Senin, 28 September 2009

G-20: Pengakuan Ketidakmampuan atau Pertunjukkan Arogansi Negara Maju


Banyak nuansa positif yang dituliskan oleh media tentang pengalihan “penguasa” ekonomi dunia dari G-8 ke G-20, baik dari wartawan, pengamat maupun pakar ekonomi. Pengakuan G-20 sebagai lembaga yang yang mengganti fungsi dan kerja-kerja G-8 dalam menentukan arah kebijakan ekonomi dunia dianggap sebagai langkah nyata yang positif dari pembangunan tatanan dunia baru (new order).

Langkah mengajak negara-negara berkembang yang berpotensi menjadi raksasa dunia seperti China, India, Indonesia dan Brazil, menjadi sebuah realita yang tidak bisa dipungkiri oleh negara maju (lama) Amerika dan Eropa. Pemunculan G-20 menjadi sebuah revolusi nyata dari perubahan keseimbangan kekuatan ekonomi dunia. Oleh sebab itu, penyesuaian perubahan ini akan tergambar dari voting powers yang ada pada beberapa lembaga ekonomi/keuangan dunia seperti IMF dan World Bank.

Namun apa esensi sekaligus lesson learn dari peristiwa bersejarah ini? Menggunakan perspektif ekonomi Islam, sebaiknya peristiwa ini memberikan gambaran yang lebih vulgar dan menjadi evidence dari analisis-analisis proyeksi ekonomi Islam. Analisis ekonomi Islam terhadap current condition/system dari perekonomian dunia, mayoritas mengungkapkan kesalahan atau bahkan kekacauan yang sifatnya mendasar dari sistem ekonomi modern, sehingga diprediksikan cepat atau lambat perekonomian dunia akan menderita sangat parah (severe).

Derita ekonomi dunia akan dirasakan dalam dua bentuk; kekacauan kinerja sistem ekonomi (akibat kesalahan sistem) dan kerusakan moral sosial yang berimbas pada memarahnya mekanisme ekonomi yang ada (akibat keserakahan pelaku/moral). Derita tersebut, perlahan tapi pasti telah menjadi wajah perekonomian dunia. Hampir tak ada zona ekonomi di bumi ini yang tidak merasakan kekacauan ekonomi. Bahkan peristiwa terakhir menunjukkan bahwa negara maju sekalipun tidak imun terhadap krisis ekonomi.

Krisis keuangan sejak 2008 yang melanda negara maju, memorak-porandakan tatanan ekonomi mereka, bahkan telah mematahkan mitos ketahanan negara adidaya ekonomi. Mengingat negara maju menjadi pasar mayoritas negara-negara berkembang, maka mau tidak mau negara berkembang pun ikut pusing dalam kerja-kerja pemulihan ekonomi/keuangan dunia.

Tetapi disamping fakta diatas, krisis keuangan mutakhir ternyata memberikan fakta yang lebih, yaitu daya survival dari beberapa negara berkembang dalam menghadapi krisis yang ada, terutama China, India, Indonesia dan Brazil. Kekuatan sumberdaya dan perekonomian domestik mereka mampu menjaga kelanjutan pembangunan ekonomi yang direfleksikan positifnya pertumbuhan ekonomi mereka. Dan akhirnya mereka perlahan-lahan merubah kutub gravitasi ekonomi dari barat ke timur. Beberapa perusahaan besar yang telah menyadari ini, melakukan penyesuaian berupa pengalihan kantor pusat dari wilayah negara maju Eropa-Amerika (barat) ke Asia (timur).

Amerika dan Eropa seolah-olah tidak mau kehilangan muka dalam mempertahankan hegemoni ekonomi dunia karena menyadari dan melihat pergeseran episentrum ekonomi dari barat ke Timur. Akhirnya mereka dengan cover new world economic order, merangkul calon negara-negara raksasa ekonomi dalam lingkaran eksklusif mereka, dalam rangka menentukan arah kebijakan perekonomian dunia. Negara-negara berkembang tersebut tentu saja menyambut dengan baik ajakan itu, selain meningkatkan prestise mereka, ajakan ini juga didalihkan menjadi ajang penyeimbangan kekuatan ekonomi menuju tatanan ekonomi yang lebih adil.

Namun bagi negara maju Eropa-Amerika revitalisasi G-20 dengan mengambil alih fungsi G-8, menunjukkan wajah apa? Arogansi kah atau tanda menyerah pada kondisi krisis? Krisis ekonomi/keuangan yang sedemikian parahnya memaksa mereka harus membagi risiko krisis dan membutuhkan bantuan (baik dana maupun pasar) untuk survive. Oleh sebab itu mereka mengajak negara berkembang yang berpotensi membantu kesulitan mereka, yaitu negara-negara bermodal besar seperti negara Saudi Arabia dan China serta negara-negara yang memiliki pasar raksasa seperti India, Indonesia dan Brazil (negara berpopulasi besar selain China).

Selain itu, ternyata pengalihan G-8 ke G-20 ternyata menunjukkan sebuah bentuk arogansi negara-negara maju yang mencoba menutupi ketidakmampuan mereka dengan cover G-20, dimana esensinya mereka tidak ingin kehilangan kontrol atas arah kebijakan perekonomian dunia. Artinya G-20 hakikatnya adalah upaya mempertahankan hegemoni ekonomi mereka atas dunia. Padahal, boleh jadi perekonomian mereka sebenarnya sdah ada di tepi jurang kehancuran.

Berdasarkan analisa ini, sebaiknya negara-negara berkembang raksasa patut waspada. Mereka tidak lagi mengulang kesalahan yang sama. Arah kebijakan ekonomi mereka harus konsisten dengan kepentingan dan kebutuhan ekonomi domestik mereka. Jangan menghabiskan energi yang hakikatnya hanya menolong ekonomi Eropa-Amerika tanpa ada imbas pada akselerasi perekonomian domestik negara-negara berkembang. Momentum saat ini adalah momentum yang tepat untuk meraksasa dan memakmurkan masing-masing negara berkembang, menetapkan blueprint baru bagi perekonomian dunia, atau meredefinisi bentuk negara maju yang sesungguhnya.

Dan yang pasti, inilah momentum negara-negara muslim terkemuka untuk menampilkan kepercayaan diri menawarkan perekonomian Islam bagi new world economic order.

Tidak ada komentar: