Rabu, 22 Februari 2012
Duh Politisi, Dimana Akal Sehatmu?
Sedikit saya ingin berbicara tentang politik. Satu bidang yang saya minati meski hanya dengan membaca dinamikanya di banyak media. Setiap isu politik baik luar negeri maupun nasional selalu mencuri perhatian saya. Tetapi akhir-akhir ini khususnya dinamika politik nasional memancing saya untuk berkomentar. Ga tahan kalo ga ngomong.
Pada pemahaman saya, dengan job description sebagai pelayan masyarakat, maka menjadi politisi adalah jabatan termulia yang seharusnya mengharumkan nama pemangkunya baik di bumi maupun di langit. Menjadi politisi hakikatnya mewakafkan diri untuk sepenuhnya mengabdi bagi kepentingan ummat, membantu dan memecahkan masalah rakyat, menfasilitasi kebutuhan masyarakat, serta mewakili dan menyuarakan kepentingan-kepentingan mereka. Adakah jabatan yang lebih baik job description dari politisi ini?
Tetapi mengapa kini di mata saya jabatan ini merupakan jabatan paling hina dimuka bumi? Karena politisi yang ditampilkan dihadapan saya ternyata tidak lebih dari maling, mencuri harta dan hak rakyat, bersilat lidah demi pundi-pundi hartanya sendiri, membusungkan dada bahwa mereka terhormat dan layak dilayani. Lihatlah logika berfikir mereka, menyuap mereka katakan hanya memfasilitasi transportasi dan akomodasi, korupsi atau maling mereka katakan komisi untuk konstituen, foya-foya dan bermewah-mewah mereka katakan menjaga harga diri dan martabat.
Mungkin logika mereka sudah salah sejak awal. Dan kita yang menjadi rakyat ini juga salah dengan memilih dan membenarkan tingkah-polah mereka sejak awal. Lihatlah rekam-jejak politisi-politisi itu, untuk menjadi kandidat saja persyaratan utamanya kesanggupan menyediakan dana untuk spanduk, baligo, bendera dan program-program pengerahan masa. Kemampuan memimpin, berjuang, berkorban, ketauladanan apalagi keshalehan, mungkin ada diurutan kesekian dibawah kemampuan financial, lobi dan cuap-cuap.
Duh wakil-wakilku, dimana akal sehatmu? Kalaupun kalian terkena jerat hukum karena ulah malingmu, itu hanya sinyal agar kalian berbagi hasil jarahan dengan aparat-aparatku yang memang sebelas-duabelas kelakuannya denganmu. Sepertinya kalian politisi dan pemimpin negeri hidup di nirwana negeri ini. Dan di situ kalian punya hukum sendiri, budaya sendiri, ukuran logika akal sehat dan nurani sendiri. Tapi ga tau, apakah di nirwana itu kalian punya Tuhan yang lain.
Suka tersenyum saya mengingat kembali kalimat seorang guru, “begitulah politisi, sebelum menjabat mereka begitu cerdasnya, tetapi setelah menjabat begitu bodohnya, dan ketika mereka sudah tidak menjabat, perlahan-lahan daya kecerdasannya pulih kembali, tetapi biasanya sudah terlambat.” Semoga Allah lindungi kita dari ujian dan cobaan yang kita tak sanggup mengembannya.
Senin, 20 Februari 2012
Bank Syariah: selalu mengecewakan?
Bengkulu, memberikan pengalaman yang berbeda, bukan hanya untuk pertama kalinya saya mengunjungi provinsi ini tetapi juga mendapatkan antusiasme yang lebih dari para peserta TOT Perbankan Syariah. Sebelumnya Bengkulu merupakan salah satu provinsi yang saya tidak begitu tahu kondisinya, baik suasana kota maupun kondisi penduduknya, makanya saya pun antusias untuk dating dan menghadiri sesi berbagi ilmu di Bengkulu.
TOT yang ditujukan untuk up-grading pengetahuan para dosen dari beberapa perguruan tinggi di provinsi Benkulu, biasanya dihadiri dengan kurang sepenuh hati oleh para dosen, mengingat dosen biasanya memiliki egoism tersendiri dengan kompetensi yang telah mereka miliki. Tetapi untuk Bengkulu kekhawatiran itu pupus pada hari pertama penyelenggaraan TOT tersebut. Antusiasme para dosen membuat saya mendapatkan semangat lain dalam berbagi ilmu. Bahkan Ketua STAIN Bengkulu berkeras dan berkomitmen untuk ikut sebagai peserta pada setiap sesi TOT yang ada, jarang sekali terjadi.
Begitu juga ketika saya harus mengisi kuliah umum bagi para mahasiswa, meski saat itu adalah saat liburan, tetapi tak kurang dari 200 peserta dapat hadir. Ternyata beberapa dosen juga tertarik untuk hadir dalam kuliah umum ini. Pertanyaan dari para peserta juga menunjukkan keingintahuan tinggi pada disiplin ilmu ekonomi, keuangan dan perbankan syariah. Yang menjadi perhatian saya dan kemudian menyita waktu saya untuk berfikir meski pertanyaan itu sudah saya jawab adalah satu pertanyaan yang selalu muncul pada setiap sesi diskusi tentang perbankan syariah dimana saja kapan saja, yaitu pertanyaan tentang pelayanan operasional bank syariah yang mengecewakan, entah itu produk dan harganya, aplikasi transaksi atau akadnya maupun fasilitas dan pelayanan pegawainya.
Nah, isu ini yang ingin saya diskusikan kali ini. Dalam banyak forum sebelum ini pesan sentral saya untuk bank syariah adalah willingness dari banyak pihak untuk dapat menerima kenyataan bahwa bank syariah merupakan entitas baru lembaga keuangan. Dari aspek usia dan size industri, pengalaman dan keahlian sampai dengan fasilitas dan infrastruktur, perbankan syariah masihlah minim, sehingga pelayanan jasa perbankan menjadi logis tidak optimal. Kekurangan ini selain menuntut perbaikan tentu saja mau tidak mau menuntut pula pemakluman. Dalam bahasa saya ia menuntut pengorbanan, khususnya dari para penikmat jasanya.
Memang tidak selayaknya dalam dunia bisnis membebankan kemajuan industri kepada pelanggan, tetapi wajar bagi saya mengingat nature bisnis syariah menuntut kondisi tertentu pada sisi pelanggan atau pemakai jasa bisnis ini. Lagi pula industri ini memang muncul dari desakan demand pada masyarakat pengguna yang menuntut adanya pelayanan jasa keuangan yang sesuai dengan keyakinan pelanggannya. Sehingga ketika bisnis ini muncul, tentu layaknya industri baru, ia belum mampu tampil sempurna seperti bisnis mapan dengan usia yang telah lama apalagi pengetahuan dan keahlian dari bisnis perbankan syariah masih terus dikenali dan digali. Oleh sebab alasan itu, jawaban saya masih terus berkutat pada pembangunan willingness untuk memahami dan kemudian memaklumi semua ketidak-optimalan itu, dengan bingkai berfikir bahwa itu semua merupakan bentuk pengorbanan dari satu perjuangan memunculkan dan memapankan industri Islami ditengah masyarakat.
Kekecewaan, ketidakpuasan dan ketidaksempurnaan pelayanan oleh industri perbankan syariah pada semua aspek, pada tahap awal harus disikapi dengan kaca-mata perjuangan. Karena memang definisi pejuang dalam urusan ini tidak dipanggul seorang diri oleh pelaku bisnis, tetapi semua pihak dalam industri baik dari sisi supply maupun sisi demand. Dan kenyataannya memang harus seperti itu, masyarakat harus berkorban, kekecewaan dan ketidakpuasan tidak harus (tidak boleh) disikapi dengan beralih ke bank konvensional, karena menjadi tidak logis pejuang meninggalkan medan pertempuran bahkan beralih menjadi bagian dari pasukan musuh hanya karena “pedangnya tumpul”.
Saya fikir masih ada seribu alasan lagi untuk tidak menjustifikasi ketidakpuasan itu. Tetapi kini, perlahan saya mulai mengalihkan focus jawaban dan diskusi saya pada sisi supply. Waktu yang disediakan oleh pelanggan dalam bentuk pengorbanan dan kesabaran mungkin akan memiliki batas, dan sebelum sampai pada batasnya sebaiknya para praktisi atau pelaku bisnis bank syariah sudah memiliki jawaban untuk masyarakat. Jawaban yang dibutuhkan tentu bukan lisan dan beribu alasan untuk kembali menjustifikasi kekurangan mereka, tetapi berupa perbaikan pelayanan, peningkatan keahlian dan pelengkapan fasilitas.
20 tahun perbankan syariah telah menjadi isu yang membuat banyak pihak membicarakan dan mendalami pengetahuan sekaligus keahlian industri ini. Dan telah 10 tahun industri ini melakukan pemapanan industrinya di tengah masyarakat dan dunia usaha. Regulasi berupa undang-undang perlahan terlengkapi, pendidikan formal juga non-formal terbentuk untuk spesifikasi pengetahuan dan keahlian bidang ini, infrastruktur terkaitpun bertahap membentuk dan menyempurnakan industri, sehingga wajar tuntutannya adalah optimalitas pelayanan bagi masyarakat.
Dahulu praktisi perbankan syariah masih di dominasi oleh pegawai yang berasal dari bank-bank konvensional pada semua level. Proses pendidikan non-formal berdurasi singkat yang membuat mereka layak menjalankan roda bank syariah. Proses itu menjadi keniscayaan dan realita atas kebutuhan jangka pendek industri ini. Namun kini, perlahan dan bertahap khususnya pada level dasar posisi praktisi mulai diisi oleh para fresh graduate yang ketika mahasiswa dulu menjadi pelopor pembelajaran formal ekonomi, keuangan dan perbankan syariah di perguruan-perguruan tinggi. Dengan demikian, diharapkan generasi “baru” ini mampu menjawab tantangan yang telah menjadi isu besar di perbankan syariah sejak lama, yaitu optimalisasi pelayanan bagi masyarakat.
Masalah pelayanan yang birokratif, lama dan rumit, mahalnya harga, terbatasnya ATM, internet, mobile banking dan fasilitas lainnya, produk yang belum mampu melayani semua kebutuhan, serta pelayanan pelanggan yang jauh dari kelaziman perbankan, menuntut kerja keras dan komitmen yang lebih dari para praktisi. Kepada mereka yang dulu ada dalam barisan pejuang dan pelopor ditingkat mahasiswa, kini waktunya membuktikan idealisme dan komitmen yang sudah ditumpuk pada masa pendidikan dahulu. Pada saat ini bukan lagi semangat diskusi dan aktifitas akademis yang dibutuhkan tetapi kemampuan pelayanan dan inovasi. Semangat jangan dikaburkan oleh situasi industri yang bersifat komersial, perjuangan tetap perjuangan, semangat tetap bersumber dari idealism jangan alihkan pada besar kecilnya gaji atau kompensasi.
Betul akan ada tuntutan remunerasi tetapi yakinlah bahwa selain memang ia merupakan hak, ia juga sudah akan berjalan sesuai scenario rejeki yang telah genap ketetapannya oleh Tuhan. Rejeki tidak akan tertukar, tidak akan kurang atau lebih. Jadi, jika aspek remunerasi itu sudah terlaksana dengan maksimal kemampuan, focus dan konsentrasilah dalam proses perjuangan. Kedudukan praktisi sebaiknya juga disemangati oleh persepsi sebuah misi. Kerja-kerja praktisi tidak melulu ada pada domain kerja nafkah tetapi merupakan bagian dari kerja-kerja dakwah.
Dengan persepsi kerja dakwah, maka benahi semua kerja dari aspek yang paling kecil hingga kerja-kerja utama. Profesionalitas kerja akan sempurna ketika dilengkapi oleh nilai-nilai kejujuran, keadilan dan sungguh-sungguh yang selama ini dikenal dalam kerja dakwah. Dari bolos kantor, bermalasan dan mencuri-curi baik waktu maupun materi dari kerja menjadi sesuatu yang mengganggu hati. Ingat nasehat para ustadz kita dulu dan kini, jika mereka yang membangun system keburukan begitu profesionalnya, mengapa kita yang jelas-jelas tengah membangun system kebaikan masih sibuk dengan hal-hal yang tidak penting? Mengapa dahulu kita begitu total tanpa pamrih dalam kerja dakwah, meski dakwah hanya menjanjikan kebaikan-kebaikan berupa pahala dan guguran dosa, mengapa ketika kini kerja dakwah anda begitu pragmatis padahal selain janji kebaikan seperti dahulu kini Allah tambah kebaikan itu dengan nafkah.
Layaknya dakwah jika dahulu anda senantiasa mendoakan binaan-binaan dakwah anda, kini sepatutnya doa-doa semacam itu anda lantunkan pula untuk lembaga dan pelanggan-pelanggan anda. Misalnya sebagai account officer sangat baik anda mendoakan kelancaran bisnis customer anda, sebagai customer service baik pula jika anda doakan keberkahan nafkah investor anda, sehingga semuanya berjalan baik pada sisi metafisik yang non-teknis dan non-material. Sebagai product engineering, inilah saatnya anda keluar dari kelaziman banker baik cara berfikir dan berinovasi, kenali betul logika bank syariah dimana kombinasi orientasi profit dan edukasi dakwah berpadu dalam produk-produk bank syariah. Semoga produk bank anda bukan hanya berorientasi pada keuntungan individual bank anda tetapi juga mempertimbangkan pelayanan untuk terwujudnya kemandirian ummat, memperluas kesempatan berusaha bagi sebanyak-banyaknya ummat. Kunjungi banyak pasar, ladang dan kebun serta pusat-pusat usaha lainnya, interaksi dengan mereka, serap kebutuhan mereka dan olah itu semua dalam inovasi-inovasi produk. Semoga Allah buka fikiran dan penuhi benak anda dengan inspirasi juga ilham yang penuh berkah, sesuai janji-Nya, bahwa Allah akan bantu semua usaha-usaha kebaikan meski saat ini anda merasa buntu dalam berfikir dan merenung.
Di lain sisi, boleh jadi masyarakat tidak selalu puas diimingi produk dengan janji-janji tingginya return produk anda, boleh jadi mereka sudah muak dan jenuh dengan itu. Perlakukan mereka sebagai objek dakwah yang dahaga pada semua perbuatan baik. Kabarkan pada mereka bahwa investasi-investasi yang menggunakan uang mereka sudah membantu sekian banyak pengusaha mikro dan kecil, sudah membuat banyak pedagang dan petani kecil terbantu usaha mereka, sudah membantu sekian banyak masyarakat dhuafa, sudah menjaga kelestarian alam, sudah membesarkan lembaga-lembaga dakwah termasuk bank syariah, sudah semakin memperbanyak orang bekerja dalam industri keuangan yang lebih berkah. Mungkin informasi-informasi seperti ini yang lebih menentramkan shareholder anda ketika membaca financial statement anda. Bayangkan bank syariah anda kesuksesannya bukan lagi hanya bergantung pada kinerja-kinerja teknis, tetapi ia didukung pula oleh doa-doa keberkahan dari pegawai, pemegang saham dan nasabah-nasabah anda. Subhanallah.
Selasa, 07 Februari 2012
Reorientation on Islamic Finance Practices
pagi ini cukup menarik dapat refreshment berupa knowledge sharing dari Dr. Mohammad Omar Farooq. meski apa yang disampaikan bukanlah hal yang baru, tetapi sharing beliau cukup menarik untuk mempertegas understanding dan menambah semangat. beliau semakin meyakinkan bahwa praktek keuangan syariah termasuk perbankan syariah di dalamnya memerlukan reorientasi dari apa yang ada saat ini. beliau cukup komprehensif meng-address isu-isu penting dalam keuangan syariah.
dan saya ingin berbagi dengan anda beberapa kalimat-kalimat penting sebagai kata kunci dari isu yang menjadi concern Dr. Farooq. mungkin saya tidak akan membahas elaborasinya, saya berharap anda memahami makna yang terkandung dari kata-kata kunci tersebut.
dari materi yang berjudul Islamic Finance: the next wave? beliau menyebutkan ada yang harus diubah dari orientasi praktek keuangan syariah, yaitu:
1. from legalism to value-orientation
Shift from Legalism to Value-orientation would imply engaging finance to achieve positive socio-economic goals/pursuits.
2. from prohibition orientation to maqasid orientation
Parallel or complementary progress on the substance front would require accepting maqasid (broader objectives behind Islamic guidance/commandments) as the starting point to study problems and then devise solutions.
3. from form orientation to substance orientation
Substance-orientation would not seek merely alternatives or substitutes of conventional products. Rather, it would identify the problems and needs of a society and based on its values and aspirations would seek relevant Islamic solutions.
4. from micro-juristic to holistic
Moving from a micro-juristic to holistic approach would require the relevant scholars and experts to explore, identify, recognise and address the full range of micro and macro level implications.
5. From Financialisation to Real Economy-orientation
Islamic finance needs to be adequately linked with the real sector, where production and consumption is its true measure
6. from risk avoidance to risk sharing
Islamic finance needs to move from risk-avoidance to risk-taking (based on due diligence, of course), which should be based on fair and broad - based risk sharing. This will make the economic progress more participatory and sustainable.
7. from development-neutral to development-relevant
Islamic finance, to be truly and meaningfully Islamic, can’t be development - neutral and must be development - relevant. This will create greater opportunities for the financial sector and its stakeholders.
8. from poverty-neutral to poverty-sensitive
Islamic finance to be substantively relevant to the Muslim world and to humanity needs to be poverty-sensitive and have a pro-poor orientation. This will enhance the potential for a bigger middle class, which has been a key to and measure of modern economic development.
9. from debt orientation to equity orientation
A shift toward equity-orientation would mean more participatory finance and better and broader economic development.
10. from relative inefficiency to efficiency
Addressing these factors may enable the Islamic Finance industry to become more efficient and serve the people better and more affordably.
11. From Non-standardisation to Standardisation
Significantly greater standardisation can be accomplished at the product and contract level, which will also reduce inefficiency
12. from parochialism to universalism
Finance, based on the principles of Islam, needs to focus on those universal principles, not just on the forms and labels. Solutions guided and inspired by these principles would be more relevant and beneficial for Muslims and humanity.
kata-kata kunci ini berikut elaborasi dari Dr. Farooq, membuat saya tersenyum karena tercerahkan dengan lebih baik dan karena pendapat beliau itu cukup sejalan dengan apa yang saya yakini. cannot agree more..
memang tidak akan lebih mudah dalam implementasinya pada aplikasi keuangan dan perbankan syariah, tetapi siraman ilmu seperti ini setidaknya membuat semangat tetap tinggi, idealisme tetap tegak dan harapan masih tetap ada. semoga Allah sebentar lagi berikan kita ilham untuk menjawab semua masalah yang belum terselesaikan. Allah sudah janjikan itu.
wallahu a'lam.
dan saya ingin berbagi dengan anda beberapa kalimat-kalimat penting sebagai kata kunci dari isu yang menjadi concern Dr. Farooq. mungkin saya tidak akan membahas elaborasinya, saya berharap anda memahami makna yang terkandung dari kata-kata kunci tersebut.
dari materi yang berjudul Islamic Finance: the next wave? beliau menyebutkan ada yang harus diubah dari orientasi praktek keuangan syariah, yaitu:
1. from legalism to value-orientation
Shift from Legalism to Value-orientation would imply engaging finance to achieve positive socio-economic goals/pursuits.
2. from prohibition orientation to maqasid orientation
Parallel or complementary progress on the substance front would require accepting maqasid (broader objectives behind Islamic guidance/commandments) as the starting point to study problems and then devise solutions.
3. from form orientation to substance orientation
Substance-orientation would not seek merely alternatives or substitutes of conventional products. Rather, it would identify the problems and needs of a society and based on its values and aspirations would seek relevant Islamic solutions.
4. from micro-juristic to holistic
Moving from a micro-juristic to holistic approach would require the relevant scholars and experts to explore, identify, recognise and address the full range of micro and macro level implications.
5. From Financialisation to Real Economy-orientation
Islamic finance needs to be adequately linked with the real sector, where production and consumption is its true measure
6. from risk avoidance to risk sharing
Islamic finance needs to move from risk-avoidance to risk-taking (based on due diligence, of course), which should be based on fair and broad - based risk sharing. This will make the economic progress more participatory and sustainable.
7. from development-neutral to development-relevant
Islamic finance, to be truly and meaningfully Islamic, can’t be development - neutral and must be development - relevant. This will create greater opportunities for the financial sector and its stakeholders.
8. from poverty-neutral to poverty-sensitive
Islamic finance to be substantively relevant to the Muslim world and to humanity needs to be poverty-sensitive and have a pro-poor orientation. This will enhance the potential for a bigger middle class, which has been a key to and measure of modern economic development.
9. from debt orientation to equity orientation
A shift toward equity-orientation would mean more participatory finance and better and broader economic development.
10. from relative inefficiency to efficiency
Addressing these factors may enable the Islamic Finance industry to become more efficient and serve the people better and more affordably.
11. From Non-standardisation to Standardisation
Significantly greater standardisation can be accomplished at the product and contract level, which will also reduce inefficiency
12. from parochialism to universalism
Finance, based on the principles of Islam, needs to focus on those universal principles, not just on the forms and labels. Solutions guided and inspired by these principles would be more relevant and beneficial for Muslims and humanity.
kata-kata kunci ini berikut elaborasi dari Dr. Farooq, membuat saya tersenyum karena tercerahkan dengan lebih baik dan karena pendapat beliau itu cukup sejalan dengan apa yang saya yakini. cannot agree more..
memang tidak akan lebih mudah dalam implementasinya pada aplikasi keuangan dan perbankan syariah, tetapi siraman ilmu seperti ini setidaknya membuat semangat tetap tinggi, idealisme tetap tegak dan harapan masih tetap ada. semoga Allah sebentar lagi berikan kita ilham untuk menjawab semua masalah yang belum terselesaikan. Allah sudah janjikan itu.
wallahu a'lam.
Senin, 06 Februari 2012
Davos 2012: Alternative voices on how to fix the world economy
menarik membaca artikel yang ditulis oleh jurnalis BBC Damian Kahya yang mencoba men-summary dengan perspektif kritis terhadap Forum Ekonomi Dunia (World Wconomic Forum) di Davos, Swiss, tanggal 25-29 Januari 2012. dan saya tidak memiliki kalimat yang pas untuk menulis ulang karena setiap aspek dibahas dengan cukup baik oleh Kahya. jika anda belum sempat membaca, silakan dinikmati.
Davos 2012: Alternative voices on how to fix the world economy
By Damian Kahya Business reporter, BBC News
In a car park at one of the world's premier Swiss ski resorts a small number of "occupiers" have erected seven igloos and two yurts.
They are protesting against the World Economic Forum (WEF) at Davos, where the rich, powerful and influential go every year to discuss the world economy.
This year's theme is The Great Transformation, with sessions on rethinking capitalism, reducing inequality and solving Europe's financial crisis.
But the occupiers are not convinced and despite the event's apparent enthusiasm for change, they say their ideas have been left out in the proverbial (Alpine) cold.
An attempt by the conference's organiser, Klaus Schwab, to arrange a meeting on Saturday apparently failed after the two sides could not agree a location.
Instead a group of topless women from Ukrainian protest group, Femen, tried to scale the Davos gates accusing those inside of being "gangsters," who had caused the financial crisis.
Conventional
The conference did invite some sympathetic to the protesters, including Greenpeace's executive director, Kumi Naidoo.
But he didn't accept the summit's "transformational" rhetoric.
"It's more about system recovery than system redesign," he said.
"Of course it's total conventional wisdom. It's like reading the Op Ed columns of the New York Times for five days," says Professor Anya Schiffirn, an academic at Columbia University who attended the summit and is also editing a book about the Occupy movement.
It is also a wisdom which is propagated largely by men.
This year, Davos set itself a target of achieving 25% female participation. It managed 17%.
"I do blame them," says Prof Schiffrin.
"We all know if you want to diversify you have to make an effort. I understand there are not a lot of women running hedge funds. But in that case change your category, maybe don't only have CEOs."
Blame game
For some, there are other reasons to change the guest list.
"They are responsible, as individuals, as a group, for this crisis and yet nothing at all has happened to them," says Susan George, a left-wing political scientist and president of Attac France.
The group campaigns for an international financial transaction tax, a measure designed to limit short-term bets on the financial markets.
"What one has to do if you want to get out of this is socialise [nationalise] the banks partially or totally," she says.
Small businesses
And the invite list of big company executives also means other business models are relatively light on the ground.
"The point isn't to call for equal representation up in the snow and mountains. But actually the economy needs different models of business to succeed," said Ed Mayo, secretary general of Co-operatives UK.
Small businesses and co-operatives make up much of the global economy, but lack a strong voice at the summit, he argues.
Mr Mayo claims co-operative models of ownership are better at tackling inequality - a major theme of this year's event.
Inequality
He also urges the construction of new financial models, promoting mutuals which are as less risk-taking than shareholder-owned banks.
Not everyone agrees with that analysis, but Davos attendee Stewart Wallace says radical financial reform didn't get the focus it deserved.
"[You need to] change the incentive structure so you are taxing very different things and reform the financial system in a much more fundamental way than Vickers [the UK report on banking] is looking at," said Mr Wallace, executive director of the New Economics Foundation.
Without this, Mr Wallace warns, it will be impossible to tackle global inequality.
"People are still talking as if all that is needed is equality of opportunity, free education for all, whereas we have massive structural problems. The richest 400 Americans have the same wealth as the poorest 155 million people in the world."
Green growth
A big theme of previous Davos summits has been the green economy, but this year such talk has been overshadowed by the European economic downturn and debt crisis.
For Greenpeace's Mr Naidoo, delegates missed the connection between the two topics.
"Energy efficiency measures could create a huge amount of jobs in the construction sector.
"We show that the job creation potential of an emerging green economy is significantly more than the old system."
Other delegates disagree, saying progress was made, albeit mostly amongst business leaders.
"Some companies' CEOs genuinely get it, they get that we're running out of planet and running out of scarce resources," says Mr Wallace, citing Unilever, M&S and Nike as companies adopting more long term or sustainable strategies.
Democracy
In their defence, the summit organisers point to the range of guests invited and topics covered, from food security to climate change and international trade.
"We're trying to represent diversity within a programme that takes months to put together," says WEF spokesman Adrian Monck.
"There's plenty of criticism of capitalism going on."
But for protesters the main issue is one of democratic accountability.
"These people are gathering together and see themselves as global leaders and they want to take decisions for 7bn people, but nobody has given them any mandate," says Jannick Boehm, though he accepts elected politicians are there.
Previous Davos summits, he says, have tackled issues such as food security, only to see food prices continue to increase.
"Either they are incapable and stupid or they just don't do what they say they do. There are these two possibilities and both are not very satisfying."
One of the Occupy campers outside in the snow recognises that there is no easy answer.
"The media are complaining that the Occupy movement hasn't a clear message on what they want to change," says David Roth, a young Swiss Social Democratic politician, and a member of his regional assembly.
"The clearest thing we want to change is the structure, the process of how you get to a solution, that is difficult to understand."
Davos 2012: Alternative voices on how to fix the world economy
By Damian Kahya Business reporter, BBC News
In a car park at one of the world's premier Swiss ski resorts a small number of "occupiers" have erected seven igloos and two yurts.
They are protesting against the World Economic Forum (WEF) at Davos, where the rich, powerful and influential go every year to discuss the world economy.
This year's theme is The Great Transformation, with sessions on rethinking capitalism, reducing inequality and solving Europe's financial crisis.
But the occupiers are not convinced and despite the event's apparent enthusiasm for change, they say their ideas have been left out in the proverbial (Alpine) cold.
An attempt by the conference's organiser, Klaus Schwab, to arrange a meeting on Saturday apparently failed after the two sides could not agree a location.
Instead a group of topless women from Ukrainian protest group, Femen, tried to scale the Davos gates accusing those inside of being "gangsters," who had caused the financial crisis.
Conventional
The conference did invite some sympathetic to the protesters, including Greenpeace's executive director, Kumi Naidoo.
But he didn't accept the summit's "transformational" rhetoric.
"It's more about system recovery than system redesign," he said.
"Of course it's total conventional wisdom. It's like reading the Op Ed columns of the New York Times for five days," says Professor Anya Schiffirn, an academic at Columbia University who attended the summit and is also editing a book about the Occupy movement.
It is also a wisdom which is propagated largely by men.
This year, Davos set itself a target of achieving 25% female participation. It managed 17%.
"I do blame them," says Prof Schiffrin.
"We all know if you want to diversify you have to make an effort. I understand there are not a lot of women running hedge funds. But in that case change your category, maybe don't only have CEOs."
Blame game
For some, there are other reasons to change the guest list.
"They are responsible, as individuals, as a group, for this crisis and yet nothing at all has happened to them," says Susan George, a left-wing political scientist and president of Attac France.
The group campaigns for an international financial transaction tax, a measure designed to limit short-term bets on the financial markets.
"What one has to do if you want to get out of this is socialise [nationalise] the banks partially or totally," she says.
Small businesses
And the invite list of big company executives also means other business models are relatively light on the ground.
"The point isn't to call for equal representation up in the snow and mountains. But actually the economy needs different models of business to succeed," said Ed Mayo, secretary general of Co-operatives UK.
Small businesses and co-operatives make up much of the global economy, but lack a strong voice at the summit, he argues.
Mr Mayo claims co-operative models of ownership are better at tackling inequality - a major theme of this year's event.
Inequality
He also urges the construction of new financial models, promoting mutuals which are as less risk-taking than shareholder-owned banks.
Not everyone agrees with that analysis, but Davos attendee Stewart Wallace says radical financial reform didn't get the focus it deserved.
"[You need to] change the incentive structure so you are taxing very different things and reform the financial system in a much more fundamental way than Vickers [the UK report on banking] is looking at," said Mr Wallace, executive director of the New Economics Foundation.
Without this, Mr Wallace warns, it will be impossible to tackle global inequality.
"People are still talking as if all that is needed is equality of opportunity, free education for all, whereas we have massive structural problems. The richest 400 Americans have the same wealth as the poorest 155 million people in the world."
Green growth
A big theme of previous Davos summits has been the green economy, but this year such talk has been overshadowed by the European economic downturn and debt crisis.
For Greenpeace's Mr Naidoo, delegates missed the connection between the two topics.
"Energy efficiency measures could create a huge amount of jobs in the construction sector.
"We show that the job creation potential of an emerging green economy is significantly more than the old system."
Other delegates disagree, saying progress was made, albeit mostly amongst business leaders.
"Some companies' CEOs genuinely get it, they get that we're running out of planet and running out of scarce resources," says Mr Wallace, citing Unilever, M&S and Nike as companies adopting more long term or sustainable strategies.
Democracy
In their defence, the summit organisers point to the range of guests invited and topics covered, from food security to climate change and international trade.
"We're trying to represent diversity within a programme that takes months to put together," says WEF spokesman Adrian Monck.
"There's plenty of criticism of capitalism going on."
But for protesters the main issue is one of democratic accountability.
"These people are gathering together and see themselves as global leaders and they want to take decisions for 7bn people, but nobody has given them any mandate," says Jannick Boehm, though he accepts elected politicians are there.
Previous Davos summits, he says, have tackled issues such as food security, only to see food prices continue to increase.
"Either they are incapable and stupid or they just don't do what they say they do. There are these two possibilities and both are not very satisfying."
One of the Occupy campers outside in the snow recognises that there is no easy answer.
"The media are complaining that the Occupy movement hasn't a clear message on what they want to change," says David Roth, a young Swiss Social Democratic politician, and a member of his regional assembly.
"The clearest thing we want to change is the structure, the process of how you get to a solution, that is difficult to understand."
Kamis, 02 Februari 2012
Memberdaya Atau Memperdaya Ummat? : sebagai renungan untuk produk gadai emas, commodity murabaha dan murabaha emas
Memberdaya atau memperdaya ummat? Ya ini ungkapan yang sejauh ini saya rasa paling pas menggambarkan keresahan saya melihat perkembangan terakhir inovasi produk bank syariah. Produk gadai emas, commodity murabaha dan mungkin selanjutnya murabahah emas, membuat daftar masalah pengembangan perbankan syariah semakin panjang (atau mungkin dari perspektif lain ini sebuah keharusan dalam dinamika pengembangan industri).
Gadai emas secara produk memang cukup signifikan mendongkrak antusiasme masyarakat terhadap produk bank syariah. Tapi sayang aplikasi produk ini identik sekali dengan transaksi spekulasi, karena produk gadai emas sangat bergantung pada pergerakan harga emas yang melangit, nasabah hanya ingin mendapatkan untung bukan dari aktifitas produktif ekonomi tapi hanya dari kenaikan harga pasar dari emas.
Sementara commodity murabaha merupakan produk klasik yang selama ini memunculkan kontroversi di banyak negara. Karena produk ini substansinya hanyalah rekayasa untuk justifikasi transaksi kredit, dimana komoditi yang ditransaksikan hanya menjadi benchmark saja. Komoditi tersebut tidak menjadi objek transaksi. (Untung saja) Saat ini di Indonesia akad ini diisolasi hanya aktif dalam pasar uang untuk keperluan manajemen likuiditas lembaga keuangan (misalnya antar bank syariah).
Satu lagi yang mungkin akan segera muncul, produk murabaha emas. Produk ini bersandar pada Fatwa DSN no. 77 tahun 2010, yang awalnya fatwa tersebut memiliki semangat untuk menjustifikasi produk gadai emas. Tetapi mungkin karena begitu banyak sorotan akhirnya fatwa ini dikembalikan menjadi produk murabaha tradisional khusus untuk emas. Namun begitu, bukan berarti ia terlepas dari masalah kontroversi. Karena emas yang menjadi produk yang dimurabahahkan, tentu ketentuan pada produk ini jangan sampai membiarkan transaksi mengarah pada aktifitas spekulasi seperti produk gadai emas.
Perlu diingat, jika seseorang membeli emas dengan tangguh (murabahah) dengan motivasi menyimpan kekayaan (store of value) untuk keperluan konsumsi masa yang akan datang seperti sekolah anak atau naik haji. Khususnya untuk produk emas dalam bentuk batangan emas. Maka pada dasarnya produk ini substansinya bukanlah financing tetapi identik seperti deposito, sehingga tidak bisa diperlakukan sebagai financing, sebagai konsekwensinya tidak relevan dikelompokkan dan dihitung memperbesar FDR bank syariah, kecuali murabahah emas dalam bentuk perhiasan emas.
Sekali lagi perlu dipahami emas in nature adalah uang, sehingga ia tidak membutuhkan legalisasi secara hukum positif (legal tender) untuk menjadi uang, tetapi fungsinya akan sedikit terdistorsi ketika emas itu berubah fungsi menjadi perhiasan. Perhiasan emas didalamnya terdapat unsur preferensi, like and dislike yang mempengaruhi besarnya harga emas tersebut. Dan unsur itu mengurangi risiko dispekulasikan. Bentuk inilah yang harusnya diakomodasi dalam fatwa DSN No. 77 tahun 2010 ketika membahas apakah emas itu nuqud (uang) atau sil’ah (barang).
Memunculkan produk-produk seperti ini jangan hanya berdalih bahwa saat ini seperti inilah kebutuhan masyarakat. Bukankah industri ini muncul karena kebutuhan pada produk yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah sekaligus norma dan moral Islam? Bukankah industri ini dikembangkan karena industri ini membawa stabilitas sistem akibat daya tahannya yang berasal dari transaksi-transaksi riil/produktif ekonomi? mengapa masyarakat yang awam itu tidak perlahan-lahan di edukasi? Mengapa upaya penjagaan kemanfaatan ekonomi industri ini selalu dituding sebagai usaha yang menghambat membesarnya industri ini? Jadi mohon maaf kalau saya secara pribadi akhirnya mempertanyakan hal ini; para pelaku keuangan syariah ini komitmennya bagaimana, mau memberdaya ummat atu hanya memperdaya ummat? Wallahu a’lam.
Gadai emas secara produk memang cukup signifikan mendongkrak antusiasme masyarakat terhadap produk bank syariah. Tapi sayang aplikasi produk ini identik sekali dengan transaksi spekulasi, karena produk gadai emas sangat bergantung pada pergerakan harga emas yang melangit, nasabah hanya ingin mendapatkan untung bukan dari aktifitas produktif ekonomi tapi hanya dari kenaikan harga pasar dari emas.
Sementara commodity murabaha merupakan produk klasik yang selama ini memunculkan kontroversi di banyak negara. Karena produk ini substansinya hanyalah rekayasa untuk justifikasi transaksi kredit, dimana komoditi yang ditransaksikan hanya menjadi benchmark saja. Komoditi tersebut tidak menjadi objek transaksi. (Untung saja) Saat ini di Indonesia akad ini diisolasi hanya aktif dalam pasar uang untuk keperluan manajemen likuiditas lembaga keuangan (misalnya antar bank syariah).
Satu lagi yang mungkin akan segera muncul, produk murabaha emas. Produk ini bersandar pada Fatwa DSN no. 77 tahun 2010, yang awalnya fatwa tersebut memiliki semangat untuk menjustifikasi produk gadai emas. Tetapi mungkin karena begitu banyak sorotan akhirnya fatwa ini dikembalikan menjadi produk murabaha tradisional khusus untuk emas. Namun begitu, bukan berarti ia terlepas dari masalah kontroversi. Karena emas yang menjadi produk yang dimurabahahkan, tentu ketentuan pada produk ini jangan sampai membiarkan transaksi mengarah pada aktifitas spekulasi seperti produk gadai emas.
Perlu diingat, jika seseorang membeli emas dengan tangguh (murabahah) dengan motivasi menyimpan kekayaan (store of value) untuk keperluan konsumsi masa yang akan datang seperti sekolah anak atau naik haji. Khususnya untuk produk emas dalam bentuk batangan emas. Maka pada dasarnya produk ini substansinya bukanlah financing tetapi identik seperti deposito, sehingga tidak bisa diperlakukan sebagai financing, sebagai konsekwensinya tidak relevan dikelompokkan dan dihitung memperbesar FDR bank syariah, kecuali murabahah emas dalam bentuk perhiasan emas.
Sekali lagi perlu dipahami emas in nature adalah uang, sehingga ia tidak membutuhkan legalisasi secara hukum positif (legal tender) untuk menjadi uang, tetapi fungsinya akan sedikit terdistorsi ketika emas itu berubah fungsi menjadi perhiasan. Perhiasan emas didalamnya terdapat unsur preferensi, like and dislike yang mempengaruhi besarnya harga emas tersebut. Dan unsur itu mengurangi risiko dispekulasikan. Bentuk inilah yang harusnya diakomodasi dalam fatwa DSN No. 77 tahun 2010 ketika membahas apakah emas itu nuqud (uang) atau sil’ah (barang).
Memunculkan produk-produk seperti ini jangan hanya berdalih bahwa saat ini seperti inilah kebutuhan masyarakat. Bukankah industri ini muncul karena kebutuhan pada produk yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah sekaligus norma dan moral Islam? Bukankah industri ini dikembangkan karena industri ini membawa stabilitas sistem akibat daya tahannya yang berasal dari transaksi-transaksi riil/produktif ekonomi? mengapa masyarakat yang awam itu tidak perlahan-lahan di edukasi? Mengapa upaya penjagaan kemanfaatan ekonomi industri ini selalu dituding sebagai usaha yang menghambat membesarnya industri ini? Jadi mohon maaf kalau saya secara pribadi akhirnya mempertanyakan hal ini; para pelaku keuangan syariah ini komitmennya bagaimana, mau memberdaya ummat atu hanya memperdaya ummat? Wallahu a’lam.
Seri Global Crisis: Reinventing Capitalism?
Judul diatas merupakan topik yang dibahas dalam acara BBC World Debate yang disiarkan oleh BBC pada tanggal 28 Januari 2012 dalam rangka pertemuan World Economic Forum di Davos – Swiss (25-29 Januari 2012), dipandu oleh reporter BBC Nick Gowling. Membaca tema acara itu membuat saya berhenti dari kesibukan rumah dan segera mengambil kertas dan pulpen kemudian menyimak diskusi yang berlangsung pada acara tersebut. Padahal anak-anak dan istri sudah bersiap untuk acara akhir pekan kami sekeluarga, makan bakso di luar rumah.
Acara tersebut menghadirkan Undersecretary of the Treasury for International Affairs US Lael Brainard, Swedish Finance Minister Anders Borg, Secretary General of the Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) Angel Gurria dan economist Nouriel Roubini. Menarik dan penting sekali menyimak acara tersebut bagi saya. Mr. Gowling sebagai moderator memancing dengan kalimat pembuka mengutip kata-kata Warren Edward Buffett, salah satu pengusaha terkaya di dunia dan seorang filantropis, bahwa kapitalisme itu adalah driver terbaik yang telah memberikan kesejahteraan, namun untuk jangka panjang ia membutuhkan pemerataan dan lebih mengakomodasi moral.
Angel Gurria secara umum berargumen bahwa tidak ada yang salah dalam kapitalisme, krisis yang terjadi di US dan EU akibat kebijakan yang diambil oleh kawasan itu tidak benar sehingga koreksinya hanya membutuhkan kebijakan-kebijakan yang tepat. Gurria menyebutkan kunci ekonomi pasar (kapitalisme) adalah kompetisi. Dengan kompetisi semua akan menikmati keuntungan dan kemudahan dari ekonomi. Selain itu inovasi, sehingga kata kuncinya adalah kompetisi dan inovasi. Lael Brainard dan Anders Borg memberikan pendapat yang tidak secara tegas membahas kapitalisme sebagai sebuah idealisme ekonomi, tetapi memberikan gambaran yang secara implisit mengakui bahwa kapitalisme memiliki banyak kekurangan dan saat ini benar-benar membutuhkan penyempurnaan yang signifikan. Karena yang menonjol dari kapitalisme saat ini adalah kesenjangan (inequality) dan lack of moral. Pada aspek kebijakan yang perlu dan urgen dibutuhkan adalah kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.
Sementara itu Nouriel Roubini sebagai ekonom memberikan jawaban yang lebih komprehensif. Roubini secara tegas menyebutkan bahwa kapitalisme membutuhkan perbaikan secara sistem, yang perlu dilakukan untuk mendapatkan sistem yang stabil adalah melakukan rethinking on capitalism. Diperlukan pemahaman lebih dalam mengenai kapitalisme dan dalam bentuk seperti apa kapitalisme yang tepat untuk kondisi saat ini. Kapitalisme berupa social-welfare economy telah gagal hal ini ditunjukkan oleh negara-negara Eropa yang saat ini terbelit utang. Bagaimana dengan kapitalisme dalam bentuk state economy yang China lakukan saat ini? Dahulu China selalu dikritik, tetapi nyatanya kini mereka mampu memberikan bukti yang cukup baik secara ekonomi menggunakan kapitalisme dalam bentuk seperti itu.
Lebih lanjut Roubini menyebutkan bahwa dalam kapitalisme orang kaya relatif lebih banyak mengambil kue pembangunan dari ekonomi. Hal ini secara logika tergambar pada behavior mereka, dimana orang-orang kaya marginal propensity to save (MPS)-nya cenderung lebih dominan sementara orang-orang miskin marginal propensity to consume (MPC)-nya yang lebih menonjol. Oleh sebab itulah kapitalisme membutuhkan nilai-nilai moral dalam aplikasinya. Pengabaian moral oleh kapitalisme tergambar dari orientasi kebijakan kapitalisme yang cenderung berjangka pendek. Apalagi hal ini ditopang oleh sistem politik demokrasi, dimana kepentingan politik sesaat mempengaruhi kebijakan-kebijakan ekonomi yang cenderung tidak berkesinambungan.
Roubini bahkan pada akhir argumentasinya memperingatkan bahaya besar jika isu ini tidak disikapi dengan benar akan berujung pada bencana yang lebih besar. Roubini menyebutkan bahwa kapitalisme diyakini akan menuju pada ketidakseimbangan yang besar (great imbalances). Potensi ketidakstabilan ekonomi yang kronis boleh jadi berujung pada munculnya pemerintah yang otoriter, dan yang mengkhawatirkan adalah berkaca dari pengalaman instability pada awal abad 20, dimana instabilitas itu berakhir dengan perang dunia.
Audiens yang menghadiri acara tersebut juga berkesempatan menyampaikan pendapatnya. Beberapa yang menarik diantaranya menyebutkan bahwa kapitalisme itu sama dengan economic tyranny, dimana yang menjadi tiran adalah capitalist. Selain itu ada yang mengungkapkan bahwa kapitalisme membutuhkan lebih banyak moral tidak melulu berorientasi pada profit at any cost.
Diskusi dalam BBC World Debate diatas cukup memberikan gambaran proyeksi kebijakan yang akan diambil oleh negara-negara Eropa. Tetapi kecenderungannya hampir sama, negara-negara kawasan krisis akan menemui dilema apakah akan mementingkan ekonomi domestik dengan kebijakan-kebijakan protektif atau melakukan secara bersama dengan negara lain dalam payung Komunitas Eropa. Dalam European Summit yang berlangsung di Brussel, 25 negara dari 27 negara menyepakati kebijakan bersama a fiscal treaty to enforce budget discipline. Jika disetujui EU akan menerapkan ketentuan budget deficit bagi anggotanya yaitu tidak boleh melebihi 0,5% dari GDP. Hanya Inggris dan Ceko yang menolak. Inggris beralasan tidak akan menyetujui kesepakatan yang mengancam kepentingan ekonomi domestik Inggris. Kondisi ini seperti berulang dimana dulu Inggris juga menolak meratifikasi mata uang tunggal Euro, dan kini terbukti keputusan itu relatif tepat bagi Inggris. Sementara Ceko lebih beralasan kesepakatan Eropa itu berbenturan dengan konstitusi dalam negeri mereka.
Prancis dalam rangka menghadapi kondisi ekonomi yang semakin memburuk telah mengambil ancang-ancang dengan 3 usulan kebijakan yaitu mengenakan pajak 0,1% untuk setiap transaksi keuangan, peningkatan pajak ditransaksi umum dari 19% menjadi 21% dan meminta perusahaan mengadakan program-program magang bagi generasi muda Prancis. Dan sepertinya negara-negara Eropa akan memberlakukan kebijakan yang serupa. Tetapi tantangannya adalah apakah warga mereka yang sudah terbiasa dengan fasilitas bersedia dilucuti kenyamanannya dengan pengenaan pajak dan bentuk-bentuk kebijakan penghematan lainnya. Lihat saja Yunani, masyarakat maju ternyata merespon sama seperti masyarakat ekonomi berkembang ketika ekonomi harus diketatkan oleh kebijakan-kebijakan publik. Seperti yang juga banyak pakar sudah ungkapkan, tantangan Eropa pasca kesepakatan mengatasi krisis yang terus memburuk adalah mampukah mereka mengisolasi masalah tersebut ada pada wilayah ekonomi dan tidak menyebar di ranah sosial dan politik.
Acara tersebut menghadirkan Undersecretary of the Treasury for International Affairs US Lael Brainard, Swedish Finance Minister Anders Borg, Secretary General of the Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) Angel Gurria dan economist Nouriel Roubini. Menarik dan penting sekali menyimak acara tersebut bagi saya. Mr. Gowling sebagai moderator memancing dengan kalimat pembuka mengutip kata-kata Warren Edward Buffett, salah satu pengusaha terkaya di dunia dan seorang filantropis, bahwa kapitalisme itu adalah driver terbaik yang telah memberikan kesejahteraan, namun untuk jangka panjang ia membutuhkan pemerataan dan lebih mengakomodasi moral.
Angel Gurria secara umum berargumen bahwa tidak ada yang salah dalam kapitalisme, krisis yang terjadi di US dan EU akibat kebijakan yang diambil oleh kawasan itu tidak benar sehingga koreksinya hanya membutuhkan kebijakan-kebijakan yang tepat. Gurria menyebutkan kunci ekonomi pasar (kapitalisme) adalah kompetisi. Dengan kompetisi semua akan menikmati keuntungan dan kemudahan dari ekonomi. Selain itu inovasi, sehingga kata kuncinya adalah kompetisi dan inovasi. Lael Brainard dan Anders Borg memberikan pendapat yang tidak secara tegas membahas kapitalisme sebagai sebuah idealisme ekonomi, tetapi memberikan gambaran yang secara implisit mengakui bahwa kapitalisme memiliki banyak kekurangan dan saat ini benar-benar membutuhkan penyempurnaan yang signifikan. Karena yang menonjol dari kapitalisme saat ini adalah kesenjangan (inequality) dan lack of moral. Pada aspek kebijakan yang perlu dan urgen dibutuhkan adalah kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.
Sementara itu Nouriel Roubini sebagai ekonom memberikan jawaban yang lebih komprehensif. Roubini secara tegas menyebutkan bahwa kapitalisme membutuhkan perbaikan secara sistem, yang perlu dilakukan untuk mendapatkan sistem yang stabil adalah melakukan rethinking on capitalism. Diperlukan pemahaman lebih dalam mengenai kapitalisme dan dalam bentuk seperti apa kapitalisme yang tepat untuk kondisi saat ini. Kapitalisme berupa social-welfare economy telah gagal hal ini ditunjukkan oleh negara-negara Eropa yang saat ini terbelit utang. Bagaimana dengan kapitalisme dalam bentuk state economy yang China lakukan saat ini? Dahulu China selalu dikritik, tetapi nyatanya kini mereka mampu memberikan bukti yang cukup baik secara ekonomi menggunakan kapitalisme dalam bentuk seperti itu.
Lebih lanjut Roubini menyebutkan bahwa dalam kapitalisme orang kaya relatif lebih banyak mengambil kue pembangunan dari ekonomi. Hal ini secara logika tergambar pada behavior mereka, dimana orang-orang kaya marginal propensity to save (MPS)-nya cenderung lebih dominan sementara orang-orang miskin marginal propensity to consume (MPC)-nya yang lebih menonjol. Oleh sebab itulah kapitalisme membutuhkan nilai-nilai moral dalam aplikasinya. Pengabaian moral oleh kapitalisme tergambar dari orientasi kebijakan kapitalisme yang cenderung berjangka pendek. Apalagi hal ini ditopang oleh sistem politik demokrasi, dimana kepentingan politik sesaat mempengaruhi kebijakan-kebijakan ekonomi yang cenderung tidak berkesinambungan.
Roubini bahkan pada akhir argumentasinya memperingatkan bahaya besar jika isu ini tidak disikapi dengan benar akan berujung pada bencana yang lebih besar. Roubini menyebutkan bahwa kapitalisme diyakini akan menuju pada ketidakseimbangan yang besar (great imbalances). Potensi ketidakstabilan ekonomi yang kronis boleh jadi berujung pada munculnya pemerintah yang otoriter, dan yang mengkhawatirkan adalah berkaca dari pengalaman instability pada awal abad 20, dimana instabilitas itu berakhir dengan perang dunia.
Audiens yang menghadiri acara tersebut juga berkesempatan menyampaikan pendapatnya. Beberapa yang menarik diantaranya menyebutkan bahwa kapitalisme itu sama dengan economic tyranny, dimana yang menjadi tiran adalah capitalist. Selain itu ada yang mengungkapkan bahwa kapitalisme membutuhkan lebih banyak moral tidak melulu berorientasi pada profit at any cost.
Diskusi dalam BBC World Debate diatas cukup memberikan gambaran proyeksi kebijakan yang akan diambil oleh negara-negara Eropa. Tetapi kecenderungannya hampir sama, negara-negara kawasan krisis akan menemui dilema apakah akan mementingkan ekonomi domestik dengan kebijakan-kebijakan protektif atau melakukan secara bersama dengan negara lain dalam payung Komunitas Eropa. Dalam European Summit yang berlangsung di Brussel, 25 negara dari 27 negara menyepakati kebijakan bersama a fiscal treaty to enforce budget discipline. Jika disetujui EU akan menerapkan ketentuan budget deficit bagi anggotanya yaitu tidak boleh melebihi 0,5% dari GDP. Hanya Inggris dan Ceko yang menolak. Inggris beralasan tidak akan menyetujui kesepakatan yang mengancam kepentingan ekonomi domestik Inggris. Kondisi ini seperti berulang dimana dulu Inggris juga menolak meratifikasi mata uang tunggal Euro, dan kini terbukti keputusan itu relatif tepat bagi Inggris. Sementara Ceko lebih beralasan kesepakatan Eropa itu berbenturan dengan konstitusi dalam negeri mereka.
Prancis dalam rangka menghadapi kondisi ekonomi yang semakin memburuk telah mengambil ancang-ancang dengan 3 usulan kebijakan yaitu mengenakan pajak 0,1% untuk setiap transaksi keuangan, peningkatan pajak ditransaksi umum dari 19% menjadi 21% dan meminta perusahaan mengadakan program-program magang bagi generasi muda Prancis. Dan sepertinya negara-negara Eropa akan memberlakukan kebijakan yang serupa. Tetapi tantangannya adalah apakah warga mereka yang sudah terbiasa dengan fasilitas bersedia dilucuti kenyamanannya dengan pengenaan pajak dan bentuk-bentuk kebijakan penghematan lainnya. Lihat saja Yunani, masyarakat maju ternyata merespon sama seperti masyarakat ekonomi berkembang ketika ekonomi harus diketatkan oleh kebijakan-kebijakan publik. Seperti yang juga banyak pakar sudah ungkapkan, tantangan Eropa pasca kesepakatan mengatasi krisis yang terus memburuk adalah mampukah mereka mengisolasi masalah tersebut ada pada wilayah ekonomi dan tidak menyebar di ranah sosial dan politik.
Rabu, 01 Februari 2012
sekali lagi tentang ijtihad..
maaf ya saya saat ini lagi geregetan sama pertanyaan yang selalu terkesan menyudutkan upaya pemeliharaan agar industri keuangan syariah sejalan dengan nilai dan semangat ekonomi Islam. pertanyaan apa itu? pertanyaan: mengapa otoritas terkesan menghambat inovasi produk keuangan syariah, bukankah berinovasi itu sama dengan berijtihad, kalaupun ijtihad itu salah ada satu pahala untuk itu, kalau benar alhamdulillah dapat dua pahala?
menahan sabar agak dalam saya, tapi tetap, geregetan! saya tahu hal-hal seperti ini harus disikapi dengan kepala dingin, dengan dialektika diplomasi yang pantas, tapi yakinlah saya tidak sebijak orang-orang mulia disekitar anda hehehehe..
saya jawab pertanyaan itu dengan kalimat ini: coba fikirkan kembali kalimat ijtihad di atas, dalam konteks industri keuangan syariah, ijtihad memang lekat dengan inovasi. tapi bayangkan kalo ijtihad salah dan kemudian dibanarkan oleh sistem berupa produk-produk keuangan yang men-drive industri atau bahkan ekonomi. lalu produk-produk itu membuat industri berkontribusi negatif bagi ekonomi. dengan kata lain industri itu tidak memberikan manfaat bagi ekonomi termasuk bagi ummat, apa kemudian semuanya dinetralisir dengan kalimat, "tenang aja kan dapat satu pahala".
yang dapat pahala tuh siapa? kalau saya boleh sederhanakan, yang dapat pahala ya yang berijtihad. ekonomi atau ummat dapat apa? dapat susah.
mungkin ada yang salah dalam penggunaan kaidah ijtihad tadi. perlu dikaji asbabun wuruj-nya, pada konteks apa kaidah itu digunakan. apakah termasuk dalam konteks inovasi produk atau pengaturan kemashlahatan ummat. jika tidak, jika semuanya sudah tidak out of context, mungkin saya saja yang salah sudah geregetan.
tapi bagi saya inovasi silahkan saja, tetapi akan ada challenges yang kemudian wajar dialamatkan pada inovasi itu. inovasi harus mampu menjawab pertanyaan semisal kemanfaatannya bagi ummat, bagi sistem, bagi industri (maqashid asy syariah), bukan hanya pertanyaan kemanfaatannya bagi praktisi bisnis atau rukun-rukun akad.
plong deh.. sudah nulis, sudah ga geregetan..
Langganan:
Postingan (Atom)