Kamis, 09 Juni 2011

jangan tutup pintu untuk ampunan...

Sudah sepekan ini saya sedang mengikuti program sertifikasi perbankan yang diselenggarakan Learning Center tempat saya bekerja. Saat materi tengah berlangsung ada nada panggilan keluar dari telepon genggam saya, hmmm... dari pegawai asuransi. Beliau menawarkan perpanjangan asuransi yang sebelumnya saya ikuti.

Saya sendiri hingga detik ini masih berpendapat asuransi, meski asuransi syariah bukanlah produk keuangan syariah utama dalam list konsumsi hidup saya. Ada beberapa alasan mengapa saya berpendapat seperti itu, dan rasanya saya juga sudah sampaikan pada satu tulisan di blog ini. anyway, kemudian saya jawab kepada pegawai asuransi itu, saya memutuskan untuk tidak melanjutkan keikutsertaan saya dalam asuransi.

Loh kalau ga setuju dengan asuransi, kenapa saya sebelumnya ikut asuransi? Ya sebenarnya keikutsertaan saya pada asuransi itu karena itu merupakan paket pembelian mobil yang saya beli melalui satu bank syariah. Ya saya tidak bisa menolak, tapi bersyukurnya asuransi yang digunakan juga asuransi syariah.

Setelah telepon saya tutup, banyak fikiran yang ada dibenak saya. Tersenyum-senyum saya mengingat asuransi itu, karena 2 hari sebelumnya mobil saya baru saja tertabrak. Ditabrak seorang supir mobil boks sebuah perusahaan pengiriman logistik. saya tidak bisa berkata banyak kepada si supir setelah mendengar permintaan maaf beliau yang tulus dan tahu kondisi ekonominya.

Kenapa tidak belajar dari peristiwa itu? Kenapa tidak menerima saja tawaran pegawai asuransi tadi? Itu pertanyaan seorang teman yang tahu kondisi saya. Kali ini saya tidak bisa tersenyum, tapi kemudian saya larut dalam fikiran yang agak panjang tentang ini, sembari sekali-kali fokus pada pelajaran dikelas.

Akhirnya saya sampai pada satu pelajaran yang, seperti biasa membuat nyaman perasaan saya (at least sampai detik ini), yaitu tambahan alasan mengapa saya tidak menggunakan asuransi. Saya tulis pelajaran atau kesimpulan itu di telepon genggam saya. Saya katakan pada diri saya; mungkin ada baiknya kamu tidak tutup outlet-outlet dimana Tuhan dapat menghapuskan dosamu melalui outlet itu, sama seperti kamu tidak habiskan semua waktumu sampai-sampai kamu tidak sempat untuk melantunkan istighfar dan taubat untuk dosamu.

Apa maksudnya? Maksudnya, kalau saya membeli asuransi bukankah kejadian-kejadian tabrakan itu sedikit banyak tidak akan memberatkan saya, karena saya tahu dengan asuransi itu akan dapat ditanggulangi. Padahal kesulitan akibat musibah, bencana, sakit atau bahkan sekedar cemasnya seorang muslim itu adalah outlet-outlet digugurkannya dosa. Maaf kalau logika sederhana saya ini tidak pas untuk anda yang membaca tulisan ini. Tapi saya nyaman dengan alasan ini.

Sesaat kemudian saya juga teringat motor saya yang hilang pertengahan tahun lalu yang cicilannya saat ini sampai akhir tahun nanti masih terus saya bayar. Bismillah, semoga logika ini benar. Saya harus akui, saya membutuhkan banyak outlet untuk menggugurkan dosa saya, karena dosa saya memang banyak. Saya tidak bisa hanya mengandalkan istighfar dan taubat yang selalu saya lantunkan pada setiap kesempatan.

Meski terkadang karena kesibukan dunia saya juga tak memiliki waktu untuk beristighfar dan taubat. Kalau sudah seperti itu, kalau sudah harta dijaminkan eksistensinya dan waktu tak tersisa karena kesibukan dunia, lalu kita berharap ampunan Tuhan datang lewat pintu mana? "Duh, Tuhanku yang Agung, hentikan aku sebelum dunia ini rusak karenaku.."

Namun saya sadar, logika diatas itu bukan berarti saya selalu mengambil kesempatan atau menyengajakan diri untuk mendapatkan musibah atau bencana, atau meremehkan semua risiko yang membahayakan jiwa dan harta saya. Insya Allah tidak seperti itu. Saya masih terus belajar hikmah-hikmah dari kehendak Tuhan, dan sedapat mungkin hikmah itu berubah menjadi keyakinan, menjadi pedoman, menjadi amal dan menjadi gaya hidup.

1 komentar:

Hafidz78 mengatakan...

Saat ini saya (Hafidz, dosen STAIN Pekalongan) bersama tim tengah meneliti Manajemen Risiko BMT. Salah satu temuan kami yang cukup menarik perhatian saya adalah, BMT-BMT tidak mau mengasuransikan asetnya (misalnya obyek yang dibiayai lewat murabahah). Ada dua alasan pokok yang mereka kemukakan. Pertama, asuransi TIDAK HALAL (bisa jadi haram, atau minimal syubhat). Pendapat mereka ini tidak lepas dari keputusan DPS mereka masing2.
Alasan kedua, asuransi membuat high cost dan membebani konsumen, sehingga BMT bisa kalah berkompetisi dgn yang lain.
Matur nuwun...