Selasa, 08 Januari 2013

Menjaga Martabat Kaum Dhuafa

Mengenaskan melihat antrian kaum dhuafa di depan rumah seorang dermawan atau di pelataran masjid sekedar untuk mendapatkan jatah dari zakat. Bahkan beberapa kali sampai mengorbankan jiwa akibat desak-desakkan yang tidak terkendali. Ironi pula menyaksikan kumpulan masyarakat dhuafa yang harus berpanas-panas terik menunggu dimulainya acara bakti sosial oleh satu partai politik atau perusahaan ternama karena petinggi partai atau direksi perusahaan belum tiba di tempat acara, atau sekedar menunggu kru wartawan yang diminta meliput acara itu.

Rasanya pemandangan itu sudah biasa bukan? Seperti biasa banyak orang menganggap hal itu sebuah kesalahan atas alasan acara itu hanya mengeksploitasi kaum dhuafa demi reputasi, status sosial atau tingkat keshalehan pihak pendonor. Seakan-akan kaum dhuafa memang sengaja “dipelihara” agar selalu tersedia untuk keperluan promosi pribadi, kelompok, komunitas atau perusahaan. Meski Tuhan sepertinya tidak memerlukan promosi atau iklan agar Beliau mengetahui keshalehan para dermawan, kecuali mereka ingin dilihat oleh sesama manusia.

Tulisan ini bukan untuk membahas alasan yang lazim itu. Tulisan ini ingin mengingatkan satu esensi yang lain, satu pelajaran yang mungkin kurang sering didiskusikan, yaitu tentang urgensi menjaga martabat kaum dhuafa, menjaga kehormatan para mustahik. Karena jika kita melihat prosedur amal shaleh yang telah ditetapkan secara syariat, baik filosofinya, teknis operasionalnya, infrastrukturnya dan aplikasi-aplikasi sejenisnya, akan terlihat pelajaran yang memiliki satu pesan yang sama.

Mari lihat dan pahami lebih dalam. Instrumen penyokong dhuafa yang paling utama dalam syariat adalah zakat. Tuhan sudah banyak mengingatkan dalam firman-Nya bahwa zakat itu adalah rizki kaum dhuafa (mustahik) yang diberikan melalui tangan orang kaya (muzakki). Sehingga esensinya sebagian harta orang kaya itu merupakan “titipan” yang harus disampaikan kepada pemilik sesungguhnya. Hal ini berarti mekanisme penyampaian titipan itu dilakukan bukan atas dasar pertimbangan belas kasihan yang memberikan implikasi bahwa muzakki akan naik pamornya jika mereka memberikan sebagian hartanya pada kaum dhuafa.

Mekanisme zakat juga berlangsung bukan digerakkan oleh keimanan. Beriman atau tidak beriman, seorang muzakki wajib menyampaikan barang titipan itu. Jika tidak mereka sampaikan maka dosa besarlah bagi mereka, tetapi jika mereka lakukan ya biasa saja, itulah sewajarnya yang harus terjadi. Dengan filosofi dan pemahaman ini, maka dalam mekanisme zakat kaum dhuafa (mustahik) dan orang kaya (muzakki) kedudukannya baik secara sosial maupun ekonomi sejajar, setara, tidak berbeda kasta.

Untuk semakin menegaskan kesetaraan itu, pada teknis operasionalnya penyampaian “barang titipan” itu disyariatkan dilakukan oleh perantara yang disebut amil. Amillah yang menjadi hijab antara mustahik dan muzakki. Hal ini agar pula interaksi mustahik dan muzakki pada aktifitas yang lain terjadi tanpa dipengaruhi oleh faktor belas kasihan atau balas budi akibat interaksi zakat tanpa perantara tadi. Amil membuat interaksi kehidupan antar kelompok masyarakat menjadi sehat.

Oleh sebab itu, infrastruktur dalam mekanisme sosial harus tersedia, dan salah satunya adalah lembaga amil ini. Lembaga inilah yang bertugas menjaga kehormatan masyarakat khususnya kaum dhuafa. Orang kaya yang ingin menyampaikan harta hak milik dhuafa tidak perlu bertemu langsung dengan kaum dhuafa, bahkan tidak perlu tahu siapa dhuafa itu. Amillah yang melakukan itu.

Jika sudah seperti ini, jangan pula amil yang kemudian mempermalukan dan merendahkan martabat kaum dhuafa dengan “memamerkan” dhuafa di etalase-etalase bakti sosial berdalih syi’ar. Menyampaikan harta titipan kaum dhuafa tidak perlu diatas panggung, dipublikasi berlebihan, ditepuki dan disaksikan banyak orang termasuk para muzakki. Amil sepatutnya datang langsung kepada kaum dhuafa, ketuk pintu rumah mereka, sampaikan langsung harta milik mereka itu, setidaknya amil akan lebih tahu kondisi rumahnya, keluarganya.

Menjaga martabat dhuafa itu penting agar kaum dhuafa dapat lebih maksimal turut andil dalam aktifitas kemasyarakatan yang lain. Jangan sampai kedhuafaannya diketahui terbuka oleh tetangga dan masyarakat sekitarnya, sehingga kaum dhuafa jadi rendah diri dalam rapat-rapat warga atau dipandang rendah dan diremehkan oleh masyarakat yang lain. Menjaga martabat dan kehormatan kaum dhuafa pada dasarnya adalah menjaga kehormatan masyarakat itu sendiri. Itu mengapa Tuhan juga mewanti-wanti untuk saling menjaga kehormatan, menutup aib diri dan sesama. Dan salah satu mekanisme penjagaan itu ada dalam mekanisme zakat.

Dengan alasan itu, saya mengajak teman, tetangga dan semua orang yang saya kenal, mari jaga martabat kaum dhuafa, jaga kehormatan mereka. Malulah kalau sampai ada dhuafa yang harus mengetuk pintu atau sekedar menyodorkan proposal untuk minta harta mereka (zakat). Mari juga kita tanamkan kehormatan pada diri mereka kaum dhuafa, kita bangun rasa percaya mereka kepada Tuhan, sehingga nanti wujud kaum dhuafa yang mampu menjaga kehormatan dan martabatnya, orang kaya yang kearifan dan kedermawanannya semakin bertambah-tambah.

3 komentar:

bootays mengatakan...

Maaf Pak, Saya Agung Mahasiswa dari Bengkulu. Saya mau bertanya, saya tertarik dalam skripsi Saya mencari pengaruh atau hubungan rasio keuangan (kinerja) terhadap komposisi pembiayaan bagi hasil dalam struktur pembiayaan Bank Syariah. Yang Saya tanyakan, apakah benar dalam teori bahwa rasio keuangan (Kinerja Keuangan Bank) dapat mempengaruhi Struktur pembiayaan periode berikutnya ?

Saya memilih ini karena membaca dibanyak sumber bahwa dalam struktur pembiayaan Bank Syariah, masih saja di dominasi dengan Pembiayaan jual beli. Saya berpikir mungkin penyebabnya kondisi atau kinerja keuangan bank syariah yang belum stabil.

PENGURUS mengatakan...

korelasi itu rasanya kurang begitu kuat secara teori, meski kalau dicari secara ekonometrik akan keluar koefisiennya dan bahkan bisa menunjukkan tingkat korelasi statistik yang tinggi (R-square). tapi kalau secara teori lemah, akan menimbulkan pertanyaan.

saya sendiri belum bisa membayangkan bagaimana logika transmisi korelasi antara kinerja dengan struktur pembiayaan. hal ini atas pertimbangan; dengan kondisi industri yang masih baru pemilihan portfolio pembiayaan bank syariah masih diyakini berdasarkan preferensi risiko bank. murabahah itu memiliki risiko terkecil sehingga wajar banyak yg lebih memilih jenis akad ini.

faktor lain yang menyebabkan pemilihan itu, adalah kompetensi SDM. SDM yg belum mengenal betul riil sektor, belum kenal lebih lama dg nasabah maka mereka tidak mau ambil risiko lebih besar, sehingga pilihannya lebih baik murabahah (jual-beli).

dari sisi nasabah juga menentukan. karena banyak nasabah bank syariah di sektor mikro-kecil dimana mayoritas mereka tidak begitu baik laporan keuangannya, maka akan riskan bertransaksi dengan nasabah spt ini menggunakan akad bagi hasil (mudharabah & musyarakah).

demikian mas agung
mohon maaf jika kurang berkenan

bootays mengatakan...

Terima kasih Pak atas jawabannya.

Kalau sebaliknya bagaimana Pak ?

Struktur pembiayaan mempengaruhi kinerja ?

apakah ada teorinya ?