunakan konsep bagi hasil dimana asumsi dasarnya adalah kefitrahan usaha yang dapat untung dan dapat pula rugi.
[2] Hubungan investasi dengan tingkat bunga ini bukannya tak memiliki kelemahan, fungsi I = Io – gi sudah banyak dianalisa dan diungkapkan kelemahan-kelemahannya oleh pakar-pakar ekonomi konvensional itu sendiri. Dan bahkan beberapa pakar memiliki bukti empiris atau kesimpulan dalam beberapa artikel ilmiah mereka bahwa hubungan investasi dan tingkat bunga sangatlah lemah.
[3] Perlu diakui bahwa konsep pasar investasi ini perlu dikaji lebih mendalam relevansi dan kemapanan teorinya, namun penulis mengharapkan konsep ini mampu menjadi referensi pengembangan selanjutnya atau bahkan menjelaskan beberapa hal dalam hipotesa – hipotesa fenomena ekonomi Islam, baik prilaku ekonomi pada skala mikro maupun kecenderungan system pada skala makro.
[2] Hubungan investasi dengan tingkat bunga ini bukannya tak memiliki kelemahan, fungsi I = Io – gi sudah banyak dianalisa dan diungkapkan kelemahan-kelemahannya oleh pakar-pakar ekonomi konvensional itu sendiri. Dan bahkan beberapa pakar memiliki bukti empiris atau kesimpulan dalam beberapa artikel ilmiah mereka bahwa hubungan investasi dan tingkat bunga sangatlah lemah.
[3] Perlu diakui bahwa konsep pasar investasi ini perlu dikaji lebih mendalam relevansi dan kemapanan teorinya, namun penulis mengharapkan konsep ini mampu menjadi referensi pengembangan selanjutnya atau bahkan menjelaskan beberapa hal dalam hipotesa – hipotesa fenomena ekonomi Islam, baik prilaku ekonomi pada skala mikro maupun kecenderungan system pada skala makro.
Penawaran projek investasi dalam perspektif Islam secara garis besar bersumber dari investasi yang inisiatifnya berasal dari sektor swasta (Ip), pemerintah (Ig) dan social (Iso). Dari sector swasta, pelaku ekonomi akan memulai usaha dengan ekspektasi keuntungan yang mereka perhitungkan pada masa yang akan datang. Berapapun tingkat ekspektasi keuntungan sepanjang keuntungan tersebut tidak negative (≥ 0), maka seorang pengusaha akan melakukan usaha bisnis. Dengan kata lain inisiatif atau preferensi usaha seorang pelaku bisnis tidak terpaku pada tingkat keuntungan tertentu.[1] Disamping itu ada juga investasi yang ditawarkan oleh pemerintah (Ig), dengan karakteristik investasi yang lebih pada pembangunan infrastruktur atau fasilitas – fasilitas publik. Atau tidak jarang pada investasi di sektor-sektor sumber daya ekonomi yang vital bagi negara, seperti minyak dan gas bumi, pembangkit listrik, informasi dan lain-lain. Selain itu investasi juga dapat berasal dari masyarakat itu sendiri melalui mekanisme sosial Islam (Iso). Dalam hal ini instrumen sosial Islam yang sangat lekat dengan investasi sosial adalah instrumen wakaf. Peran dan fungsi wakaf secara umum adalah sebagai sumber investasi sosial bagi masyarakat. Investasi sosial tersebut meliputi pengadaan pelayanan medis (klinik, puskesmas, obat murah dan lain-lain), tempat ibadah, jembatan, sekolah dan lain sebagainya. Keberadaan wakaf betul-betul merupakan inisiatif masyarakat yang sangat erat hubungannya dengan tingkat keimanan masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, penawaran investasi dapat digambarkan dengan menggunakan model investasi sebagai berikut:
Is = Ip + Ig + Iso
Penawaran investasi ini bersifat autonomous, dimana besarnya relatif tidak tergantung pada keuntungan ekspektasi (expected return – Er). Hal ini mengakibatkan gambaran kurva penawaran investasi menjadi vertikal, yang bermakna berapapun perubahan ekspektasi keuntungan tidak membuat jumlah penawaran investasi berubah. Jumlah penawaran investasi lebih disebabkan inisiatif pelakunya yaitu pelaku bisnis, pemerintah dan sektor sosial.
Sementara itu permintaan investasi cenderung terdiri atas dua komponen. Yang pertama komponen investasi autonomous (Io) yang tidak tergantung pada variabel lain, boleh jadi komponen ini ada akibat preferensi investor untuk berinvestasi dengan motif bersifat individual (keinginan diri sendiri - Iriil) dan sosial (amal shaleh – Iamal shaleh). Permintaan akan investasi sosial ini pula yang kemudian menimbulkan respon adanya penawaran projek – projek investasi bersifat sosial.
Sedangkan yang kedua investasi yang tergantung pada besar kecilnya ekspektasi keuntungan. Investasi ini muncul disebabkan oleh kecenderungan pemilik modal ingin mempertahankan (termasuk menambah) tingkat kekayaan yang mereka miliki, karena pada tingkat kekayaan tertentu para investor yang notabene adalah muzakki akan terekspose oleh risiko zakat. Artinya zakat akan mengurangi jumlah kekayaan mereka ketika kekayaan mereka mencapai atau melebihi jumlah tertentu (nishab). Oleh sebab itu, sebagai tindakan balik dalam rangka mempertahankan tingkat kekayaanya, maka seorang investor/muzakki memiliki pilihan yaitu memberdayakan kekayaannya untuk memperoleh keuntungan atau menambah kekayaan mereka. Dalam perspektif lain penggunaan kekayaan investor/muzakki sebenarnya adalah membuka peluang individu lain untuk memperoleh manfaat dari kekayaan mereka. Seperti mereka yang tidak memiliki modal tapi memiliki keahlian dalam berbagai usaha bisnis atau ekonomi. Dengan demikian, model permintaan investasi dapat digambarkan dengan persamaan sebagai berikut:
Id = Io + h(Er)
Dimana:
h = sensitifitas permintaan terhadap Er
Io = kW + lW; k + l = 1, atau
Io = Iriil + Iamal shaleh
Dimana:
Iriil = kW
Iamal Shaleh = lW
k = bagian kekayaan yang diinvestasikan bermotif pribadi
l = bagian kekayaan yang diinvestasikan bermotif sosial
W = kekayaan (Wealth)
Pada sisi permintaan investasi, keikutsertaannya kelompok pemilik modal tergantung pada keberadaan usaha yang telah ada dipasar, dimana mereka menempatkan sebagian modalnya (uang) pada usaha yang ada, sehingga besar – kecil jumlah investasi atau penanaman modal mereka pada projek investasi tergantung pada besar – kecil ekspektasi keuntungan yang ada. Semakin besar ekspektasi keuntungan, maka akan semakin besar permintaan terhadap projek investasi tersebut. Begitu juga sebaliknya, jika ekspektasi keuntungan kecil, maka permintaan projek investasi pun akan turun. Seberapa besar penurunan permintaan investasi sangat tergantung pada tingkat sensitifitas permintaan tersebut terhadap pergerakan naik – turunnya ekspektasi keuntungan (h).
Dari interaksi keduanya, keseimbangan antara permintaan dan penawaran investasi membentuk atau menentukan ekspektasi keuntungan dipasar (investasi). Dari aktifitas investasi inilah kemudian mampu menjelaskan dukungan sektor ini terhadap aktifitas ekonomi riil di pasar barang dan jasa. Oleh karena aktifitas investasi merupakan aktivitas dominan dalam pasar modern saat ini, akan sangat beralasan memasukkan sektor ini dalam penjelasan keseimbangan umum ekonomi Islam. Pada bab – bab selanjutnya pembahasan sektor investasi ini akan semakin detil dijabarkan. Karena membahas sektor keuangan Islam tidak mungkin dijelaskan menggunakan model seperti apa yang konvensional miliki, sehingga diperlukan model yang yang sejalan dengan nilai-nilai moral dan ketentuan – ketentuan hukum syariah Islam.
Nilai – nilai moral berikut ketentuan – ketentuan hukum syariah Islam dapat dilihat modelnya atau realisasinya jika ia diwujudkan dalam prilaku – prilaku ekonomi. Dan sebenarnya proses memadankan prilaku ekonomi manusia dengan nilai moral dan ketentuan hukum syariah Islam inilah yang merupakan titik krusial dalam teori prilaku ekonomi Islam. Proses tersebut bahkan sewajarnya menjadi asumsi dasar atas bangunan teori ekonomi Islam.
Is = Ip + Ig + Iso
Penawaran investasi ini bersifat autonomous, dimana besarnya relatif tidak tergantung pada keuntungan ekspektasi (expected return – Er). Hal ini mengakibatkan gambaran kurva penawaran investasi menjadi vertikal, yang bermakna berapapun perubahan ekspektasi keuntungan tidak membuat jumlah penawaran investasi berubah. Jumlah penawaran investasi lebih disebabkan inisiatif pelakunya yaitu pelaku bisnis, pemerintah dan sektor sosial.
Sementara itu permintaan investasi cenderung terdiri atas dua komponen. Yang pertama komponen investasi autonomous (Io) yang tidak tergantung pada variabel lain, boleh jadi komponen ini ada akibat preferensi investor untuk berinvestasi dengan motif bersifat individual (keinginan diri sendiri - Iriil) dan sosial (amal shaleh – Iamal shaleh). Permintaan akan investasi sosial ini pula yang kemudian menimbulkan respon adanya penawaran projek – projek investasi bersifat sosial.
Sedangkan yang kedua investasi yang tergantung pada besar kecilnya ekspektasi keuntungan. Investasi ini muncul disebabkan oleh kecenderungan pemilik modal ingin mempertahankan (termasuk menambah) tingkat kekayaan yang mereka miliki, karena pada tingkat kekayaan tertentu para investor yang notabene adalah muzakki akan terekspose oleh risiko zakat. Artinya zakat akan mengurangi jumlah kekayaan mereka ketika kekayaan mereka mencapai atau melebihi jumlah tertentu (nishab). Oleh sebab itu, sebagai tindakan balik dalam rangka mempertahankan tingkat kekayaanya, maka seorang investor/muzakki memiliki pilihan yaitu memberdayakan kekayaannya untuk memperoleh keuntungan atau menambah kekayaan mereka. Dalam perspektif lain penggunaan kekayaan investor/muzakki sebenarnya adalah membuka peluang individu lain untuk memperoleh manfaat dari kekayaan mereka. Seperti mereka yang tidak memiliki modal tapi memiliki keahlian dalam berbagai usaha bisnis atau ekonomi. Dengan demikian, model permintaan investasi dapat digambarkan dengan persamaan sebagai berikut:
Id = Io + h(Er)
Dimana:
h = sensitifitas permintaan terhadap Er
Io = kW + lW; k + l = 1, atau
Io = Iriil + Iamal shaleh
Dimana:
Iriil = kW
Iamal Shaleh = lW
k = bagian kekayaan yang diinvestasikan bermotif pribadi
l = bagian kekayaan yang diinvestasikan bermotif sosial
W = kekayaan (Wealth)
Pada sisi permintaan investasi, keikutsertaannya kelompok pemilik modal tergantung pada keberadaan usaha yang telah ada dipasar, dimana mereka menempatkan sebagian modalnya (uang) pada usaha yang ada, sehingga besar – kecil jumlah investasi atau penanaman modal mereka pada projek investasi tergantung pada besar – kecil ekspektasi keuntungan yang ada. Semakin besar ekspektasi keuntungan, maka akan semakin besar permintaan terhadap projek investasi tersebut. Begitu juga sebaliknya, jika ekspektasi keuntungan kecil, maka permintaan projek investasi pun akan turun. Seberapa besar penurunan permintaan investasi sangat tergantung pada tingkat sensitifitas permintaan tersebut terhadap pergerakan naik – turunnya ekspektasi keuntungan (h).
Dari interaksi keduanya, keseimbangan antara permintaan dan penawaran investasi membentuk atau menentukan ekspektasi keuntungan dipasar (investasi). Dari aktifitas investasi inilah kemudian mampu menjelaskan dukungan sektor ini terhadap aktifitas ekonomi riil di pasar barang dan jasa. Oleh karena aktifitas investasi merupakan aktivitas dominan dalam pasar modern saat ini, akan sangat beralasan memasukkan sektor ini dalam penjelasan keseimbangan umum ekonomi Islam. Pada bab – bab selanjutnya pembahasan sektor investasi ini akan semakin detil dijabarkan. Karena membahas sektor keuangan Islam tidak mungkin dijelaskan menggunakan model seperti apa yang konvensional miliki, sehingga diperlukan model yang yang sejalan dengan nilai-nilai moral dan ketentuan – ketentuan hukum syariah Islam.
Nilai – nilai moral berikut ketentuan – ketentuan hukum syariah Islam dapat dilihat modelnya atau realisasinya jika ia diwujudkan dalam prilaku – prilaku ekonomi. Dan sebenarnya proses memadankan prilaku ekonomi manusia dengan nilai moral dan ketentuan hukum syariah Islam inilah yang merupakan titik krusial dalam teori prilaku ekonomi Islam. Proses tersebut bahkan sewajarnya menjadi asumsi dasar atas bangunan teori ekonomi Islam.
[1] Hal ini terjadi juga atas asumsi bahwa individu yang memahami nilai – nilai Islam melakukan inisiatif usaha, selain mempertimbangkan tingkat keuntungan tapi juga melihat kemashlahatan yang bias diberikan kepada individu lain disekitarnya. Mungkin dengan tingkat keuntungan sama dengan 0 pun seorang pelaku bisnis akan memulai usahanya jika pada saat yang sama ia merasa akan banyak keuntungan yang diambil oleh lingkungannya.
Konsep Tabungan dalam Islam
Tabungan dalam Islam jelas merupakan sebuah konsekwensi atau respon dari prinsip ekonomi Islam dan nilai moral Islam, yang menyebutkan bahwa manusia haruslah hidup hemat dan tidak bermewah-mewah serta mereka (diri sendiri dan keturunannya) dianjurkan ada dalam kondisi yang tidak fakir.[1] Jadi dapat dikatakan bahwa motifasi utama orang menabung disini adalah nilai moral hidup sederhana (hidup hemat) dan keutamaan tidak fakir.
Dalam bahasan tabungan pada ilmu ekonomi konvensional, dijelaskan bahwa tabungan merupakan selisih dari pendapatan dan konsumsi. Tanpa dijelaskan secara detil apa yang menjadi motifasi dari tabungan tersebut. Dalam teori konvensional ini, relatif terlihat bahwa tabungan merupakan sebuah konsekwensi dari pendapatan yang tidak digunakan. Sehingga fungsi tambahan menabung atau kecenderungan menabung marjinal (marginal propensity to save; MPS) menjadi MPS = 1 – MPC, dimana MPC merupakan kecenderungan mengkonsumsi marjinal (marginal propensity to consume) dari seorang individu.
Penjelasan kecenderungan tabungan ini juga disinggung dalam bahasan teori permintaan uang (money demand). Kita ketahui bahwa dalam wacana konvensional permintaan uang memiliki tiga motif utama, yaitu motif transaksi (transaction), motif berjaga-jaga (precautionary) dan motif spekulasi (speculation). Dalam Islam motif spekulasi tidak diakui, karena aktivitas ekonomi berupa spekulasi (maisir) dilarang secara syariah. Sehingga motif yang ada untuk memegang uang hanyalah motif untuk transaksi dan berjaga-jaga, atau dengan kata lain motif untuk konsumsi (memenuhi kebutuhan) dan menabung.
Tingkat tabungan dari seorang individu dalam teori Islam juga tidak terlepas dari pertimbangan kemashlahatan ummat secara keseluruhan. Pada kondisi tertentu dimana masyarakat begitu membutuhkan harta atau dana, maka individu yang memiliki dana lebih, akan mengurangi tingkat tabungannya atau lebih tepatnya mengurangi tingkat kekayaannya untuk membantu masyarakat yang kekurangan. Mekanisme ini dapat berupa mekanisme sukarela atau mekanisme yang mengikat, artinya negara memiliki wewenang dalam memaksa individu yang berkecukupan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan, dengan mengenakan pajak khusus atau dikenal dengan nawaib[2] pada masyarakat golongan kaya. Dengan demikian tingkat tabungan dalam Islam memiliki korelasi yang kuat dengan kondisi ekonomi.
Bagaimana hubungan tingkat tabungan ini dengan tingkat investasi dalam sebuah perekonomian Islam? Tabungan dalam ekonomi Islam tidak begitu kuat dihubungkan dengan investasi. Karena ketika tabungan dimotifasi oleh alasan berjaga-jaga, hidup hemat dan sederhana, maka tidak relevan akumulasi tabungan ini kemudian digunakan untuk investasi yang mekanismenya dalam Islam menggunakan skema bagi-hasil yang memiliki risiko rugi. Risiko yang dimiliki investasi bagi hasil tidak begitu sinkron dengan alasan para pemilik uang untuk menahan uangnya berupa tabungan. Meskipun hubungan itu akhirnya terjadi akibat mekanisme perbankan syariah saat ini yang menggunakan benchmark konvensional, dimana pos tabungan berjaga-jaga masyarakat dapat digunakan oleh bank pada sisi pembiayaannya, konsekwensinya pada sisi pendanaan bank syariah memberikan bonus kepada para nasabah tabungan yang bermotif berjaga-jaga tersebut. Selain itu, berdasarkan motif dan realita masyarakat Islam seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan konsumsi dan permintaan, bahwa masyarakat Islam terdiri atas masyarakat muzakki, mid-income dan mustahik, dapat disimpulkan bahwa mereka yang aktif dalam menabung adalah mereka yang masuk dalam golongan muzakki dan mid-income. Dan akumulasi tabungan secara teori akan relatif kecil jika dibandingkan akumulasi investasi, yang berarti juga peran tabungan dalam perekonomian akan relatif kecil. Dengan demikian tabungan tergantung pada besarnya pendapatan yang porsinya ditentukan oleh kebutuhan berjaga-jaganya. Dan ini perlu dirumuskan lebih spesifik untuk dapat mengkalkulasikan posisi dan peran tabungan dalam perekonomian.
Sementara itu apa yang diyakini dalam konvensional bahwa tabungan atau excess income yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang akan menjadi ”potensi investasi” dapat saja dibenarkan dalam Islam, sepanjang memang kebutuhan mereka pada konsumsi pokok dan motif berjaga-jaga telah terpenuhi. Walaupun begitu menyebutkan kelebihan tersebut sebagai tabungan juga mungkin kurang tepat, karena memang ada intensi dari si pemilik untuk menggunakan kelebihan tersebut sebagai modal untuk men-generate keuntungan selanjutnya (investasi)[3]. Sehingga tabungan jenis ini merupakan potensi investasi yang harus menjadi perhatian para regulator dalam rangka membuat sebuah kebijakan, baik di sektor riil maupun di sektor moneter. Secara sederhana para regulator harus memastikan tersedianya usaha-usaha ekonomi atau produk keuangan syariah yang mampu menyerap ”potensi investasi”, sehingga waktu memegang uang oleh setiap pemilik dana akan ditekan seminimal mungkin. Dengan kata lain penyediaan regulasi berupa peluang usaha atau produk-produk keuangan syariah akan semakin meningkatkan velocity dalam perekonomian. Dengan demikian perhatian regulasi moneter tidak tertuju pada konsep money supply seperti yang dianut konvensional, tapi lebih pada velocity perekonomian.
Hubungan tabungan dan investasi dalam perekonomian Islam yang khas ini memang berbeda dengan apa yang dimiliki oleh konvensional. Sehingga perlu sebuah konsep pendekatan analisa ekonomi yang mampu memberikan penjelasan yang cukup tepat tentang posisi serta hubungan tabungan dan investasi dalam sistem ekonomi Islam, juga peran keduanya dalam memajukan kesejahteraan ekonomi.
Selain itu, satu hal yang juga patut mendapat perhatian adalah prilaku menabung dari masyarakat non-muslim dimana mereka tidak terekspos oleh risiko zakat. Dalam sebuah negara yang menerapkan sistem ekonomi Islam, masyarakat non-muslim akan juga memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga muslim namun dalam bentuk yang berbeda. Perlindungan kebutuhan dasar dan hak-hak sipil lainnya tak berbeda dengan warga muslim, tapi mereka juga dikenakan kewajiban membayar kharaj (pajak tanah) dan jizyah (pajak individu) layaknya muslim membayarkan kewajibannya berupa zakat. Dengan begitu warga non-muslim juga menghadapi risiko harta idle-nya berkurang, sehingga menabung akan juga tetap terjaga pada porsi yang sama dengan tabungan warga muslim dengan motif berjaga-jaga. Sementara kelebihan uang atau harta warga non-muslim akan ”dipaksa” untuk masuk dalam mekanisme investasi yang sebenarnya. Yaitu investasi yang berkaitan dengan usaha produktif di sektor riil.
[1] Kondisi dimana diyakini akan meningkatkan potensi manusia untuk berbuat hal-hal yang tidak sesuai dengan akidah dan akhlak Islam (kufur).
[2] Pajak ini sifatnya kondisional atau berlaku sementara, artinya diberlakukan sepanjang kondisi masyarakat memerlukan pajak ini. Ketika kondisi ekonomi sudah membaik, maka pajak ini pun tidak lagi dipungut. Lihat M. Nejatullah Siddiqi, Role of the State in the Economy: An Islamic Perspective, The Islamic Foundation, Leicester UK, 1996.
[3] Definisi tabungan disini bermakna dua; pertama tabungan yang ditujukan untuk berjaga-jaga dan tabungan yang ditujukan untuk investasi. Tentu saja investasi yang produktif, bukan investasi dalam makna luas yang dilakukan oleh konvensional, dimana aktivitas spekulasi masuk dalam definisi investasi ini.
Dalam bahasan tabungan pada ilmu ekonomi konvensional, dijelaskan bahwa tabungan merupakan selisih dari pendapatan dan konsumsi. Tanpa dijelaskan secara detil apa yang menjadi motifasi dari tabungan tersebut. Dalam teori konvensional ini, relatif terlihat bahwa tabungan merupakan sebuah konsekwensi dari pendapatan yang tidak digunakan. Sehingga fungsi tambahan menabung atau kecenderungan menabung marjinal (marginal propensity to save; MPS) menjadi MPS = 1 – MPC, dimana MPC merupakan kecenderungan mengkonsumsi marjinal (marginal propensity to consume) dari seorang individu.
Penjelasan kecenderungan tabungan ini juga disinggung dalam bahasan teori permintaan uang (money demand). Kita ketahui bahwa dalam wacana konvensional permintaan uang memiliki tiga motif utama, yaitu motif transaksi (transaction), motif berjaga-jaga (precautionary) dan motif spekulasi (speculation). Dalam Islam motif spekulasi tidak diakui, karena aktivitas ekonomi berupa spekulasi (maisir) dilarang secara syariah. Sehingga motif yang ada untuk memegang uang hanyalah motif untuk transaksi dan berjaga-jaga, atau dengan kata lain motif untuk konsumsi (memenuhi kebutuhan) dan menabung.
Tingkat tabungan dari seorang individu dalam teori Islam juga tidak terlepas dari pertimbangan kemashlahatan ummat secara keseluruhan. Pada kondisi tertentu dimana masyarakat begitu membutuhkan harta atau dana, maka individu yang memiliki dana lebih, akan mengurangi tingkat tabungannya atau lebih tepatnya mengurangi tingkat kekayaannya untuk membantu masyarakat yang kekurangan. Mekanisme ini dapat berupa mekanisme sukarela atau mekanisme yang mengikat, artinya negara memiliki wewenang dalam memaksa individu yang berkecukupan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan, dengan mengenakan pajak khusus atau dikenal dengan nawaib[2] pada masyarakat golongan kaya. Dengan demikian tingkat tabungan dalam Islam memiliki korelasi yang kuat dengan kondisi ekonomi.
Bagaimana hubungan tingkat tabungan ini dengan tingkat investasi dalam sebuah perekonomian Islam? Tabungan dalam ekonomi Islam tidak begitu kuat dihubungkan dengan investasi. Karena ketika tabungan dimotifasi oleh alasan berjaga-jaga, hidup hemat dan sederhana, maka tidak relevan akumulasi tabungan ini kemudian digunakan untuk investasi yang mekanismenya dalam Islam menggunakan skema bagi-hasil yang memiliki risiko rugi. Risiko yang dimiliki investasi bagi hasil tidak begitu sinkron dengan alasan para pemilik uang untuk menahan uangnya berupa tabungan. Meskipun hubungan itu akhirnya terjadi akibat mekanisme perbankan syariah saat ini yang menggunakan benchmark konvensional, dimana pos tabungan berjaga-jaga masyarakat dapat digunakan oleh bank pada sisi pembiayaannya, konsekwensinya pada sisi pendanaan bank syariah memberikan bonus kepada para nasabah tabungan yang bermotif berjaga-jaga tersebut. Selain itu, berdasarkan motif dan realita masyarakat Islam seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan konsumsi dan permintaan, bahwa masyarakat Islam terdiri atas masyarakat muzakki, mid-income dan mustahik, dapat disimpulkan bahwa mereka yang aktif dalam menabung adalah mereka yang masuk dalam golongan muzakki dan mid-income. Dan akumulasi tabungan secara teori akan relatif kecil jika dibandingkan akumulasi investasi, yang berarti juga peran tabungan dalam perekonomian akan relatif kecil. Dengan demikian tabungan tergantung pada besarnya pendapatan yang porsinya ditentukan oleh kebutuhan berjaga-jaganya. Dan ini perlu dirumuskan lebih spesifik untuk dapat mengkalkulasikan posisi dan peran tabungan dalam perekonomian.
Sementara itu apa yang diyakini dalam konvensional bahwa tabungan atau excess income yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang akan menjadi ”potensi investasi” dapat saja dibenarkan dalam Islam, sepanjang memang kebutuhan mereka pada konsumsi pokok dan motif berjaga-jaga telah terpenuhi. Walaupun begitu menyebutkan kelebihan tersebut sebagai tabungan juga mungkin kurang tepat, karena memang ada intensi dari si pemilik untuk menggunakan kelebihan tersebut sebagai modal untuk men-generate keuntungan selanjutnya (investasi)[3]. Sehingga tabungan jenis ini merupakan potensi investasi yang harus menjadi perhatian para regulator dalam rangka membuat sebuah kebijakan, baik di sektor riil maupun di sektor moneter. Secara sederhana para regulator harus memastikan tersedianya usaha-usaha ekonomi atau produk keuangan syariah yang mampu menyerap ”potensi investasi”, sehingga waktu memegang uang oleh setiap pemilik dana akan ditekan seminimal mungkin. Dengan kata lain penyediaan regulasi berupa peluang usaha atau produk-produk keuangan syariah akan semakin meningkatkan velocity dalam perekonomian. Dengan demikian perhatian regulasi moneter tidak tertuju pada konsep money supply seperti yang dianut konvensional, tapi lebih pada velocity perekonomian.
Hubungan tabungan dan investasi dalam perekonomian Islam yang khas ini memang berbeda dengan apa yang dimiliki oleh konvensional. Sehingga perlu sebuah konsep pendekatan analisa ekonomi yang mampu memberikan penjelasan yang cukup tepat tentang posisi serta hubungan tabungan dan investasi dalam sistem ekonomi Islam, juga peran keduanya dalam memajukan kesejahteraan ekonomi.
Selain itu, satu hal yang juga patut mendapat perhatian adalah prilaku menabung dari masyarakat non-muslim dimana mereka tidak terekspos oleh risiko zakat. Dalam sebuah negara yang menerapkan sistem ekonomi Islam, masyarakat non-muslim akan juga memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga muslim namun dalam bentuk yang berbeda. Perlindungan kebutuhan dasar dan hak-hak sipil lainnya tak berbeda dengan warga muslim, tapi mereka juga dikenakan kewajiban membayar kharaj (pajak tanah) dan jizyah (pajak individu) layaknya muslim membayarkan kewajibannya berupa zakat. Dengan begitu warga non-muslim juga menghadapi risiko harta idle-nya berkurang, sehingga menabung akan juga tetap terjaga pada porsi yang sama dengan tabungan warga muslim dengan motif berjaga-jaga. Sementara kelebihan uang atau harta warga non-muslim akan ”dipaksa” untuk masuk dalam mekanisme investasi yang sebenarnya. Yaitu investasi yang berkaitan dengan usaha produktif di sektor riil.
[1] Kondisi dimana diyakini akan meningkatkan potensi manusia untuk berbuat hal-hal yang tidak sesuai dengan akidah dan akhlak Islam (kufur).
[2] Pajak ini sifatnya kondisional atau berlaku sementara, artinya diberlakukan sepanjang kondisi masyarakat memerlukan pajak ini. Ketika kondisi ekonomi sudah membaik, maka pajak ini pun tidak lagi dipungut. Lihat M. Nejatullah Siddiqi, Role of the State in the Economy: An Islamic Perspective, The Islamic Foundation, Leicester UK, 1996.
[3] Definisi tabungan disini bermakna dua; pertama tabungan yang ditujukan untuk berjaga-jaga dan tabungan yang ditujukan untuk investasi. Tentu saja investasi yang produktif, bukan investasi dalam makna luas yang dilakukan oleh konvensional, dimana aktivitas spekulasi masuk dalam definisi investasi ini.
Rabu, 19 September 2007
CAPITALISM BEHAVIOR
Self-Interest =
Egoism = Utilitarianism = Individualism
= Materialism = Rationalism
= CAPITALISM
Disarikan dari
Spencer J. Pack (1999)
F.Y Edgeworth (1881)
Adam Smith (1776)
Jeremy Bentham (1748-1823)
Spencer J. Pack (1999)
F.Y Edgeworth (1881)
Adam Smith (1776)
Jeremy Bentham (1748-1823)
Selasa, 18 September 2007
Selasa, 11 September 2007
Baitul Mal dalam Keuangan Publik
Insitusi Baitul Mal
Baitul mal merupakan institusi yang dominan dalam perekonomian Islam. Institusi ini secara jelas merupakan entitas yang berbeda dengan penguasa atau pemimpin negara. Namun keterkaitannya sangatlah kuat, karena institusi Baitul Mal merupakan institusi yang menjalankan fungsi-fungsi ekonomi dan sosial dari sebuah negara Islam. Dalam banyak literatur sejarah peradaban dan ekonomi Islam klasik, mekanisme Baitul Mal selalu tidak dilepaskan dari fungsi khalifah sebagai kepala negara. Artinya berbagai keputusan yang menyangkut baitul mal dan segala kebijakan institusi tersebut secara dominan dilakukan oleh khalifah.
Fungsi dan eksistensi Baitul Mal secara jelas telah banyak diungkapkan baik pada masa Rasulullah SAW maupun pada masa kekhalifahan setelah Beliau wafat. Namun secara konkrit pelembagaan Baitul Mal baru dilakukan pada masa Umar Bin Khattab, ketika kebijakan pendistribusian dana yang terkumpul mengalami perubahan. Lembaga Baitul Mal itu berpusat di ibukota Madinah dan memiliki cabang di profinsi-profinsi wilayah Islam.[1]
Seperti yang telah diketahui, pada masa Rasulullah SAW hingga kepemimpinan Abu Bakar, pengumpulan dan pendistribusian dana zakat serta pungutan-pungutan lainnya dilakukan secara serentak. Artinya pendistribusian dana tersebut langsung dilakukan setelah pengumpulan, sehingga para petugas Baitul Mal selesai melaksanakan tugasnya tidak membawa sisa dana untuk disimpan. Sedangkan pada masa Umar Bin Khattab, pengumpulan dana ternyata begitu besar sehingga diambil keputusan untuk menyimpan untuk keperluan darurat. Dengan keputusan tersebut, maka Baitul Mal secara resmi dilembagakan, dengan maksud awal untuk pengelolaan dana tersebut.
Dari penjelasan bab-bab sebelumnya telah dijabarkan peran dan fungsi lembaga Baitul Mal sebagai bendahara negara (dalam konteks perekonomian modern, lembaga ini dikenal dengan Departemen Keuangan – treasury house of the state) secara panjang lebar. Fungsi Baitul Mal pada hakikatnya mengelola keuangan negara menggunakan akumulasi dana yang berasal dari pos-pos penerimaan seperti Zakat, Kharaj, Jizyah, Khums, Fay’, dan lain-lain, dan dimanfaatkan untuk melaksanakan program-program pembangunan ekonomi, sosial, pertahanan, keamanan, penyebaran fikrah Islam melalui diplomasi luar negeri dan semua program pembangunan yang menjadi kebutuhan negara.
Eksistensi lembaga Baitul Mal pada awalnya merupakan konsekwensi profesionalitas manajemen yang dilakukan pengelola zakat (amil). Namun ia juga merefleksikan ruang lingkup Islam, dimana Islam didefinisikan juga sebagai agama dan pemerintahan, qur’an dan kekuasaan, sehingga Baitul Mal menjadi salah satu komponen yang menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan dan kekuasaan dari negara.[2] Jadi ketika juga negara harus mengelola penerimaan-penerimaan negara baik yang diatur oleh syariah maupun yang didapat berdasarkan kondisi pada saat itu, negara membutuhkan lembaga yang menghimpun, mengelola dan mendistribusikan akumulasi dana negara tersebut untuk kepentingan negara, baik penggunaan yang memang diatur oleh syariah atau juga yang merupakan prioritas pembangunan ketika itu. Lebih lengkapnya penggunaan dana-dana yang terkumpul dalam Baitul Mal sudah dijabarkan pada bahasan anggaran negara pada bab ini.
G.1.1. Hirarki Organisasi dan Operasionalnya
Pada masa Umar bin Abdul Azis, dalam oparasionalnya institusi Baitul Mal dibagi menjadi beberapa departemen. Pembagian departemen dilakukan berdasarkan pos-pos penerimaan yang dimiliki oleh Baitul Mal sebagai bendahara negara. Sehingga departemen yang menangani zakat berbeda dengan yang mengelola khums, Jizyah, Kharaj dan seterusnya.[3]
Yusuf Qardhawy (1988)[4] membagi baitul mal menjadi empat bagian (divisi) kerja berdasarkan pos penerimaannya, merujuk pada aplikasi masa Islam klasik :
1. Departemen khusus untuk sedekah (zakat).
2. Departemen khusus untuk menyimpan pajak dan upeti.
3. Departemen khusus untuk ghanimah dan rikaz.
4. Departemen khusus untuk harta yang tidak diketahui warisnya atau yang terputus hak warisnya (misalnya karena pembunuhan).
Hal ini sebenarnya juga telah diungkapkan pula oleh Ibnu Taimiyah[5], beliau mengungkapkan bahwa dalam adminstrasi keuangan Negara, dalam Baitul Mal telah dibentuk beberapa departemen yang dikenal dengan Diwan (dewan). Dewan-dewan tersebut diantaranya:
1. Diwan al Rawatib yang berfungsi mengadministrasikan gaji dan honor bagi pegawai negeri dan tentara.
2. Diwan al Jawali wal Mawarits al Hasyriyah yang berfungsi mengelola poll taxes (jizyah) dan harta tanpa ahli waris.
3. Diwan al Kharaj yang berfungsi untuk memungut kharaj.
4. Diwan al Hilali yang berfungsi mengkoleksi pajak bulanan[6].
Pada hakikatnya pengembangan institusi dan kebijakan dalam ekonomi Islam tidak memiliki ketentuan baku kecuali apa yang telah digariskan dalam syariat. Khususnya dalam pembentukan departemen dan kebijakan strategi pengkoleksian dan penggunaan pendapatan Negara, sebenarnya juga tergantung pada perkembangan atau kondisi perekonomian Negara pada satu waktu tertentu. Artinya pengembangan institusi dan kebijakan ekonomi tidaklah terikat pada apa yang telah dilakukan oleh para pemimpin-pemimpin terdahulu, peran ijtihad dengan mempertimbangkan keadaan kontemporer menjadi sangat menentukan arah dan bentuk institusi dan kebijakan ekonomi.
Merujuk pada apa yang telah dijelaskan oleh Qardhawi tentang institusi Baitul Mal, dalam operasionalnya, salah satu kebijakan pengelolaan pendapatan Negara adalah ketika dana yang dimiliki departemen sedekah (zakat) yang fungsinya memenuhi kebutuhan dasar warga negara kurang, maka dapat menggunakan dana dari departemen lain yaitu departemen pajak dan upeti. Namun pada masa klasik Islam hal ini dilakukan dengan skema hutang, artinya jika suatu saat departemen sedekah sudah memiliki kecukupan dana, maka hutang tadi harus dilunasi pada departemen pajak dan upeti. Tahapan penggunaan keuangan negara ini sesuai dengan yang dijelaskan sebelumnya, dimana sumber keuangan negara utama adalah zakat, kemudian fay’ dan pajak. Jika masih juga kekurangan maka negara akan melakukan skema takaful, dimana semua harta dikumpulkan negara dan dibagikan sama rata.
[1] Ibid.
[2] Yusuf Qardhawy, Hukum Zakat, Pustaka Litera Antar Nusa, Jakarta, 1988. pp. 743.
[3] Hasanuzzaman, Op. Cit.
[4] Yusuf Qardhawy, Op. Cit. pp. 743-744.
[5] Lihat Abdul Azim Islahi, Economic Concepts of Ibn Taimiyah, The Islamic foundation, Leicester – UK, 1996/1417 H, pp. 204.
[6] Perlu dipahami bahwa penggunaan kata pajak terkadang misleading karena literature ekonomi Islam atau sejarah Islam banyak menyebutkan pungutan yang dibenarkan atau dianjurkan oleh syariat seperti zakat, kharaj, ushr dan jizyah seringkali diwakili dengan istilah pajak. Padahal dalam Islam juga diketahui bahwa dalam keadaan normal pajak yang biasa dikenal dalam dunia konvensional tidak dianjurkan untuk diberlakukan. Untuk itu diperlukan ketelitian dari setiap pembaca ekonomi dan sejarah Islam dalam memahami konteks pembahasan pajak dalam berbagai jenis literature.
Fungsi dan eksistensi Baitul Mal secara jelas telah banyak diungkapkan baik pada masa Rasulullah SAW maupun pada masa kekhalifahan setelah Beliau wafat. Namun secara konkrit pelembagaan Baitul Mal baru dilakukan pada masa Umar Bin Khattab, ketika kebijakan pendistribusian dana yang terkumpul mengalami perubahan. Lembaga Baitul Mal itu berpusat di ibukota Madinah dan memiliki cabang di profinsi-profinsi wilayah Islam.[1]
Seperti yang telah diketahui, pada masa Rasulullah SAW hingga kepemimpinan Abu Bakar, pengumpulan dan pendistribusian dana zakat serta pungutan-pungutan lainnya dilakukan secara serentak. Artinya pendistribusian dana tersebut langsung dilakukan setelah pengumpulan, sehingga para petugas Baitul Mal selesai melaksanakan tugasnya tidak membawa sisa dana untuk disimpan. Sedangkan pada masa Umar Bin Khattab, pengumpulan dana ternyata begitu besar sehingga diambil keputusan untuk menyimpan untuk keperluan darurat. Dengan keputusan tersebut, maka Baitul Mal secara resmi dilembagakan, dengan maksud awal untuk pengelolaan dana tersebut.
Dari penjelasan bab-bab sebelumnya telah dijabarkan peran dan fungsi lembaga Baitul Mal sebagai bendahara negara (dalam konteks perekonomian modern, lembaga ini dikenal dengan Departemen Keuangan – treasury house of the state) secara panjang lebar. Fungsi Baitul Mal pada hakikatnya mengelola keuangan negara menggunakan akumulasi dana yang berasal dari pos-pos penerimaan seperti Zakat, Kharaj, Jizyah, Khums, Fay’, dan lain-lain, dan dimanfaatkan untuk melaksanakan program-program pembangunan ekonomi, sosial, pertahanan, keamanan, penyebaran fikrah Islam melalui diplomasi luar negeri dan semua program pembangunan yang menjadi kebutuhan negara.
Eksistensi lembaga Baitul Mal pada awalnya merupakan konsekwensi profesionalitas manajemen yang dilakukan pengelola zakat (amil). Namun ia juga merefleksikan ruang lingkup Islam, dimana Islam didefinisikan juga sebagai agama dan pemerintahan, qur’an dan kekuasaan, sehingga Baitul Mal menjadi salah satu komponen yang menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan dan kekuasaan dari negara.[2] Jadi ketika juga negara harus mengelola penerimaan-penerimaan negara baik yang diatur oleh syariah maupun yang didapat berdasarkan kondisi pada saat itu, negara membutuhkan lembaga yang menghimpun, mengelola dan mendistribusikan akumulasi dana negara tersebut untuk kepentingan negara, baik penggunaan yang memang diatur oleh syariah atau juga yang merupakan prioritas pembangunan ketika itu. Lebih lengkapnya penggunaan dana-dana yang terkumpul dalam Baitul Mal sudah dijabarkan pada bahasan anggaran negara pada bab ini.
G.1.1. Hirarki Organisasi dan Operasionalnya
Pada masa Umar bin Abdul Azis, dalam oparasionalnya institusi Baitul Mal dibagi menjadi beberapa departemen. Pembagian departemen dilakukan berdasarkan pos-pos penerimaan yang dimiliki oleh Baitul Mal sebagai bendahara negara. Sehingga departemen yang menangani zakat berbeda dengan yang mengelola khums, Jizyah, Kharaj dan seterusnya.[3]
Yusuf Qardhawy (1988)[4] membagi baitul mal menjadi empat bagian (divisi) kerja berdasarkan pos penerimaannya, merujuk pada aplikasi masa Islam klasik :
1. Departemen khusus untuk sedekah (zakat).
2. Departemen khusus untuk menyimpan pajak dan upeti.
3. Departemen khusus untuk ghanimah dan rikaz.
4. Departemen khusus untuk harta yang tidak diketahui warisnya atau yang terputus hak warisnya (misalnya karena pembunuhan).
Hal ini sebenarnya juga telah diungkapkan pula oleh Ibnu Taimiyah[5], beliau mengungkapkan bahwa dalam adminstrasi keuangan Negara, dalam Baitul Mal telah dibentuk beberapa departemen yang dikenal dengan Diwan (dewan). Dewan-dewan tersebut diantaranya:
1. Diwan al Rawatib yang berfungsi mengadministrasikan gaji dan honor bagi pegawai negeri dan tentara.
2. Diwan al Jawali wal Mawarits al Hasyriyah yang berfungsi mengelola poll taxes (jizyah) dan harta tanpa ahli waris.
3. Diwan al Kharaj yang berfungsi untuk memungut kharaj.
4. Diwan al Hilali yang berfungsi mengkoleksi pajak bulanan[6].
Pada hakikatnya pengembangan institusi dan kebijakan dalam ekonomi Islam tidak memiliki ketentuan baku kecuali apa yang telah digariskan dalam syariat. Khususnya dalam pembentukan departemen dan kebijakan strategi pengkoleksian dan penggunaan pendapatan Negara, sebenarnya juga tergantung pada perkembangan atau kondisi perekonomian Negara pada satu waktu tertentu. Artinya pengembangan institusi dan kebijakan ekonomi tidaklah terikat pada apa yang telah dilakukan oleh para pemimpin-pemimpin terdahulu, peran ijtihad dengan mempertimbangkan keadaan kontemporer menjadi sangat menentukan arah dan bentuk institusi dan kebijakan ekonomi.
Merujuk pada apa yang telah dijelaskan oleh Qardhawi tentang institusi Baitul Mal, dalam operasionalnya, salah satu kebijakan pengelolaan pendapatan Negara adalah ketika dana yang dimiliki departemen sedekah (zakat) yang fungsinya memenuhi kebutuhan dasar warga negara kurang, maka dapat menggunakan dana dari departemen lain yaitu departemen pajak dan upeti. Namun pada masa klasik Islam hal ini dilakukan dengan skema hutang, artinya jika suatu saat departemen sedekah sudah memiliki kecukupan dana, maka hutang tadi harus dilunasi pada departemen pajak dan upeti. Tahapan penggunaan keuangan negara ini sesuai dengan yang dijelaskan sebelumnya, dimana sumber keuangan negara utama adalah zakat, kemudian fay’ dan pajak. Jika masih juga kekurangan maka negara akan melakukan skema takaful, dimana semua harta dikumpulkan negara dan dibagikan sama rata.
[1] Ibid.
[2] Yusuf Qardhawy, Hukum Zakat, Pustaka Litera Antar Nusa, Jakarta, 1988. pp. 743.
[3] Hasanuzzaman, Op. Cit.
[4] Yusuf Qardhawy, Op. Cit. pp. 743-744.
[5] Lihat Abdul Azim Islahi, Economic Concepts of Ibn Taimiyah, The Islamic foundation, Leicester – UK, 1996/1417 H, pp. 204.
[6] Perlu dipahami bahwa penggunaan kata pajak terkadang misleading karena literature ekonomi Islam atau sejarah Islam banyak menyebutkan pungutan yang dibenarkan atau dianjurkan oleh syariat seperti zakat, kharaj, ushr dan jizyah seringkali diwakili dengan istilah pajak. Padahal dalam Islam juga diketahui bahwa dalam keadaan normal pajak yang biasa dikenal dalam dunia konvensional tidak dianjurkan untuk diberlakukan. Untuk itu diperlukan ketelitian dari setiap pembaca ekonomi dan sejarah Islam dalam memahami konteks pembahasan pajak dalam berbagai jenis literature.
Senin, 10 September 2007
Prilaku Konsumsi Islam
Menggunakan konsep konsumsi yang selama ini dikenal dalam ekonomi mainstream (konvensional) terlepas dari konsep final spending, mungkin penggambaran prilaku konsumsi Islam menjadi sebagai berikut:
C = Co + bYd
Dimana:
b = preferensi konsumsi dari pendapatan (marginal propensity to consume)
Yd = pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposable income)
Dari model diatas, dapat diidentifikasi dua jenis konsumsi berdasarkan jenis golongan masyarakat dalam mekanisme zakat, yaitu konsumsi golongan mustahik (golongan masyarakat yang berhak menerima zakat) dan konsumsi golongan muzakki (golongan masyarakat yang wajib membayar zakat).
Konsumsi mustahik: C = Z = Co
Konsumsi muzakki: C = Co + b(Y – Z) atau C = Co + b(Y – Z – Nw)[1]
Nw = Nawaib (semacam pajak bagi para orang kaya yang bersifat temporer)[2]
Nw dikenakan kepada golongan masyarakat kaya (muzakki) karena perekonomian memburuk, dimana pendapatan pemerintah lainnya tidak mencukupi
Dengan pertimbangan bahwa golongan mustahik atau muzakki dapat saja berasal dari golongan non-muslim dan perkembangan perekonomian tidak begitu baik, maka variasi model konsumsi diatas dapat menjadi sebagai berikut:
Konsumsi mustahik muslim/non muslim: C = Za = Co
Dimana:
Za = Z + Kh + Jz atau Za = Z + Kh + Jz + Nw
Kh = Kharaj (semacam zakat pertanian bagi non muslim)
Jz = Jizyah (semacam zakat penghasilan/harta bagi non muslim)
Sementara itu konsumsi “muzakki” non muslim: C = Co + b(Y – Kh – Jz – Nw)
Dari model konsumsi mustahik dan muzakki diketahui bahwa MPC mustahik lebih besar dari MPC muzakki. Hal ini disebabkan oleh sensisitifitas konsumsi mustahik lebih besar akibat kenaikan pendapatan mereka dibandingkan dengan muzakki. Dari perspektif lain ini dijelaskan oleh alasan bahwa distribusi dana zakat (termasuk kharaj, jizyah dan nawaib) bagi mustahik jumlahnya harus sama dengan kebutuhan pokok mereka, sehingga secara sempurna pendapatan mereka dari dana tersebut secara sempurna (MPC mustahik cenderung sama dengan 1). Sementara besarnya MPC muzakki cenderung berada diantara 0 dan 1. Hal ini karena kebutuhan pokok mereka relatif telah terpenuhi. Dengan pemahaman ini sebenarnya dari model konsumsi muzakki, variabel “bYd” merepresentasikan kebutuhan sekunder, tersier atau bahkan luxury dari muzakki. Dengan demikian – menggunakan pemahaman ini – dapat saja dikatakan bahwa semakin beriman seorang individu atau sekelompok orang maka MPC individu atau kolektif akan semakin kecil mendekati 0, karena seorang yang beriman akan lebih fokus memenuhi kebutuhan pokok mereka saja. Namun jika MPC juga berarti segala preferensi konsumsi muzakki termasuk konsumsi untuk individu lain (motif beramal shaleh), maka mungkin sebaiknya MPC muzakki dibedakan menjadi 2 yaitu MPC untuk konsumsi diri sendiri (MPC riil) dan MPC untuk orang lain seperti infak - shadaqah (MPC amal shaleh). Dengan begitu MPC dapat dituliskan menjadi:
MPCmuzakki = MPCriil + MPCamal shaleh
Kadar keimanan seorang muzakki akan cenderung membentuk komposisi besar MPC-nya menjadi MPC riil < MPC amal shaleh. Atau dengan kata lain, semakin beriman seseorang (muzakki), maka MPC-nya akan didominasi oleh prilaku amal shaleh yang digambarkan oleh dominasi MPC amal shalehnya. Memasukkan amal shaleh dalam model konsumsi muzakki, maka secara spesifik model konsumsi muzakki menjadi sebagai berikut:
C = Co + b Yd
Jika b = MPCmuzakki; c = MPCriil; d = MPCamal shaleh; maka
C = Co + (c + d) Yd
C = Co + cYd + dYd
Model konsumsi muzakki diatas menunjukkan tiga komponen atau motif utama konsumsi seorang atau sekelompok muzakki, yaitu motif konsumsi kebutuhan pokok (Co), kebutuhan sekunder/tersier/luxury (cYd) dan kebutuhan untuk beramal shaleh (dYd).
Dari analisa ini terlihat bagaimana faktor keimanan mempengaruhi prilaku konsumsi seseorang khususnya muzakki. Sementara itu analisa yang sama tidak dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh keimanan terhadap prilaku konsumsi mustahik, karena asumsi mustahik tidak dapat beramal shaleh menggunakan pendapatannya yang bersumber dari zakat. Hal ini sekali lagi menunjukkan kesesuaian potensi prilaku manusia muzakki untuk dapat memaksimalkan diri beramal shaleh dengan anjuran Rasulullah SAW agar semua manusia berusaha untuk memperbaiki kondisi perekonomiannya, sehingga dapat memaksimalkan kemanfaatan dirinya bagi orang lain. Argumentasi ini tentu saja berasumsi bahwa besarnya amal shaleh dilakukan berdasarkan besarnya sumber daya ekonomi/harta/pendapatan yang dimiliki seseorang, sehingga kemudian disimpulkan bahwa kemampuan beramal shaleh muzakki lebih besar dari kemampuan beramal shaleh mustahik.
[1] Dalam persamaan ini tidak dimasukkan pajak dengan asumsi bahwa pajak yang dikenal dalam Islam adalah pajak-pajak yang memiliki ketentuannya secara syariat seperti zakat, kharaj, jizyah, ushr, nawaib dan lain sebagainya. Secara detil pembahasan instrument – instrument ini akan dijelaskan dalam pembahasan kebijakan fiscal.
[2] Variabel-variabel ini akan dijelaskan secara detil pada bab-bab selanjutnya.
C = Co + bYd
Dimana:
b = preferensi konsumsi dari pendapatan (marginal propensity to consume)
Yd = pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposable income)
Dari model diatas, dapat diidentifikasi dua jenis konsumsi berdasarkan jenis golongan masyarakat dalam mekanisme zakat, yaitu konsumsi golongan mustahik (golongan masyarakat yang berhak menerima zakat) dan konsumsi golongan muzakki (golongan masyarakat yang wajib membayar zakat).
Konsumsi mustahik: C = Z = Co
Konsumsi muzakki: C = Co + b(Y – Z) atau C = Co + b(Y – Z – Nw)[1]
Nw = Nawaib (semacam pajak bagi para orang kaya yang bersifat temporer)[2]
Nw dikenakan kepada golongan masyarakat kaya (muzakki) karena perekonomian memburuk, dimana pendapatan pemerintah lainnya tidak mencukupi
Dengan pertimbangan bahwa golongan mustahik atau muzakki dapat saja berasal dari golongan non-muslim dan perkembangan perekonomian tidak begitu baik, maka variasi model konsumsi diatas dapat menjadi sebagai berikut:
Konsumsi mustahik muslim/non muslim: C = Za = Co
Dimana:
Za = Z + Kh + Jz atau Za = Z + Kh + Jz + Nw
Kh = Kharaj (semacam zakat pertanian bagi non muslim)
Jz = Jizyah (semacam zakat penghasilan/harta bagi non muslim)
Sementara itu konsumsi “muzakki” non muslim: C = Co + b(Y – Kh – Jz – Nw)
Dari model konsumsi mustahik dan muzakki diketahui bahwa MPC mustahik lebih besar dari MPC muzakki. Hal ini disebabkan oleh sensisitifitas konsumsi mustahik lebih besar akibat kenaikan pendapatan mereka dibandingkan dengan muzakki. Dari perspektif lain ini dijelaskan oleh alasan bahwa distribusi dana zakat (termasuk kharaj, jizyah dan nawaib) bagi mustahik jumlahnya harus sama dengan kebutuhan pokok mereka, sehingga secara sempurna pendapatan mereka dari dana tersebut secara sempurna (MPC mustahik cenderung sama dengan 1). Sementara besarnya MPC muzakki cenderung berada diantara 0 dan 1. Hal ini karena kebutuhan pokok mereka relatif telah terpenuhi. Dengan pemahaman ini sebenarnya dari model konsumsi muzakki, variabel “bYd” merepresentasikan kebutuhan sekunder, tersier atau bahkan luxury dari muzakki. Dengan demikian – menggunakan pemahaman ini – dapat saja dikatakan bahwa semakin beriman seorang individu atau sekelompok orang maka MPC individu atau kolektif akan semakin kecil mendekati 0, karena seorang yang beriman akan lebih fokus memenuhi kebutuhan pokok mereka saja. Namun jika MPC juga berarti segala preferensi konsumsi muzakki termasuk konsumsi untuk individu lain (motif beramal shaleh), maka mungkin sebaiknya MPC muzakki dibedakan menjadi 2 yaitu MPC untuk konsumsi diri sendiri (MPC riil) dan MPC untuk orang lain seperti infak - shadaqah (MPC amal shaleh). Dengan begitu MPC dapat dituliskan menjadi:
MPCmuzakki = MPCriil + MPCamal shaleh
Kadar keimanan seorang muzakki akan cenderung membentuk komposisi besar MPC-nya menjadi MPC riil < MPC amal shaleh. Atau dengan kata lain, semakin beriman seseorang (muzakki), maka MPC-nya akan didominasi oleh prilaku amal shaleh yang digambarkan oleh dominasi MPC amal shalehnya. Memasukkan amal shaleh dalam model konsumsi muzakki, maka secara spesifik model konsumsi muzakki menjadi sebagai berikut:
C = Co + b Yd
Jika b = MPCmuzakki; c = MPCriil; d = MPCamal shaleh; maka
C = Co + (c + d) Yd
C = Co + cYd + dYd
Model konsumsi muzakki diatas menunjukkan tiga komponen atau motif utama konsumsi seorang atau sekelompok muzakki, yaitu motif konsumsi kebutuhan pokok (Co), kebutuhan sekunder/tersier/luxury (cYd) dan kebutuhan untuk beramal shaleh (dYd).
Dari analisa ini terlihat bagaimana faktor keimanan mempengaruhi prilaku konsumsi seseorang khususnya muzakki. Sementara itu analisa yang sama tidak dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh keimanan terhadap prilaku konsumsi mustahik, karena asumsi mustahik tidak dapat beramal shaleh menggunakan pendapatannya yang bersumber dari zakat. Hal ini sekali lagi menunjukkan kesesuaian potensi prilaku manusia muzakki untuk dapat memaksimalkan diri beramal shaleh dengan anjuran Rasulullah SAW agar semua manusia berusaha untuk memperbaiki kondisi perekonomiannya, sehingga dapat memaksimalkan kemanfaatan dirinya bagi orang lain. Argumentasi ini tentu saja berasumsi bahwa besarnya amal shaleh dilakukan berdasarkan besarnya sumber daya ekonomi/harta/pendapatan yang dimiliki seseorang, sehingga kemudian disimpulkan bahwa kemampuan beramal shaleh muzakki lebih besar dari kemampuan beramal shaleh mustahik.
[1] Dalam persamaan ini tidak dimasukkan pajak dengan asumsi bahwa pajak yang dikenal dalam Islam adalah pajak-pajak yang memiliki ketentuannya secara syariat seperti zakat, kharaj, jizyah, ushr, nawaib dan lain sebagainya. Secara detil pembahasan instrument – instrument ini akan dijelaskan dalam pembahasan kebijakan fiscal.
[2] Variabel-variabel ini akan dijelaskan secara detil pada bab-bab selanjutnya.
Selasa, 28 Agustus 2007
Sampai-Sampai Allah Merasa Heran Kepada Sembilan Orang
Aku heran kepada orang yang percaya terhadap pastinya maut,
tetapi ia masih sombong dan membanggakan diri.
Aku heran terhadap orang yang mengetahui hari perhitungan,
tetapi ia masih sibuk menumpuk-numpuk harta.
Aku heran terhadap orang yang faham bahwa ia pasti masuk lubang kuburan
tapi ia masih sanggup tertawa terbahak-bahak.
Aku heran kepada orang yang yakin terhadap hari akhirat,
tetapi ia masih berpanjang-panjang dalam kesenangan dan lalai.
Aku heran kepada orang-orang yang mengerti bahwa dunia ini fana,
tapi ia masih terus saja menambatkan hati kepadanya.
Aku heran kepada orang yang pintar bicara,
tetapi bodoh di dalam menyelami pengertian.
Aku heran kepada orang yang hari-harinya habis untuk membicarakan aib orang lain, tetapi ia lupa melihat cacatnya sendiri.
Aku heran kepada orang yang sadar bahwa aku memperhatikan tingkah lakunya kapan dan dimanapun saja, tetapi tetap saja ia durhaka.
Aku heran kepada orang yang tahu bahwa ia akan mati sendirian dan masuk kuburan sendirian, tapi masih saja ia menggantungkan kebahagiaan kepada senda gurau dan main-main dengan banyak orang.
Quoted by Redaksi from :
Emha Ainun Nadjib: "Isyarat Zaman (1): Allah Merasa Heran", Kanjeng
Production dan Studio21.
tetapi ia masih sombong dan membanggakan diri.
Aku heran terhadap orang yang mengetahui hari perhitungan,
tetapi ia masih sibuk menumpuk-numpuk harta.
Aku heran terhadap orang yang faham bahwa ia pasti masuk lubang kuburan
tapi ia masih sanggup tertawa terbahak-bahak.
Aku heran kepada orang yang yakin terhadap hari akhirat,
tetapi ia masih berpanjang-panjang dalam kesenangan dan lalai.
Aku heran kepada orang-orang yang mengerti bahwa dunia ini fana,
tapi ia masih terus saja menambatkan hati kepadanya.
Aku heran kepada orang yang pintar bicara,
tetapi bodoh di dalam menyelami pengertian.
Aku heran kepada orang yang hari-harinya habis untuk membicarakan aib orang lain, tetapi ia lupa melihat cacatnya sendiri.
Aku heran kepada orang yang sadar bahwa aku memperhatikan tingkah lakunya kapan dan dimanapun saja, tetapi tetap saja ia durhaka.
Aku heran kepada orang yang tahu bahwa ia akan mati sendirian dan masuk kuburan sendirian, tapi masih saja ia menggantungkan kebahagiaan kepada senda gurau dan main-main dengan banyak orang.
Quoted by Redaksi from :
Emha Ainun Nadjib: "Isyarat Zaman (1): Allah Merasa Heran", Kanjeng
Production dan Studio21.
Minggu, 19 Agustus 2007
Supply Side Rigidity
Kemampuan sektor panawaran yang tidak dapat merespon permintaan menyebabkan:
• Infllasi
• Tingkat (volume) ekonomi lebih rendah dari potensinya
• Masalah unemployment tidak terpecahkan dengan baik
• Mengganggu keseimbangan/efisiensi ekonomi
• Un-disbursement loan/excess liquidity
Penyebab
• Supply sector inefficiency;
– Regulasi; tax, insentif
– Hoarding
– Production cost; wages, raw material, etc
– Birokrasi; retribusi, pungli, korupsi
– Regulasi; investasi, perburuhan, pertanahan
• Systemic obstacles/money concentration;
– Preferensi portfolio keuangan; saham, pasar uang etc
– Return tetap; bunga
Supply Sector Inefficiency
Ketidakberesan mekanisme yang ada pada sektor penawaran, baik yang ada pada aspek pelakunya, kelancaran proses maupun regulasi dan kebijakan, membuat respon penawaran tidak pada tingkat yang sepatutnya.
Systemic obstacles/money concentration
• Keberadaan bunga yang bersifat fixed pre-determined return dan menjadi variabel sentral kebijakan moneter cenderung menjadi “competitor” bagi sektor riil untuk bisa menarik dana pemilik modal. Kondisi ini membuat sektor moneter dengan tingkat bunganya yang tidak hanya memiliki kelebihan harga yang menarik tetapi juga tingkat risiko yang rendah.
• Aktifitas spekulasi ternyata juga mampu mempengaruhi
• Infllasi
• Tingkat (volume) ekonomi lebih rendah dari potensinya
• Masalah unemployment tidak terpecahkan dengan baik
• Mengganggu keseimbangan/efisiensi ekonomi
• Un-disbursement loan/excess liquidity
Penyebab
• Supply sector inefficiency;
– Regulasi; tax, insentif
– Hoarding
– Production cost; wages, raw material, etc
– Birokrasi; retribusi, pungli, korupsi
– Regulasi; investasi, perburuhan, pertanahan
• Systemic obstacles/money concentration;
– Preferensi portfolio keuangan; saham, pasar uang etc
– Return tetap; bunga
Supply Sector Inefficiency
Ketidakberesan mekanisme yang ada pada sektor penawaran, baik yang ada pada aspek pelakunya, kelancaran proses maupun regulasi dan kebijakan, membuat respon penawaran tidak pada tingkat yang sepatutnya.
Systemic obstacles/money concentration
• Keberadaan bunga yang bersifat fixed pre-determined return dan menjadi variabel sentral kebijakan moneter cenderung menjadi “competitor” bagi sektor riil untuk bisa menarik dana pemilik modal. Kondisi ini membuat sektor moneter dengan tingkat bunganya yang tidak hanya memiliki kelebihan harga yang menarik tetapi juga tingkat risiko yang rendah.
• Aktifitas spekulasi ternyata juga mampu mempengaruhi
Kondisi supply side rigidity menggunakan model keseimbangan umum di samping, dapat juga diinterpretasikan bahwa respon penawaran yang kecil diakibatkan investasi disektor riil tidak pada tingkat yang semestinya atau uang beredar tidak sepenuhnya berada di sektor riil. Jika ekonomi diasumsikan seperti konvensional, maka jelas alasan bahwa aktifitas keuangan (moneter) menarik potensi investasi dan uang beredar ke pasar keuangan. Sehingga selisih antara realisasi penawaran, investasi dan uang beredar yang ada disektor rill dengan tingkat yang seharusnya adalah jumlah potensi yang masuk ke pasar keuangan. Hal inilah yang menjadi penjelasan dari alasan faktor sistemik yang menyebabkan inflasi. Terapi yang sangat tepat dilakukan tentu saja merubah sistem dengan menutup segala kemungkinan potensi investasi dan uang tertarik ke pasar yang tidak produktif (keuangan).
Sistem Keuangan Dunia: Pengantar
Sistem keuangan dunia atau mayoritas di perekonomian semua negara didunia ini menganut sistem berbasis bunga. Dalam ruang lingkup domestik tercipta sebuah sistem keuangan yang menitik beratkan pada kebijakan ekonomi menuju keseimbangan menggunakan instrumen bunga., sehingga bunga menjadi variabel vital dalam penyusunan kebijakan ekonomi baik moneter maupun fiskal. Pada ruang lingkup dunia, perekonomian berbasis bunga membentuk corak interaksi keuangan menjadi khas. Dari perspektif kritis, bunga membuat sistem keuangan dunia menjadi pincang, dimana negara-negara miskin dan berkembang harus terus tergantung secara financial kepada negara maju. Sifat pre-determined return yang dimiliki bunga akan membuat prilaku para pemegang kapital cenderung menggunakan uangnya sebagai alat untuk men-generate pendapatan melalui sektor financial daripada mendapatkan keuntungan melalui aktifitas produktif disektor riil. Kecenderungan ini pada tingkat negara semakin memperdalam kepincangan financial dunia. Negara – negara maju menjadi korban debt adicted, sementara negara – negara miskin dan berkembang tak pernah bisa bebas dari jeratan utang yang terus menggelembung.
Kecenderungan globalisasi yang mengedepankan peran korporasi swasta dalam pengaturan perekonomian, terlihat juga dalam sistem keuangan. Menyerahkan kekuasaan ekonomi pada kekuatan pasar berarti menyerahkan arah kebijakan ekonomi khususnya keuangan kepada para CEO – CEO institusi keuangan besar dunia. Sudah menjadi pemahaman umum, bahwa pasar keuangan begitu rentan diintervensi oleh berbagai kepentingan. Kepentingan-kepentingan yang memanfaatkan sensitivitas pasar keuangan terhadap informasi atau bahkan sekedar rumor. Sehingga penciptaan sebuah informasi yang cenderung bersifat asimetris yang sebenarnya merefleksikan sebuah ketidak-transparannya pasar, menjadi lumrah dalam pasar keuangan. Dan akhirnya, melalui kelemahan ini pemain-pemain pasar keuangan memperoleh peluang untuk mendapatkan keuntungan.
Dalam perspektif lain, Joseph E. Stiglitz menjelaskan kecenderungan yang sama . Stiglitz mengungkapkan bahwa pergeseran corak ekonomi kapitalisme modern dari pertanian kepada manufaktur dan dari manufaktur kegagasan (ditandai dengan munculnya industri-industri maya (dotcom industry) yang membuat wajah dan akselerasi pertumbuhan perekonomian ada pada tingkat yang lebih lanjut, membuat faktor informasi menjadi pusat perhatian aktifitas ekonomi modern. Dengan demikian, siapa yang menguasai informasi merekalah yang berkuasa di pasar, merekalah yang akan menikmati kue profit yang terbesar. Kemudian dengan globalisasi yang bersenjata privatisasi, informasi kemudian dikendalikan para pelaku-pelaku pasar yang berorientasi profit. Dan demi profit mereka melakukan segala hal untuk bisa menguasai informasi, bahakn sampai memanipulasi informasi yang ada, baik dengan memutarbalikkan informasi atau menciptakan informasi yang salah bagi pasar.
Pada akhirnya di sektor financial kepentingan profit yang menjadi motif konsisten bagi para pelaku di pasar financial menghambat kepentingan kolektif yang menginginkan kestabilan sistem keuangan. Kontradiksi ini terlihat jelas dalam kecenderungan mekanisme perekonomian khususnya keuangan dunia modern.
Dengan karakteristik pasar modern yang ada saat ini, pada hakikatnya kejujuran menjadi nilai yang vital dibutuhkan oleh pasar dalam menciptakan sebuah mekanisme pasar yang sehat dan membangun. Karena baik menjaga agar informasi pasar tetap selalu transparan maupun informasi tersebut benar adanya, diperlukan satu nilai kejujuran. Namun prilaku yang jujur harus berhadapan dengan kepentingan profit, dimana keduanya tidak selalunya satu arah dengan tujuan kejujuran seiring dengan perkembangan usaha. Interaksi keduanya inilah yang kemudian membuat wajah ekonomi Klasik yang mendewakan kekuatan pasar tercoreng, karena teori mereka tidak pernah memiliki fakta dalam perekonomian. Yang abadi terjadi adalah asimetris informasi, tidak transparan, misalokasi produksi, dan tidak meratanya distribusi sumber daya.
Apa obat konvensional melihat permasalahan ini? Secara sistemik konvensional tidak memiliki spesifik obat untuk permasalahan ini. Paradigma mekanisme pasar yang menuju pencapaian kepuasan pribadi yang maksimal menggunakan nilai-nilai ego manusia, membuat konvensional tidak memiliki daya tahan secara sistemik mengatasi masalah ini.
Sementara Islam memiliki limitasi sistem yang cenderung menjadi alat untuk mencegah kecenderungan permasalahan di atas muncul. Diantaranya adalah ketentuan pelarangan riba dan judi atau spekulasi. Selain itu Islam memiliki landasan nilai dan norma berupa akidah dan akhlak yang secara awal telah membentengi sistem dengan prilaku pelaku-pelakunya (muslim) yang seiring dengan sistem ekonominya. Bab ini ingin menjelaskan seperti apa prinsip syariah ini mampu mengatur aktifitas ekonomi tanpa perlu berefek samping seperti yang telah dijelaskan diatas. Selain itu selanjutnya akan dijelaskan urgensi absensi riba dan spekulasi dalam perekonomian serta alternatif konsep keuangan Islam.
Kecenderungan globalisasi yang mengedepankan peran korporasi swasta dalam pengaturan perekonomian, terlihat juga dalam sistem keuangan. Menyerahkan kekuasaan ekonomi pada kekuatan pasar berarti menyerahkan arah kebijakan ekonomi khususnya keuangan kepada para CEO – CEO institusi keuangan besar dunia. Sudah menjadi pemahaman umum, bahwa pasar keuangan begitu rentan diintervensi oleh berbagai kepentingan. Kepentingan-kepentingan yang memanfaatkan sensitivitas pasar keuangan terhadap informasi atau bahkan sekedar rumor. Sehingga penciptaan sebuah informasi yang cenderung bersifat asimetris yang sebenarnya merefleksikan sebuah ketidak-transparannya pasar, menjadi lumrah dalam pasar keuangan. Dan akhirnya, melalui kelemahan ini pemain-pemain pasar keuangan memperoleh peluang untuk mendapatkan keuntungan.
Dalam perspektif lain, Joseph E. Stiglitz menjelaskan kecenderungan yang sama . Stiglitz mengungkapkan bahwa pergeseran corak ekonomi kapitalisme modern dari pertanian kepada manufaktur dan dari manufaktur kegagasan (ditandai dengan munculnya industri-industri maya (dotcom industry) yang membuat wajah dan akselerasi pertumbuhan perekonomian ada pada tingkat yang lebih lanjut, membuat faktor informasi menjadi pusat perhatian aktifitas ekonomi modern. Dengan demikian, siapa yang menguasai informasi merekalah yang berkuasa di pasar, merekalah yang akan menikmati kue profit yang terbesar. Kemudian dengan globalisasi yang bersenjata privatisasi, informasi kemudian dikendalikan para pelaku-pelaku pasar yang berorientasi profit. Dan demi profit mereka melakukan segala hal untuk bisa menguasai informasi, bahakn sampai memanipulasi informasi yang ada, baik dengan memutarbalikkan informasi atau menciptakan informasi yang salah bagi pasar.
Pada akhirnya di sektor financial kepentingan profit yang menjadi motif konsisten bagi para pelaku di pasar financial menghambat kepentingan kolektif yang menginginkan kestabilan sistem keuangan. Kontradiksi ini terlihat jelas dalam kecenderungan mekanisme perekonomian khususnya keuangan dunia modern.
Dengan karakteristik pasar modern yang ada saat ini, pada hakikatnya kejujuran menjadi nilai yang vital dibutuhkan oleh pasar dalam menciptakan sebuah mekanisme pasar yang sehat dan membangun. Karena baik menjaga agar informasi pasar tetap selalu transparan maupun informasi tersebut benar adanya, diperlukan satu nilai kejujuran. Namun prilaku yang jujur harus berhadapan dengan kepentingan profit, dimana keduanya tidak selalunya satu arah dengan tujuan kejujuran seiring dengan perkembangan usaha. Interaksi keduanya inilah yang kemudian membuat wajah ekonomi Klasik yang mendewakan kekuatan pasar tercoreng, karena teori mereka tidak pernah memiliki fakta dalam perekonomian. Yang abadi terjadi adalah asimetris informasi, tidak transparan, misalokasi produksi, dan tidak meratanya distribusi sumber daya.
Apa obat konvensional melihat permasalahan ini? Secara sistemik konvensional tidak memiliki spesifik obat untuk permasalahan ini. Paradigma mekanisme pasar yang menuju pencapaian kepuasan pribadi yang maksimal menggunakan nilai-nilai ego manusia, membuat konvensional tidak memiliki daya tahan secara sistemik mengatasi masalah ini.
Sementara Islam memiliki limitasi sistem yang cenderung menjadi alat untuk mencegah kecenderungan permasalahan di atas muncul. Diantaranya adalah ketentuan pelarangan riba dan judi atau spekulasi. Selain itu Islam memiliki landasan nilai dan norma berupa akidah dan akhlak yang secara awal telah membentengi sistem dengan prilaku pelaku-pelakunya (muslim) yang seiring dengan sistem ekonominya. Bab ini ingin menjelaskan seperti apa prinsip syariah ini mampu mengatur aktifitas ekonomi tanpa perlu berefek samping seperti yang telah dijelaskan diatas. Selain itu selanjutnya akan dijelaskan urgensi absensi riba dan spekulasi dalam perekonomian serta alternatif konsep keuangan Islam.
Senin, 13 Agustus 2007
Fiqh Madzhab Pasar
Industri perbankan syariah yang tengah tumbuh ditengah-tengah lingkungan industri keuangan konvensional memiliki berbagai tantangan (jika tidak ingin dikatakan hambatan), diantaranya:
1. Pasar yang bercampur menyebabkan motivasi bertransaksi pun akan didominasi oleh motif profit maximization (konvensional), sehingga nasabah perbankan syariah cenderung memiliki karakter floating customers.
2. Dengan usia industri yang masih sangat muda dan tantangan yang dihadapi seperti poin pertama serta desakan pencapaian size industri sesuai potensi pasar (populasi muslim yang begitu besar), membuat arah dan kebijakan pengembangan, baik di sisi praktisi maupun regulator, menghadapi konflik 2 kepentingan; idealism driven dan market driven.
3. Fleksibilitas hukum syariah ternyata dapat diinterpretasikan sebagai pembenaran untuk mengikuti kemauan pasar dibandingkan sebagai pedoman dari kemanfaatan dari konsep syariah.
4. Keputusan hukum syariah berupa fatwa bagi produk-produk bank syariah lebih didominasi oleh pertimbangan hukum yang mencari kesimpulan boleh dan tidak boleh diaplikasikannya sebuah produk. Padahal pertimbangan hukum tadi sepatutnya juga melihat analisa implikasi ekonomi, baik makro maupun mikro, sehingga fungsi hukum syariah sebagai pedoman untuk memelihara kemashlahatan dan kemanfaatan akan selalu terjaga.
Memang diperlukan kebijaksanaan dari semua pihak khususnya otoritas fatwa dalam memandang semua sisi industri perbankan syariah nasional ini; lingkungan, karakter pasar, tingkat sosialisasi, struktur ekonomi dan lain-lain. Semoga Allah SWT terus mencurahkan petunjuk dan kasih sayang-Nya. wallahu a'lam bishawab.
1. Pasar yang bercampur menyebabkan motivasi bertransaksi pun akan didominasi oleh motif profit maximization (konvensional), sehingga nasabah perbankan syariah cenderung memiliki karakter floating customers.
2. Dengan usia industri yang masih sangat muda dan tantangan yang dihadapi seperti poin pertama serta desakan pencapaian size industri sesuai potensi pasar (populasi muslim yang begitu besar), membuat arah dan kebijakan pengembangan, baik di sisi praktisi maupun regulator, menghadapi konflik 2 kepentingan; idealism driven dan market driven.
3. Fleksibilitas hukum syariah ternyata dapat diinterpretasikan sebagai pembenaran untuk mengikuti kemauan pasar dibandingkan sebagai pedoman dari kemanfaatan dari konsep syariah.
4. Keputusan hukum syariah berupa fatwa bagi produk-produk bank syariah lebih didominasi oleh pertimbangan hukum yang mencari kesimpulan boleh dan tidak boleh diaplikasikannya sebuah produk. Padahal pertimbangan hukum tadi sepatutnya juga melihat analisa implikasi ekonomi, baik makro maupun mikro, sehingga fungsi hukum syariah sebagai pedoman untuk memelihara kemashlahatan dan kemanfaatan akan selalu terjaga.
Memang diperlukan kebijaksanaan dari semua pihak khususnya otoritas fatwa dalam memandang semua sisi industri perbankan syariah nasional ini; lingkungan, karakter pasar, tingkat sosialisasi, struktur ekonomi dan lain-lain. Semoga Allah SWT terus mencurahkan petunjuk dan kasih sayang-Nya. wallahu a'lam bishawab.
Rabu, 08 Agustus 2007
Kebijakan Moneter
Konsentrasi uang yang terjadi akibat sebuah kebijakan moneter dalam konsep konvensional ditujukan memang menahan laju konsumsi dengan menekan jumlah uang beredar ditengah-tengah masyarakat dengan menaikkan suku bunga sehingga inflasi juga diharapkan terkendali (turun).
i naik --> Ms turun --> C turun (AD turun) --> inflasi turun (P harga turun?)
Sementara, dalam konsep Islam konsentrasi uang lebih dilihat sebagai sebuah kecenderungan sistem moneter jika sistem tersebut beroperasi berdasarkan bunga. Eksistensi bunga membuat sejumlah uang memiliki harga (kepastian return) yang selanjutnya membentuk preferensi tersendiri bagi pemilik-pemilik uang. Preferensi untuk meletakkan uang mereka di sektor yang lebih memastikan keuntungan ini tentu saja mempengaruhi mereka untuk meletakkan uangnya di sektor produktif barang dan jasa (sektor riil). Implikasi dari kecenderungan preferensi ini adalah menurunkan supply barang dan jasa, yang berakhir pada kecenderungan kenaikan harga (inflasi).
eksistensi i --> Ms (sektor riil) turun --> Investasi (riil) turun --> AS turun --> inflasi
Kedua teori diatas sebenarnya tidak kontradiktif, konvensional melihat transmisi kebijakan moneter melalui sisi demand, sementara Islam melihat dari sisi supply. Namun pada dasarnya kebijakan moneter konvensional belum memastikan turunnya harga namun boleh jadi memang menurunkan inflasi (tetapi inflasi tetap ada!). Dengan demikian, dapat disimpulkan secara sederhana kebijakan moneter konvensional mungkin tidak akan pernah mencapai sasarannya untuk menurunkan harga, namun hanya sekedar mengendalikan laju inflasi. Dengan bunga (bahkan bunga dijadikan alat kebijakan) inflasi tetap menjadi kemustian sistem ekonomi. wallahu a'lam bishawab.
i naik --> Ms turun --> C turun (AD turun) --> inflasi turun (P harga turun?)
Sementara, dalam konsep Islam konsentrasi uang lebih dilihat sebagai sebuah kecenderungan sistem moneter jika sistem tersebut beroperasi berdasarkan bunga. Eksistensi bunga membuat sejumlah uang memiliki harga (kepastian return) yang selanjutnya membentuk preferensi tersendiri bagi pemilik-pemilik uang. Preferensi untuk meletakkan uang mereka di sektor yang lebih memastikan keuntungan ini tentu saja mempengaruhi mereka untuk meletakkan uangnya di sektor produktif barang dan jasa (sektor riil). Implikasi dari kecenderungan preferensi ini adalah menurunkan supply barang dan jasa, yang berakhir pada kecenderungan kenaikan harga (inflasi).
eksistensi i --> Ms (sektor riil) turun --> Investasi (riil) turun --> AS turun --> inflasi
Kedua teori diatas sebenarnya tidak kontradiktif, konvensional melihat transmisi kebijakan moneter melalui sisi demand, sementara Islam melihat dari sisi supply. Namun pada dasarnya kebijakan moneter konvensional belum memastikan turunnya harga namun boleh jadi memang menurunkan inflasi (tetapi inflasi tetap ada!). Dengan demikian, dapat disimpulkan secara sederhana kebijakan moneter konvensional mungkin tidak akan pernah mencapai sasarannya untuk menurunkan harga, namun hanya sekedar mengendalikan laju inflasi. Dengan bunga (bahkan bunga dijadikan alat kebijakan) inflasi tetap menjadi kemustian sistem ekonomi. wallahu a'lam bishawab.
Alhamdulillah
Alhamdulillah, anggota keluarga kami bertambah satu lagi. Tepatnya pukul 18.01 WIB tanggal 7 Agustus 2007 lahir amanah baru dari rahim istriku tercinta. Amanah yang juga bermakna cinta Tuhanku bagi kami semua. Kepercayaan yang semakin bertambah, yang juga meminta kesadaran kami untuk selalu ingat pada kebesaran dan kekuasaan Tuhan.
Senin, 06 Agustus 2007
Relevansi IS-LM
Keseimbangan umum dalam ekonomi selama ini dikenal sebagai kondisi keseimbangan antara dua pasar utama dalam ekonomi, yaitu pasar riil (barang dan jasa) dan pasar moneter (keuangan). Indicator (harga) utama dari keseimbangan umum ini adalah bunga. Keseimbangan umum ini menjadi tidak aplikatif (relevan) jika dijadikan rujukan dalam Islam. Alasan utama mengapa jenis keseimbangan umum ini tidak relevan adalah prinsip hukum (syariah) Islam yang melarang praktek bunga dalam ekonomi, karena bunga dikategorikan sebagai riba dalam Islam. Absensi bunga ini tentu membuat salah satu pasar utama dalam perekonomian konvensional, yaitu pasar moneter menjadi tidak relevan dalam pembahasan keseimbangan umum ekonomi Islam.
Terlebih lagi ada beberapa kelemahan yang memang melekat dalam penjelasan keseimbangan umum ekonomi konvensional, terutama kelemahan yang ditunjukkan oleh ketidak-konsistenan definisi dan peran bunga dalam pasar. Beberapa kelemahan tersebut diantaranya adalah:
1. Bunga sebagai harga pergerakan nilainya cenderung ditentukan yaitu merujuk pada penentuan suku bunga (interest free risk rate) oleh otoritas moneter, padahal sebagai harga sepatutnya bunga bergerak ditentukan oleh kekuatan pasar.
2. Bunga pada pasar barang (I) lebih berperan sebagai credit rate, sedangkan bunga pada pasar moneter (Md) berperan sebagai saving rate. Padahal tidak pernah ada kondisi dimana credit rate sama dengan saving rate. Sehingga konsep tingkat bunga keseimbangan (ie) menjadi dipertanyakan definisinya atau relevansinya secara luas. Tingkat bunga keseimbangan tidak mewakili apa – apa kecuali sebuah asumsi saja.
3. Bunga sebagai credit rate yang tinggi menghambat uang mengalir ke pasar barang (menciptakan barang & jasa), bunga sebagai saving rate yang tinggi mendorong uang menumpuk di sektor moneter (money creation & concentration).
Dari analisa ini, diketahui secara teori model keseimbangan umum konvensional memiliki kelemahan, dimana model tersebut tidak menggambarkan keadaan apa yang sebenarnya terjadi di pasar. Kecenderungan bunga yang menggelembungkan jumlah uang (money creation) dan konsentrasi uang pada pemilik – pemilik dana (money concentration) tidak bias digambarkan oleh model ini. Padahal kecenderungan tersebut memiliki arah kepada ketimpangan sektoral antara moneter dan riil. Atau pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa bunga pada dasarnya memiliki implikasi yang yang kontradiktif dengan prinsip – prinsip keseimbangan yang diinginkan oleh model ekonominya. Hal ini juga yang kemudian menjadi salah satu alasan mengapa bunga diyakini begitu berbahaya bagi perekonomian. Oleh sebab itu konsep keseimbangan umum ekonomi sepatutnya harus diletakkan pada definisi yang sebenarnya. Konsep keseimbangan umum ekonomi harus memiliki model yang secara valid mewakili definisinya. Untuk itulah Ekonomi Islam hadir memberikan jawaban atas permasalahan ini. Konsepsi Islam sebaiknya tidak dipandang sebagai sebuah konsep turunan dari kefanatisan atas sebuah keyakinan, tapi betul – betul sebuah konsep yang dilatarbelakangi oleh alasan ilmiah yang melekat padanya kebenaran. Karena kebenaran merupakan ciri – ciri dari suatu ilmu pengetahuan yang bermanfaat.
Terlebih lagi ada beberapa kelemahan yang memang melekat dalam penjelasan keseimbangan umum ekonomi konvensional, terutama kelemahan yang ditunjukkan oleh ketidak-konsistenan definisi dan peran bunga dalam pasar. Beberapa kelemahan tersebut diantaranya adalah:
1. Bunga sebagai harga pergerakan nilainya cenderung ditentukan yaitu merujuk pada penentuan suku bunga (interest free risk rate) oleh otoritas moneter, padahal sebagai harga sepatutnya bunga bergerak ditentukan oleh kekuatan pasar.
2. Bunga pada pasar barang (I) lebih berperan sebagai credit rate, sedangkan bunga pada pasar moneter (Md) berperan sebagai saving rate. Padahal tidak pernah ada kondisi dimana credit rate sama dengan saving rate. Sehingga konsep tingkat bunga keseimbangan (ie) menjadi dipertanyakan definisinya atau relevansinya secara luas. Tingkat bunga keseimbangan tidak mewakili apa – apa kecuali sebuah asumsi saja.
3. Bunga sebagai credit rate yang tinggi menghambat uang mengalir ke pasar barang (menciptakan barang & jasa), bunga sebagai saving rate yang tinggi mendorong uang menumpuk di sektor moneter (money creation & concentration).
Dari analisa ini, diketahui secara teori model keseimbangan umum konvensional memiliki kelemahan, dimana model tersebut tidak menggambarkan keadaan apa yang sebenarnya terjadi di pasar. Kecenderungan bunga yang menggelembungkan jumlah uang (money creation) dan konsentrasi uang pada pemilik – pemilik dana (money concentration) tidak bias digambarkan oleh model ini. Padahal kecenderungan tersebut memiliki arah kepada ketimpangan sektoral antara moneter dan riil. Atau pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa bunga pada dasarnya memiliki implikasi yang yang kontradiktif dengan prinsip – prinsip keseimbangan yang diinginkan oleh model ekonominya. Hal ini juga yang kemudian menjadi salah satu alasan mengapa bunga diyakini begitu berbahaya bagi perekonomian. Oleh sebab itu konsep keseimbangan umum ekonomi sepatutnya harus diletakkan pada definisi yang sebenarnya. Konsep keseimbangan umum ekonomi harus memiliki model yang secara valid mewakili definisinya. Untuk itulah Ekonomi Islam hadir memberikan jawaban atas permasalahan ini. Konsepsi Islam sebaiknya tidak dipandang sebagai sebuah konsep turunan dari kefanatisan atas sebuah keyakinan, tapi betul – betul sebuah konsep yang dilatarbelakangi oleh alasan ilmiah yang melekat padanya kebenaran. Karena kebenaran merupakan ciri – ciri dari suatu ilmu pengetahuan yang bermanfaat.
Jumat, 03 Agustus 2007
AL AQSA
Puncak dari segala obsesi kehidupan, pusat dari semua kerinduan dan hakikat dari setiap perjuangan serta pengorbanan kini berujud pada eksistensi Masjid Suci Al Aqsa. Tidak bisa hati tak mengharubiru, air mata tak mengalir, jiwa dan raga tak bergetar menahan geram, ketika melihat, mendengar, merenung tentang nasib Masjid Suciku itu nun jauh di sana.
Wahai Tanah Suci para Nabi, semoga Allah kuatkan hati dan tekad, akal dan semangat kami untuk berkumpul dalam barisan pasukan tentara Tuhan di atasmu, di tengah debumu, di hamparan horisonmu. Kami akan membebaskanmu.
Obsesiku, kerinduanku, juga haru biru hatiku selalu untukmu...
Kamis, 02 Agustus 2007
Pengorbanan
Dalam berinteraksi dengan aktifitas ekonomi/keuangan/perbankan syariah ternyata banyak orang Islam memiliki pola pikir sama dengan golongan ummat Rasulullah dulu ketika mereka kalah dalam perang Uhud. Mereka ketika itu mulai ragu dengan kerasulan Nabi, akibat kekalahan perang. Mereka berfikir seorang Rasul tidak akan pernah kalah perang. Padahal boleh jadi itu hanyalah sebuah cobaan bagi mereka karena Tuhan ingin membedakan diantara mereka mana yang kokoh keimanannya dan mana yang tidak.
Nah begitu juga dalam "perang" di perbankan syariah. Masih banyak ummat Islam yang selalu berfikir bahwa perbankan yang menggunakan prinsip-prinsip syariah sepatutnya lebih murah dan mudah pembiayaannya atau lebih tinggi keuntungannya (bagi hasil) pada simpanan/investas. Padahal boleh jadi industri belum lagi efisien, skala ekonomi belum maksimal, kualitas SDM belum optimal, atau boleh jadi hal ini juga dimaksudkan Tuhan sebagai ajang membedakan mana mereka yang mau berjuang dan mana yang mau "enak-enaknya" saja.
Nah begitu juga dalam "perang" di perbankan syariah. Masih banyak ummat Islam yang selalu berfikir bahwa perbankan yang menggunakan prinsip-prinsip syariah sepatutnya lebih murah dan mudah pembiayaannya atau lebih tinggi keuntungannya (bagi hasil) pada simpanan/investas. Padahal boleh jadi industri belum lagi efisien, skala ekonomi belum maksimal, kualitas SDM belum optimal, atau boleh jadi hal ini juga dimaksudkan Tuhan sebagai ajang membedakan mana mereka yang mau berjuang dan mana yang mau "enak-enaknya" saja.
MISKIN
Miskin menjadi gaya hidup? Kenapa tidak. Sudah pernah ada sekelompok manusia yang menjadikan kemiskinan sebagai sebuah gaya dalam mengarungi hidup dan kehidupan. Berbagai macam alasan menjadi latar belakang dari gaya hidup miskin, dari rasa tawadhu yang amat sangat, kekhawatiran pada tanggung jawab di hari akhir, kezuhudan terhadap kemegahan harta sampai alasan tidak ingin mengambil risiko dari beratnya godaan memiliki harta atau sekedar hanya ingin menjadi golongan pertama yang dapat masuk SYURGA. Tetapi kalimat yang saat ini lebih berkumandang adalah "kefakiran itu dekat dengan kekufuran", yang akhirnya menjadi justifikasi terhadap tabiat-tabiat serakah di diri segelintir manusia, dan akhirnya keserakahan menjadi gaya hidup yang terkesan semakin anggun dan canggih.
Jumat, 27 Juli 2007
Kamis, 26 Juli 2007
Intermezzo dalam Lamunan (2)
"lamunku akan hidup “
ingin kuanyam warna bianglala menjadi sekeranjang bunga ikhlas dan sabar pada ketika rindu tiba,
kutanam bibit kembang harapan di lembah hati dan sukma meski tanpa tahu hadirnya waktu untuk memetiknya,...
kukulum segala rasa cobaan dan nikmat dengan terus memaksa kata syukur sebagai imbalannya
kucinta semua ruang,
semua waktu dan
semua peristiwa
walau rasa tak sama inginnya
kuselami makna, kuurai benang-benang jalan dunia
tetapi tak kutemui sesuatu apa
duduk aku di sudut ruang akal dan emosi
mencoba melamunkan belaian dan tamparan Tuhan selama ini…
(19 nov '99)
ingin kuanyam warna bianglala menjadi sekeranjang bunga ikhlas dan sabar pada ketika rindu tiba,
kutanam bibit kembang harapan di lembah hati dan sukma meski tanpa tahu hadirnya waktu untuk memetiknya,...
kukulum segala rasa cobaan dan nikmat dengan terus memaksa kata syukur sebagai imbalannya
kucinta semua ruang,
semua waktu dan
semua peristiwa
walau rasa tak sama inginnya
kuselami makna, kuurai benang-benang jalan dunia
tetapi tak kutemui sesuatu apa
duduk aku di sudut ruang akal dan emosi
mencoba melamunkan belaian dan tamparan Tuhan selama ini…
(19 nov '99)
Rabu, 25 Juli 2007
Iman & Kepuasan (2)
Dari mana iman itu datang? Dari kefrustrasian? Pelarian? Apologi terhadap sesuatu yang tidak memiliki jawaban? atau memang berasal dari sebuah proses pencarian atas inti kehidupan?
Iman dalam Islam melalui lisan Nabi yang diyakini sebagai buah dari inspirasi ilahi, adalah keyakinan pada 6 elemen utama, yaitu keyakinan pada Tuhan, Malaikat, Kitab-Nya, Nabi, Hari Akhir & Qadha - Qadar. Keyakinan pada keenam elemen ini sepintas terkesan ringan, namun pada hakikatnya memiliki implikasi yang sangat mendalam. Keyakinan pada Tuhan tentu memiliki konsekwensi pada kesadaran akan kebesaran dan kekuasaan Tuhan. Kekuasaan Tuhan meliputi semua lingkungan atau bahkan diri manusia itu sendiri. Dan ruang lingkup kekuasaan tersebut mensyaratkan keyakinan pada Malaikat (dengan segala implikasinya pada corak dan kefitrahan mekanisme alam yang menjadi tugas malaikat), Nabi (dengan segala bentuk contoh berkehidupan yang melekat pada diri Nabi dan sebagai medium penyampai kalimat-kalimat Tuhan), Kitab (dengan segala kemutlakannya sebagai medium hukum-hukum Tuhan), Hari Akhir (dengan segala kepastiannya sebagai ukuran kesuksesan hidup dan penentu kebahagiaan abadi setelahnya) dan Qadha - Qadar (dengan segala konsekwensinya sebagai sebuah ketentuan Tuhan yang menuntut keikhlasan manusia dalam menerimanya sekaligus menjadi alat penguji bagi keimanan itu sendiri).
Pengetahuan terhadap keyakinan pada 6 elemen utama tersebut bukan berasal dari proses perenungan, atau sebuah kesimpulan analisa yang bersandarkan pada metode-metode ilmiyah. pengetahuan itu langsung dari Tuhan melalui medium-medium penyampai seperti Nabi, Malaikat atau Kitab-Nya. Dengan demikian, pengetahuan keimanan pada tingkat filosofi dalam Islam sangat-sangat bergantuk pada penerimaan hati terhadap logika-logika keimanan. Peran akal belum begitu dominan untuk menerima logika-logika ini. Jadi kebersihan hati kemudian menjadi begitu penting untuk dapat menerima logika-logika keimanan tersebut. Oleh sebab itu, terlihat jelas manusia yang terjaga prilakunya dalam kebaikan, akan memiliki potensi yang lebih besar untuk dapat menerima logika-logika keimanan. wallahu a'lam bishawab
Kebutuhan, Keinginan dan Faktor Produksi
Kebutuhan Versus Keinginan
Aktivitas ekonomi memang berawal dari kebutuhan fisik manusia untuk dapat terus hidup (survive) di dunia ini. Segala keperluan untuk bertahan hidup akan sekuat tenaga diusahakan sendiri, namun ketika keperluan untuk hidup itu tidak dapat dipenuhi sendiri dan kehidupan manusia memang tidak bersifat individual tapi social (kolektif), maka terjadilah interaksi pemenuhan keperluan hidup diantara para manusia. Interaksi inilah yang sebenarnya merepresentasikan interaksi permintaan dan penawaran, interaksi konsumsi dan produksi, sehingga muncullah pasar sebagai wadah interaksi ekonomi ini.
Pemenuhan keperluan hidup manusia ini secara kualitas memiliki tahapan-tahapan pemenuhan. Berdasarkan teori Maslow, keperluan hidup itu berawal dari pemenuhan keperluan hidup yang bersifat kebutuhan dasar (basic needs), kemudian pemenuhan keperluan hidup yang lebih tinggi kualitasnya seperti keamanan, kenyamanan dan aktualisasi. Namun perlu dipahami bahwa teori Maslow ini jelas merujuk pada pola pikir konvensional yang menggunakan perspektif individualistic-materialistik.
Sementara dalam Islam tahapan pemenuhan keperluan hidup dari seseorang atau individu boleh jadi memang seperti yang Maslow gambarkan, tapi perlu dijelaskan lebih detil bahwa pemuasan keperluan hidup setelah tahapan pertama (pemenuhan kebutuhan dasar) akan dilakukan ketika memang secara kolektif keperluan kebutuhan dasar tadi sudah pada posisi yang aman. Artinya masyarakat luas (umat) sudah terpenuhi kebutuhan dasarnya, sehingga tidak akan ada implikasi negatif yang nanti muncul akibat pemenuhan kebutuhan dasar kolektif tadi yang belum sempurna terwujud. Jadi diperlukan peran suatu otoritas atau negara dalam memastikan itu semua. Seperti yang nanti dijelaskan dalam bab selanjutnya, bahwa memang ada beberapa mekanisme dalam sistem ekonomi Islam yang tidak akan berjalan efektif jika tidak ada campur tangan negara.
Selain itu perlu dipahami juga bahwa parameter kepuasan Islam bukan hanya terbatas pada benda-benda konkrit (materi), tapi juga tergantung pada sesuatu yang bersifat abstrak, seperti amal shaleh yang manusia perbuat. Atau dengan kata lain, bahwa kepuasan dapat timbul dan dirasakan oleh seorang manusia muslim ketika harapan mendapat kredit poin (pahala) dari Allah SWT melalui amal shalehnya semakin besar. Pandangan ini tersirat dari bahasan ekonomi yang dilakukan oleh Hasan Al Banna.[1] Beliau mengungkapkan firman Allah yang mengatakan:
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin.” (QS. Lukman: 20)
Apa yang diungkapkan oleh Hasan Al Banna ini semakin menegaskan bahwa ruang lingkup keilmuan ekonomi Islam lebih luas dibandingkan dengan ekonomi konvensional. Ekonomi Islam bukan hanya berbicara tentang pemuasan materi yang bersifat fisik, tapi juga berbicara cukup luas tentang pemuasan materi yang bersifat abstrak, pemuasan yang lebih berkaitan dengan posisi manusia sebagai hamba Allah SWT.
Umer Chapra (2000) mencoba menjelaskan maksud Imam Al Ghazali dalam mendefinisikan fungsi syariah dalam Islam. Al Ghazali mendefinisikan bahwa fungsi Syariah adalah untuk mensejahterakan seluruh manusia melalui perlindungan agama, diri manusia, akal, keturunan dan harta. Chapra menyimpulkan bahwa dengan memasukkan jiwa manusia, akal dan keturunan di dalam model-model ekonomi, adalah mungkin untuk menciptakan kepuasan yang seimbang dari berbagai kebutuhan manusia.
Dari pembahasan keperluan hidup manusia dan tahapannya tadi, sebenarnya juga penting untuk di bahas apa perbedaan kebutuhan dan keinginan yang dalam perekonomian Islam mendapat perhatian tidak kurang besarnya. Karena kedua motif tadi akan dengan signifikan membedakan corak atau karakteristik aktivitas ekonomi.
Islam memiliki nilai moral yang begitu ketat dalam memasukkan “keinginan” (wants) dalam motif aktivitas ekonomi. Mengapa? Dalam banyak ketentuan prilaku ekonomi Islam, dominasi motif “kebutuhan” (needs) menjadi nafas dalam perekonomian bernilai moral Islam ini, bukan keinginan. Apa perbedaan dan konsekwensinya?
Kebutuhan (needs) lebih didefinisikan sebagai segala keperluan dasar manusia untuk kehidupannya. Sementara keinginan (wants) didefinisikan sebagai desire (kemauan)[2] manusia atas segala hal. Jadi ruang lingkup definisi keinginan akan lebih luas dari definisi kebutuhan. Contoh sederhana dalam menggambarkan perbedaan kedua kata ini dapat dilihat dalam konsumsi manusia pada air untuk menghilangkan dahaga. Kebutuhan seseorang untuk menghilangkan dahaga mungkin akan cukup dengan segelas air putih, tapi seseorang dengan kemampuan dan keinginannya dapat saja memenuhi kebutuhan itu dengan segelas wishky, yang tentu lebih mahal dan lebih memuaskan keinginan.
Memang diakui bahwa perbedaan keinginan dan kebutuhan begitu relative diantara satu manusia dengan manusia lain. Salah satu factor yang cukup menentukan dalam membedakan keduanya adalah menilai keduanya menggunakan perspektif kolektifitas (kebersamaan atau kejama’ahan). Dan inilah yang sebenarnya parameter umum yang harus digunakan dalam menilai sebuah kemanfaatan dari sesuatu termasuk mengidentifikasi perbedaan antara keinginan dan kebutuhan. Dengan kebersamaan kita dapat menilai seperti apa keadaan lingkungan manusia di sekitar kita, sehingga dengan sangat mudah kita dapat menentukan apakah tindakan kita itu mencerminkan kebutuhan atau keinginan.
Namun perlu juga diingat bahwa konsep keperluan dasar dalam Islam ini sifatnya tidak statis, artinya keperluan dasar pelaku ekonomi bersifat dinamis merujuk pada tingkat ekonomi yang ada pada masyarakat. Sehingga dapat saja pada tingkat ekonomi tertentu sebuah barang yang dulu lebih dikonsumsi akibat motifasi keinginan, pada tingkat ekonomi yang lebih baik barang tersebut telah menjadi kebutuhan. Jadi parameter yang membedakan definisi kebutuhan dan keinginan ini (sekali lagi) tidak statis, ia bergantung pada kondisi perekonomian serta ukuran kemashlahatan. Dengan standar kamashlahatan konsumsi barang tertentu dapat saja dinilai kurang berkenan ketika sebagian besar ummat atau masyarakat dalam keadaan susah.
Dengan demikian sangat jelas terlihat bahwa prilaku ekonomi Islam tidak didominasi oleh nilai alamiah yang dimiliki oleh setiap individu manusia, ada nilai diluar diri manusia yang kemudian membentuk prilaku ekonomi mereka. Dan nilai tersebut adalah Islam itu sendiri, yang diyakini sebagai tuntunan utama dalam hidup dan kehidupan manusia. Jadi berkaitan dengan variabel keinginan dan kebutuhan ini, Islam sebenarnya cenderung mendorong keinginan pelaku ekonomi sama dengan kebutuhannya. Dengan segala nilai dan norma yang ada dalam akidah dan akhlak Islam peleburan atau asimilasi keinginan dan kebutuhan dimungkinkan untuk terjadi.
Peleburan keinginan dengan kebutuhan dalam diri manusia Islam terjadi melalui pemahaman dan pengamalan akidah dan akhlak yang baik (Islamic norms). Sehingga
ketika asimilasi itu terjadi, maka terbentuklah pribadi-pribadi muslim (homo-islamicus) yang kemudian menentukan prilaku ekonominya yang orisinil yang bersumber dari Islam. Dan secara simultan otomatis ekonomi tentu akan mengkristal menjadi sistem yang jelas berbeda dengan sistem ekonomi yang telah eksis saat ini.
[1] Hasan Al Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, Intermedia, Jakarta 1997. pp. 387-409.
[2] Meskipun kata kamauan ini juga kurang tepat untuk menggambarkan desire.
Aktivitas ekonomi memang berawal dari kebutuhan fisik manusia untuk dapat terus hidup (survive) di dunia ini. Segala keperluan untuk bertahan hidup akan sekuat tenaga diusahakan sendiri, namun ketika keperluan untuk hidup itu tidak dapat dipenuhi sendiri dan kehidupan manusia memang tidak bersifat individual tapi social (kolektif), maka terjadilah interaksi pemenuhan keperluan hidup diantara para manusia. Interaksi inilah yang sebenarnya merepresentasikan interaksi permintaan dan penawaran, interaksi konsumsi dan produksi, sehingga muncullah pasar sebagai wadah interaksi ekonomi ini.
Pemenuhan keperluan hidup manusia ini secara kualitas memiliki tahapan-tahapan pemenuhan. Berdasarkan teori Maslow, keperluan hidup itu berawal dari pemenuhan keperluan hidup yang bersifat kebutuhan dasar (basic needs), kemudian pemenuhan keperluan hidup yang lebih tinggi kualitasnya seperti keamanan, kenyamanan dan aktualisasi. Namun perlu dipahami bahwa teori Maslow ini jelas merujuk pada pola pikir konvensional yang menggunakan perspektif individualistic-materialistik.
Sementara dalam Islam tahapan pemenuhan keperluan hidup dari seseorang atau individu boleh jadi memang seperti yang Maslow gambarkan, tapi perlu dijelaskan lebih detil bahwa pemuasan keperluan hidup setelah tahapan pertama (pemenuhan kebutuhan dasar) akan dilakukan ketika memang secara kolektif keperluan kebutuhan dasar tadi sudah pada posisi yang aman. Artinya masyarakat luas (umat) sudah terpenuhi kebutuhan dasarnya, sehingga tidak akan ada implikasi negatif yang nanti muncul akibat pemenuhan kebutuhan dasar kolektif tadi yang belum sempurna terwujud. Jadi diperlukan peran suatu otoritas atau negara dalam memastikan itu semua. Seperti yang nanti dijelaskan dalam bab selanjutnya, bahwa memang ada beberapa mekanisme dalam sistem ekonomi Islam yang tidak akan berjalan efektif jika tidak ada campur tangan negara.
Selain itu perlu dipahami juga bahwa parameter kepuasan Islam bukan hanya terbatas pada benda-benda konkrit (materi), tapi juga tergantung pada sesuatu yang bersifat abstrak, seperti amal shaleh yang manusia perbuat. Atau dengan kata lain, bahwa kepuasan dapat timbul dan dirasakan oleh seorang manusia muslim ketika harapan mendapat kredit poin (pahala) dari Allah SWT melalui amal shalehnya semakin besar. Pandangan ini tersirat dari bahasan ekonomi yang dilakukan oleh Hasan Al Banna.[1] Beliau mengungkapkan firman Allah yang mengatakan:
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin.” (QS. Lukman: 20)
Apa yang diungkapkan oleh Hasan Al Banna ini semakin menegaskan bahwa ruang lingkup keilmuan ekonomi Islam lebih luas dibandingkan dengan ekonomi konvensional. Ekonomi Islam bukan hanya berbicara tentang pemuasan materi yang bersifat fisik, tapi juga berbicara cukup luas tentang pemuasan materi yang bersifat abstrak, pemuasan yang lebih berkaitan dengan posisi manusia sebagai hamba Allah SWT.
Umer Chapra (2000) mencoba menjelaskan maksud Imam Al Ghazali dalam mendefinisikan fungsi syariah dalam Islam. Al Ghazali mendefinisikan bahwa fungsi Syariah adalah untuk mensejahterakan seluruh manusia melalui perlindungan agama, diri manusia, akal, keturunan dan harta. Chapra menyimpulkan bahwa dengan memasukkan jiwa manusia, akal dan keturunan di dalam model-model ekonomi, adalah mungkin untuk menciptakan kepuasan yang seimbang dari berbagai kebutuhan manusia.
Dari pembahasan keperluan hidup manusia dan tahapannya tadi, sebenarnya juga penting untuk di bahas apa perbedaan kebutuhan dan keinginan yang dalam perekonomian Islam mendapat perhatian tidak kurang besarnya. Karena kedua motif tadi akan dengan signifikan membedakan corak atau karakteristik aktivitas ekonomi.
Islam memiliki nilai moral yang begitu ketat dalam memasukkan “keinginan” (wants) dalam motif aktivitas ekonomi. Mengapa? Dalam banyak ketentuan prilaku ekonomi Islam, dominasi motif “kebutuhan” (needs) menjadi nafas dalam perekonomian bernilai moral Islam ini, bukan keinginan. Apa perbedaan dan konsekwensinya?
Kebutuhan (needs) lebih didefinisikan sebagai segala keperluan dasar manusia untuk kehidupannya. Sementara keinginan (wants) didefinisikan sebagai desire (kemauan)[2] manusia atas segala hal. Jadi ruang lingkup definisi keinginan akan lebih luas dari definisi kebutuhan. Contoh sederhana dalam menggambarkan perbedaan kedua kata ini dapat dilihat dalam konsumsi manusia pada air untuk menghilangkan dahaga. Kebutuhan seseorang untuk menghilangkan dahaga mungkin akan cukup dengan segelas air putih, tapi seseorang dengan kemampuan dan keinginannya dapat saja memenuhi kebutuhan itu dengan segelas wishky, yang tentu lebih mahal dan lebih memuaskan keinginan.
Memang diakui bahwa perbedaan keinginan dan kebutuhan begitu relative diantara satu manusia dengan manusia lain. Salah satu factor yang cukup menentukan dalam membedakan keduanya adalah menilai keduanya menggunakan perspektif kolektifitas (kebersamaan atau kejama’ahan). Dan inilah yang sebenarnya parameter umum yang harus digunakan dalam menilai sebuah kemanfaatan dari sesuatu termasuk mengidentifikasi perbedaan antara keinginan dan kebutuhan. Dengan kebersamaan kita dapat menilai seperti apa keadaan lingkungan manusia di sekitar kita, sehingga dengan sangat mudah kita dapat menentukan apakah tindakan kita itu mencerminkan kebutuhan atau keinginan.
Namun perlu juga diingat bahwa konsep keperluan dasar dalam Islam ini sifatnya tidak statis, artinya keperluan dasar pelaku ekonomi bersifat dinamis merujuk pada tingkat ekonomi yang ada pada masyarakat. Sehingga dapat saja pada tingkat ekonomi tertentu sebuah barang yang dulu lebih dikonsumsi akibat motifasi keinginan, pada tingkat ekonomi yang lebih baik barang tersebut telah menjadi kebutuhan. Jadi parameter yang membedakan definisi kebutuhan dan keinginan ini (sekali lagi) tidak statis, ia bergantung pada kondisi perekonomian serta ukuran kemashlahatan. Dengan standar kamashlahatan konsumsi barang tertentu dapat saja dinilai kurang berkenan ketika sebagian besar ummat atau masyarakat dalam keadaan susah.
Dengan demikian sangat jelas terlihat bahwa prilaku ekonomi Islam tidak didominasi oleh nilai alamiah yang dimiliki oleh setiap individu manusia, ada nilai diluar diri manusia yang kemudian membentuk prilaku ekonomi mereka. Dan nilai tersebut adalah Islam itu sendiri, yang diyakini sebagai tuntunan utama dalam hidup dan kehidupan manusia. Jadi berkaitan dengan variabel keinginan dan kebutuhan ini, Islam sebenarnya cenderung mendorong keinginan pelaku ekonomi sama dengan kebutuhannya. Dengan segala nilai dan norma yang ada dalam akidah dan akhlak Islam peleburan atau asimilasi keinginan dan kebutuhan dimungkinkan untuk terjadi.
Peleburan keinginan dengan kebutuhan dalam diri manusia Islam terjadi melalui pemahaman dan pengamalan akidah dan akhlak yang baik (Islamic norms). Sehingga
ketika asimilasi itu terjadi, maka terbentuklah pribadi-pribadi muslim (homo-islamicus) yang kemudian menentukan prilaku ekonominya yang orisinil yang bersumber dari Islam. Dan secara simultan otomatis ekonomi tentu akan mengkristal menjadi sistem yang jelas berbeda dengan sistem ekonomi yang telah eksis saat ini.
[1] Hasan Al Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, Intermedia, Jakarta 1997. pp. 387-409.
[2] Meskipun kata kamauan ini juga kurang tepat untuk menggambarkan desire.
Selasa, 24 Juli 2007
Iman & Kepuasan
Apa hubungan iman dan ekonomi? boleh jadi ini kunci ekonomi dalam Islam. Bahkan tingkat perbedaan konsep ekonomi Islam dengan konsep-konsep lain ditentukan seberapa besar tingkat keimanan kolektif pelaku yang mengakomodasi aplikasi ekonomi Islam.
Keimanan pada dasarnya mencerminkan kepatuhan manusia pada nilai-nilai dan ketentuan Islam. Keimanan akan membentuk corak inisiatif, motif, preferensi dan mekanisme pelaksanaan prinsip-prinsip berekonomi secara Islam. Keimananlah yang menentukan seperti apa seseorang memperlakukan pendapatannya. Keimanan juga yang membentuk preferensi konsumsi, produksi, investasi atau prilaku sosial.
Dengan begitu, keimanan juga akan membentuk besaran-besaran ekonomi yang ada dalam perekonomian. Korelasi positif yang terjadi antara besaran ekonomi tersebut dengan keimanan kemudian menjadi besaran yang dapat dijadikan ukuran atau standard pencapaian ekonomi, sehingga ekonomi sebagai alat pencapaian kesejahteraan bukan hanya di dunia tetapi juga di akhirat, selaras dengan aktifitas-aktifitas ibadah lain yang telah lazim dikenal dalam agama (Islam). atau dengan makna lain, bahwa ekonomi pada level itu tidak lagi bisa dibedakan dengan agama, karena memang ekonomi adalah salah satu piranti praktis dari agama. Wallahu a'lam bishawab.
"Intermezzo Dalam Lamunan" (1)
" lamunanku pada harap "
Ketika cinta belum sanggup mewujudkan rasanya
Ketika malam belum indah bersama bintangnya
Ketika sayang masing mencari-cari tujuannya
Ketika siang belum nampak hangatnya
Bukan hati yang mencinta
Tapi sukma yang meminta
Hari berganti dengan minggu
Tapi tak kunjung tiba yang kutunggu
Bukit tetap setinggi bukit
Gunung terus berujud gunung
Hingga sang Maha menunjukkan Maha-Nya
Hingga kuasa-Nya di atas segala kuasa
28th March 2000
Ketika cinta belum sanggup mewujudkan rasanya
Ketika malam belum indah bersama bintangnya
Ketika sayang masing mencari-cari tujuannya
Ketika siang belum nampak hangatnya
Bukan hati yang mencinta
Tapi sukma yang meminta
Hari berganti dengan minggu
Tapi tak kunjung tiba yang kutunggu
Bukit tetap setinggi bukit
Gunung terus berujud gunung
Hingga sang Maha menunjukkan Maha-Nya
Hingga kuasa-Nya di atas segala kuasa
28th March 2000
Langganan:
Postingan (Atom)