Apa yang saya akan tulis setelah ini, merupakan concern saya sejak lama. Concern yang membuat saya sedih melihat praktek ekonomi Islam di tanah air. Praktek ekonomi Islam yang dilakukan oleh para kader-kader dakwah itu sendiri. Hal ini membuat saya sampai pada satu kesimpulan sederhana bahwa usungan panji dakwah Islam masih terkhianati oleh prilaku mujahid-mujahidnya.
Bagaimana tidak, ketika sibuk kami menjalankan dakwah ekonomi Islam, seperti mengenalkan akhlak sederhana berinteraksi dengan harta, menghindari diri dari praktek riba dan judi, ternyata banyak kolega dakwah masih asyik dalam kemegahan harta, masih tidak merasa bersalah bergaul dengan riba dan spekulasi. Bahkan ada beberapa yang secara sadar melakukan itu dengan terus mencari justifikasi untuk semua yang dilakukannya. Duh kesannya sok suci saya, dengan mengatakan ini semua. Mungkin kalimat-kalimat diatas juga tertuju pada saya, karena memang nasehat ini pertama ditujukan bagi pemberi nasehat. Maafkan saya jika kalimat saya tidak santun.
Dalam nasehat ini yang pertama kali menjadi concern saya adalah prilaku mujahid dakwah yang masih tidak peka dalam mengelola hartanya, seperti lalai menyisihkan zakat dari hartanya atau melakukan transaksi riba dalam memenuhi kebutuhan usahanya. Mungkin banyak punggawa dakwah sudah begitu sensitive dalam menjaga dirinya dari makanan –minuman haram, transaksi-transaksi jual-beli yang jujur dan berprinsip keadilan, tetapi ternyata masih banyak yang tidak peka untuk tidak bergaul dengan riba.
Masih banyak yang bertransaksi dengan bank konvensional dalam mendapatkan kredit berbasis bunga (riba) untuk memiliki rumah atau kendaraan, dengan alasan belum familiar dengan bank syariah atau merasa harga produk bank syariah mahal. Namun tidak sedikit juga ternyata atas dalih keterdesakan status social dan kebutuhan nafkah ada mujahid dakwah yang secara sadar menerima kerja-kerja di perusahaan yang memiliki core business riba dan maysir!
Concern selanjutnya adalah prilaku kolektif mujahid dakwah yang tergambar pada prilaku lembaga-lembaga dakwah, dari lembaga dana social, partai politik, perusahaan, dan lain sebagainya, misalnya pada pengelolaan dalam pemanfaatan dana dakwah yang tidak konsisten pada prinsip dan hukum syariah. Saat ini masih banyak yang tidak disiplin memisahkan dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah atau wakaf. Ada yang memperlakukan dana-dana itu dalam satu treatment, yaitu sebagai dana dakwah dan digunakan untuk APA SAJA yang penting dalam kerangka dakwah. Padahal setiap sumber dana memiliki sasaran –sasaran tembaknya sendiri-sendiri.
Coba bayangkan jika dana dakwah itu dikelola oleh partai politik Islam dan pengelolaannya tidak disiplin, bisa-bisa ada dana zakat yang nyelonong berubah menjadi bendera, spanduk, standing banner atau kaos-kaos partai. Sementara pada saat yang sama sebenarnya ada keluarga kader dakwah yang lebih berhak mendapatkan dana itu untuk kelangsungan hidup anak dan istrinya. Ironi rasanya melihat atribut megah partai berkibar dimana-mana, sementara ada banyak keluarga kader-kader dakwah yang terlunta-lunta. Akibatnya akan ada pemandangan, seorang kader dakwah gemetar menahan lapar ditengah aktifitas dakwahnya memasang atribut partai!
Sama saja kesalahan itu terjadi di usaha-usaha kecil yang tidak mampu membedakan mana dana keluarga mana dana usaha, akhirnya keuangan keluarga dan usaha menjadi kacau balau dan menjauhkan usahanya dari keuntungan apalagi keberkahan. Oleh sebab itu, dengan artikel ini saya mengajak diri saya atau siapapun yang bangga menjadi seorang kader dakwah, apalagi dimanahi mengelola dana dakwah, untuk disiplin dengan prinsip dan hukum syariah. Hal ini bukan saja agar mampu menjaga hak dan kewajiban dalam dakwah, tetapi juga menjaga kelangsungan keberkahan pemilik dakwah yaitu Allah SWT.
3 komentar:
subhanallah.. pak numpang share ya... agar kita semua para kader dakwah tentang artikel ini....
jazzakallah khoir atas artikelnya
dengan senang hati ukhti, semoga bermanfaat...
tulisannya bagus ustad....
Posting Komentar