Jumat, 27 Mei 2011
Ekonomi Islam Madzhab Indonesia
Kritik Praktek Ekonomi Islam
Beberapa pakar ekonomi Islam seperti Dr. Muhammad Nejatullah Siddiqi dan Dr. Mohammad Obaidullah serta pemikir keuangan syariah seperti Pr.Dr. Volker Nienhaus melontarkan kritik terhadap praktek ekonomi Islam saat ini, khususnya di sektor keuangan Islam yang dilakukan oleh mayoritas negara muslim. Kritikan Siddiqi seperti yang tercuplik dalam artikelnya Muhammad Fahim Khan (Islamic Science of Economics: to be or not to be); “Most of us have been busy competing with conventional economics on its own terms, demonstrating how Islam favors creation of more wealth, etc. We have had enough of that. It is time to demonstrate how modern man can live a peaceful, satisfying life by shifting to the Islamic paradigm that values human relations above material possessions”
Sementara itu Dr. Mohammad Obaidullah mengungkapkan bahwa salah satu kelemahan industri keuangan terletak pada mekanisme fatwa dalam menjustifikasi transaksi-transaksi keuangan. Obaidullah berargumentasi bahwa ruang lingkup interpretasi yang sangat luas dan beragam, dimana hal tersebut menyediakan ruang pula pada interpretasi yang kontradiktif, membuat fatwa dimungkinkan menjadi sekedar alat dalam membenarkan praktek konvensional masuk ke sendi-sendi sistem keuangan Islam. Fatwa saat ini cenderung hanya menggunakan sudut pandang hukum saja. Hal ini membuat mekanisme fatwa menjadi overlook pada esensi-esensi transaksi keuangan Islam.
Oleh sebab itu beberapa kalangan menganjurkan agar mekanisme penyusunan fatwa mengikutsertakan pandangan ekonomi yang mampu menyuguhkan pertimbangan esensi transaksi berikut implikasi perekonomiannya. Dengan begitu fatwa menjadi lebih lengkap memandang dan me-review sebuah transaksi, sehingga mampu memelihara dan menjaga karakteristik keuangan syariah agar selalu in-line dengan semangat ekonomi Islam-nya. Esensi keuangan Islam terletak pada dukungannya terhadap aktifitas ekonomi produktif, dimana aktifitas sektor riil menjadi muara semua transaksi keuangan Islam.
Sedangkan Prof.Dr. Volker Nienhaus berpendapat bahwa dalam praktek keuangan syariah banyak ditemui structure products yang diyakini telah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, dimana produk-produk tersebut pada dasarnya tidak dapat diterima secara umum, namun beberapa Sharia Board dan Sharia Scholar mengakui kesyariahan produk tersebut, seperti produk Tawarruq and Comodity Murabaha, Collateralized Debt Obligations, Short Selling, Profit Rate Swaps dan Total Return Swaps. Dan ketika produk-produk tersebut diterapkan ternyata akan mengakibatkan terjadinya unrestricted liquidity (Tawarruq and Comodity Murabahah), speculation (Collateralized Debt Obligations dan Short Selling) dan sharia conversion (Profit Rate Swaps dan Total Return Swaps). Konsekwensi dari penerapan produk-produk seperti itu, ekonomi tidak mengalami peningkatan wealth dan juga dapat mengakibatkan systemic anomalies dan systemic vulnerability.
Implikasi selanjutnya adalah pada tahap awal akan terjadi Systemic Commingling, dimana Islamic Finance berinteraksi dengan konvensional, yang diikuti dengan Islamic Finance melakukan emulation (peniruan) terhadap produk-produk konvensional. Pada tahap selanjutnya akan terjadi Systemic Inclusion, dimana Islamic Finance berintegrasi dengan Conventional Finance, sehingga terjadi absorption Islamic Finance dalam operasi Conventional Finance, yang pada akhirnya sulit untuk membedakan antara produk Islamic Finance dan produk Conventional Finance. Hal ini terjadi karena beberapa hal, diantaranya: (i) adanya kompetisi dari bank-bank konvensional; (ii) adanya demand akan emulated products (karena masyarakat yang belum well educated pada Islamic Economic/Finance); (iii) lebih tingginya profit dari structure products; (iv) sharia scholar yang mengutamakan legalistic approach dari pada substansi ekonomi Islam dan unfavourable regulatory environment (sesuai kritik Obaidullah). Sehingga agar Islamic Finance tetap sejalan dengan cita-cita penerapan keuangan syariah, maka pada masa yang akan datang perlu diupayakan cara-cara mempertahankan distinction dari Islamic Finance meski dalam prakteknya di lapangan ia akan berdampingan (Systemic Coexistence) dengan Conventional Finance.
Kritikan-kritikan seperti ini, sedikit banyak mempengaruhi kepercayaan para pakar akan keberhasilan sistem ekonomi Islam dalam menjawab tantangan kerapuhan sistem ekonomi yang sedang berlangsung. Bahkan kritikan ini mulai memunculkan keraguan terhadap keefektifan ekonomi/keuangan Islam sebagai sistem ekonomi alternatif yang mampu menggantikan sistem ekonomi mainstream. Operasionalnya yang tidak berbeda, struktur produk yang sama, esensi transaksi yang identik, bahkan tidak ada perbedaan mencolok dari prilaku pelaku ekonomi membuat banyak pihak mulai bertanya-tanya, mampukah ekonomi/keuangan Islam bertahan lama. Karena pada akhirnya dengan kecenderungan yang ada saat ini ekonomi/keuangan Islam akan blended (melebur) dalam sistem ekonomi mainstream juga.
Keuangan Syariah Indonesia
Ditengah kritikan seperti itu, Indonesia secara perlahan mulai dikenal luas oleh dunia, memiliki aplikasi ekonomi/keuangan syariah yang berbeda dengan negara-negara kebanyakan. Indonesia yang dalam forum internasional keuangan syraiah dikenal “ortodok” (mengambil istilah Dr. Zeti Akhtar Azis, Gubernur BNM – bank sentralnya Malaysia) atau konservatif dalam penerapan prinsip-prinsip syariah, kini dikenali memiliki praktek ekonomi Islam yang lebih mendekati substansi ekonomi Islam (jika sulit juga diklaim lebih syariah) serta relatif komplit pada semua aspek ekonomi. Perkembangan ekonomi syariah bukan hanya di sektor yang memang telah banyak dikembangkan seperti perbankan, pasar modal dan lembaga keuangan non-bank lainnya, tetapi perkembangannya merambah pada sektor keuangan mikro, keuangan sosial dan praktek-praktek usaha riil yang mencoba memenuhi prinsip-prinsip syariah.
Disamping itu, sensitifitas berbagai kalangan terhadap praktek syariah membuat aplikasinya oleh pelaku ekonomi termasuk regulatornya, sangat berhati-hati dengan terus mengedepankan substansi prinsip-prinsip syariah yang telah digariskan. Esensi keuangan syariah yang mensyaratkan keterkaitan erat transaksi keuangan dengan usaha produktif ekonomi (riil) membuat produk-produk keuangan syariah Indonesia relatif memiliki bentuk, warna dan karakteristik yang berbeda dengan negara-negara lain.
Sebagai contoh di sektor perbankan, jika membandingkan perbankan syariah Indonesia dengan Malaysia, maka terlihat bagaimana karakteristik perbankan yang berbeda yang dimiliki Indonesia dan Malaysia. Dari struktur produk, produk perbankan syariah Malaysia dominan dikuasai oleh produk fixed income yang mekanisme akadnya mirip konvensional. Produk pembiayaan dominan yang dulu dikuasai oleh akad bay’ al innah kini berganti nama dengan commodity murabaha (99%!), yang esensi mekanismenya sama saja.
Commodity murabaha identik dengan akad kredit konvensional mengingat esensi transaksi produktif (ekonomi riil) tidak ada dalam transaksi tersebut. Uniknya atau mungkin ironisnya, dalam satu kesempatan seorang direktur salah satu bank syariah Malaysia pernah menyebutkan bahwa produk pembiayaan bank syariah berbasis bagi-hasil tidaklah cocok dengan bisnis bank (syariah), sehingga direktur ini bersikeras bahwa produk berbasis jual-beli menjadi pilihan utama. Argumentasi ini semakin beralasan mengingat produk berbasis jual-beli memang lebih fleksibel direkayasa untuk menjadi mirip dengan produk konvensional.
Sementara di Indonesia perbankan syariahnya memiliki produk pembiayaan yang relatif lebih bervariatif. Meskipun produk berbasis jual-beli (murabahah, ijarah dan istishna) masih dominan (65%) tetapi mekanisme produk ‘fixed income” itu betul-betul berbasiskan underlying asset riil. Yang menggembirakan adalah share produk pembiayaan berbasis bagi-hasil (35%) terus membesar dibandingkan produk berbasis jual-beli. Walaupun ada kritik produk berbasis bagi-hasil masih banyak dilakukan bukan dengan end-user seperti koperasi-koperasi serba usaha atau dengan mekanisme yang belum sepenuhnya “profit sharing”, namun esensi transaksi berbasis aktifitas usaha produktif telah disiplin dilakukan.
Pada sektor pasar modal dan non-bank, produk keuangan syariah yang beredar di pasar global dan di pasar domestik negara-negara lain, cenderung mengembangkan produk-produk yang mekanismenya identik pula dengan konvensional. Contohnya produk sukuk yang menggunakan akad ijarah (asset based) atau malaysia menggunakan akad bay al dayn, dimana esensinya sama dengan obligasi konvensional. Atau surat-surat berharga syariah lainnya yang menggunakan akad commodity murabaha. Belum lagi pengembangan yang sampai pada transaksi di pasar derivatif yang diklaim sudah sesuai syariah, meski mudah menyimpulkan bahwa esensi instrumen-instrumen itu sama dengan konvensional.
Alat ukur sederhananya mudah sekali, jika transaksi instrumen keuangan syariah itu tidak memiliki underlying asset riil, maka instrumen itu tidak sesuai syariah. Namun seringkali dalih dari mereka yang membenarkan instrumen mimicry itu adalah bahwa sepanjang ada barang yang ditransaksikan (umumnya dijual-belikan) maka sah secara syariah, padahal barang tersebut hanya jadi alat justifikasi syariah, bukan menjadi objek atau substansi utama yang ditransaksikan. Contohnya, ada jual-beli barang di commodity murabaha tapi bukan itu esensi transaksi, melainkan transaksi kreditnya (uang). Oleh sebab itu, kini Indonesia mulai juga mengembangkan sukuk berbasis projek investasi (project based), seperti projek-projek infrastruktur yang saat ini gencar dibangun oleh pemerintah. Meski pada periode awal indonesia juga menerapkan instrumen-instrumen keuangan syariah seperti kebanyakan negara lain.
Komposisi dan mekanisme transaksi dari produk-produk keuangan syariah yang dimiliki Indonesia ini sebuah fakta yang tidak dimiliki negara-negara lain yang juga mengembangkan industri perbankan dan keuangan syariah. Tidak heran, karena mayoritas negara di dunia mengembangkan industri keuangan syariahnya dengan pendekatan peniruan (mimicry) dengan konvensional, maka banyak pakar yang meragukan orisinalitas sistem ekonomi/keuangan Islam, baik pakar konvensional maupun pakar syariah. namun pada beberapa kesempatan, baik seminar, konferensi dan forum kelompok kerja, banyak negara yang kini menyadari bahwa Indonesia memiliki bentuk industri syariah yang berbeda, aplikasi ekonomi syariah yang memiliki warna lain.
Lembaga Keuangan Mikro Syariah Indonesia
Yang membuat Indonesia berbeda (kata “berbeda” mungkin cukup memadai jika kata “membanggakan” dianggap terlalu berlebihan) dalam aplikasi dan pengembangan ekonomi Islam bukan hanya sebatas di sektor keuangan atau perbankan syariah, tetapi juga ternyata berkembang pula pada sisi-sisi ekonomi yang lain, seperti berkembangnya lembaga-lembaga keuangan mikro syariah, lembaga keuangan sosial dan usaha-usaha sektor riil yang bersemangat untuk comply dengan prinsip-prinsip syariah.
Berkembangnya lembaga keuangan mikro syariah semisal Baitul Mal wa Tamwil (BMT) atau Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS), baik di perkotaan maupun daerah pedesaan, seolah menggenapi semangat aplikasi keuangan syariah di tanah air. Dengan jumlah yang diperkirakan lebih dari 3000 unit, BMT/KJKS telah menjadi ikon tersendiri dalam dunia keuangan syariah Indonesia. Struktur usaha di perekonomian nasional yang 99% didominasi oleh UMKM, maka kehadiran BMT/KJKS menjadi sangat penting dalam melayani kebutuhan jasa keuangan syariah masyarakat ekonomi di segmen bawah. Dengan besarnya jumlah pelaku UMKM dan BMT/KJKS, Indonesia layak disebut negara terdepan dalam aplikasi Islamic Microfinance.
Saat ini Indonesia bahkan dapat dikatakan sebagai laboratorium terbesar dalam aplikasi microfinance. Bukan hanya keuangan mikro syariah tetapi juga keuangan mikro konvensional. Variasi bentuk lembaga keuangan mikro dari koperasi, BMT, badan kredit desa (BKD) dan lain-lain, menempatkan Indonesia sebagai negara percontohan untuk aplikasi keuangan mikro. Khusus untuk keuangan mikro syariah, perlahan-lahan aplikasi keuangan mikro syariah itu menjadi branding indonesia. Dalam beberapa forum, workshop, conference atau field visit (yang dilakukan delegasi negara lain ke Indonesia), materi keuangan mikro syariah sudah menjadi “menu” tetap yang diminta dari Indonesia.
Berbeda dengan negara-negara lain, aplikasi keuangan mikro di Indonesia bukanlah didominasi oleh program atau projek pemberdayaan masyarakat kecil dari pemerintah yang dijalankan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Tetapi itu dilakukan oleh lembaga-lembaga keuangan yang bersifat mandiri, beroperasi dalam komunitas terbatas dan dilakukan oleh masyarakat tempatan (lokal). Modal umumnya diupayakan dari kongsi kelompok masyarakat tertentu, baik komunitas masjid, tetangga, pesantren, profesi dan lain-lain. Meski begitu pada beberapa kasus telah ada lembaga keuangan mikro syariah yang sangat besar, dimana kantor cabangnya telah ada di beberapa provinsi. Beberapa peneliti internasional bahkan secara spesifik telah mengangkat sektor keuangan mikro syariah Indonesia ini untuk menjadi objek penelitian, bahkan beberapa literatur dunia telah merekomendasikannya untuk di replikasi oleh negara-negara lain.
Lembaga Keuangan Sosial Syariah Indonesia
Pada ranah yang berbeda di Indonesia berkembang pula lembaga-lembaga keuangan sosial Islam yang menyasar masyarakat paling bawah, rakyat miskin (poorest of the poor). Pelayanan keuangan syariah bagi rakyat miskin berbentuk penyediaan kebutuhan pokok dan pemberdayaan ekonomi menggunakan dana-dana sosial Islam seperti Zakat, Infak, sedekah dan wakaf. Uniknya lembaga keuangan sosial syariah ini tidak tersentralisasi dibawah lembaga pemerintah tetapi mandiri diinisiasi oleh komunitas-komunitas tertentu yang juga berlatar belakang variatif layaknya lembaga keuangan mikro syariah. ada Dompet Dhuafa (DD) yang diinisiasi oleh Harian Republika, Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU) yang berdiri atas respon kepedulian konflik di Maluku, Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang berdiri sebagai respon dari banyaknya bencana alam, Rumah Zakat (RZ) yang muncul dari komunitas pengajian, dan banyak lagi lembaga lain pada tingkat nasional maupun lokal. Saat ini diperkirakan jumlah lembaga keuangan sosial syariah (swasta) ini diperkirakan mencapai 400-500 lembaga.
Banyaknya lembaga keuangan sosial syariah ini, meski banyak kritik yang dialamatkan padanya, namun harus diakui peran dan kontribusinya dalam melayani rakyat miskin yang selama ini luput dari perhatian pemerintah. Keberadaan mereka memacu program-program inovatif-kreatif dalam melayani rakyat miskin, memunculkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat lain yang terbilang mampu kepada saudara mereka yang miskin, meningkatkan profesionalitas dan manajemen pemberdayaan masyarakat tak mampu, atau sekedar memperbanyak outlet bagi rakyat miskin dalam memperoleh kebutuhan-kebutuhan dasarnya, bukan hanya bersandar pada program pemerintah tetapi juga lembaga-lembaga sosial dari masyarakat sendiri (swasta).
Praktek Usaha Riil Indonesia
Sementara itu, di sektor usaha ekonomi itu sendiri, pada semua skala usaha (mikro-kecil-menengah-besar) sudah pula muncul kesadaran untuk menyesuaikan praktek usahanya dengan prinsip-prinsip syariah. seperti praktek bisnis perhotelan yang mengklaim tidak menjajakan minuman keras, bisnis salon yang khusus bagi muslimah, bengkel yang transaksi dan pelayanan mengedepankan akhlak-hukum syariah, produk pertanian yang ramah lingkungan dan tidak merugikan konsumen akibat pestisida atau zat racun lainnya (organik), rumah makan yang bernuansa syariah, real estate yang menawarkan konsep Islami dan obat-obatan yang merujuk pada tradisi pengobatan Islam. Atau sekedar unit-unit usaha yang mulai tidak mau mendapatkan bantuan modal dari lembaga-lembaga keuangan non-syariah.
Gelombang aplikasi muamalah ini memang mencerminkan kesadaran masyarakat Indonesia yang mulai menyeluruh, pengetahuan Islam yang semakin baik berbuah pada tuntutan penyediaan pelayanan-pelayanan muamalah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Tidak mengherankan memang, karena sebagai indikasi awal adalah boomingnya permintaan buku-buku Islam oleh masyarakat yang hingga saat ini sudah bertahan lebih dari 15 tahun.
Wajah Baru Ekonomi Indonesia
Kembali ke topik, dapat dilihat kini, betapa aplikasi ekonomi Islam di Indonesia lambat laun semakin terangkai dengan begitu baiknya. Aplikasinya meliputi semua aspek ekonomi, melayani semua segmen masyarakat, terlegalkan dalam hukum positif negara (undang-undang), terlembagakan secara formal dan diatur secara resmi oleh pemerintah. Kita lihat nanti wajah ekonomi Islam Indonesia 5 atau 10 tahun kedepan, ketika misalnya, sektor perbankan dan pasar modal terangkai baik dengan lembaga keuangan mikro syariah dan lembaga keuangan sosial syariah.
Dimana sektor keuangan tersebut berinteraksi baik dengan sektor usaha, yang bukan hanya secara fisik berkembang tetapi juga terbangun prilaku-prilaku usaha yang bersahaja, mengedepankan moral dan nilai etika yang luhur. Aplikasi usaha dikokohkan dengan nilai-nilai kejujuran, keadilan, kepedulian dan keseimbangan. Dan akhirnya semua itu terangkai padu dan harmoni dalam program-programnya, menyebar dan tersosialisasikan dengan baik pada mayoritas masyarakat Indonesia, melebur dalam kebijakan dan regulasi ekonomi nasional negara.
Nah, pada saat itulah kita akan lihat wajah baru ekonomi Indonesia. Benih-benih semua itu sudah tampak. Aplikasi ekonomi Islam yang Indonesia terapkan ini menjadi begitu bernilai. Tinggal saja para pejuangnya, pelakunya, pemerhatinya, tidak kehilangan momentum untuk mencapai apa yang sudah dicita-citakan. Sampai disini, saya sendiri memiliki mimpi baru, dimana Indonesia dengan aplikasi-aplikasi ekonomi Islamnya yang memiliki karakter tersendiri dalam dunia ekonomi Islam, menjadi pusat pembelajaran ekonomi Islam di dunia. Salah satu kelebihan Indonesia adalah ia mampu menunjukkan bagaimana teori dan praktek dapat sejalan dengan begitu baik. Ya, dunia akan mengenal Ekonomi Islam madzhab Indonesia. Kita lihat saja
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Assalaamu'alaikum mas Ali Sakti. Saya Said dari Unair yang dulu moderatori seminar Peta Jalan Ekonomi Islam saat antum jadi pembicara bareng pak Agustianto.
Menarik membaca perspektif optimistik yang dikemukakan antum terhadap perkembangan ekonomi Islam di Indonesia. Saya setuju untuk optimis pada sektor keuangan sosial dan sektor riil, tapi lebih pesimis pada sektor keuangan komersial Islam. Selengkapnya uraian kepesimisan saya tuliskan di blog saya
Saya akui praktik keuangan Islam di Indonesia masih jauh lebih baik dari Malaysia dan Timur Tengah. Tapi produk keuangan Islam yang sudah ada belum cukup baik, khususnya di sisi pembiayaan masih terlalu mirip konvensional. Basis sektor riil tidak bisa menjadi argumen karena keuangan konvensional di Indonesia juga sangat berbasis sektor riil. Prestasi keuangan Islam di Indonesia baik jika dibandingkan luar negeri, tapi tidak lebih baik jika dibandingkan dengan konvensional domestik.
Kita juga banyak mendengar suara pelaku besar industri keuangan Islam di Indonesia yang menginginkan agar DSN juga mau menerima produk-produk keuangan Islam yang telah dipraktikkan di negara lain. Kabarnya DSN mulai awal tahun ini sedang mengkaji kelayakan penerapan produk hedging syariah. Sampai mana prosesnya saya belum mendengar kabar lebih lanjut.
Semoga pertahanan DSN terhadap tekanan industri keuangan lebih kuat daripada para mufti di negara-negara lain yang selama ini lebih permisif.
Wassalaamu'alaikum.
Posting Komentar