Satu kali sempat saya lihat mantan pejabat penting lewat tak jauh dari saya. Beliau menggunakan batik, masih gagah seperti dulu tetapi nampak ada yang “berbeda” dari penampilannya. Beliau tidak lagi selalu didampingi asisten pribadi dan satu satuan pengamanan. Dengan tas “pasar” yang dikaitkan ke bahu dan dikepit diketiaknya, beliau menjadi sangat tidak “beliau.” Ada yang tak manis dilihat (saudara malaysian mungkin akan mengatakan, “macam ada yang tak kena la”). Sempurna kesan itu ketika saya memperhatikan beliau berjalan kaki sendirian ke samping gedung menuju gerbang.
Ya, saya terbiasa melihat beliau dengan kelengkapan fasilitas sebagai seorang pejabat penting. Memiliki lift kantor pribadi, dikerubuti bawahan-bawahannya, pengawalan setiap saat, sampai-sampai mungkin beliau tidak pernah menyentuh knop pintu mobilnya, karena akan selalu ada orang yang melakukan itu. Begitu tidak lazim melihat penampakan beliau ketika itu. seakan-akan kehormatan dan kewibawaannya sirna dihapus oleh tampilan yang tidak biasa seperti itu. Hal inilah yang membuat saya memikirkan lebih lama. Apa yang salah? Siapa yang salah?
Mungkin saya yang salah sampai berfikir seperti itu, atau mungkin hanya saat itu saja penampilan beliau tidak tepat untuk dimaklumi. Tetapi yang menarik hati saya untuk tenggelam lebih dalam bersama aliran fikir dibenak dan rasa adalah mungkin karena memang kehormatan dan kewibawaan beliau hanya direpresentasikan oleh kelengkapan fasilitas sebagai seorang pejabat. Kehormatan dan kewibawaan beliau ada hanya karena jabatan dan seremoni-seremoni protokoler yang memang sudah dikondisikan untuk memposisikan beliau sebagai manusia terhormat. Ya kehormatan dan kewibawaan hanya melekat pada jabatan bukan pada manusianya.
Namun kalau dilihat dan difikirkan lebih luas, fenomena ini lazim saja sepertinya. Skenario karir hidup formal kebanyakan orang baik yang tengah berlangsung maupun yang dicita-citakan, ya seperti inilah umumnya. Skenario hidup yang diawali mampu kuliah di perguruan tinggi ternama, bekerja di perusahaan bonafid dan menduduki jabatan puncak, atau menjadi pengusaha sukses dan menjadi boss dimana-mana. Tetapi setelah itu pensiun and suddenly you become nobody.
Seperti itukah jalur hidup yang akan menjadi sejarah kehidupan saya? Ditengah keasyikan saya merenung dan berimajinasi, kalimat tanya inilah yang muncul. Kebingungan saya tidak lama kok untuk menjawab pertanyaan ini. karena memang saya sangat tahu jawabannya. Tulisan saya yang secara paralel sedang saya susun rasanya tepat menjawab pertanyaan ini. Saya tegaskan di tulisan itu, saya ini aktifis, kerja-kerja saya yang utama adalah menegakkan nilai-nilai dengan amal-amal yang memposisikan diri sebagai “pelayan” manusia lain (kerja dakwah). Sehingga karir formal (kerja nafkah) saya hanya menjadi salah satu kerja dalam kerja utama itu. Dan yang terpenting karir hidup yang saya pilih ini tidak mengenal pensiun!
Bagaimana dengan kehormatan dan kewibawaan? Duh maaf, saya sangat sadar “karir hidup” ini tidak menyediakan itu. Tetapi jikapun memang ada saya akan minta kehormatan itu bukan datang dari penduduk bumi (manusia) tetapi dari penduduk langit. Namun sebenarnya berlebihan pula kalau kehormatan menjadi motivasi karir hidup ini atau menjadi sangat tak elok jika saya menuntut-nuntut mendapatkan itu. Biarlah itu menjadi ranah dan wewenang Pemiliki Segala Kehormatan. Saya lakukan karir hidup ini karena Tuhan yang perintahkan dan jika ada yang lebih dari itu, saya lakukan ini karena saya tidak ingin sekejap pun merasakan dahsyatnya siksa neraka (maafkan saya bunda Rabi’ah Al Adawiyah, saya tak bisa mulia seperti bunda).
Nah, kini yang sulit adalah bagaimana menjaga diri untuk fokus pada orientasi dan konsentrasi pada visi karir hidup ini. Ditengah gelombang cobaan dan badai ujian hidup yang datang bertubi-tubi disertai dengan angin sepoi-sepoi nafsu yang terus menggoda, tentu penjagaan diri untuk fokus dan konsentrasi begitu luar biasa susahnya. Dan salah satu jalan untuk fokus dan konsentrasi adalah membebaskan diri dari kelaziman skenario hidup formal yang ada, membebaskan diri dari parameter-parameter kenyamanan hidup yang artificial, tidak terikat dan bergantung pada fasilitas hidup yang memabukkan serta keluar dari rutinitas seremoni dan protokoler materialistik.
Loh, kalau seperti itu, gaya hidup yang bagaimana itu? Ya ga tau, saya belum memiliki bayangan seperti apa, saya jalani saja dengan pedoman nilai-nilai yang saya yakini. Dengan nilai-nilai itu sebagai karir hidup saya, mungkin saya berharap akan ada kelaziman baru dalam menjalani hidup. Tapi mungkin ada baiknya tidak perlu terlalu banyak bertanya, mari kita bereksperimen saja. Just do it! Wallahu a’lam..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar