Banyak pakar diluar negeri yang sudah apriori dengan operasional perbankan syariah, salah satu sebab yang membuat mereka seperti itu adalah referensi mereka terhadap produk-produk bank syariah ternyata pada produk-produk seperti commodity murabaha/tawarruq, bay’ al inah, bay’ al dayn, atau bay’ bithaman ajil. Pakar-pakar tersebut mayoritas memahami disiplin ekonomi dan keuangan, ketika mereka melihat apa yang menjadi produk bank syariah seperti produk-produk tadi, tidak heran mereka mengatakan perbankan syariah hakikatnya tidak beda dengan konvensional. Karena produk-produk itu hakikatnya produk-produk kredit.
Mengapa sampai produk-produk seperti itu muncul? Saya sendiri punya argumentasi sederhana, saya melihat kasalahannya terletak pada kekeliruan mendefinisikan sektor riil (underlying transaction). Para bankir yang melakukan inovasi produk (product engineering) melakukan rekayasa produk keuangan melalui kamuflase jual-beli, mengingat pengetahuan mereka tentang apa yang boleh dalam syariat adalah transaksi yang ada underlying-nya, dapat berupa jual-beli atau bagi-hasil. Karena transaksi untuk bagi hasil relatif berisiko dan “sukar” untuk direkayasa, maka tidak heran rekayasa produk lebih banyak terjadi pada produk-produk jual-beli.
Rekayasa produk bank syariah yang berbasis jual beli akhirnya terfokus pada pemenuhan rukun akad saja, yaitu adanya underlying transaction. Akhirnya underlying trannsaction tidak berfungsi sebagai hakikat atau tujuan transaksi tetapi sekedar menjadi justifikasi atas hakikat atau tujuan sebenarnya dari transaksi itu yaitu transaksi untuk mendapatkan sejumlah uang (credit transaction). Disamping itu, kelemahan pada sharia aspect khsususnya pada proses perumusan fatwa atau sharia audit membuka peluang berkembangnya rekayasa produk yang hakikatnya hanya produk kamuflase.
Dr. Muhammad Obaidullah, seorang peneliti IRTI-IDB yang juga mantan pelaku pasar keuangan, dalam beberapa artikel dan penjelasannya di beberapa seminar seringkali mengungkapkan keprihatinan beliau tentang kecenderungan ini. Beliau mengatakan bagaimana Islamic scholars lebih mengedepankan pandangan hukumnya dalam mengeluarkan fatwa atau menilai boleh tidaknya sebuah operasi keuangan atau produk, sehingga penilaiannya sebatas mencari kesesuaian operasi keuangan atau produk-produk itu dengan rukun-rukun akad yang relatif baku.
Yang luput dari penilaian seperti ini adalah hakikat operasi yang sebenarnya dapat terlihat pada implikasi operasi atau produk tersebut pada perekonomian. oleh sebab itu, pemahaman operasional produk dan transmisi ekonomi untuk mengetahui implikasi tadi menjadi penting dalam proses perumusan fatwa atau sharia audit.
Definisi sektor riil yang tadi sempat saya singgung sepatutnya konsisten dengan definisi aktifitas atau proses penciptaan barang dan jasa. Sehingga transaksi keuangan syariah khususnya di perbankan syariah yang akhirnya tidak mengakibatkan terjadinya proses penciptaan barang dan jasa, dimana barang dan jasa menjadi fokus transaksi, maka patut diduga transaksi keuangan tersebut hanya transaksi kamuflase.
Pemahaman ini sebenarnya sudah dijelaskan oleh Ibnu Farabi, ketika beliau mengatakan jika keuntungan muncul dari transaksi yang tidak mengandung ‘iwad (saya mencoba memahami ‘iwad ini dengan definisi equal counter value-nya ibnu taiymiah), maka keuntungan transaksi tersebut mengandung riba. Beliau menjelaskan bahwa elemen ‘iwad itu ada tiga, yaitu Ghurmy (ownership risk), Ihktiar (value added) dan Dhaman (liability). Dengan kata lain, keuntungan yang muncul harus diiringi dengan munculnya penciptaan/pengadaan barang atau jasa melalui proses ghurmy, ikhtiar dan dhaman.
Jadi transaksi yang sesuai dengan syariah bukan sekedar ada barang yang diperjual belikan, tetapi harus menempatkan barang yang diperjual belikan itu sebagai fokus utama transaksi, bukan hanya justifikasi. Pemahaman inilah yang kemudian membuat definisi sektor riil atau transaksi riil menjadi lebih utuh dan tepat.
Selain itu, karakteristik utama dari produk-produk rekayasa yang bersifat kamuflase di atas adalah produk yang terdiri atas beberapa akad, dimana produk seperti ini rentan sekali melanggar ketentuan syariah karena akad-akad tersebut saling bergantung (bersyarat). Contohnya produk commodity murabaha untuk pendanaan yang terdiri atas akad; (i) mudharabah muqayada; (ii) spot murabaha ; dan (iii) deferred murabaha. Atau produk bay’ al inah yang terdiri atas; (i) spot murabaha ; dan (ii) deferred murabaha.
Penjelasan ini juga bermaksud menunjukkan bahwa kepentingan sharia compliance hakikatnya sama dengan kepentingan prudential regulation atau tujuan final kebijakan moneter yaitu stabilitas sistem menuju pada pertumbuhan ekonomi yang sustainable. Hal ini juga semakin menegaskan karakteristik alami dari disiplin ilmu Islam khususnya dalam keuangan Islam, yaitu kesatuan hakikat dan tujuan. Tidak ada dikotomi kepentingan dalam aspek-aspek ekonomi dan keuangan. Hanya permasalahan umum saat ini adalah bagaimana mendekatkan aplikasi dan teori
Harapannya industri perbankan syariah Indonesia melalui Bank Indonesia bekerjasama dengan Dewan Syariah Nasional mencoba konsisten dengan hakikat transaksi, dimana selanjutnya diyakini akan memelihara hakikat aktifitas ekonomi Islam, yaitu aktifitas produktif yang selalu melekat pada sektor riil (aktifitas ekonomi riil) dan berkontribusi penuh pada pertumbuhan ekonomi.
Mengapa sampai produk-produk seperti itu muncul? Saya sendiri punya argumentasi sederhana, saya melihat kasalahannya terletak pada kekeliruan mendefinisikan sektor riil (underlying transaction). Para bankir yang melakukan inovasi produk (product engineering) melakukan rekayasa produk keuangan melalui kamuflase jual-beli, mengingat pengetahuan mereka tentang apa yang boleh dalam syariat adalah transaksi yang ada underlying-nya, dapat berupa jual-beli atau bagi-hasil. Karena transaksi untuk bagi hasil relatif berisiko dan “sukar” untuk direkayasa, maka tidak heran rekayasa produk lebih banyak terjadi pada produk-produk jual-beli.
Rekayasa produk bank syariah yang berbasis jual beli akhirnya terfokus pada pemenuhan rukun akad saja, yaitu adanya underlying transaction. Akhirnya underlying trannsaction tidak berfungsi sebagai hakikat atau tujuan transaksi tetapi sekedar menjadi justifikasi atas hakikat atau tujuan sebenarnya dari transaksi itu yaitu transaksi untuk mendapatkan sejumlah uang (credit transaction). Disamping itu, kelemahan pada sharia aspect khsususnya pada proses perumusan fatwa atau sharia audit membuka peluang berkembangnya rekayasa produk yang hakikatnya hanya produk kamuflase.
Dr. Muhammad Obaidullah, seorang peneliti IRTI-IDB yang juga mantan pelaku pasar keuangan, dalam beberapa artikel dan penjelasannya di beberapa seminar seringkali mengungkapkan keprihatinan beliau tentang kecenderungan ini. Beliau mengatakan bagaimana Islamic scholars lebih mengedepankan pandangan hukumnya dalam mengeluarkan fatwa atau menilai boleh tidaknya sebuah operasi keuangan atau produk, sehingga penilaiannya sebatas mencari kesesuaian operasi keuangan atau produk-produk itu dengan rukun-rukun akad yang relatif baku.
Yang luput dari penilaian seperti ini adalah hakikat operasi yang sebenarnya dapat terlihat pada implikasi operasi atau produk tersebut pada perekonomian. oleh sebab itu, pemahaman operasional produk dan transmisi ekonomi untuk mengetahui implikasi tadi menjadi penting dalam proses perumusan fatwa atau sharia audit.
Definisi sektor riil yang tadi sempat saya singgung sepatutnya konsisten dengan definisi aktifitas atau proses penciptaan barang dan jasa. Sehingga transaksi keuangan syariah khususnya di perbankan syariah yang akhirnya tidak mengakibatkan terjadinya proses penciptaan barang dan jasa, dimana barang dan jasa menjadi fokus transaksi, maka patut diduga transaksi keuangan tersebut hanya transaksi kamuflase.
Pemahaman ini sebenarnya sudah dijelaskan oleh Ibnu Farabi, ketika beliau mengatakan jika keuntungan muncul dari transaksi yang tidak mengandung ‘iwad (saya mencoba memahami ‘iwad ini dengan definisi equal counter value-nya ibnu taiymiah), maka keuntungan transaksi tersebut mengandung riba. Beliau menjelaskan bahwa elemen ‘iwad itu ada tiga, yaitu Ghurmy (ownership risk), Ihktiar (value added) dan Dhaman (liability). Dengan kata lain, keuntungan yang muncul harus diiringi dengan munculnya penciptaan/pengadaan barang atau jasa melalui proses ghurmy, ikhtiar dan dhaman.
Jadi transaksi yang sesuai dengan syariah bukan sekedar ada barang yang diperjual belikan, tetapi harus menempatkan barang yang diperjual belikan itu sebagai fokus utama transaksi, bukan hanya justifikasi. Pemahaman inilah yang kemudian membuat definisi sektor riil atau transaksi riil menjadi lebih utuh dan tepat.
Selain itu, karakteristik utama dari produk-produk rekayasa yang bersifat kamuflase di atas adalah produk yang terdiri atas beberapa akad, dimana produk seperti ini rentan sekali melanggar ketentuan syariah karena akad-akad tersebut saling bergantung (bersyarat). Contohnya produk commodity murabaha untuk pendanaan yang terdiri atas akad; (i) mudharabah muqayada; (ii) spot murabaha ; dan (iii) deferred murabaha. Atau produk bay’ al inah yang terdiri atas; (i) spot murabaha ; dan (ii) deferred murabaha.
Penjelasan ini juga bermaksud menunjukkan bahwa kepentingan sharia compliance hakikatnya sama dengan kepentingan prudential regulation atau tujuan final kebijakan moneter yaitu stabilitas sistem menuju pada pertumbuhan ekonomi yang sustainable. Hal ini juga semakin menegaskan karakteristik alami dari disiplin ilmu Islam khususnya dalam keuangan Islam, yaitu kesatuan hakikat dan tujuan. Tidak ada dikotomi kepentingan dalam aspek-aspek ekonomi dan keuangan. Hanya permasalahan umum saat ini adalah bagaimana mendekatkan aplikasi dan teori
Harapannya industri perbankan syariah Indonesia melalui Bank Indonesia bekerjasama dengan Dewan Syariah Nasional mencoba konsisten dengan hakikat transaksi, dimana selanjutnya diyakini akan memelihara hakikat aktifitas ekonomi Islam, yaitu aktifitas produktif yang selalu melekat pada sektor riil (aktifitas ekonomi riil) dan berkontribusi penuh pada pertumbuhan ekonomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar