Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Ba’da Hamdallah wa Shalawat,
Bismillahirrahmanirrahiim, Redaksi Eramuslim yang berbahagia, sudah menjadi ritual saya setiap hari membuka website berita kesayangan saya Eramuslim, selain mencari berita terakhir tentang Palestina, berita-berita seputar dunia Islam selalu membuat saya tercerahkan dan “keep in touch” dengan saudara-saudara muslim yang lain. Namun pagi ini saya membaca satu berita yaitu Bank Syariah Belum Sepenuhnya Gunakan Prinsip Ekonomi Islam, hasil wawancara wartawan Eramuslim dengan Sdr. Achyar Eldine, yang membuat saya tidak bisa sekedar menikmati berita itu tetapi juga harus merespon, karena ada beberapa hal (jika tidak mau dikatakan banyak) yang keliru dalam argumentasi Sdr. Achyar Eldine (inipun jika memang seperti itulah hasil wawancara tersebut). Berikut ini tanggapan saya terhadap artikel tersebut.
Praktek perbankan syariah yang dilakukan oleh perbankan di Indonesia belum seluruhnya sejalan dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam. Hal ini terjadi pada saat memberikan kredit kepada nasabah masih memakai penjaminan. Hal itu diungkapkan Ekonom Universitas Islam Ibnu Khaldun, Bogor Achyar Eldine, menanggapi perkembangan bank Syariah di Indonesia.
"Di dalam bank syariah ada prinsip profit and lose sharing, artinya untung dan rugi sama-sama ditanggung. Tapi nyatanya, dengan adanya jaminan atau agunan, nantinya kalau rugi, maka jaminan itu dimiliki oleh bank, "ujarnya.
Pada produk pembiayaan Bank Syariah yang menggunakan akad bagi hasil (Profit-Loss Sharing), persyaratan agunan tidak wajib diberlakukan, namun jika dipersyaratkan oleh bank syariah agunan tersebut hanya dapat di-claim oleh Bank Syariah ketika terdapat kesalahan yang bersifat moral hazard dari nasabah. Claim tidak boleh dilakukan ketika kerugian berasal dari praktek bisnis secara wajar, saat itulah terjadi loss sharing. Dan ini sudah ada dalam ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia melalui Direktorat Perbankan Syariah.
Ia menilai, konsep ekonomi Islam yang mulai ada juga belum merata, hal ini disebabkan kondisi dan latar belakang ekonomi konvensional yang sudah berlangsung lama di Indonesia.
Karena itu, lanjut Achyar, perbankan syariah itu masih tergantung dengan Bank Indonesia, yang terikat dengan ketentuan-kententuan dari Bank Dunia. Di samping itu, pihak perbankan melihat dengan menggunakan bank syariah keuntungan yang bisa diraih lebih banyak, ketimbang bank konvensional.
Pada dasarnya ketentuan perbankan yang menjadi rujukan bank-bank di dunia melalui otoritas perbankan seperti Bank Sentral berasal dari Bank International Settlement (BIS) yang berkedudukan di Basel Swiss. BIS berfungsi mengeluarkan guidelines bagi operasional perbankan berikut standard-standard pengukurannya. Bukan Bank Dunia (World Bank) yang berfungsi seperti itu, world bank seperti lembaga keuangan dunia layaknya lebih berfungsi sebagai lembaga keuangan internasional yang membantu negara-negara di dunia dalam mencapai sasaran pembangunan mereka. Dan saat ini terkait dengan operasional perbankan Syariah, rujukan ketentuan-ketentuannya kini dikeluarkan oleh Islamic Financial Services Board (IFSB) yang berkedudukan di Kuala Lumpur. Hal ini sudah menjadi kesepakatan bank-bank sentral (sebagai otoritas perbankan) di seluruh dunia yang memang telah menjadi anggota dari dua lembaga pengeluar ketentuan bagi lembaga keuangan swasta di dunia, yaitu BIS dan IFSB.
"Selama ini bank-bank syariah di Indonesia baru namanya saja, lain dengan bank Islam di negeri Islam lainnya yang mereka tidak menggantungkan diri dengan Bank Dunia, "tandasnya.
Tidak ada di dunia ini bank Syariah yang mengikuti ketentuan Bank Dunia, karena memang bank dunia tidak pernah mengeluarkan ketentuan tersebut. Jadi sangat keliru kesyariahan dinilai dari ketergantungan terhadap Bank Dunia, terlebih lagi kekeliruan menghubungkan bank dunia dengan bank Syariah. Silahkan dicek kembali, bahkan ditingkat internasional perbankan Syariah di Indonesia menerapkan ketentuan paling ketat dalam hal kepatuhan pada prinsip Syariah. Tidak ada di dunia ini yang seperti Indonesia dimana Fatwa tersentralisasi oleh badan nasional yaitu Dewan Syariah Nasional (DSN) kemudian diperkuat oleh pengawasan Dewan Pengawas Syariah di bank-bank Syariah serta pengawasan on site oleh Bank Indonesia. Kebanyakan Negara-negara di dunia ini menerapkan struktur yang lebih sederhana, dimana badan nasional tidak ada dan pengawas Syariah di tiap-tiap bank boleh mengeluarkan fatwa.
Achyar menambahkan, apabila bank syariah masih menggunakan n praktek-praktek seperti bank konvensional, ini sama saja sebuah pembodohan terhadap umat Islam yang ingin berupaya mengikis praktek ribawi dalam perekonomian. (novel)
Membaca hasil wawancara ini, wajar kami menilai sebaliknya, yaitu akibat ketidaktahuan dan keterbatasan pengetahuan, analisa kebanyakan orang menjadi pembodohan bagi ummat. Dan saya tidak ingin website kesayangan saya ini menyebarkan berita yang tidak memiliki pencerahan, pembangkitan semangat, apalagi mengandung kekeliruan yang signifikan. Semoga ini menjadi tabayun, dan klarifikasi yang bermanfaat bagi kita semua.
Wassalam
Ali Sakti
Peneliti Bank Yunior
Direktorat Perbankan Syariah – BI
Anggota Sharia Governance & Business Conduct Working Group
Islamic Financial Services Board
2 komentar:
kaNG Ali yang baik,
menanggapi komentar anda kepada Achyar Eldine, terutama poin pertama, pada dasarnya saya sepakat dengan kang Ali. cuma mungkin perlu dikaji lebih dalam mengapa pendapat Achyar Eldine itu bisa muncul. Saya menduga bahwa dia bisa berpendapat demikian karena dia melihat/mendengar prakteknya secara langsung di lapangan.
kebetulan saya juga pernah bekerja di bank syariah dan bahkan kasus aktual baru2 ini saya menemukan ada nasabah bank syariah yang nasib usahanya sudah bangkrut terhempas krismon, sekarang tinggal menunggu waktu saja rumah tinggalnya dilelang oleh bank syariah, karena dulu rumahnya dijadikan jaminan pembiayaan di bank syariah. fakta ini bisa membuktikan katakanlah 'potret' kecil ttg idealita yang sangat masih sulit diwujudkan dalam praktek perbankan syariah di Indonesia.
memang banyak faktor yg menyebabkannya, bahkan saya memperhatikan masyarakat Indonesia masih terpaku pada tingkat rate setara margin antara bank syariah dan bank konvensional, yang dijadikan ukuran kesyariahan praktek bank syariah. Saya kira ini bukan semata2 'kesalahan' masyarakat memahami praktek perbankan syariah, mungkin sosialisasi ttg perbankan syariahnya saja yg perlu di gencarkan lagi.
Saudara Ali yang baik,
Selain IFSB, saya mendengar ada badan bernama AAOIFI dan IIFM.
Bagaimana posisi badan-badan ini relatif dengan IFSB dalam prakteknya?
Bagaimana mereka berbagi porsi dalam mengatur ketentuan keuangan Syariah?
Terima kasih.
Posting Komentar