Beberapa waktu ini, salah satu berita yang cukup menyita perhatian di jagad perbankan dan keuangan Indonesia adalah isu tentang “keegoisan” Malaysia yang terus menunjukkan sikap negatif dalam membuka industri keuangan mereka terhadap keinginan ekspansi beberapa bank swasta Indonesia yang ingin beroperasi di negeri melayu tersebut. Requirements yang terkesan berbelit dan menghambat dengan berbagai alasan, membuat daftar sentimen negatif terhadap Malaysia semakin panjang.
Oleh sebab inilah, maka isu kebijakan resiprokal juga dituntut oleh kalangan industri domestik terhadap bank-bank asing terutama bank-bank swasta yang dimiliki oleh pihak Malaysia (swasta atau pemerintah). Perlakuan yang sama terhadap bank-bank asing tersebut tentu akan memenuhi rasa keadilan ditengah semangat pembangunan nasional yang tengah gencar membenahi diri menuju pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).
Kondisi perekonomian termasuk industri keuangan yang menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam periode satu dekade ini setelah krisis dahsyat tahun 1998, seharusnya menjadi modal kuat atau bargaining power bagi Indonesia untuk mendapatkan perlakuan yang adil dari mitra luar negeri. Kekuatan pasar Indonesia yang dominan di kawasan ASEAN dengan tingkat pertumbuhan tertinggi memang diakui tidak serta merta membuat Indonesia bisa berlaku jual-mahal terhadap pihak asing yang ingin berbisnis di dalam negeri, karena Indonesia sendiri membutuhkan suntikan-suntikan modal untuk membangkitkan potensinya. Tetapi setidaknya Indonesia dapat berlaku proporsional dan fair untuk kepentingan industri dalam negeri.
Kita tentu tidak ingin nilai tambah ekonomi Indonesia yang tengah bergeliat ini, lebih banyak dihisap oleh para kapitalis asing, yang notabene tidak begitu care dengan kepentingan ekonomi nasional. Nah. Bagaimana masalah ini dilihat dari perspektif ekonomi Islam? Seperti apa pendekatan yang dimiliki oleh Islam dalam menyikapi kondisi ini?
Konsep resiprokal pada dasarnya telah dikenal dalam kebijakan politik ekonomi dalam Islam. Pada masa Rasulullah kebijakan resiprokal mungkin belum begitu terlihat mengingat kompleksitas dan ruang lingkup aktifitas ekonomi belum begitu tinggi dan luas. Barulah pada masa Khalifah Umar bin Khattab hal ini menjadi perhatian dan muncul kebijakan spesifiknya. Kebijakan resiprokal tentu sangat dipengaruhi oleh tingkat ekonomi domestik yang bersinggungan dengan ekonomi negara lain. Dipengaruhi pula oleh tingkat kedaulatan (tingkat daya tawar) ekonomi yang bergantung pada besar volume dan kompleksnya perekonomian tersebut.
Kedaulatan ekonomi Islam pada masa Umar bin Khattab dimulai ketika pemerintahan Umar mulai membenahi administrasi negara dan sekaligus inventarisasi aset-aset negara. Pada masa pemerintahan Umarlah relatif dimulainya fokus pembangunan fisik (ekonomi) dan non-fisik domestik negara Islam, setelah pada masa Khalifah Abu Bakar perhatian pemerintah lebih tercurah pada penstabilan kegaduhan politik selepas wafatnya Rasulullah Muhammad SAW.
Dalam menegakkan kedaulatan dan meninggikan bargaining power negara Islam yang ber-ibu kota Madinah, Umar bin Khattab selaku khalifah memberlakukan kebijakan re-minting dari uang yang beredar di wilayah kedaulatan negara Islam Madinah. Kebijakan ini mengharuskan pembuatan relief baru pada mata uang dinar dan dirham yang beredar ditengah masyarakat, dengan simbol-simbol Islam. Pembuatan relief ini dilakukan pada setiap uang yang masuk ke Baitul Mal.
Sebelumnya untuk mendukung kebijakan ini, Umar melembagakan Baitul Mal sebagai institusi riil dari negara. Meskipun pelembagaan fungsi Baitul Mal bukan hanya atas alasan kebijakan re-minting mata uang semata, kompleksitas urusan negara baik politik maupun ekonomi, berlebihnya harta zakat baik yang berupa uang atau barang dan ternak, serta atas alasan diplomatik (politik) berupa amanah propaganda (dakwah) Islam ke negeri-negeri lain, menjadi alasan lain mengapa Baitul Mal diperlukan dan ditubuhkan (dilembagakan).
Pelembagaan Baitul Mal menjadi titik krusial dan menjadi milestone pelaksanaan kebijakan-kebijakan ekonomi Umar bin Khattab, baik yang berupa kebijakan publik maupun kebijakan moneter. Langkah-langkah yang ditempuh negara melalui Baitul Mal ini membuat kebijakan ekonomi terlihat terarah dan sistematik (formal) dalam menerjemahkan prinsip-prinsip muamalah Islam. Dan kemudian dapat menjadi inspirasi dan rujukan dalam perumusan kebijakan-kebijakan ekonomi lainnya.
Tidak terkecuali kebijakan spesifik yang ditujukan sebagai kebijakan resiprokal ekonomi merespon kebijakan serupa yang diberlakukan oleh negara lain. Salah satu kebijakan resiprokal yang mulai diberlakukan pada masa Umar bin Khattab adalah Ushur. Ushur merupakan pajak khusus yang dikenakan atas barang niaga yang masuk ke Negara Islam (impor). Menurut Umar bin Khattab, ketentuan ini berlaku sepanjang ekspor Negara Islam kepada Negara yang sama juga dikenakan pajak ini. Dan jika dikenakan besarnya juga maksimal sama dengan tarif yang diberlakukan negara lain tersebut atas barang Negara Islam.
Pemberlakuan ushur ini dapat dijadikan referensi atas bentuk-bentuk resiprokal yang lain dalam kebijakan ekonomi merespon treatment yang diberlakukan oleh negara lain atas kepentingan nasional. Kebijakan ushur sedikitnya memberikan tiga pelajaran penting: pertama, dibenarkan atas prinsip keadilan melakukan kebijakan yang bersifat barrier kepada negara lain ketika negara tersebut mengenakan kebijakan barrier atas kepentingan nasional; kedua, perlakuan resiprokal tidak boleh menzalimi negara lain dengan melarang memberlakukan kebijakan yang lebih berat dari kebijakan yang diambil oleh negara lain; dan ketiga, pada dasarnya ekonomi Islam menjunjung tinggi interaksi ekonomi yang bebas berdasarkan prinsip keadilan dan kesetaraan.
Pungutan pajak berupa tarif ushur harus dilihat betul-betul substansinya. Kebijakan ini tidaklah bertentangan dengan tindakan Rasulullah yang ketika memulai pengelolaan negara Madinah menghapuskan pungutan Ushur (pajak) oleh para ashir (petugas pemungut pajak). Karena kebijakan ushur berupa tarif bea masuk (pajak impor) oleh Umar bukanlah kebijakan pajak yang merata mengena kepada seluruh rakyat dan tidak bersifat permanen. Pajak impor ini bersifat kondisional sekali sepanjang pajak sejenis diberlakukan oleh negara lain atas barang (kepentingan) negara Islam.
Untuk memastikan prinsip-prinsip keadilan ditegakkan dalam menjalankan kebijakan ini, muhtasib (petugas pengawas pasar) dapat berfungsi menyerap informasi-informasi pasar yang kemudian menjadi pertimbangan pemberlakuan kebijakan resiprokal oleh Baitul Mal. Informasi tersebut penting dalam menentukan besarnya tarif, barang apa dari negeri mana saja yang terkena kebijakan dan sampai kapan kebijakan itu akan berlangsung, tentu didukung oleh informasi tersebut. Sebagai catatan, pada masa Umar bin Khattab, Hisbah (dengan muhtasib sebagai pelaksananya) yang berfungsi sebagai pengawas pasar belum formal dilembagakan. Institusi Hisbah secara formal baru ditubuhkan pada masa Abasiyah.
Dalam konteks kekinian kebijakan-kebijakan resiprokal tentu tidak hanya sebatas pemberlakuan tarif impor (Ushur) tetapi dapat pula berbentuk kebijakan lain. Misalnya kebijakan regulasi yang lebih ketat atas pelaku usaha asing dimana negaranya memberlakukan kebijakan yang sama atas kepentingan nasional. Hal ini tentu akan berkembang pada bentuk-bentuk yang sangat bervariatif bergantung pada kompleksitas atau tingkat variasi aktifitas ekonomi yang melibatkan dua atau lebih negara (ekonomi internasional. Dimungkinkan pula ijtihad bentuk lain yang mungkin substansinya sama. Wallahu a’lam.
Pustaka
Abdul Azim Islahi, “Ibn Taimiyyah’s Concept of Market Mechanism,” Readings in Microeconomics: An Islamic Perspektif, Longman Malaysia (1992).
Abidin Ahmad Salama, Fiscal Policy of An Islamic State, Readings in Public Finance in Islam, (Edited by Mahamoud A. Gulaid & Mohamed Aden Abdullah), Islamic Research and Training Institute (IRTI) – Islamic Development Bank (IDB), Jeddah, Kingdom of Saudi Arabia, 1995
F.R. Faridi, “A Theory of Fiscal Policy in An Islamic State,” Readings in Public Finance in Islam, Islamic Research and Training Institute (IRTI) - Islamic Development Bank (IDB).
Hafas Furqani, Institusi Hisbah: Studi Model Pengawasan Pasar Dalam Sistem Ekonomi Islam, Skripsi S1, jurusan Muamalat (Ekonomi Islam), Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2002 M/1423 H.
Hasanuzzaman, Economic Functions of An Islamic State (The Early Experience), The Islamic Foundation, Leicester UK, 1991.
M.A. Sabzwari, “Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa Khulafaur Rasyidin,” Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Editor: Adiwarman Karim, SE, MA), The International Institute of Islamic Thought Indonesia (IIIT), 2002.
Muhammad Akram Khan, The Role of Government in the Economy, The American Journal of Islamic Social Sciences, Vol. 14, No. 2, 1997.
Muhammad Nejatullah Siddiqi, Role of The State In The Economy: An Islamic Perspective, The Islamic Foundation, United Kingdom, 1996.
Quthb Ibrahim Muhammad, Kebijakan-Kebijakan Ekonomi Umar Bin Khattab, Azzam, Jakarta, 2003.
Yusuf Qaradhawi, Fiqih Daulah: Dalam Perspektif Al Qur’an dan Sunnah, Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 1997.
Ziauddin Ahmed, Munawar Iqbal and Fahim Khan (Editors), Money and Banking In Islam, International Center for Research In Islamic Economics, King Abdul Aziz University Jeddah and Institute of Policy Studies Islamabad, Pakistan, 1996.
1 komentar:
kapan kira2 indonesia menerapkan kebijakan ini? Ada follow up ke arah sana atau termentahkan oleh unsur2 yg 'berkepentingan' dgn 'mereka'?
Posting Komentar