Pagi ini saya ingin melankolis. Melihat keluar jendela ruang kerja saya, nampak gedung pencakar langit yang berjejal mencoba menutupi pandangan saya pada gunung salak di ujung cakrawala sana. Langit nampak sangat biru meski awan berlapis dengan berbagai macam jenis berusaha menggenapkan panorama. Apa yang indah? Pemandangannyakah? Atau sesuatu dibalik itu?
Ya, saya merasa bukan apa yang tanpak itu indah, tetapi sesuatu dibalik itu yang membuat hati tertunduk dan bergumam pujian. Gunung dan lembah diatur sedemikian rupa, pohon dan awan ditata dengan variasi warna dan bentuknya, tak lupa matahari memberikan komposisi cahaya secukupnya, maka indahlah apa yang nampak dimata kita. Tetapi siapa yang mengatur? Siapa yang menata? Siapa pula mencukupkan komposisi, sehingga indah tertangkap oleh mata?
Gunung dan lembah tak tahu bahwa dia indah, pohon dan awan bahkan tidak peduli dengan keindahan, apalagi mentari yang tahunya hanya diam ditempatnya. Siapa yang menginginkan ini semua? Siapa yang berkehendak?
Bukan jawaban pertanyaan itu yang menjadi hikmah tulisan ini, tetapi kesadaran manusia untuk mau menjadi seperti gunung dan lembah itulah pelajarannya, menjadi pohon, awan dan matahari yang ikhlas diposisikan oleh Tuhan ditempat terbaik dan untuk kebaikan mereka sendiri. Sehingga semuanya menjadi adonan pemandangan yang harmoni dan indah untuk dipandangi.
Ya, pelajaran tentang penyerahan diri pada Tuhan, totalitas dan tanpa syarat. Kini saya pandangi diri saya lewat monitor komputer yang belum lagi saya hidupkan. Mampukah saya, karena ego saya tak kalah ngotot menuntut agar keinginannya dipenuhi, ia tak mau kalah dengan ikhlas yang sudah sampai di akal. Saya tahu setelah ini selalunya ego dan ikhlas akan berperang di hati, kita lihat saja siapa yang menang pada peristiwa-peristiwa sepanjang hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar