Krisis utang di Amerika Serikat (US) dan negara-negara kawasan Eropa (EU) sampai saat ini belum menunjukkan tanda-tanda membaik. Sejak bergulirnya krisis ini pada semester dua di tahun 2008 di sektor swasta US dan EU (krisis dipicu subprime mortgage), lalu menghantam lebih kuat sektor pemerintah pada tahun 2011 (krisis dipicu gelembung utang negara), hingga awal tahun 2013 kondisi sektor keuangan mereka belum ada perbaikan yang berarti.
Bahkan dari waktu ke waktu kondisi buruk itu terus mencetak rekor negative di perekonomian. Rekor tingkat pengangguran tertinggi, pertumbuhan ekonomi terburuk, penurunan credit rating tertajam, deficit belanja dan pemotongan belanja pemerintah terbesar, kebijakan pajak paling dramatis, konflik pekerja terburuk dan parameter lainnya yang selama ini jauh dari bayangan dapat terjadi di negara-negara maju seperti itu. Bahkan di beberapa negara Eropa terjadi gelombang migrasi khususnya pekerja muda dan berpendidikan tinggi dari negara itu kenegara diluar kawasan Eropa yang kini menjadi emerging market, dan kecenderungan ini tidak boleh dianggap sepele, Bak film layar lebar, perekonomian US dan EU sedang masuk dalam genre cerita thriller yang menegangkan.
Menegangkan bukan hanya membuat semua was-was terhadap imbasnya pada perekonomian global, tetapi juga was-was khawatir krisis meruntuhkan preseden kemapanan ekonomi barat, karena selama ini negara barat menjadi pedoman pembangunan ekonomi negara dimanapun. Keraguan yang berkelanjutan tentu memiliki risiko pada ketidakstabilan interaksi ekonomi global selama ini. keraguan ini semakin beralasan ketika krisis, khususnya di kawasan Eropa, memperlihatkan kerapuhan kesepahaman dalam bingkai Masyarakat Ekonomi Eropa. Saling curiga pada kebijakan-kebijakan yang diambil menyikapi krisis dan kecenderungan memproteksi kepentingan pribadi masing-masing negara menunjukkan kerentanan itu.
Dilain pihak, waktu yang cukup lama boleh jadi membuat banyak pihak tidak lagi perhatian dan aware dengan implikasi-implikasi lanjutannya, baik implikasi yang terjadi di dalam negara-negara krisis maupun implikasi di luar kawasan itu, bahkan implikasi pada wajah perekonomian global. Tetapi mungkin hal ini baik juga untuk membangun interaksi global yang sehat. Dunia secara perlahan akan membiasakan diri dengan realita bahwa negara maju tidak selamanya baik untuk dicontoh. Kondisi ini juga menjadi informasi yang baik untuk meyakinkan negara lain agar percaya diri mengambil langkah dan strategi ekonomi yang sesuai dengan kebutuhan dalam negerinya berdasarkan visi dan kondisi tertentu dari negara tersebut. Krisis di negara maju setidaknya berhasil meruntuhkan pengkultusan strategi kapitalisme yang ditempuh negara-negara maju, dan menggoyang penghormatan berlebihan secara ekonomi kepada negara-negara tersebut.
Lebih jauh, perubahan kutub magnet dan pusat gravitasi ekonomi tentu bukan hanya merubah konstelasi percaturan ekonomi dunia tetapi juga politik. Karena selama ini dominasi politik secara signifikan dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi. Ketidakmampuan negara US dan EU menjaga daya saing ekonomi mereka tentu akan berimbas pada dominasi politik mereka di percaturan global. Gelar negara maju tentu akan menjadi pertanyaan banyak pihak jika kondisi mereka terlihat tertatih-tatih pada aspek ekonomi dan politik. Pertanyaan itu akan semakin relevan jika melihat kinerja ekonomi negara-negara itu berdasarkan parameter; pertumbuhan ekonomi, rasio utang luar negeri, jumlah pengangguran, dan budget deficit. Jika parameter utama ekonomi yang mereka miliki itu tidak lebih baik daripada negara-negara berkembang, apakah masih layak mereka digelari sebagai negara maju? “Kemajuan” mereka yang tersisa mungkin hanya dari sisi budaya, prilaku kemasyarakatan dan aspek sosial lainnya.
Perubahan konstelasi ekonomi dan politik sebenarnya saat ini telah berlangsung pada skala yang memang masih kecil, tetapi harus diakui hal itu tengah terjadi. Tekanan politik baik berupa diplomasi maupun kebijakan militer, serta intervensi kebijakan ekonomi dari negara-negara maju perlahan dirasakan melemah. Tekanan negara maju pada isu yang biasa mereka ributkan seperti hak asasi manusia, kebijakan/propaganda bantuan luar negeri dan lain sebagainya terlihat tidak senyaring biasanya. Kesulitan anggaran membuat negara-negara maju harus realistik dengan langkah-langkah menjaga hegemoni politik dan ekonomi (termasuk militer) mereka yang selama ini membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Disamping memang mereka harus konsentrasi pada kesulitan dalam negeri akibat krisis tersebut.
Sampai detik ini, memang masih sulit membayangkan akan runtuhnya dominasi US dan EU dalam percaturan global. Namun proyeksi-proyeksi ekonomi-politik untuk 20-30 tahun kedepan memperkuat validitas pertanyaan-pertanyaan di bawah ini. Akankah tatanan dunia baru akan muncul pada semua aspek; ekonomi, politik atau bahkan militer, akibat krisis ini? Sudah siapkah negara lain menggantikan hegemoni negara-negara maju? Berkaca pada peralihan hegemoni Persia, Romawi dan Islam Klasik, smooth-kah transisi peralihannya kali ini? Hmmm.. drama belum selesai. Mari terus saksikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar