Selasa, 19 Oktober 2010

Kanibalisme Keuangan Syariah

Beberapa waktu terakhir ini ada sedikit geger dalam industri perbankan syariah. Sengaja saya menggunakan ungkapan sedikit geger mengingat gemanya yang terbatas pada beberapa bank syariah tertentu. Namun guncangan kecil ini ternyata impact-nya cukup membuat saya gelisah, karena ada logika yang “tak kena” dalam dinamikanya. Geger apa sih?

Beberapa waktu terakhir ini Kementerian Keuangan RI mengeluarkan produk sukuk (Islamic bond) spesifik yaitu sukuk haji, yang ditujukan untuk menyerap atau lebih tepat disebut memanfaatkan dana haji dalam rangka menutupi kebutuhan pembiayaan pembangunan pemerintah. Ternyata dana yang masuk pada portfolio itu adalah dana haji yang ada dalam pengelolaan Kementerian Agama. Kementerian Agama menarik dana haji dari bank-bank, baik bank syariah maupun bank konvensional (bank yang memiliki hak menerima dana haji).

Penggunaan dana haji untuk menutupi kebutuhan pembiayaan pembangunan ekonomi nasional kesannya cukup positif, karena hal ini akan menekan ketergantungan sumber dana pembangunan dari asing dan semakin menekan risiko ekonomi (termasuk politik). Artinya penggunaan dana ini mampu mengoptimalisasi potensi keuangan dalam negeri (domestic) dalam pembiayaan pembangunan perekonomian nasional.

Namun pada aplikasinya, sukuk haji ternyata menarik dana haji yang terkumpul dalam DPK (dana pihak ketiga) bank syariah, dana yang selama ini mampu diserap dan membesarkan DPK bank syariah. Dana haji tersebut sedikit banyak telah pula mampu meningkatkan kapasitas produksi bank syariah. Dana triliunan itu ditarik, baik dari bank syariah maupun bank konvensional, untuk diletakkan dalam portfolio sukuk haji. Bagi bank konvensional yang telah memiliki size asset atau DPK cukup besar penarikan ini relative tidak mengganggu, tetapi dengan size bank syariah yang masih kecil, kebijakan Kementerian Agama ini tentu akan mengganggu irama perkembangan bank-bank syariah.

Sepatutnya kebijakan produk sukuk pemerintah harus dirancang sedemikian rupa, agar mampu menarik dana masyarakat yang selama ini masih berada di luar lingkaran industri keuangan syariah, bukan malah memakan dana yang telah ada di “rumah” yang sama. Apalagi dengan kecenderungan dan fakta yang ada saat ini, dimana sukuk pemerintah masih menggunakan skema ijarah berbasis asset (bukan berbasis projek), artinya sukuk haji masih belum optimal berpengaruh pada sector usaha nasional. Dana yang terkumpul dari sukuk haji, penggunaannya menjadi diskresi pemerintah. Dana tersebut bisa saja digunakan untuk membayar cicilan bunga atau pokok utang luar negeri. Jikapun dana tersebut digunakan untuk membiayai projek-projek pembangunan tanah air, tingkat keamanahan pemerintah masih belum begitu bagus, dimana penggunaan dana pembangunan dipercayai masih sering “bocor” karena korupsi.

Kecenderungan ini pada hakikatnya pernah juga mengemuka ketika sukuk pertama kali diluncurkan. Ketika itu dana pembelian sukuk ternyata sedikit banyak mempengaruhi penurunan dana yang ada pada DPK bank-bank syariah. Padahal sukuk diharapkan semakin melengkapi pasar modal syariah tanah air yang perlahan terus terbangun dalam ruang lingkup system keuangan syariah nasional. Sukuk khususnya sukuk pemerintah sebenarnya telah lama dinanti dalam memperkaya produk keuangan syariah yang telah ada. Tetapi nyatanya sukuk (khususnya sukuk pemerintah dalam rupiah) belum mampu memperbesar size industri keuangan syariah.

Variasi portfolio syariah yang diharapkan mampu meningkatkan pangsa keuangan syariah nasional ternyata menunjukkan respon yang kurang positif. Alih-alih menjangkau atau menarik dana masyarakat diluar existing customer keuangan syariah, malah menarik dana dari portfolio syariah yang lain. Sukuk yang digadang-gadang mampu menarik dana masyarakat dalam industri keuangan syariah tetapi ternyata mengebiri perkembangan DPK bank syariah.

Pada praktek-praktek keuangan syariah lainnya, kondisi sejenis ini sebaiknya dihindarkan. Bagi saya kondisi ini layaknya kanibalisme dalam industri keuangan syariah. Regulasi, kebijakan dan preferensi praktisi sebaiknya mampu men-drive lembaga keuangan syariah tidak melakukan kecenderungan negative seperti fakta diatas. Setiap lembaga keuangan syariah seharusnya focus pada upaya memaksimalkan pemanfaatan dana masyarakat bagi usaha-usaha produktif di sector riil. Karena sesungguhnya lembaga keuangan syariah dengan produk-produknya adalah menjalankan fungsi intermediasi dari surplus spending unit kepada business unit.

Harus dihindarkan transaksi keuangan yang berlebihan antar lembaga keuangan syariah. Karena transaksi itu pada hakikatnya akan menghambat kucuran dana ke sector riil, atau setidaknya memperpanjang labirin saluran dana dari pemilik modal kepada pengusaha di sector riil. Contoh yang paling mudah adalah banyaknya lembaga asuransi syariah yang meletakkan dana preminya di deposito bank syariah atau portfolio lembaga keuangan syariah yang lain. Begitu juga lembaga-lembaga keuangan syariah yang lain yang cenderung menghidupkan transaksi-transaksi antar lembaga keuangan syariah. Seharusnya dana masyarakat yang terhimpun di portfolio keuangan syariah bermuara pada aktifitas produktif di sector riil, aktifitas yang identik dengan proses produksi barang dan jasa.

Ingat transaksi keuangan syariah yang menghasilkan margin (profit) haruslah diikuti dengan proses penciptaan barang dan jasa. Inilah esensi transaksi keuangan syariah, dan ini pula yang menjadi poin krusial yang membedakan keuangan syariah dengan keuangan konvensional. Wallahu a’lam.

3 komentar:

Unknown mengatakan...

Assalamualaikum Wr. Wb.

Beberapa waktu yang lalu, secara kebetulan, saya sempat mengikuti perkembangan isu tersebut pada sebuah acara diskusi terbatas, dimana keberadaan Sukuk Negara sedikit banyak telah mengganggu likuiditas bank syariah. Dalam hal ini pemerintah beralasan bahwa private placement Kementerian Agama pada SDHI bertujuan agar adanya jaminan kepastian akan dana haji tersebut sehingga Pemerintah merasa memiliki wewenang. Mereka beralasan jika dana haji ini ditempatkan pada sektor swasta, ada kekhawatiran jika, katakanlah sektor swasta ini mengalami masalah (kemungkinan terburuknya adalah collaps).

Pertanyaan saya, apakah alasan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan ini sudah rasional? Mohon penjelasannya.

Best regards,

Untung Kasirin

PENGURUS mengatakan...

wa'alaikumussalam...

syukron atas responnya akhi, sangat membingungkan alasan pemerintah itu, mengingat tujuan dikeluarkannya sebuah instrumen lebih karena pertimbangan kebutuhan si pengeluar instrumen, dalam hal ini pemerintah (kita tahu pemerintah butuh dana untuk menutupi target budget defisit yang telah ditetapkan).

jadi tujuan dikeluarkannya instrumen akan sangat lemah alasannya karena potensi yang melekat pada dana masyarakat, seperti yang alasan pemerintah yang antum ungkapkan itu.

yang jelas kebijakan itu jauh dari pemahaman ekonomi apalagi kepentingan atau keberpihakan pada pengembangan keuangan syariah. kebijakan itu lebih mencerminkan effort pemerintah untuk mengoptimalkan semua alternatif/pilihan kebijakan dalam mendukung kebijakan fiskal berupa budget defisit.

biasanya kebijakan budget defisit (government spending > Tax) dilakukan merespon ekspektasi masa depan ekonomi yang relatif melemah. ingat 2011 semua prediksi (cek consensus economic forecast dan world economic outlook-nya IMF) mengungkapkan akan terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi di semua kawasan (global).

Demikian, kurang lebihnya mohon maaf. wallahu a'lam.

Unknown mengatakan...

Assalamu'alaikum
Pak, saya mau tanya, maaf keluar kontek artikel bpk. Bagaimana hukum investasi online di internet? 1. jika uangnya dikelola untuk forex, dan 2. ada yang dikelola untuk usaha riil seperti peternakan dan waralaba.
terima kasih