Latar Belakang
Perkembangan industri keuangan syariah di dunia terlihat begitu pesat. System dan industri keuangan syariah tidak lagi menjadi isu local yang sifatnya terbatas ada diantara negara-negara muslim saja, tetapi juga telah menjadi trend global dimana negara-negara non-muslim sudah mengambil posisi dan inisiatif untuk mengadopsi serta mengembangkan system sekaligus industri keuangan syariah ini. Negara-negara yang memiliki industri keuangan terkemuka seperti Inggris, Prancis, Jepang, Hongkong dan Singapura terlihat berlomba-lomba untuk menjadikan negara mereka sebagai pusat keuangan syariah, baik di dunia maupun di kawasan regional. Bahkan lembaga-lembaga keuangan dunia seperti World Bank dan International Monetary Fund (IMF) telah pula menyatakan bahwa pengembangan keuangan syariah telah menjadi salah satu program utama mereka.
Kondisi ini setidaknya disebabkan oleh dua factor: pertama, semakin banyaknya Negara baik muslim maupun non-muslim yang mengembangkan industri keuangan syariah dan perkembangan industri tersebut menunjukkan angka pertumbuhan yang sangat tinggi, sehingga diperkirakan dalam waktu yang tidak lama industri ini akan memainkan peran yang signifikan dalam percaturan industri keuangan dunia. Kedua, krisis keuangan yang menghantam banyak Negara, tidak hanya negara-negara emerging market (1998 – 2005) tetapi juga negara-negara maju (2008 – 2011), dalam kurun waktu dua dekade terakhir ini mendorong banyak pihak untuk mencari alternative system keuangan yang lebih kuat. Alternative system keuangan tersebut diharapkan bukan hanya tahan dari guncangan krisis tetapi juga mampu mencegah krisis itu terjadi.
Perkembangan Keilmuan Ekonomi-Keuangan Islam
Dengan dinamika yang ada pada aspek politik dan budaya, kebangkitan negeri-negeri muslim dari kungkungan kolonialisme menjadi faktor penentu bangkitnya kesadaran mengaplikasikan ekonomi berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Dan perkembangan keilmuan ekonomi-keuangan Islam mengikut perkembangan aplikasinya dilapangan. Seperti yang banyak diketahui dari sejarah, perkembangan ilmu ekonomi Islam modern berawal dari ketidakpuasan tokoh agama Mesir khususnya para Guru di universitas Al Azhar Mesir atas beroperasinya Bank Inggris menggunakan konsep riba dalam rangka pembiayaan proyek Terusan Suez. Namun pada awal tersebut diskursus keilmuannya masih terbatas pada ruang lingkup Ilmu Fikih dan Kalam. Hal ini wajar terjadi mengingat saat itu, di dunia ilmu diskursus ekonomi-keuangan Islam masih beredar dikalangan ahli hukum dan kalam (Fuqaha).
Kemudian pada dekade seanjutnya diskursus ilmu ekonomi-keuangan Islam berhasil mulai mengekstrak prinsip-prinsip umum ekonomi yang kemudian mampu memberikan gambaran lebih jelas seperti apa aplikasi dasar dari ekonomi-keuangan Islam. Pada periode ini dimulai pula inisiasi pendirian lembaga keuangan yang operasionalnya berpedoman pada prinsip-prinsip syariah (Mitghamr Local Savings Bank yang didirikan oleh organisasi Ikhwanul Muslimun di Mesir pada tahun 1963). Pada periode selanjutnya, perkembangan keilmuan ekonomi-keuangan syariah berkembang sangat pesat dan lebih kompleks. Ilmu ekonomi-keuangan Islam bukan hanya berkembang pada semua aspek ekonomi dan keuangan tetapi juga semakin dalam diskursusnya, mengingat pada periode tersebut telah muncul generasi baru ekonom muslim yang mencoba melakukan eksplorasi keilmuan menggunakan wawasan keilmuan ekonomi yang mereka miliki.
Disamping itu dukungan negara-negara muslim pada aplikasi ini semakin terlihat baik secara individual maupun kolektif. Oleh sebab itu pada periode ini muncul kesadaran diantara sekelompok negara-negara muslim yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI/OIC) untuk mendirikan Islamic Development Bank yang bertujuan membantu permasalahan pembangunan negara-negara muslim anggotanya. Dan akhirnya pada dua dekade terakhir ini, aplikasi ekonomi-keuangan Islam semakin meluas dan semakin bervariasi pula aplikasinya. Aplikasinya tidak hanya terkonsentrasi pada aplikasi lembaga perbankan syariah dan sektor moneter saja, tetapi juga sudah menyebar pada aplikasi lembaga-lembaga keuangan non-bank seperti asuransi dan pasar modal, serta aplikasi non moneter seperti zakat dan wakaf. Produk dan kelompok masyarakat yang menjadi sasaran pun semakin meluas dan berkembang.
Pada awal pengembangannya praktek ekonomi-keuangan Islam lebih didominasi oleh praktek perbankan dengan produk yang mayoritas menggunakan akad jual-beli (murabaha). Selanjutnya basis akad produk semakin bervariasi, misalnya pada akad ijarah, takaful dan mudharabah-musyarakah (equities). Bahkan saat ini sudah pula beredar produk Sukuk (Islamic Bonds) yang dapat digunakan bukan hanya nasabah perorangan (retail) tetapi juga lembaga keuangan dan pemerintah. Oleh karena itu, jika dilihat dari penggunanya, khusus aplikasi keuangan Islam telah menjangkau semua segmen pengguna, dari kelompok retail, high net-worth (VIP customers), lembaga keuangan syariah, lembaga non-bank, pemerintah dan lembaga lainnya. Pada periode ini ada kesan dimana perkembangan industri, khususnya industri keuangan syariah, berkembang dengan sangat cepatnya. Sementara, kecepatan tersebut tidak diimbangi dengan pembangunan sistem pendidikan yang mampu menopang perkembangan industri. Dengan kondisi seperti itu, tentu muncul masalah-masalah yang mengganggu, baik disektor industri maupun di sektor sistem pendidikan (akan dibahas pada bagian selanjutnya).
Pada perkembangan terakhirnya, industri keuangan syariah hampir meliputi semua aspek transaksi keuangan, dari jenis transaksi di perbankan, asuransi, pasar modal, dana pension, reksadana, perusahaan pembiayaan sampai dengan pegadaian. Secara kelembagaan aplikasi keuangan syariah memang dipelopori oleh berdirinya bank-bank syariah sebagai berikut:
1. Mitghamr Local Savings Bank (1963) – Shaikh Ahmad Al-Najjar
2. Tabung Hajji Malaysia (1967) – Royal Professor Tunku Abdul Aziz
3. Islamic Development Bank (1974) – Dr. Ahmed Mohamed Ali
4. Dubai Islamic Bank (1975) – Sh. Saeed Lootah
Selanjutnya perkembangan aplikasi keuangan syariah di dunia menyebar pada praktek-praktek non-bank seperti asuransi, pasar modal, perusahaan pembiayaan, dana pensiun, reksadana dan lain sebagainya. Sementara di Indonesia sendiri aplikasi keuangan syariah dipelopori dengan berdirinya BPR Syariah pertama di Bandung yaitu BPRS Berkah Amal Sejahtera (1988) dan Bank Muamalat Indonesia Tahun 1992 (berdasarkan UU No. 7 Tentang Perbankan dan PP No.72 tentang bank bagi hasil)
Saat ini perkembangan industri keuangan dan perbankan syariah di tanah air menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat. Berdasarkan data akhir tahun 2010 pertumbuhan keuangan syariah nasional secara umum diprakirakan lebih dari 30%, khusus untuk pertumbuhan perbankan syariah per-September 2011 mampu tumbuh mencapai 48%. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Maris Strategies & The Bankers November 2010, industri keuangan syariah Indonesia berdasarkan besarnya aset peringkatnya naik dari peringkat 17 tahun 2009 menjadi 13 dunia tahun 2010, dimana asetnya bertambah lebih dari dua kali lipat, dari USD 3.3 miliar menjadi 7.2 miliar. Namun begitu, berdasarkan besarnya aset saat ini belum ada satupun perusahaan keuangan syariah Indonesia yang mampu menembus peringkat 25 besar dunia. Dengan karakteristik aplikasi keuangan syariah yang erat dengan aktifitas usaha produktif ekonomi (sektor riil), diyakini bahwa praktek keuangan syariah mampu berkontribusi positif dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dan peningkatan daya tahan serta mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya yang mampu mengakselerasi pengembangan industri keuangan syariah termasuk perbankan syariah nasional.
Saat ini pencapaian kinerja industri keuangan syariah dan perbankan syariah Indonesia telah diakui secara internasional, bahkan berada dalam posisi yang cukup baik diantara negara-negara yang memiliki industri serupa. Berdasarkan data peringkat yang dikeluarkan oleh Global Islamic Finance Report 2011 (BMB-UK), industri keuangan syariah Indonesia menempati peringkat ke-4 di dunia.
Berdasarkan metodologi penilaian yang dilakukan oleh BMB-UK dalam Global Islamic Finance Report 2011 ini, dapat disimpulkan bahwa tingginya peringkat industri keuangan syariah Indonesia karena jumlah lembaga perbankan yang cukup banyak, pengelolaan industri yang lebih mapan dan jumlah variasi lembaga keuangan syariah di luar perbankan yang juga melayani kebutuhan jasa keuangan syariah bagi masyarakat. Seperti yang sebelumnya di sebutkan, bahwa terjadi peningkatan yang cukup signifikan dari volume asset industri keuangan syariah nasional tetapi tidak ada satupun perusahaan keuangan syariah, ternyata hal tersebut dapat disimpulkan secara positif, dimana meski size-nya kecil industri keuangan syariah Indonesia memiliki banyak jenis institusi dan tersebar luas melayani kebutuhan masyarakat banyak. Disamping itu, pengelolaan secara formal oleh pemerintah menunjukkan bahwa industri keuangan syariah nasional relatif cukup mapan dalam sebuah sistem industri.
Dengan karakteristik industri keuangan syariah yang masih baru dan struktur usaha di perekonomian Indonesia yang dominan usaha mikro-kecil, kapasitas terbatas, variasi lembaga yang banyak dan sebaran jaringan yang luas membuat industri keuangan syariah nasional yang ada saat ini dapat dikatakan optimal menjadi lembaga intermediari bagi unit usaha mikro-kecil Indonesia. Tetapi hal itu tidak kemudian bermakna indonesia tidak membutuhkan lembaga keuangan syariah yang besar. Pada perkembangan selanjutnya dalam rangka mewujudkan tingkat daya saing industri keuangan syariah nasional berdasarkan scale of economies-nya, diperlukan upaya untuk membesarkan size perusahaan-perusahaan keuangan syariah yang ada.
Perkembangan Industri Vs Perkembangan Ilmu dan SDM
Dengan demikian secara umum, baik perkembangan industri ini di lingkungan Indonesia maupun di lingkungan dunia internasional menunjukkan perkembangan yang sangat pesat, terutama pada dua dekade terakhir ini. Apalagi perkembangannya sangat dibantu oleh sentimen ekonomi dunia ditengah badai krisis keuangan yang melanda seluruh belahan dunia pada dua dekade terakhir ini, dari negara-negara emerging market sampai dengan negara-negara maju. Kinerja internal industri dan lingkungan bisnis yang kondusif membuat industri ini berada dalam kondisi tumbuh sangat cepat. Namun yang disayangkan perkembangan industri itu tidak diikuti dengan perkembangan sistem pendidikan yang memadai, yang pada akhirnya diharapkan mampu menyediakan SDM bagi industri. Ketiadaan SDM yang memadai pada semua aspek, seperti SDM di tingkat praktisi, regulator, pengawas syariah, hakim, auditor dan akademisi itu sendiri, membuat langkah-langkah pengembangan bisnis keuangan syariah menjadi relatif pragmatis. Upaya-upaya pemenuhan kebutuhan SDM secara instan membuat strategi pengembangan industri keuangan syariah terkesan mengabaikan prinsip-prinsip dasar syariah pada aspek operasional, produk, good governance dan sharia governance.
Selain itu, ketertinggalan sektor pendidikan dalam eksplorasi ilmu ekonomi dan keuangan syariah membuat lembaga pendidikan bergantung pada pengetahuan yang menjadi dasar penerapan oleh lembaga keuangan di dunia industri. Kecenderungan ini tentu tidak tepat dalam rangka mewujudkan industri keuangan syariah yang kuat dan sehat. Dengan kecenderungan seperti itu, akademisi tidak mampu memerankan fungsinya dalam menjaga dan memelihara sektor industri agar selalu in-line dengan substansi keilmuan yang diterapkan oleh industri, karena industri sudah memainkan peranan dominan dalam mengontrol perkembangan ilmu itu sendiri. Pada dasarnya akademisi dengan pengetahuannya yang memadai sepatutnya menjadi elemen pengontrol bagi perkembangan industri, agar industri selalu berada pada track ilmu yang benar yang bermuara pada sistem keuangan yang kuat yang memberikan manfaat maksimal bagi perekonomian. Pihak industri seharusnya menjadi mitra kalangan akademisi dalam memperkuat dan memperkaya ilmu, misalnya dalam memberikan masukan kelayakan praktik (practicability) dari ilmu-ilmu keuangan syariah. Oleh sebab itulah saat ini banyak sekali ketidak-puasan dari pakar ekonomi Islam dan syariah terhadap perkembangan aplikasi ekonomi dan keuangan syariah, baik di tanah air maupun di tingkat dunia internasional. Berikut ini di bawah ini beberapa kritik tersebut.
Kritik Terhadap Aplikasi Ekonomi dan Keuangan Islam
Prof. Volker Nienhaus
Dalam praktek Islamic Finance banyak ditemui structure products yang diklaim telah sharia compliance. Pada dasarnya produk-produk tersebut tidak dapat diterima secara umum, namun beberapa Sharia Board dan Sharia Scholar mengakui ke shariahan produk tersebut. Diantara produk-produk tersebut adalah: Tawarruq and Comodity Murabahah, Collateralized Debt Obligations, Short Selling, Profit Rate Swaps dan Total Return Swaps.
Pada kenyataannya ketika produk-produk Islamic Finance tersebut diterapkan akan mengakibatkan terjadinya unrestricted liquidity (Tawarruq and Comodity Murabahah), speculation (Collateralized Debt Obligations dan Short Selling) dan sharia conversion (Profit Rate Swaps dan Total Return Swaps), sehingga pada gilirannya tidak memberikan peningkatan wealth dan juga dapat mengakibatkan systemic anomalies dan systemic vulnerability.
Dr. Umer Chapra
“The way the Islamic financial system has progressed so far is only partly, but not fully, in harmony with the Islamic vision. It has not been able to fully come out of the straitjacket of conventional finance. The use of equity and PLS modes has been insignificant, while that of the debt-creating sales- and leasebased modes has been predominant. Moreover, even in the case of debt-creating modes, all Islamic banks and branches or windows of conventional banks do not necessarily fulfill the conditions laid down by the Shari‘ah. They try to adopt different legal stratagems (hiyal) to transfer the entire risk to the purchasers (debtors) or the lessees. The result is that the Islamic financial system, as it is being practiced, does not appear to be a genuine reflection of what it is expected to be.”
Dr. Muhammad Nejatullah Siddiqi
“Most of us have been busy competing with conventional economics on its own terms, demonstrating how Islam favors creation of more wealth, etc. We have had enough of that. It is time to demonstrate how modern man can live a peaceful, satisfying life by shifting to the Islamic paradigm that values human relations above material possessions”
Dr. Mohammad Obaidullah
Ruang lingkup interpretasi yang sangat luas dan beragam serta menyediakan ruang pula pada interpretasi yang kontradiktif, membuat fatwa menjadi sekedar alat dalam membenarkan praktek konvensional masuk ke sendi-sendi sistem keuangan Islam. Fatwa saat ini cenderung hanya menggunakan sudut pandang hukum saja. Hal ini membuat mekanisme fatwa menjadi overlook pada esensi-esensi transaksi keuangan Islam. Oleh sebab itu beberapa kalangan menganjurkan agar mekanisme penyusunan fatwa mengikutsertakan pandangan ekonomi yang mampu menyuguhkan pertimbangan esensi transaksi berikut implikasi perekonomiannya. Dengan begitu fatwa menjadi lebih lengkap memandang dan me-review sebuah transaksi, sehingga mampu memelihara dan menjaga karakteristik keuangan syariah agar selalu in-line dengan semangat ekonomi Islam-nya. Esensi keuangan Islam terletak pada dukungannya terhadap aktifitak ekonomi produktif, dimana aktifitas sektor riil menjadi muara semua transaksi keuangan Islam.
Dr. Monzer Kahf
“It seems to me that the present generation of Islamic economists is exhausted and already consumed in the activities of Islamic banking and finance that the best it can do is to hand over the torch to a second generation that may carry deeper theoretical analysis and fill the gaps left by our generation.”
Kritik para pakar terkait aplikasi ekonomi dan keuangan syariah menunjukkan ketidak-puasan atas perkembangan aplikasi ekonomi dan keuangan syariah yang saat ini sedang berlangsung. Salah satu kritik yang banyak disampaikan adalah corak aplikasi keuangan syariah yang saat ini semakin identik dengan aplikasi keuangan mainstream (konvensional), sehingga dikhawatirkan keuangan syariah akan semakin jauh dari semangat dan cita-cita ekonomi Islam.
Kesimpulan dan rekomendasi
1. Perkembangan aplikasi industri ekonomi dan keuangan Islam sejak awal sejalan dengan perkembangan keilmuannya, namun dua dekade terakhir ini perkembangan industri yang sangat pesat membuat pengembangan industri dan penyediaan SDM cenderung dilakukan dengan cara-cara yang instan, dan hal ini berisiki menimbulkan banyak masalah pada berbagai aspek, khususnya reputasi dan kemanfaatan industri bagi perekonomian.
2. Perkembangan industri ekonomi dan keuangan Islam tidak diikuti dengan perkembangan sistem pendidikan yang memadai, yang pada akhirnya terdapat kondisi kelangkaan jumlah SDM yang mumpuni bagi industri.
3. Diperlukan upaya lebih besar dalam eksplorasi keilmuan ekonomi dan keuangan Islam di tingkat lembaga pendidikan.
4. Diperlukan upaya riset yang lebih masif serta mencetak SDM yang kompeten dalam bidang ekonomi dan keuangan Islam.
5. Diperlukan dukungan semua pihak baik regulator, praktisi dan Kementerian Pendidikan Nasional dan Budaya serta Kementerian Agama dalam mempercepat upaya eksplorasi keilmuan ekonomi dan keuangan Islam.
2 komentar:
mmg industri keuangan syariah sedang membutuhkan banyak SDM yg berkompeten, yang tidak hanya faham syariah, tapi juga faham ekonomi dan keuangan modern. salam silaturahim Pak Ali Sakti, saya Khalifah mahasiswa PSTTI angkatan 21. بارك الله فيك
maaf pak. Boleh minta referensi bukunya gak pak?makasih ya pak
Posting Komentar