Kamis, 02 Juli 2009

QUO VADIS PERBANKAN SYARIAH INDONESIA

Semenjak tahun 2004, industri perbankan syariah di Indonesia telah mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Dalam kurun waktu 5 tahun, total aset industri perbankan syariah telah meningkat lebih dari 3 kali lipat atau setara dengan pertumbuhan sebesar 55,8% per tahun (rata-rata y.o.y) dari sebesar Rp 15,33 triliun pada tahun 2004 menjadi Rp.49,55 triliun pada akhir tahun 2008.

Pada periode 5 tahun terakhir, perbankan syariah telah pula berhasil mempertahankan kualitas aset yang cukup baik yang ditunjukkan dengan tingkat Non Performing Financing (NPF) yang masih terkendali sekitar 4-5% dan tingkat Financing to Deposit ratio (FDR) yang cukup tinggi yaitu rata-rata diatas 90%. Industri perbankan syariah telah pula mengalami pertumbuhan dalam hal kelembagaan. Pada saat ini jumlah bank syariah telah meningkat menjadi 5 Bank Umum Syariah, 25 Unit Usaha Syariah dan 134 BPR Syariah yang didukung oleh 1031 kantor ditambah 1.618 unit layanan syariah di kantor bank konvensional.

Pertumbuhan jaringan yang pesat juga membuat pertumbuhan yang cukup tinggi pada jumlah pengguna jasa perbankan syariah. berdasarkan data terakhir diketahui hingga bulan Mei 2009 pengguna jasa pembiayaan bank syariah mencapai 635.555 atau tumbuh rata-rata pertahun dalam 5 tahun terakhir sebesar 99,45%. Sementara pengguna jasa simpanan (giro, tabungan dan deposito) mencapai 4.678.374 dengan rata-rata pertahunnya tumbuh sebesar 73,42%.

Berdasarkan data bulan Desember 2008, aset perbankan syariah nasional mencapai Rp.49,55 triliun, sedangkan pembiayaan yang didistribusikan dan dana masyarakat yang terhimpun masing-masing mencapai Rp.38,19 triliun dan Rp.36,85 triliun. Sementara jaringan kantor telah mencapai 953 kantor. Selain itu sebagian besar pembiayaan tersebut dialokasikan ke UMKM dengan porsi yang cukup signifikan yaitu mencapai sekitar 70%.

Sehubungan dengan terjadinya krisis keuangan global sejak semester kedua tahun 2008, industri perbankan syariah nasional relatif terhindar dari pengaruh langsung krisis keuangan global karena relatif rendahnya eksposur investasi internasional dan transaki valuta asing. Hal ini tercermin antara lain dengan masih tingginya pertumbuhan tahunan dari aset, DPK maupun PYD industri perbankan syariah. Disamping itu, daya tahan industri perbankan syariah sedikit banyak dipengaruhi oleh karakteristiknya yang hanya bertransaksi pada aktifitas ekonomi riil dan memang pembiayaan perbankan syariah mayoritas berada di sektor UMKM.

Pencapaian industri perbankan syariah nasional yang cukup menonjol pada periode tahun 2004 s.d 2009 adalah dikeluarkannya UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan syariah, dimana dengan UU tersebut industri perbankan syariah telah memiliki landasan hukum yang kuat. Disamping itu, sebelumnya telah pula dikeluarkan UU No. 19 tahun 2008 tentang Sertifikat Berharga Syariah Nasional (SBSN) yang memberikan dukungan berupa dikeluarkannya instrumen SBSN yang dapat digunakan oleh perbankan syariah dalam pengelolaan likuiditasnya.
Dalam aspek peningkatan kualitas sekaligus kuantitas sumberdaya mansusia industri perbankan syariah, telah dilakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga terkait seperti Perguruan Tinggi (PT), Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), Asosiasi Bank Syariah Indonesia (ASBISINDO), CERTIF, Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) dan Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES), berupa pembukaan program-program studi ekonomi/keuangan/perbankan syariah, penyusunan buku teks ekonomi Islam, penyusunan kodifikasi produk perbankan syariah, kamus istilah keuangan/perbankan syariah serta pelaksanaan program sertifikasi bagi direktur BPRS di seluruh Indonesia.

Pertanyaan yang cukup menggelitik dari perkembangan pesat industri perbankan syariah nasional saat ini adalah:

Sudah seberapa jauh kemanfaatan bank syariah dirasakan masyarakat luas? Berdasarkan data perkembangan jumlah rekening nasabah baik simpanan maupun pembiayaan mencerminkan seberapa jauh kemanfaatan bank syariah. pertumbuhan yang hampir dua kali lipat setiap tahunnya dalam kurun waktu 5 tahun menjadi prestasi tersendiri. Tetapi akan sangat melegakan jika diketahui, seberapa banyak masyarakat usaha yang terbantu usahanya, berkembang bisnisnya, terangkat status sosial dan aktifitas ibadahnya (keimanannya) karena bantuan perbankan syariah.

Sejauh mana paradigma masyarakat berubah oleh perkembangan perbankan syariah tanah air? Sejauh ini belum ada instrumen yang dapat dijadikan alat ukur seberapa jauh adanya perubahan paradigma. Masyarakat masih memandang bank syariah sebagai diversifikasi produk perbankan, karena masih dominannya floating customer bank syariah.

Sejauh mana derajad kesyariahan dan keislamian prilaku ekonomi masyarakat, menjadi perhatian program-program pengembangan industri? Mekanisme sharia governance, dimana DSN bersama BI masih melakukan kontrol atas produk-produk baru perbankan syariah sedikit banyak membantu mengawal kesyariahan operasional perbankan syariah. Meskipun pada sisi lain, perbankan syariah nasional terkesan birokratif. Tapi perlu diakui dengan karakteristik sharia governance seperti ini, jatidiri industri perbankan syariah nasional sebagai lembaga intermediari keuangan syariah masih terus terjaga, kontribusinya maksimal pada pertumbuhan ekonomi. Ditengah gencarnya inovasi produk yang similar dengan produk asing, seiring dengan semakin banyaknya bank lokal dimiliki pihak asing, mekanisme sharia governance ini sangat-sangat bermanfaat mengawal derajad kesyariahan industri. Meskipun begitu, diharapkan derajad kesyariahan juga menjadi kepentingan praktisi perbankan dengan pengetahuan, pemahaman dan skill yang mumpuni dari SDM perbankan syariah nasional. Dengan pemahaman dan kemampuan yang mumpuni, diharapkan terjadi pula pergeseran preferensi penggunaan produk dari pembiayaan berbasis jual-beli kepada produk pembiayaan berbasis bagi-hasil. Sementara itu prilaku Islami masyarakat dalam berinteraksi dengan bank syariah atau lembaga keuangan syariah pada saat ini masih sekedar berorientasi pada pencapaian profit yang halal. Budaya amanah, transparan, profesional atau bahkan militansi pada lembaga keuangan syariah masih dirasakan rendah. Harapannya seiring dengan waktu, masyarakat semakin memiliki loyalitas dan semakin memperhatikan nilai-nilai atau akhlak dalam beraktifitas memanfaatkan jasa keuangan syariah. Masyarakat sebagai nasabah tidak hanya menjatuhkan pilihan pada bank, karena faktor tinggi rendahnya return, tetapi juga karena nilai-nilai yang dianut oleh bank, atau kemanfaatan bank terhadap lingkungannya.

Tidak ada komentar: