Ada yang menarik perhatian benak saya pagi tadi. OB yang akrab dengan saya dikantor bertanya; abis jogging ato senam mas? Saya jawab; ya jogging dong, kan dah ga boleh senam lagi. Loh memang kenapa ga boleh? Bertanya mas OB itu terheran-heran. Kan sudah haji, sudah ga boleh lihat yang macam-macam, jaga mata jaga hati, jawab saya sambil tertawa kecil. Maklum senam dikantor saya selain instrukturnya wanita, kebanyakan pesertanya juga wanita, jadi agak riskan bagi saya. Mendengar jawaban saya mas OB tertawa lepas sambil mengangguk-angguk.
Setelah percakapan singkat itu, saya tercenung memikirkan kembali jawaban saya. Hmmm.. beda tipis ya antara syiar dan sombong. Terus terang jawaban saya tadi lebih saya khususkan untuk diri sendiri, agar selalu ingat pada komitmen haji dan tidak menyia-nyiakan prosesi suci yang saya sudah jalani di tanah Haram beberapa waktu yang lalu.
Harus ada sesuatu yang berbeda, harus ada sesuatu yang berubah, dan perbedaan ataupun perubahan diri saya sepatutnya adalah perbedaan atau perubahan yang lebih baik. Haji harus membuat saya menjadi pribadi yang lebih baik. Haji menuntut dan bahkan sudah merubah standar-standar amal kebaikan. Oleh sebab itu, menjadi kewajiban saya untuk patuh dan menghormati kemuliaan Tuhan yang Beliau sudah sempatkan pada saya.
Meski sebenarnya hingga saat ini saya masih penasaran, gelar haji yang melekat pada setiap jamaah yang selesai menunaikan prosesi haji itu sejarahnya seperti apa, dalilnya apa (jika ada). Pada dasarnya saya memaklumi gelar itu bagaikan sebuah penghormatan bagi mereka yang sudah dipernahkan oleh Allah SWT menjadi tamunya di tanah suci. Menjadi tanda bagi manusia-manusia yang memiliki kesempatan untuk menjadi penghuni syurga, karena haji merupakan salah satu ibadah utama yang jika mendapatkan kemabruran haji tidak ada imbalan yang pantas kecuali syurga bagi manusia pelaksananya.
Tetapi tidak jarang saat ini gelar haji tidak lagi bermakna sakral bagi nurani para alumninya, tetapi ia menjadi gelar yang tak lebih dari sekedar gelar saja, sama seperti gelar keilmuan yang kurang lebih untuk menunjukkan kelebihan dunia bagi pemiliknya, seperti gelar lulus menempuh pendidikan pada jenjang-jenjang tertentu. Saya sendiri masih terus berusaha mendapatkan kesimpulan dari hakikat haji. Oleh sebab itu, saya akan terus mengingatkan diri ini pada setiap kesempatan bahwa diri ini pernah menjadi tamu Tuhan di tanah Haram, jangan sia-siakan semua itu.
Kamis, 30 Desember 2010
Rabu, 29 Desember 2010
Kini saatnya...
Kini waktunya pembuktian janji-janji setia. Janji yang digumam dan dibisikkan di depan multazam dan hijr ismail, di raudhah dan disetiap kesadaran ketika di kedua tanah haram. Apakah janji-janji itu akan menjadi ikrar yang mulia atau sekedar menjadi omong kosong yang sia-sia. Saatnya komitmen diuji, dan saatnya harus tegas untuk setia dengan janji-janji setia.
Saya sendiri sadar kalau saya akan sampai pada masa sulit untuk lulus dalam ujian-ujian komitmen. Tetapi saya yakin Tuhan bersama saya, dan kali ini Beliau lebih dekat dengan saya, meski semua ujian ini adalah kehendak-Nya. Sungguh, siap atau tidak siap, ujian ini akan datang pada waktunya. Akankah ujian ini memuliakan saya atau malah menghinakan, itu semua tergantung pada saya.
Ingat ali, bukit dan gunung tanah haram yang baru kau ziarahi itu jauh dari pemandangan hijau yang menyedapkan mata, ia tandus, namun ketika kau pandangi lamat-lamat hamparannya, nikmati susunannya dan renungkan kesyahduannya dalam selimut kabut pagi dan senja, bukit dan gunung yang tandus itu menyuguhkan keindahan yang berbeda. Maknanya, dibalik ujian yang kau rasakan kering itu, dibaliknya ada keindahan yang tidak kalah nikmatnya.
Saya sendiri sadar kalau saya akan sampai pada masa sulit untuk lulus dalam ujian-ujian komitmen. Tetapi saya yakin Tuhan bersama saya, dan kali ini Beliau lebih dekat dengan saya, meski semua ujian ini adalah kehendak-Nya. Sungguh, siap atau tidak siap, ujian ini akan datang pada waktunya. Akankah ujian ini memuliakan saya atau malah menghinakan, itu semua tergantung pada saya.
Ingat ali, bukit dan gunung tanah haram yang baru kau ziarahi itu jauh dari pemandangan hijau yang menyedapkan mata, ia tandus, namun ketika kau pandangi lamat-lamat hamparannya, nikmati susunannya dan renungkan kesyahduannya dalam selimut kabut pagi dan senja, bukit dan gunung yang tandus itu menyuguhkan keindahan yang berbeda. Maknanya, dibalik ujian yang kau rasakan kering itu, dibaliknya ada keindahan yang tidak kalah nikmatnya.
Bangga...
Pagi ini dimulai dengan perasaan bangga, bangga menjadi seorang Indonesia. Tadi malam Indonesia jadi bangsa pemenang. Tim Nasional menang lawan Malaysia, dan seluruh warga bangsa yang menjadi suporter menang karena sportifitas yang mereka pertontonkan pada dunia. Bangsa yang besar ini betul-betul memiliki jiwa yang besar. Dengan begitu baiknya bangsa ini memberikan contoh dan ketauladanan pada Malaysia, bagaimana sepatutnya berprilaku santun dan sportif.
Ala kulli hal, saya menangkap pula semangat dan kesadaran yang kini secara perlahan terbangun dalam jiwa bangsa ini. Apa itu? Semangat dan kesadaran untuk keluar dari kemapanan keterpurukan. Bangsa ini secara tidak langsung menunjukkan keletihannya dengan kerusuhan, jenuh dengan perpecahan, muak dengan kecurangan. Bangsa ini tengah bersemangat untuk menjadi bangsa yang baik dan berprestasi dengan bersih.
Mari terjemahkan semangat dan kesadaran ini tidak hanya ada dalam batas-batas teritori sepak bola. Mari refleksikan dalam semua aspek kehidupan berbangsa; hukum, ekonomi, sosial budaya dan politik. Bangsa ini begitu merindukan sistem hukum yang bersih, yang mengayomi dan melindungi sekaligus memelihara hak-hak seluruh warga bangsa. Oleh sebab itu, please, kepada semua penggawa hukum negara, kasihanilah bangsa ini, bersemangatlah menjadi aparat hukum yang bersih, bersemangatlah menjadi ksatria hukum yang berada di front terdepan menegakkannya. Kepada saudara polisi, jaksa dan hakim atau siapa saja yang memiliki kuasa hukum di tangan dan lisannya amanahlah dengan tugas-tugas anda. Berikan bangsa ini kebanggaan memiliki anda sekalian.
Kepada para pelaku ekonomi, bangsa ini sudah sekian lama tidak menikmati apa yang menjadi anugerah Tuhan pada mereka. Bangsa ini ditakdirkan menempati negara terindah dan terkaya di dunia. Tetapi selama memiliki itu semua, selama itu juga kemakmuran belum dirasakan kenikmatannya. Padahal keadaan itu mudah dan sederhana sekali untuk diwujudkan. Boleh jadi hanya mensyaratkan agar semua pelaku ekonominya jujur dalam aktifitasnya. Para orang kaya bersahaja dengan kelebihannya, orang miskin menjaga kehormatannya dengan tidak mengambil apa yang bukan menjadi haknya, sementara para pemimpinnya menjalankan sistem dengan benar dan terus memelihara atau bahkan meningkatkan prilaku ekonomi terpuji dari warganya. Dan dengan itu semua, seluruh bangsa akan mampu mencapai kemakmuran dan kesejahteraan dalam bentuk yang sebenarnya, yaitu ketentraman lahir dan bathin.
Semangat dan kesadaran pada prilaku-prilaku terpuji juga diharapkan membentuk interaksi sosial budaya yang baik. Yang merefleksikan prilaku bersyukur pada Tuhan. Kesantunan dan kesahajaan, kebersamaan dan sepenanggungan menjadi warna dominan dari setiap bentuk interaksi sosial bangsa ini. Dan akhirnya muncullah di permukaan kehidupan bangsa ini budaya-budaya luhur yang penuh dengan nilai-nilai moral dan etika, yang tidak kosong dari prinsip-prinsip keTuhanan, yang kemudian mampu memelihara ketentraman, keharmonisan dan kesejahteraan dalam berbangsa. Ketika itu terwujud, maka tidak ada yang mampu menyanggah bahwa bangsa ini adalah bangsa yang berbudaya tinggi.
Sementara itu, dengan semangat dan kesadaran yang sama, dunia politik akan memperoleh bahan bakar baru dalam bergerak dan menjalankan fungsi-fungsinya. Bahkan dengan semangat dan kesadaran ini, dunia politik memperoleh arah baru, visi baru atau paradigma baru dalam berpolitik. Konsep melayani menjadi panglima berpolitik, pemimpin yang adil menjadi puncak pencapaian politik, dan upah tertinggi dari kerja-kerja politik adalah gelar manusia terbaik karena berhasil menjadi manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lain. Ya, melayani bangsa pada semua kebutuhannya, merupakan sebuah pekerjaan termulia di muka bumi. Dan manusia-manusia yang memiliki semangat dan kesadaran seperti inilah yang kami harapkan menjadi pemimpin-pemimpin bangsa yang besar ini. Oleh karenanya, kami serukan pada semua politisi dan siapa saja yang ingin berpolitik, amanahlah dengan kewajiban anda, bawalah bangsa ini sampai pada apa-apa yang menjadi haknya. Tidak jenuhkah kita dengan prilaku kotor; korupsi, kolusi atau sekedar lari dari amanah-amanah yang ada?
Inilah semangat dan kesadaran yang terefleksi keluar dari teritori sepak bola, yang mungkin menjadi mimpi masa depan. Tetapi setidaknya saya sudah berbahagia, karena mengetahui bahwa bangsa ini semalam menunjukkan keinginan kuat menuju mimpi itu. Bangsa ini memiliki bakat sekaligus kemampuan untuk mewujudkannya. Menjadi bangsa besar dan menjadi tauladan dunia. Saya bangga menjadi bagian di dalamnya.
Ala kulli hal, saya menangkap pula semangat dan kesadaran yang kini secara perlahan terbangun dalam jiwa bangsa ini. Apa itu? Semangat dan kesadaran untuk keluar dari kemapanan keterpurukan. Bangsa ini secara tidak langsung menunjukkan keletihannya dengan kerusuhan, jenuh dengan perpecahan, muak dengan kecurangan. Bangsa ini tengah bersemangat untuk menjadi bangsa yang baik dan berprestasi dengan bersih.
Mari terjemahkan semangat dan kesadaran ini tidak hanya ada dalam batas-batas teritori sepak bola. Mari refleksikan dalam semua aspek kehidupan berbangsa; hukum, ekonomi, sosial budaya dan politik. Bangsa ini begitu merindukan sistem hukum yang bersih, yang mengayomi dan melindungi sekaligus memelihara hak-hak seluruh warga bangsa. Oleh sebab itu, please, kepada semua penggawa hukum negara, kasihanilah bangsa ini, bersemangatlah menjadi aparat hukum yang bersih, bersemangatlah menjadi ksatria hukum yang berada di front terdepan menegakkannya. Kepada saudara polisi, jaksa dan hakim atau siapa saja yang memiliki kuasa hukum di tangan dan lisannya amanahlah dengan tugas-tugas anda. Berikan bangsa ini kebanggaan memiliki anda sekalian.
Kepada para pelaku ekonomi, bangsa ini sudah sekian lama tidak menikmati apa yang menjadi anugerah Tuhan pada mereka. Bangsa ini ditakdirkan menempati negara terindah dan terkaya di dunia. Tetapi selama memiliki itu semua, selama itu juga kemakmuran belum dirasakan kenikmatannya. Padahal keadaan itu mudah dan sederhana sekali untuk diwujudkan. Boleh jadi hanya mensyaratkan agar semua pelaku ekonominya jujur dalam aktifitasnya. Para orang kaya bersahaja dengan kelebihannya, orang miskin menjaga kehormatannya dengan tidak mengambil apa yang bukan menjadi haknya, sementara para pemimpinnya menjalankan sistem dengan benar dan terus memelihara atau bahkan meningkatkan prilaku ekonomi terpuji dari warganya. Dan dengan itu semua, seluruh bangsa akan mampu mencapai kemakmuran dan kesejahteraan dalam bentuk yang sebenarnya, yaitu ketentraman lahir dan bathin.
Semangat dan kesadaran pada prilaku-prilaku terpuji juga diharapkan membentuk interaksi sosial budaya yang baik. Yang merefleksikan prilaku bersyukur pada Tuhan. Kesantunan dan kesahajaan, kebersamaan dan sepenanggungan menjadi warna dominan dari setiap bentuk interaksi sosial bangsa ini. Dan akhirnya muncullah di permukaan kehidupan bangsa ini budaya-budaya luhur yang penuh dengan nilai-nilai moral dan etika, yang tidak kosong dari prinsip-prinsip keTuhanan, yang kemudian mampu memelihara ketentraman, keharmonisan dan kesejahteraan dalam berbangsa. Ketika itu terwujud, maka tidak ada yang mampu menyanggah bahwa bangsa ini adalah bangsa yang berbudaya tinggi.
Sementara itu, dengan semangat dan kesadaran yang sama, dunia politik akan memperoleh bahan bakar baru dalam bergerak dan menjalankan fungsi-fungsinya. Bahkan dengan semangat dan kesadaran ini, dunia politik memperoleh arah baru, visi baru atau paradigma baru dalam berpolitik. Konsep melayani menjadi panglima berpolitik, pemimpin yang adil menjadi puncak pencapaian politik, dan upah tertinggi dari kerja-kerja politik adalah gelar manusia terbaik karena berhasil menjadi manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lain. Ya, melayani bangsa pada semua kebutuhannya, merupakan sebuah pekerjaan termulia di muka bumi. Dan manusia-manusia yang memiliki semangat dan kesadaran seperti inilah yang kami harapkan menjadi pemimpin-pemimpin bangsa yang besar ini. Oleh karenanya, kami serukan pada semua politisi dan siapa saja yang ingin berpolitik, amanahlah dengan kewajiban anda, bawalah bangsa ini sampai pada apa-apa yang menjadi haknya. Tidak jenuhkah kita dengan prilaku kotor; korupsi, kolusi atau sekedar lari dari amanah-amanah yang ada?
Inilah semangat dan kesadaran yang terefleksi keluar dari teritori sepak bola, yang mungkin menjadi mimpi masa depan. Tetapi setidaknya saya sudah berbahagia, karena mengetahui bahwa bangsa ini semalam menunjukkan keinginan kuat menuju mimpi itu. Bangsa ini memiliki bakat sekaligus kemampuan untuk mewujudkannya. Menjadi bangsa besar dan menjadi tauladan dunia. Saya bangga menjadi bagian di dalamnya.
Senin, 27 Desember 2010
Pelamun berangkat haji... (3)
9 November 2010, saat saya tulis kata-kata ini saya sedang menikmati bangunan terindah dan tersuci di muka bumi, Ka’bah!! Dengan Maqam Ibrahimnya yang anggun, dengan Hijr Ismailnya yang tak pernah sepi, dengan Hajar Aswadnya yang menjadi magnet untuk siapa saja dan dengan Rukun Yamaninya yang tak bosan untuk disapa.
Saat ini saya sedang duduk di undakan anak tangga menghadap pelataran Ka’bah dari masjid teragung yang ada di muka bumi. Saya nikmati menaranya yang menjulang gagah, pilar-pilarnya yang berbaris padu bagaikan dinding, memandang manusia-manusia yang seakan-akan tidak ingin menyisakan setapakpun pelataran Ka’bah.
Saya tidak ingin bicara hikmah dibalik pemandangan ini, karena saya yakin tak ada hikmah yang lebih bermakna kecuali hadir di depan Ka’bah, di dalam Masjidil Haram dan menikmatinya!!
Kalau anda iri, berarti anda mengerti maksud saya, karena mau saya memang membuat iri siapapun yang tidak hadir disini. Puas!
Pelamun berangkat haji... (2)
Bagi saya ini pesta cinta oleh Tuhan, Yang Maha Penyayang untuk hamba-Nya yang terkenal bengal. Meski ini pesta, tetap saja haji adalah masalah pribadi antara saya dengan Tuhan. Hakikatnya saya “dipanggil” oleh Beliau, dipanggil menghadap, dan diberikan kesempatan untuk mendapat ampunan dan kasih sayangnya. Apalagi kesempatan itu diiringi dengan jamuan yang tiada henti.
Ingat, cinta tuhan itu tanpa syarat, terbukti tamu-Nya terdiri atas manusia yang memiliki beragam tabiat, bermacam status dunia dan akhirat, dari pendosa yang teramat jahat sampai manusia mulia yang sangat taat. Namun uniknya, pesta cinta ini tidak bebas untuk siapa saja, ia teristimewa untuk segolongan manusia, mereka yang hadir memang karena dipanggil. Meski nanti hasilnya ada yang akan membawa keberkahan atau ada yang malah menambah kehinaan.
Untuk kalian yang masih sibuk di seluruh penjuru dunia, terobsesilah untuk menjadi tamu dalam pesta cinta ini. pesta cinta tidak digelar tersembunyi seperti malam qadar, ia terbuka, ruang dan waktunya telah ditetapkan dan ditanda. Maka terobsesilah dengannya, seperti terobsesinya kita dengan karir dan jabatan, dengan rumah dan kendaraan, dengan dunia dan semua kenikmatan. Karena inilah pesta cinta yang membuka pintu syurga untuk semua, dan kita tahu pesta itu digelar kapan dan dimana. Tunggu apa lagi??
pelamun berangkat haji... (1)
bercampur baur rasa yang ada di hati, ketika pilot menginformasikan bahwa pesawat sebentar lagi memasuki kawasan yalamlam. sementara secara fisik kepala saya mulai sakit, kerongkongan dan tenggorokan terasa kering. tetapi sejenak kemudian saya lebih fokus pada dinamika yang sedang terjadi dalam hati saya.
kerinduan itu bercampur dengan rasa bersalah yang teramat sangat. kerinduan pada tanah Nabi, pada Baitullah, pada prosesi dan momen ibadah agung di pelataran tempat-tempat suci, harus bertarung dengan rasa bersalah akibat dosa yang menggunung, yang memang harus saya bawa dari kampung kehidupan saya. hal ini membuat kekhusyukan untuk bersiap menjalani prosesi haji terasa tidak begitu mendalam, membuat air mata tidak jelas merefleksikan apa, entah itu bahagia entah juga itu penyesalan.
kemudian berbisik saya pada hati saya sendiri; setelah ini, jika Tuhan sakitkan, susahkan atau letihkan, maka terimalah, itulah bentuk-bentuk anugerah yang memang pantas bagimu. bersyukur Tuhan tidak permalukan kamu dihadapan seluruh manusia yang menjadi tamunya nanti.
saya insyafi betul bisikan ini. saya maklumi dan coba fahamkan sedalam mungkin dalam sanubari agar jiwa sekaligus raga siap memulai perjalanan ibadah suci ini. tak lama, saya berbisik kembali, kali ini ingin menyemangati diri; jika sampai nanti di tanah haram, tataplah langitnya dalam-dalam, pandangi cakrawalanya dengan diam, renungi gunung dan lembahnya, karena sesungguhnya malaikat memenuhinya dengan senyum dan shalawat. sapalah mereka, berikan salam. bersuka-citalah, karena sebentar lagi pesta besar penduduk langit dan bumi akan segera digelar di tanah haram, di penjuru bukit, lembah dan gunung-gunung.
pesta akbar penduduk langit dan bumi. ya kini tiba saatnya tanah haram menjadi pusat perhatian alam semesta. sebentar lagi Tuhan akan membagi-bagikan syafaat, ampunan sekaligus bonus pahala yang tidak akan habis dimakan usia. itu mengapa beruntungnya manusia yang akan menjadi tamu Tuhan dalam pesta akbar ini, menjadi bagian dari gegap-gempita alam semesta. bahkan jikalau ada kata yang lebih tinggi dari bahagia maka akan saya gunakan, karena memang pesta ini digelar untuk manusia yang menjadi tamu-tamu itu. tidak pandang siapa manusia itu, mau dia beriman atau bajingan, mau dia suka atau tidak suka, tidak peduli ia mau atau tidak mau, diakhir pesta sepatutnya air mata menjadi refleksi kesadaran betapa beruntungnya mereka.
(bersambung)
Rabu, 22 Desember 2010
marhaban...
Assalamu'alaikum... Apa khabar? alhamdulillah saya baik, keluarga sehat. Maaf lahir bathin sebelumnya. Lama tidak bercengkrama dengan internet. Tidak sabar ingin berbagi rasa, pengalaman dan renungan selama saya berhaji kepada siapa saya yang berminat membaca dalam blog ini.
Banyak tulisan yang saya buat, baik bersifat pribadi maupun bersifat terbuka selama menempuh perjalanan haji kemarin, di Jeddah, Makkah, Arafah, Mina, Jabal Nur, atau di Madinah. Beberapa tulisan akan saya sharing dalam blog ini, tetapi tidak semuanya, karena beberapa tulisan memang sasarannya tunggal, hanya untuk saya.
Saya mulai dari yang paling akhir saja. Ini tulisan terakhir yang saya ingin sharing:
Haji betul-betul menyadarkan saya tentang hakikat dunia dan posisinya dalam hidup dan kehidupan. Saat ini tugas saya adalah menjaga kesadaran dari haji ini pada setiap detik sisa hidup saya.
ketika kesadaran dan semangat haji masih tinggi, mudah bagi saya untuk merasa kasihan pada diri sendiri atau manusia lain yang tertawa-tawa menikmati dunia dan kemegahannya atau mereka yang menangis tersedu-sedu karena tidak mendapatkannya. Dan saya sangat iri dengan mereka yang fokus pada akhirat, bersahaja di dunia, bergelimang amal shaleh serta disiplin pada setiap bentuk ibadah.
Semoga kesadaran dan semangat ini selalu terpelihara.
Itu tulisan singkat yang saya tulis begitu saya sudah berada di pesawat dari Madinah menuju Jakarta. Semoga Allah jaga saya dan saya tahu diri menjaga semua anugerah yang Beliau sudah limpahkan.
Pada tulisan-tulisan awal disana, saya merasa bahwa haji hakikatnya adalah jamuan Tuhan bagi hambanya. Menu jamuan itu tiada lain adalah pengampunan tanpa syarat bagi siapa yang meminta atas dosa-dosa mereka. Disana dibuka semua pintu langit untuk menerima dan melayani semua harapan, melalui gerbang-gerbangnya yang mulia, seperti Multazam, Hijir Ismail, Maqam Ibrahim dan Arafah.
Ya Haji adalah pesta besar bagi penduduk bumi dan langit, dimana tanah haram dipenuhi olah manusia dan malaikat. Dari lembah Haram yang berkah itu bergemalah talbiah, tahmid, takbir mengagungkan Allah yang Maha Agung. Berjuta-juta doa dikirimkan menuju langit tertinggi, ingin menggoyang singgasana arasy, diiringi oleh air mata dan pengharapan yang teramat sangat. Sementara malaikat memenuhi bukit dan lembah makkah membagi-bagikan ampunan dari Tuhan kepada siapa saja yang hadir. itulah sekelumit jamuan, interaksi pesta tanah haram.
Ayo tunggu apa lagi, segeralah berikhtiar untuk berhaji. Tidak tertarik untuk ikut dalam jamuan pesta Tuhan?!
Wassalam
Banyak tulisan yang saya buat, baik bersifat pribadi maupun bersifat terbuka selama menempuh perjalanan haji kemarin, di Jeddah, Makkah, Arafah, Mina, Jabal Nur, atau di Madinah. Beberapa tulisan akan saya sharing dalam blog ini, tetapi tidak semuanya, karena beberapa tulisan memang sasarannya tunggal, hanya untuk saya.
Saya mulai dari yang paling akhir saja. Ini tulisan terakhir yang saya ingin sharing:
Haji betul-betul menyadarkan saya tentang hakikat dunia dan posisinya dalam hidup dan kehidupan. Saat ini tugas saya adalah menjaga kesadaran dari haji ini pada setiap detik sisa hidup saya.
ketika kesadaran dan semangat haji masih tinggi, mudah bagi saya untuk merasa kasihan pada diri sendiri atau manusia lain yang tertawa-tawa menikmati dunia dan kemegahannya atau mereka yang menangis tersedu-sedu karena tidak mendapatkannya. Dan saya sangat iri dengan mereka yang fokus pada akhirat, bersahaja di dunia, bergelimang amal shaleh serta disiplin pada setiap bentuk ibadah.
Semoga kesadaran dan semangat ini selalu terpelihara.
Itu tulisan singkat yang saya tulis begitu saya sudah berada di pesawat dari Madinah menuju Jakarta. Semoga Allah jaga saya dan saya tahu diri menjaga semua anugerah yang Beliau sudah limpahkan.
Pada tulisan-tulisan awal disana, saya merasa bahwa haji hakikatnya adalah jamuan Tuhan bagi hambanya. Menu jamuan itu tiada lain adalah pengampunan tanpa syarat bagi siapa yang meminta atas dosa-dosa mereka. Disana dibuka semua pintu langit untuk menerima dan melayani semua harapan, melalui gerbang-gerbangnya yang mulia, seperti Multazam, Hijir Ismail, Maqam Ibrahim dan Arafah.
Ya Haji adalah pesta besar bagi penduduk bumi dan langit, dimana tanah haram dipenuhi olah manusia dan malaikat. Dari lembah Haram yang berkah itu bergemalah talbiah, tahmid, takbir mengagungkan Allah yang Maha Agung. Berjuta-juta doa dikirimkan menuju langit tertinggi, ingin menggoyang singgasana arasy, diiringi oleh air mata dan pengharapan yang teramat sangat. Sementara malaikat memenuhi bukit dan lembah makkah membagi-bagikan ampunan dari Tuhan kepada siapa saja yang hadir. itulah sekelumit jamuan, interaksi pesta tanah haram.
Ayo tunggu apa lagi, segeralah berikhtiar untuk berhaji. Tidak tertarik untuk ikut dalam jamuan pesta Tuhan?!
Wassalam
Jumat, 05 November 2010
Mari berhaji...
Haji menjadi ibadah wajib yang sempurna, karena ia membutuhkan semua yang kita miliki. Kita harus mengerahkan semua kemampuan, dari waktu, komitmen, tenaga, stamina, harta sampai emosi. Mungkin shalat hanya membutuhkan waktu dan komitmen, mungkin puasa membutuhkan tenaga, mungkin zakat membutuhkan harta, tetapi haji membutuhkan semuanya. Mungkin karena itu ia diletakkan diakhir dari rukun Islam. Ia menjadi simbol ibadah pamungkas yang menghimpun semua kemampuan manusia yang akan menunaikannya.
Nah, pada saya tibalah prosesi ibadah pamungkas ini saya tunaikan tahun ini. Meski ibadah ini hakikatnya adalah kehendak Allah, terlaksana atas panggilan Beliau, sehingga mereka yang hadir nanti di tanah haram sejatinya merupakan tamu-tamu yang memang dipanggil "menghadap", namun tetap saja dibutuhkan niat yang sungguh-sungguh dari semua manusia Islam untuk siap "dipanggil" secepatnya. Tidak ada konsep kebetulan dalam ibadah ini, tidak pula ada konsep kemampuan. Itu mengapa seruan manusia yang menuju kesana berbunyi; "Labbaik Allahumma Labbaik.." Intinya memenuhi panggilan Allah.
Ketika menulis paragraf ini ada lintasan fikiran menarik di benak saya. Boleh jadi renungan ini tidak berdasar apalagi benar, tetapi saya tertarik untuk berbagi dengan anda. Maaf ya kalau memaksa anda. Fikiran saya saya mengatakan, mungkin konsep inilah yang menjadi dasar anjuran orang menunaikan haji satu kali saja seumur hidupnya. Dengan harapan dipanggil satu kali saja oleh Allah menghadap, cukup baginya untuk berubah menjadi manusia yang lebih baik. Tidak perlu dipanggil berkali-kali menghadap, karena boleh jadi orang yang dipanggil berkali-kali itu memang orang yang bermasalah, sehingga sampai perlu dipanggil berkali-kali menghadap.
Diantara anda mungkin menolak logika berfikir saya ini, ya saya maklum, namanya juga lintasan fikiran. Tapi entah kenapa ingin sekali saya ungkapkan logika ini. Jadi maaf ya. Saya sangat mahfum jika ada logika bantahannya, bahwa orang yang dipanggil berkali-kali menghadap boleh jadi karena Allah yang memanggil itu sangat sayang pada hambanya itu, sehingga selalu diberikan kemampuan untuk dapat selalu hadir setiap kali perjamuan akbar itu dilangsungkan. Wallahu a'lam.
Kembali pada inti pesan yang ingin saya tulis pada artikel kali ini, bahwa haji merupakan ibadah spesial, dimana semua dimensi prosesi penghambaan melekat padanya. Haji merupakan ibadah penyadaran yang tidak putus yang dihadirkan dan diskenariokan Allah pada seluruh manusia. Sejak pengakuan manusia pada Tuhan di dalam rahim ibunya, hingga reguler melisankan syahadat, mendirikan shalat, menunaikan puasa sampai membayar zakat, maka haji menjadi pengikat kesadaran. Dengan haji manusia diberikan pengalaman menyeluruh, bukan hanya bathin tetapi juga fisik, seperti mengenalkan matanya dengan Baitullah, mengenalkan kakinya dengan tanah suci, kulitnya merasakan atmosfir tanah haram pada dingin dan panasnya, jasadnya bertemu dengan saudara seiman dari segenap penjuru dunia; bersatu shaf menghadap Tuhan yang memanggil mereka, kalbunya menyatu dengan satu harapan yaitu ingin terbebas dari semua dosa dan keluar dari tanah suci itu bak bayi yang baru terlahir kembali.
Nah, jika betul takdir ibadah haji ini terjadi pada saya dalam beberapa hari lagi, maka tidak ada respon yang pantas dari diri saya kecuali bersyukur, karena telah diberikan kesempatan oleh Allah untuk membasuh dosa dari sekujur badan dan jiwa, diberikan kesempatan untuk menjadi tamu di pelataran rumah-Nya, diberikan kesempatan untuk merasakan puncak dari prosesi peribadahan yang telah ditetapkan sejak moyang kami Nabi Ibrahim, diberikan kesempatan untuk ikut dalam ritual sejarah yang selalu dilakukan oleh para Nabi, para manusia shaleh, para manusia pencari ridha dan taubat.
Oleh karenanya, saya serukan pada saudara seiman dimana saja, terobsesilah untuk menginjakkan kaki disana, usahakanlah kesiapan-kesiapannya, setelah itu tunggulah panggilan Tuhan berseru atas namamu, seruan yang memintamu hadir dalam barisan-barisan haji di tanah suci. Dan semoga haji menjadi perekat ummat kembali, karena hakikatnya pula haji merupakan rapat akbar manusia Islam di dunia. Semakin banyak ummat Islam yang hadir disana, sepatutnya semakin terbangun ikatan persaudaraan Islam yang memutuskan batas-batas negara, suku, bangsa, bahasa atau batas-batas dunia lainnya. Haji semakin mengukuhkan ikatan akidah, ikatan tauhidiyah yang menjadi inspirasi berbangsa, perjuangan dan kebersamaan, dimana diatasnya akan dibangun kehormatan dan kemuliaan Islam.
Khusus untuk saya juga istri, semoga haji yang akan kami jalani ini menjadi ibadah pembeda bagi kami, ibadah yang merubah diri secara permanen, menjadi pribadi yang baik yang tidak lagi mudah diombang-ambing oleh irama dunia. Haji menjadi ibadah pematangan diri yang mampu menyiapkan diri menyambut semua konsekuensi hidup, dan akhirnya siap untuk menyambut mati. wallahu a'lam...
Nah, pada saya tibalah prosesi ibadah pamungkas ini saya tunaikan tahun ini. Meski ibadah ini hakikatnya adalah kehendak Allah, terlaksana atas panggilan Beliau, sehingga mereka yang hadir nanti di tanah haram sejatinya merupakan tamu-tamu yang memang dipanggil "menghadap", namun tetap saja dibutuhkan niat yang sungguh-sungguh dari semua manusia Islam untuk siap "dipanggil" secepatnya. Tidak ada konsep kebetulan dalam ibadah ini, tidak pula ada konsep kemampuan. Itu mengapa seruan manusia yang menuju kesana berbunyi; "Labbaik Allahumma Labbaik.." Intinya memenuhi panggilan Allah.
Ketika menulis paragraf ini ada lintasan fikiran menarik di benak saya. Boleh jadi renungan ini tidak berdasar apalagi benar, tetapi saya tertarik untuk berbagi dengan anda. Maaf ya kalau memaksa anda. Fikiran saya saya mengatakan, mungkin konsep inilah yang menjadi dasar anjuran orang menunaikan haji satu kali saja seumur hidupnya. Dengan harapan dipanggil satu kali saja oleh Allah menghadap, cukup baginya untuk berubah menjadi manusia yang lebih baik. Tidak perlu dipanggil berkali-kali menghadap, karena boleh jadi orang yang dipanggil berkali-kali itu memang orang yang bermasalah, sehingga sampai perlu dipanggil berkali-kali menghadap.
Diantara anda mungkin menolak logika berfikir saya ini, ya saya maklum, namanya juga lintasan fikiran. Tapi entah kenapa ingin sekali saya ungkapkan logika ini. Jadi maaf ya. Saya sangat mahfum jika ada logika bantahannya, bahwa orang yang dipanggil berkali-kali menghadap boleh jadi karena Allah yang memanggil itu sangat sayang pada hambanya itu, sehingga selalu diberikan kemampuan untuk dapat selalu hadir setiap kali perjamuan akbar itu dilangsungkan. Wallahu a'lam.
Kembali pada inti pesan yang ingin saya tulis pada artikel kali ini, bahwa haji merupakan ibadah spesial, dimana semua dimensi prosesi penghambaan melekat padanya. Haji merupakan ibadah penyadaran yang tidak putus yang dihadirkan dan diskenariokan Allah pada seluruh manusia. Sejak pengakuan manusia pada Tuhan di dalam rahim ibunya, hingga reguler melisankan syahadat, mendirikan shalat, menunaikan puasa sampai membayar zakat, maka haji menjadi pengikat kesadaran. Dengan haji manusia diberikan pengalaman menyeluruh, bukan hanya bathin tetapi juga fisik, seperti mengenalkan matanya dengan Baitullah, mengenalkan kakinya dengan tanah suci, kulitnya merasakan atmosfir tanah haram pada dingin dan panasnya, jasadnya bertemu dengan saudara seiman dari segenap penjuru dunia; bersatu shaf menghadap Tuhan yang memanggil mereka, kalbunya menyatu dengan satu harapan yaitu ingin terbebas dari semua dosa dan keluar dari tanah suci itu bak bayi yang baru terlahir kembali.
Nah, jika betul takdir ibadah haji ini terjadi pada saya dalam beberapa hari lagi, maka tidak ada respon yang pantas dari diri saya kecuali bersyukur, karena telah diberikan kesempatan oleh Allah untuk membasuh dosa dari sekujur badan dan jiwa, diberikan kesempatan untuk menjadi tamu di pelataran rumah-Nya, diberikan kesempatan untuk merasakan puncak dari prosesi peribadahan yang telah ditetapkan sejak moyang kami Nabi Ibrahim, diberikan kesempatan untuk ikut dalam ritual sejarah yang selalu dilakukan oleh para Nabi, para manusia shaleh, para manusia pencari ridha dan taubat.
Oleh karenanya, saya serukan pada saudara seiman dimana saja, terobsesilah untuk menginjakkan kaki disana, usahakanlah kesiapan-kesiapannya, setelah itu tunggulah panggilan Tuhan berseru atas namamu, seruan yang memintamu hadir dalam barisan-barisan haji di tanah suci. Dan semoga haji menjadi perekat ummat kembali, karena hakikatnya pula haji merupakan rapat akbar manusia Islam di dunia. Semakin banyak ummat Islam yang hadir disana, sepatutnya semakin terbangun ikatan persaudaraan Islam yang memutuskan batas-batas negara, suku, bangsa, bahasa atau batas-batas dunia lainnya. Haji semakin mengukuhkan ikatan akidah, ikatan tauhidiyah yang menjadi inspirasi berbangsa, perjuangan dan kebersamaan, dimana diatasnya akan dibangun kehormatan dan kemuliaan Islam.
Khusus untuk saya juga istri, semoga haji yang akan kami jalani ini menjadi ibadah pembeda bagi kami, ibadah yang merubah diri secara permanen, menjadi pribadi yang baik yang tidak lagi mudah diombang-ambing oleh irama dunia. Haji menjadi ibadah pematangan diri yang mampu menyiapkan diri menyambut semua konsekuensi hidup, dan akhirnya siap untuk menyambut mati. wallahu a'lam...
Rabu, 03 November 2010
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Dalam beberapa hari kedepan, ada episod hidup yang cukup penting yang akan saya lewati, memenuhi panggilan Allah ke tanah suci, ibadah haji. Ibadah yang menjadi pamungkas dari sekian ibadah wajib yang harus ditunaikan seorang manusia Islam. Jujur, dalam hati saya karuan perasaan yang ada, antara siap dan tidak siap, gelisah dan bahagia, harapan dan kenyataan. Allah yang memanggil tahu betul siapa hamba-Nya yang satu ini. oleh sebab itulah karuan rasa yang ada di dada ini. Namun di akhir rasa saya menyerahkan sepenuhnya diri dan jiwa, karena ini bukan keinginan, ibadah yang satu ini adalah ibadah panggilan. Saya tidak memiliki kuasa untuk menentukan skenarionya. Bahkan meski tinggal beberapa hari lagi, bisa saja saya batal ke tanah suci, karena Allah tidak berkenan tanah sucinya diinjak oleh hamba-Nya yang satu ini.
Namun jika memang menapakkan kaki di tanah haram itu nanti menjadi kehendak-Nya, maka sayapun tak akan menyia-nyiakan kepercayaan Allah untuk memperkenankan saya hadir pada perjamuan akbar ibadah suci di lembah yang suci itu. Sempat mampir dalam renungan siang tadi, jikalau Allah memperkenankan saya mengenakan pakaian ihram, berkeliling dalam lingkaran thawaf, berlari kecil antara bukit shafa dan marwa, memanjatkan doa di padang arafah dan melempar jumrah, maka seakan-akan saya dipanggil menghadap, seperti Nabi yang dipanggil menghadap saat Beliau menunaikan Isra’ dan Mi’raj. Ternyata pengalaman Nabi menghadap Allah, dialami oleh manusia Islam dalam bentuk berhaji.
Nah Insya Allah, dalam beberapa hari ini tiba giliran saya bersama istri “menghadap” Allah di rumah-Nya yang paling mulia. Sekali lagi karuan perasaan saya. Ingin rasanya menata kata yang terindah untuk mengungkapkan rasa syukur yang tak terkira dari kesempatan ini. tetapi sepertinya kata-kata itu tak dapat tersusun, karena hati saya yang belum mampu keluar dari rasa karuan ini. saya ingin bilang bahwa ini kemuliaan yang Allah berikan kepada saya dan istri, tetapi hati saya masih juga bertanya sinis: iyakah? Bukannya ini dapat menjadi pengkhianatanmu yang kesekian kali kepada Allah, karena kamu tidak memiliki kesiapan hati, kesiapan jiwa dan kerinduan yang tinggi?
Ibadah haji sepatutnya menjadi puncak penghambaan zahir, puncak kesadaran, puncak pengorbanan, dimana veterannya, alumninya, akan keluar dari lembah suci itu dengan wajah bersinar, menyandang derajat manusia yang lebih tinggi, namun kenapa masih ada bimbang dalam hati saya. Sampai tulisan ini saya tulispun saya belum menemukan alasan yang pas ada apa dengan kebimbangan itu. Yang saya tahu, kebimbangan itu muncul dari noktah-noktah hitam yang selama ini bersemayam dihati. Hasil dari kelakuan maksiat saya dari dulu hingga kini.
Sebelum semua itu saya akan bawa kesana, saya ingin dapatkan keikhlasan dari semua manusia yang mengenal saya atau pernah mengenal saya, terutama yang pernah berinteraksi dengan saya. Tolong buka pintu maaf saudara untuk saya, beri saya belas kasihan, berupa maaf yang saudara punya. Sekali lagi maafkan saya. Setelah ini saya akan menghiba ampunan dari Dzat Yang Maha Pengampun. Saya tidak ingin permohonan ampun saya pada Allah sia-sia karena belum dapat ikhlas dari manusia.
Maafkan saya...
sejak tanggal 8 November 2010 sampai dengan 19 Desember 2010, saya bersama istri akan menunaikan ibadah haji. jikalau ada utang atau muamalah lain yang belum kami tunaikan pada saudara-saudara yang membaca pesan ini, mohon kiranya dapat segera disampaikan kepada kami, agar kami dapat tunaikan kewajiban kami...
sekali lagi mohon maaf dari saudara semua...
Namun jika memang menapakkan kaki di tanah haram itu nanti menjadi kehendak-Nya, maka sayapun tak akan menyia-nyiakan kepercayaan Allah untuk memperkenankan saya hadir pada perjamuan akbar ibadah suci di lembah yang suci itu. Sempat mampir dalam renungan siang tadi, jikalau Allah memperkenankan saya mengenakan pakaian ihram, berkeliling dalam lingkaran thawaf, berlari kecil antara bukit shafa dan marwa, memanjatkan doa di padang arafah dan melempar jumrah, maka seakan-akan saya dipanggil menghadap, seperti Nabi yang dipanggil menghadap saat Beliau menunaikan Isra’ dan Mi’raj. Ternyata pengalaman Nabi menghadap Allah, dialami oleh manusia Islam dalam bentuk berhaji.
Nah Insya Allah, dalam beberapa hari ini tiba giliran saya bersama istri “menghadap” Allah di rumah-Nya yang paling mulia. Sekali lagi karuan perasaan saya. Ingin rasanya menata kata yang terindah untuk mengungkapkan rasa syukur yang tak terkira dari kesempatan ini. tetapi sepertinya kata-kata itu tak dapat tersusun, karena hati saya yang belum mampu keluar dari rasa karuan ini. saya ingin bilang bahwa ini kemuliaan yang Allah berikan kepada saya dan istri, tetapi hati saya masih juga bertanya sinis: iyakah? Bukannya ini dapat menjadi pengkhianatanmu yang kesekian kali kepada Allah, karena kamu tidak memiliki kesiapan hati, kesiapan jiwa dan kerinduan yang tinggi?
Ibadah haji sepatutnya menjadi puncak penghambaan zahir, puncak kesadaran, puncak pengorbanan, dimana veterannya, alumninya, akan keluar dari lembah suci itu dengan wajah bersinar, menyandang derajat manusia yang lebih tinggi, namun kenapa masih ada bimbang dalam hati saya. Sampai tulisan ini saya tulispun saya belum menemukan alasan yang pas ada apa dengan kebimbangan itu. Yang saya tahu, kebimbangan itu muncul dari noktah-noktah hitam yang selama ini bersemayam dihati. Hasil dari kelakuan maksiat saya dari dulu hingga kini.
Sebelum semua itu saya akan bawa kesana, saya ingin dapatkan keikhlasan dari semua manusia yang mengenal saya atau pernah mengenal saya, terutama yang pernah berinteraksi dengan saya. Tolong buka pintu maaf saudara untuk saya, beri saya belas kasihan, berupa maaf yang saudara punya. Sekali lagi maafkan saya. Setelah ini saya akan menghiba ampunan dari Dzat Yang Maha Pengampun. Saya tidak ingin permohonan ampun saya pada Allah sia-sia karena belum dapat ikhlas dari manusia.
Maafkan saya...
sejak tanggal 8 November 2010 sampai dengan 19 Desember 2010, saya bersama istri akan menunaikan ibadah haji. jikalau ada utang atau muamalah lain yang belum kami tunaikan pada saudara-saudara yang membaca pesan ini, mohon kiranya dapat segera disampaikan kepada kami, agar kami dapat tunaikan kewajiban kami...
sekali lagi mohon maaf dari saudara semua...
Minggu, 31 Oktober 2010
Sesungguhnya Anugerah
Dua bulan terakhir ini merupakan dua bulan yang cukup memberikan pelajaran bagi saya. Dua bulan yang harus dilewati dengan kekuatan stamina dan kematangan emosi. Dua bulan terakhir ini banyak amanah sekaligus ujian yang Tuhan berikan pada saya. Hasilnya? Ada yang terlaksana dan tentu ada pula yang gagal total. Tetapi yang membuat dua bulan ini berbeda dengan bulan-bulan biasa adalah intensitas kegiatan, kerja dan dinamika hidup saya yang sangat tinggi, sampai-sampai waktu untuk berfikir tentang diri sendiri saja dapat dikatakan saya tidak punya.
Entah kenapa Tuhan tumpukkan kegiatan itu pada dua bulan terakhir ini. Pada satu hari dalam 2 bulan terakhir itu, pernah saya melakukan kegiatan marathon seperti safari kampanye orang-orang penting. Saat itu setelah saya mendarat di bandara Cengkareng dari Denpasar selepas kurang lebih 4 hari meeting dengan kolega membahas Stabilitas Sistem Keuangan, saya harus segera menuju kampus UI Depok untuk mengajar mata kuliah Perbankan Syariah, namun terlebih dulu saya mengambil kendaraan yang saya titipkan di kantor. Kurang lebih dua jam saya mengajar disana, tetapi menjelang siang saya harus bergegas ke Bandung untuk mengisi kuliah informal yang sudah dijadwalkan bersama teman-teman alumni FE UNPAD bagi mahasiswa pemerhati Ekonomi – Keuangan Syariah.
Karena kemacetan atau kepadatan kendaraan menuju Bandung dari Depok, alhasil saya baru sampai di Bandung selepas waktu dzuhur, padahal sesi yang disepakati adalah sebelum dzuhur, untunglah para mahasiswa bersabar untuk menunggu, disana pun saya mengajar sekitar 2 jam. Menjelang ashar saya segera bergegas untuk mengejar amanah ketiga, yaitu memberikan training bagi mahasiswa baru STEI SEBI di puncak Bogor. Kesepakatannya saya harus di lokasi training sekitar jam 16.00 WIB, tetapi karena kepadatan kendaraan khususnya ketika saya berusaha keluar Bandung dan perjalanan yang jauh karena harus mengambil rute Padalarang-Cianjur-Puncak, bukan tol Cipularang, saya baru sampai di Puncak-Bogor sekitar pukul 20.00 WIB. Disana saya habiskan waktu kurang lebih sama 2 jam.
Tersenyum saya selepas menjalankan itu, karena sejak pertama saya niatkan dari bandara Cengkareng, dalam hati saya pesimis ketiga amanah itu dapat saya tunaikan, mengingat kondisi fisik dan mental yang sudah terkuras karena 4 hari dinas dan perjalanan yang melelahkan. Teringat saya pada peristiwa-peristiwa sepanjang perjalanan menuju tiga lokasi itu, seperti menabrak truk gandeng di tol cikampek ketika menuju Bandung. Saya mengantuk saat itu, beruntung saya cepat mengendalikan kendaraan setelah tersadar menabrak sudut bak besi belakang truk yang memuat sepeda motor ketika itu. Beberapa kali handphone saya berdering dari mahasiswa untuk sekedar bertanya tentang referensi skripsi, thesis, data, jadwal kuliah atau permohonan konsultasi. Atau beberapa kali pula sampai di handphone saya pesan-pesan berupa sms yang mengingatkan kegiatan di Masjid komplek rumah dimana saya dimanahi mengurusnya, atau sms yang mengingatkan jadwal taklim, program mabit, dan program-program dakwah lainnya.
Menarik nafas dalam-dalam dan kemudian keluar kalimat hamdallah dari lisan saya. Tetapi di benak saya muncul pertanyaan yang menjadi kesibukan saya selanjutnya; apa hikmah yang Tuhan inginkan dari semua kesibukan ini? Saya yakin sekali, ada manusia-manusia mulia diluar sana yang kegiatannya jauh lebih padat dari yang saya miliki. Tetapi kegiatan ini saja sudah menjadi sebuah rangkaian kesibukan yang telah membuat saya menghela nafas panjang. Fikiran itu terus menjadi topik di benak saya meskipun rangkaian kesibukan itu ternyata masih terus berjalan pada hari-hari berikutnya; seperti kerja, mengajar kuliah, dinas, pengajian mahasiswa, meeting dengan NGO dan lain-lain.
Pada beberapa hari setelahnya baru saya nyaman pada satu kesimpulan, bahwa ini semua menjadi salah satu dari sekian banyak bentuk anugerah yang Tuhan berikan. Kesibukan itu bukanlah ingin meletihkan, bukan pula sekedar ujian komitmen dan keistiqomahan. Kesibukan itu menjadi pengawal diri, penjaga hati dan pemelihara jiwa. Karena dengan kesibukan itu ternyata saya tidak memiliki waktu untuk berfikir dan berencana menikmati dunia yang dapat melenakan. Saya tidak memiliki kesempatan mencuri-curi waktu untuk bercengkerama dengan kegiatan yang sia-sia. Teringat saya dengan nasehat seorang Ustadz yang dahulu pernah menegur saya, ketika saya asyik dengan diri saya sendiri; akhi jika antum tidak sibuk dengan urusan akhirat, maka antum akan sibuk dengan urusan dunia yang tak ada habisnya ini.
Duh Allah yang Maha Penyayang, betapa sayang-Mu begitu banyak bentuknya. Seringkali pandanganku terkelabui melihat sayang-sayang-Mu. Atau tidak jarang bahkan aku manipulasi kasih sayang-Mu itu. Duh Rabbi yang Maha Jeli, meskipun kesibukan pada kebaikan sudah memenuhi waktuku, masih saja aku memiliki akal bulus untuk mencuri waktu untuk bermaksiat dihadapan-Mu. Kau sibukkan aku saat siang hari, maka aku bermaksiat malamnya, sebaliknya jika kau sibukkan aku pada malam hari, maka aku bermaksiat pada siangnya. Duh Tuhan yang selalu Memenuhi Janji, aku khianati anugerah-anugerahmu seketika Engkau berikan, dan kini boleh jadi aku semakin lihai mengelabui Engkau dan diriku sendiri. Wallahu a’lam.
Entah kenapa Tuhan tumpukkan kegiatan itu pada dua bulan terakhir ini. Pada satu hari dalam 2 bulan terakhir itu, pernah saya melakukan kegiatan marathon seperti safari kampanye orang-orang penting. Saat itu setelah saya mendarat di bandara Cengkareng dari Denpasar selepas kurang lebih 4 hari meeting dengan kolega membahas Stabilitas Sistem Keuangan, saya harus segera menuju kampus UI Depok untuk mengajar mata kuliah Perbankan Syariah, namun terlebih dulu saya mengambil kendaraan yang saya titipkan di kantor. Kurang lebih dua jam saya mengajar disana, tetapi menjelang siang saya harus bergegas ke Bandung untuk mengisi kuliah informal yang sudah dijadwalkan bersama teman-teman alumni FE UNPAD bagi mahasiswa pemerhati Ekonomi – Keuangan Syariah.
Karena kemacetan atau kepadatan kendaraan menuju Bandung dari Depok, alhasil saya baru sampai di Bandung selepas waktu dzuhur, padahal sesi yang disepakati adalah sebelum dzuhur, untunglah para mahasiswa bersabar untuk menunggu, disana pun saya mengajar sekitar 2 jam. Menjelang ashar saya segera bergegas untuk mengejar amanah ketiga, yaitu memberikan training bagi mahasiswa baru STEI SEBI di puncak Bogor. Kesepakatannya saya harus di lokasi training sekitar jam 16.00 WIB, tetapi karena kepadatan kendaraan khususnya ketika saya berusaha keluar Bandung dan perjalanan yang jauh karena harus mengambil rute Padalarang-Cianjur-Puncak, bukan tol Cipularang, saya baru sampai di Puncak-Bogor sekitar pukul 20.00 WIB. Disana saya habiskan waktu kurang lebih sama 2 jam.
Tersenyum saya selepas menjalankan itu, karena sejak pertama saya niatkan dari bandara Cengkareng, dalam hati saya pesimis ketiga amanah itu dapat saya tunaikan, mengingat kondisi fisik dan mental yang sudah terkuras karena 4 hari dinas dan perjalanan yang melelahkan. Teringat saya pada peristiwa-peristiwa sepanjang perjalanan menuju tiga lokasi itu, seperti menabrak truk gandeng di tol cikampek ketika menuju Bandung. Saya mengantuk saat itu, beruntung saya cepat mengendalikan kendaraan setelah tersadar menabrak sudut bak besi belakang truk yang memuat sepeda motor ketika itu. Beberapa kali handphone saya berdering dari mahasiswa untuk sekedar bertanya tentang referensi skripsi, thesis, data, jadwal kuliah atau permohonan konsultasi. Atau beberapa kali pula sampai di handphone saya pesan-pesan berupa sms yang mengingatkan kegiatan di Masjid komplek rumah dimana saya dimanahi mengurusnya, atau sms yang mengingatkan jadwal taklim, program mabit, dan program-program dakwah lainnya.
Menarik nafas dalam-dalam dan kemudian keluar kalimat hamdallah dari lisan saya. Tetapi di benak saya muncul pertanyaan yang menjadi kesibukan saya selanjutnya; apa hikmah yang Tuhan inginkan dari semua kesibukan ini? Saya yakin sekali, ada manusia-manusia mulia diluar sana yang kegiatannya jauh lebih padat dari yang saya miliki. Tetapi kegiatan ini saja sudah menjadi sebuah rangkaian kesibukan yang telah membuat saya menghela nafas panjang. Fikiran itu terus menjadi topik di benak saya meskipun rangkaian kesibukan itu ternyata masih terus berjalan pada hari-hari berikutnya; seperti kerja, mengajar kuliah, dinas, pengajian mahasiswa, meeting dengan NGO dan lain-lain.
Pada beberapa hari setelahnya baru saya nyaman pada satu kesimpulan, bahwa ini semua menjadi salah satu dari sekian banyak bentuk anugerah yang Tuhan berikan. Kesibukan itu bukanlah ingin meletihkan, bukan pula sekedar ujian komitmen dan keistiqomahan. Kesibukan itu menjadi pengawal diri, penjaga hati dan pemelihara jiwa. Karena dengan kesibukan itu ternyata saya tidak memiliki waktu untuk berfikir dan berencana menikmati dunia yang dapat melenakan. Saya tidak memiliki kesempatan mencuri-curi waktu untuk bercengkerama dengan kegiatan yang sia-sia. Teringat saya dengan nasehat seorang Ustadz yang dahulu pernah menegur saya, ketika saya asyik dengan diri saya sendiri; akhi jika antum tidak sibuk dengan urusan akhirat, maka antum akan sibuk dengan urusan dunia yang tak ada habisnya ini.
Duh Allah yang Maha Penyayang, betapa sayang-Mu begitu banyak bentuknya. Seringkali pandanganku terkelabui melihat sayang-sayang-Mu. Atau tidak jarang bahkan aku manipulasi kasih sayang-Mu itu. Duh Rabbi yang Maha Jeli, meskipun kesibukan pada kebaikan sudah memenuhi waktuku, masih saja aku memiliki akal bulus untuk mencuri waktu untuk bermaksiat dihadapan-Mu. Kau sibukkan aku saat siang hari, maka aku bermaksiat malamnya, sebaliknya jika kau sibukkan aku pada malam hari, maka aku bermaksiat pada siangnya. Duh Tuhan yang selalu Memenuhi Janji, aku khianati anugerah-anugerahmu seketika Engkau berikan, dan kini boleh jadi aku semakin lihai mengelabui Engkau dan diriku sendiri. Wallahu a’lam.
Kamis, 28 Oktober 2010
...
Ada banyak senyum yang akan kau ingat tapi tidak sedikit juga air mata yang kau akan rasakan basahnya. Suka cita memang tidak seharusnya akrab dengan duka, tetapi dunia menjadi tempat terpantas bertemunya kedua rasa itu. Banyak hal yang pernah, sedang dan akan terjadi, dan semua itu akan terbelah posisi akhirnya pada dua keadaan tadi; suka dan duka. Terkadang kita harus diam sejenak untuk merenungkan hakikat-hakikat dibalik itu semua. Uniknya respon emosi pada keduanya tak jarang dalam bentuk yang sama, meneteskan air mata.
Rabu, 20 Oktober 2010
Diskusi: Kanibalisme Keuangan Syariah
Assalamualaikum Wr. Wb.
Beberapa waktu yang lalu, secara kebetulan, saya sempat mengikuti perkembangan isu tersebut pada sebuah acara diskusi terbatas, dimana keberadaan Sukuk Negara sedikit banyak telah mengganggu likuiditas bank syariah. Dalam hal ini pemerintah beralasan bahwa private placement Kementerian Agama pada SDHI bertujuan agar adanya jaminan kepastian akan dana haji tersebut sehingga Pemerintah merasa memiliki wewenang. Mereka beralasan jika dana haji ini ditempatkan pada sektor swasta, ada kekhawatiran jika, katakanlah sektor swasta ini mengalami masalah (kemungkinan terburuknya adalah collaps).
Pertanyaan saya, apakah alasan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan ini sudah rasional? Mohon penjelasannya.
Best regards,
Untung Kasirin
Blogger PENGURUS berkata...
wa'alaikumussalam...
syukron atas responnya akhi, sangat membingungkan alasan pemerintah itu, mengingat tujuan dikeluarkannya sebuah instrumen lebih karena pertimbangan kebutuhan si pengeluar instrumen, dalam hal ini pemerintah (kita tahu pemerintah butuh dana untuk menutupi target budget defisit yang telah ditetapkan).
jadi tujuan dikeluarkannya instrumen akan sangat lemah alasannya karena potensi yang melekat pada dana masyarakat, seperti yang alasan pemerintah yang antum ungkapkan itu.
yang jelas kebijakan itu jauh dari pemahaman ekonomi apalagi kepentingan atau keberpihakan pada pengembangan keuangan syariah. kebijakan itu lebih mencerminkan effort pemerintah untuk mengoptimalkan semua alternatif/pilihan kebijakan dalam mendukung kebijakan fiskal berupa budget defisit.
biasanya kebijakan budget defisit (government spending > Tax) dilakukan merespon ekspektasi masa depan ekonomi yang relatif melemah. ingat 2011 semua prediksi (cek consensus economic forecast dan world economic outlook-nya IMF) mengungkapkan akan terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi di semua kawasan (global).
Demikian, kurang lebihnya mohon maaf. wallahu a'lam.
20 Oktober 2010 23.37
Beberapa waktu yang lalu, secara kebetulan, saya sempat mengikuti perkembangan isu tersebut pada sebuah acara diskusi terbatas, dimana keberadaan Sukuk Negara sedikit banyak telah mengganggu likuiditas bank syariah. Dalam hal ini pemerintah beralasan bahwa private placement Kementerian Agama pada SDHI bertujuan agar adanya jaminan kepastian akan dana haji tersebut sehingga Pemerintah merasa memiliki wewenang. Mereka beralasan jika dana haji ini ditempatkan pada sektor swasta, ada kekhawatiran jika, katakanlah sektor swasta ini mengalami masalah (kemungkinan terburuknya adalah collaps).
Pertanyaan saya, apakah alasan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan ini sudah rasional? Mohon penjelasannya.
Best regards,
Untung Kasirin
Blogger PENGURUS berkata...
wa'alaikumussalam...
syukron atas responnya akhi, sangat membingungkan alasan pemerintah itu, mengingat tujuan dikeluarkannya sebuah instrumen lebih karena pertimbangan kebutuhan si pengeluar instrumen, dalam hal ini pemerintah (kita tahu pemerintah butuh dana untuk menutupi target budget defisit yang telah ditetapkan).
jadi tujuan dikeluarkannya instrumen akan sangat lemah alasannya karena potensi yang melekat pada dana masyarakat, seperti yang alasan pemerintah yang antum ungkapkan itu.
yang jelas kebijakan itu jauh dari pemahaman ekonomi apalagi kepentingan atau keberpihakan pada pengembangan keuangan syariah. kebijakan itu lebih mencerminkan effort pemerintah untuk mengoptimalkan semua alternatif/pilihan kebijakan dalam mendukung kebijakan fiskal berupa budget defisit.
biasanya kebijakan budget defisit (government spending > Tax) dilakukan merespon ekspektasi masa depan ekonomi yang relatif melemah. ingat 2011 semua prediksi (cek consensus economic forecast dan world economic outlook-nya IMF) mengungkapkan akan terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi di semua kawasan (global).
Demikian, kurang lebihnya mohon maaf. wallahu a'lam.
20 Oktober 2010 23.37
Selasa, 19 Oktober 2010
Kanibalisme Keuangan Syariah
Beberapa waktu terakhir ini ada sedikit geger dalam industri perbankan syariah. Sengaja saya menggunakan ungkapan sedikit geger mengingat gemanya yang terbatas pada beberapa bank syariah tertentu. Namun guncangan kecil ini ternyata impact-nya cukup membuat saya gelisah, karena ada logika yang “tak kena” dalam dinamikanya. Geger apa sih?
Beberapa waktu terakhir ini Kementerian Keuangan RI mengeluarkan produk sukuk (Islamic bond) spesifik yaitu sukuk haji, yang ditujukan untuk menyerap atau lebih tepat disebut memanfaatkan dana haji dalam rangka menutupi kebutuhan pembiayaan pembangunan pemerintah. Ternyata dana yang masuk pada portfolio itu adalah dana haji yang ada dalam pengelolaan Kementerian Agama. Kementerian Agama menarik dana haji dari bank-bank, baik bank syariah maupun bank konvensional (bank yang memiliki hak menerima dana haji).
Penggunaan dana haji untuk menutupi kebutuhan pembiayaan pembangunan ekonomi nasional kesannya cukup positif, karena hal ini akan menekan ketergantungan sumber dana pembangunan dari asing dan semakin menekan risiko ekonomi (termasuk politik). Artinya penggunaan dana ini mampu mengoptimalisasi potensi keuangan dalam negeri (domestic) dalam pembiayaan pembangunan perekonomian nasional.
Namun pada aplikasinya, sukuk haji ternyata menarik dana haji yang terkumpul dalam DPK (dana pihak ketiga) bank syariah, dana yang selama ini mampu diserap dan membesarkan DPK bank syariah. Dana haji tersebut sedikit banyak telah pula mampu meningkatkan kapasitas produksi bank syariah. Dana triliunan itu ditarik, baik dari bank syariah maupun bank konvensional, untuk diletakkan dalam portfolio sukuk haji. Bagi bank konvensional yang telah memiliki size asset atau DPK cukup besar penarikan ini relative tidak mengganggu, tetapi dengan size bank syariah yang masih kecil, kebijakan Kementerian Agama ini tentu akan mengganggu irama perkembangan bank-bank syariah.
Sepatutnya kebijakan produk sukuk pemerintah harus dirancang sedemikian rupa, agar mampu menarik dana masyarakat yang selama ini masih berada di luar lingkaran industri keuangan syariah, bukan malah memakan dana yang telah ada di “rumah” yang sama. Apalagi dengan kecenderungan dan fakta yang ada saat ini, dimana sukuk pemerintah masih menggunakan skema ijarah berbasis asset (bukan berbasis projek), artinya sukuk haji masih belum optimal berpengaruh pada sector usaha nasional. Dana yang terkumpul dari sukuk haji, penggunaannya menjadi diskresi pemerintah. Dana tersebut bisa saja digunakan untuk membayar cicilan bunga atau pokok utang luar negeri. Jikapun dana tersebut digunakan untuk membiayai projek-projek pembangunan tanah air, tingkat keamanahan pemerintah masih belum begitu bagus, dimana penggunaan dana pembangunan dipercayai masih sering “bocor” karena korupsi.
Kecenderungan ini pada hakikatnya pernah juga mengemuka ketika sukuk pertama kali diluncurkan. Ketika itu dana pembelian sukuk ternyata sedikit banyak mempengaruhi penurunan dana yang ada pada DPK bank-bank syariah. Padahal sukuk diharapkan semakin melengkapi pasar modal syariah tanah air yang perlahan terus terbangun dalam ruang lingkup system keuangan syariah nasional. Sukuk khususnya sukuk pemerintah sebenarnya telah lama dinanti dalam memperkaya produk keuangan syariah yang telah ada. Tetapi nyatanya sukuk (khususnya sukuk pemerintah dalam rupiah) belum mampu memperbesar size industri keuangan syariah.
Variasi portfolio syariah yang diharapkan mampu meningkatkan pangsa keuangan syariah nasional ternyata menunjukkan respon yang kurang positif. Alih-alih menjangkau atau menarik dana masyarakat diluar existing customer keuangan syariah, malah menarik dana dari portfolio syariah yang lain. Sukuk yang digadang-gadang mampu menarik dana masyarakat dalam industri keuangan syariah tetapi ternyata mengebiri perkembangan DPK bank syariah.
Pada praktek-praktek keuangan syariah lainnya, kondisi sejenis ini sebaiknya dihindarkan. Bagi saya kondisi ini layaknya kanibalisme dalam industri keuangan syariah. Regulasi, kebijakan dan preferensi praktisi sebaiknya mampu men-drive lembaga keuangan syariah tidak melakukan kecenderungan negative seperti fakta diatas. Setiap lembaga keuangan syariah seharusnya focus pada upaya memaksimalkan pemanfaatan dana masyarakat bagi usaha-usaha produktif di sector riil. Karena sesungguhnya lembaga keuangan syariah dengan produk-produknya adalah menjalankan fungsi intermediasi dari surplus spending unit kepada business unit.
Harus dihindarkan transaksi keuangan yang berlebihan antar lembaga keuangan syariah. Karena transaksi itu pada hakikatnya akan menghambat kucuran dana ke sector riil, atau setidaknya memperpanjang labirin saluran dana dari pemilik modal kepada pengusaha di sector riil. Contoh yang paling mudah adalah banyaknya lembaga asuransi syariah yang meletakkan dana preminya di deposito bank syariah atau portfolio lembaga keuangan syariah yang lain. Begitu juga lembaga-lembaga keuangan syariah yang lain yang cenderung menghidupkan transaksi-transaksi antar lembaga keuangan syariah. Seharusnya dana masyarakat yang terhimpun di portfolio keuangan syariah bermuara pada aktifitas produktif di sector riil, aktifitas yang identik dengan proses produksi barang dan jasa.
Ingat transaksi keuangan syariah yang menghasilkan margin (profit) haruslah diikuti dengan proses penciptaan barang dan jasa. Inilah esensi transaksi keuangan syariah, dan ini pula yang menjadi poin krusial yang membedakan keuangan syariah dengan keuangan konvensional. Wallahu a’lam.
Beberapa waktu terakhir ini Kementerian Keuangan RI mengeluarkan produk sukuk (Islamic bond) spesifik yaitu sukuk haji, yang ditujukan untuk menyerap atau lebih tepat disebut memanfaatkan dana haji dalam rangka menutupi kebutuhan pembiayaan pembangunan pemerintah. Ternyata dana yang masuk pada portfolio itu adalah dana haji yang ada dalam pengelolaan Kementerian Agama. Kementerian Agama menarik dana haji dari bank-bank, baik bank syariah maupun bank konvensional (bank yang memiliki hak menerima dana haji).
Penggunaan dana haji untuk menutupi kebutuhan pembiayaan pembangunan ekonomi nasional kesannya cukup positif, karena hal ini akan menekan ketergantungan sumber dana pembangunan dari asing dan semakin menekan risiko ekonomi (termasuk politik). Artinya penggunaan dana ini mampu mengoptimalisasi potensi keuangan dalam negeri (domestic) dalam pembiayaan pembangunan perekonomian nasional.
Namun pada aplikasinya, sukuk haji ternyata menarik dana haji yang terkumpul dalam DPK (dana pihak ketiga) bank syariah, dana yang selama ini mampu diserap dan membesarkan DPK bank syariah. Dana haji tersebut sedikit banyak telah pula mampu meningkatkan kapasitas produksi bank syariah. Dana triliunan itu ditarik, baik dari bank syariah maupun bank konvensional, untuk diletakkan dalam portfolio sukuk haji. Bagi bank konvensional yang telah memiliki size asset atau DPK cukup besar penarikan ini relative tidak mengganggu, tetapi dengan size bank syariah yang masih kecil, kebijakan Kementerian Agama ini tentu akan mengganggu irama perkembangan bank-bank syariah.
Sepatutnya kebijakan produk sukuk pemerintah harus dirancang sedemikian rupa, agar mampu menarik dana masyarakat yang selama ini masih berada di luar lingkaran industri keuangan syariah, bukan malah memakan dana yang telah ada di “rumah” yang sama. Apalagi dengan kecenderungan dan fakta yang ada saat ini, dimana sukuk pemerintah masih menggunakan skema ijarah berbasis asset (bukan berbasis projek), artinya sukuk haji masih belum optimal berpengaruh pada sector usaha nasional. Dana yang terkumpul dari sukuk haji, penggunaannya menjadi diskresi pemerintah. Dana tersebut bisa saja digunakan untuk membayar cicilan bunga atau pokok utang luar negeri. Jikapun dana tersebut digunakan untuk membiayai projek-projek pembangunan tanah air, tingkat keamanahan pemerintah masih belum begitu bagus, dimana penggunaan dana pembangunan dipercayai masih sering “bocor” karena korupsi.
Kecenderungan ini pada hakikatnya pernah juga mengemuka ketika sukuk pertama kali diluncurkan. Ketika itu dana pembelian sukuk ternyata sedikit banyak mempengaruhi penurunan dana yang ada pada DPK bank-bank syariah. Padahal sukuk diharapkan semakin melengkapi pasar modal syariah tanah air yang perlahan terus terbangun dalam ruang lingkup system keuangan syariah nasional. Sukuk khususnya sukuk pemerintah sebenarnya telah lama dinanti dalam memperkaya produk keuangan syariah yang telah ada. Tetapi nyatanya sukuk (khususnya sukuk pemerintah dalam rupiah) belum mampu memperbesar size industri keuangan syariah.
Variasi portfolio syariah yang diharapkan mampu meningkatkan pangsa keuangan syariah nasional ternyata menunjukkan respon yang kurang positif. Alih-alih menjangkau atau menarik dana masyarakat diluar existing customer keuangan syariah, malah menarik dana dari portfolio syariah yang lain. Sukuk yang digadang-gadang mampu menarik dana masyarakat dalam industri keuangan syariah tetapi ternyata mengebiri perkembangan DPK bank syariah.
Pada praktek-praktek keuangan syariah lainnya, kondisi sejenis ini sebaiknya dihindarkan. Bagi saya kondisi ini layaknya kanibalisme dalam industri keuangan syariah. Regulasi, kebijakan dan preferensi praktisi sebaiknya mampu men-drive lembaga keuangan syariah tidak melakukan kecenderungan negative seperti fakta diatas. Setiap lembaga keuangan syariah seharusnya focus pada upaya memaksimalkan pemanfaatan dana masyarakat bagi usaha-usaha produktif di sector riil. Karena sesungguhnya lembaga keuangan syariah dengan produk-produknya adalah menjalankan fungsi intermediasi dari surplus spending unit kepada business unit.
Harus dihindarkan transaksi keuangan yang berlebihan antar lembaga keuangan syariah. Karena transaksi itu pada hakikatnya akan menghambat kucuran dana ke sector riil, atau setidaknya memperpanjang labirin saluran dana dari pemilik modal kepada pengusaha di sector riil. Contoh yang paling mudah adalah banyaknya lembaga asuransi syariah yang meletakkan dana preminya di deposito bank syariah atau portfolio lembaga keuangan syariah yang lain. Begitu juga lembaga-lembaga keuangan syariah yang lain yang cenderung menghidupkan transaksi-transaksi antar lembaga keuangan syariah. Seharusnya dana masyarakat yang terhimpun di portfolio keuangan syariah bermuara pada aktifitas produktif di sector riil, aktifitas yang identik dengan proses produksi barang dan jasa.
Ingat transaksi keuangan syariah yang menghasilkan margin (profit) haruslah diikuti dengan proses penciptaan barang dan jasa. Inilah esensi transaksi keuangan syariah, dan ini pula yang menjadi poin krusial yang membedakan keuangan syariah dengan keuangan konvensional. Wallahu a’lam.
Selasa, 12 Oktober 2010
Haji
Ibadah haji adalah perjalanan kasmaran dari seorang hamba terhadap Tuhannya, inilah pelajaran kuliah subuh yang saya hadiri pada pagi ahad ini. Ustadz Umar Ibrahim mengajarkan sebuah hakikat yang baru bagi saya tentang haji. Ibadah wajib yang urutannya ada pada posisi pamungkas. Seorang yang kasmaran tentu akan menikmati detik demi detik interaksinya dengan kekasih yang dipujanya, terlebih lagi jika kehadiran seorang hamba yang kasmaran itu terjadi atas undangan kekasih yang ia cintai. Oleh karenanya, prosesi demi prosesi, dari thawaf, sa’i, wukuf dan melempar jumrah akan dinanti-nanti. Setiap prosesi akan direguk nikmatnya, kenikmatan itu diresapi dengan hati-hati, setiap keringat yang menetes, setiap terik yang membakar kulit, setiap hembusan angin pada pagi dan petang, pada setiap tetes-tetes air zam-zam yang diteguk, setiap lari-lari kecil, setiap kecupan dan lambaian tangan pada hajar aswad, setiap hening dan renungan arafah, setiap lemparan kerikil pada jumrah dan pada setiap gerak serta hembusan nafas di tanah haram itu.
Haji menjadi topik yang selalu memenuhi ruang fikir saya beberapa waktu belakangan ini. Mengingat berdasarkan ikhtiar yang saya lakukan, Insya Allah, pada musim haji kali ini saya terjadwal akan berangkat bersama istri ke rumah Allah untuk memenuhi panggilan-Nya. Seringkali pula saya bertanya dalam fikir itu, apakah layak saya dipanggil menghadap oleh Allah, sementara saya masih jauh untuk disebut manusia baik. Untuk pertanyaan ini, saya menyerahkan sepenuhnya alasan pemanggilan ini pada Allah. Karena sepatutnya cukuplah saya bersyukur atas panggilan ini pada kondisi saya saat ini. Saya Cuma berharap Allah ingin menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa Beliau masih sayang saya.
Kemarin pagi lepas subuh saya berbincang dengan istri (saya jadi tersadar, waktu yang saya punya untuk berbincang dengan istri hanyalah selepas subuh). Istri saya bertanya doa khusus apa yang saya sudah persiapkan untuk haji. Saya terdiam sebentar mendapat pertanyaan itu dari istri. Sekian detik saya teringat pada renungan saya sekitar satu tahun yang lalu selepas shalat dzuhur, dengan renungan itu saya jawab pertanyaan istri; mau doa panjang umur takut sisa usia penuh dengan dosa dan semakin panjang waktu kemaksiatan, ingin minta rizki khawatir tidak syukur nikmat dengan yang sudah dianugerahkan, mau minta jabatan dan karir takut tidak amanah seperti yang sudah-sudah. Akhirnya saya katakan pada istri, doa special saya hanya permintaan ampun, istighfar sebanyak mungkin. Mudah-mudahan ungkapan ini bukan juga pamer yang ingin menunjukkan bahwa diri saya sudah begitu bersahaja.
Bukankah tidak pernah ada cerita selepas haji orang akan panjang usianya, banyak rizkinya atau menjulang karirnya, yang selalu menjadi cerita adalah setelah haji seorang hamba akan menjadi manusia yang bersih. Jadi harapan saya dan istri pun tidak lebih dari cerita itu, ingin bersih, ingin dikasihani Tuhan dan kemudian diampunkan semua kesalahan dan kekhilafan, baik sengaja maupun tidak, baik dosa yang besar maupun kecil, baik dosa yang telah lewat maupun yang akan datang. Ibadah haji hanya sekali seumur hidup, sehingga saya mau doa ampunan meliputi seluruh usia hidup. Dan Allah kabulkan harapan itu nanti.
Cemas
Kalau saja Tuhan tidak Maha Penyayang dimana kesabaran-Nya memiliki batas, mungkin saya sudah lama tidak ada di dunia ini. Karena pasti Tuhan sudah “menghapuskan” saya dari daftar manusia yang layak hidup akibat keingkaran saya yang bertubi-tubi. Atau mungkin juga sudah lama dunia ini hanya diisi oleh segelintir manusia yang mampu konsisten dengan kebaikan. Dalam bayangan saya mereka itu para Nabi dan pengikutnya yang setia.
Oleh karenanya, sesungguhnya semua kejadian yang berlangsung di dunia ini menjadi seimbang karena kasih sayang Tuhan. Dan kasih sayang-Nya terus bekerja pada semua dzat, pada semua komposisi dan dimensi sebab-akibat. Saya, anda dan kita masih memiliki peluang untuk masuk ke syurga adalah karena kasih-sayang Tuhan.
Mungkin anda bertanya apa yang sedang terjadi pada saya sehingga saya menulis artikel singkat ini dengan tema seperti ini. saya sendiri tidak tahu apa alasannya. Yang mungkin saya beri tahu, bahwa saya sedang ingin menulis sesuatu dan itu memang terkait dengan suasana hati juga renungan yang saya punya. Anggap saja saya sedang ingin meresapi dan memahami hakikat posisi Tuhan sekaligus mengira-ngira posisi saya ada dimana dihadapan Tuhan.
Tulisan-tulisan seperti ini mungkin juga menggambarkan kegelisahan dan kecemasan siapa saja yang sedang mengungkapkannya. Secara kebetulan sebelum tulisan ini selesai saya dapat pesan dari seorang sahabat yang selalu mengirimkan pesan-pesan kebaikan melalui Yahoo Messenger. Pesannya seperti ini (saya tuliskan apa adanya):
“Orang mukmin bisa merasa cemas karena enam hal, yaitu: (i) cemas (takut kepada Allah), khawatir kalau sewaktu-waktu Allah mencabut kenikmatan iman; (ii) cemas akan malaikat hafadhah (pencatat), takut mereka mencantumkan amal yang dapat mempermalukan diri pada hari kiamat; (iii) cemas akan syetan, takut seandainya ulah mereka menjadi sebab terhapusnya segala amal kebaikan diri; (iv) cemas akan malaikat maut, takut tiba-tiba nyawa dicabut, sedang diri tengah lengah atau lupa; (v) cemas akan gemerlap dunia, takut diri terbujuk, terpukau, sehingga lupa kehidupan akhirat; (vi) cemas akan keluarga, takut terlalu disibukkan oleh mereka, sehingga lupa dari mengingat Allah ‘Azza wa Jalla (Utsman bin Affan). Dikutip dari kitab Nasha-ihul ‘ibad, Syihabuddin Ahmad bin Hajar al Asqalani)”
Kecemasan boleh jadi merupakan sinyal dari kewarasan diri atau peringatan pada diri untuk segera waspada dalam memutuskan langkah-langkah selanjutnya. Karena bisa saja setelah keputusan diambil, tidak akan ada lagi peluang untuk berputar kembali. Karena Allah terlanjur memberikan hukuman atau Tuhan memang sudah menutup hati. Padahal tertutup hati itu merupakan hukuman Tuhan yang terdahsyat bagi manusia, karena ujungnya adalah kehinaan yang bermuara pada siksa abadi yaitu neraka. Astaghfirullah. Betul-betul tulisan ini terkhusus untuk saya. Wallahu a’lam.
Oleh karenanya, sesungguhnya semua kejadian yang berlangsung di dunia ini menjadi seimbang karena kasih sayang Tuhan. Dan kasih sayang-Nya terus bekerja pada semua dzat, pada semua komposisi dan dimensi sebab-akibat. Saya, anda dan kita masih memiliki peluang untuk masuk ke syurga adalah karena kasih-sayang Tuhan.
Mungkin anda bertanya apa yang sedang terjadi pada saya sehingga saya menulis artikel singkat ini dengan tema seperti ini. saya sendiri tidak tahu apa alasannya. Yang mungkin saya beri tahu, bahwa saya sedang ingin menulis sesuatu dan itu memang terkait dengan suasana hati juga renungan yang saya punya. Anggap saja saya sedang ingin meresapi dan memahami hakikat posisi Tuhan sekaligus mengira-ngira posisi saya ada dimana dihadapan Tuhan.
Tulisan-tulisan seperti ini mungkin juga menggambarkan kegelisahan dan kecemasan siapa saja yang sedang mengungkapkannya. Secara kebetulan sebelum tulisan ini selesai saya dapat pesan dari seorang sahabat yang selalu mengirimkan pesan-pesan kebaikan melalui Yahoo Messenger. Pesannya seperti ini (saya tuliskan apa adanya):
“Orang mukmin bisa merasa cemas karena enam hal, yaitu: (i) cemas (takut kepada Allah), khawatir kalau sewaktu-waktu Allah mencabut kenikmatan iman; (ii) cemas akan malaikat hafadhah (pencatat), takut mereka mencantumkan amal yang dapat mempermalukan diri pada hari kiamat; (iii) cemas akan syetan, takut seandainya ulah mereka menjadi sebab terhapusnya segala amal kebaikan diri; (iv) cemas akan malaikat maut, takut tiba-tiba nyawa dicabut, sedang diri tengah lengah atau lupa; (v) cemas akan gemerlap dunia, takut diri terbujuk, terpukau, sehingga lupa kehidupan akhirat; (vi) cemas akan keluarga, takut terlalu disibukkan oleh mereka, sehingga lupa dari mengingat Allah ‘Azza wa Jalla (Utsman bin Affan). Dikutip dari kitab Nasha-ihul ‘ibad, Syihabuddin Ahmad bin Hajar al Asqalani)”
Kecemasan boleh jadi merupakan sinyal dari kewarasan diri atau peringatan pada diri untuk segera waspada dalam memutuskan langkah-langkah selanjutnya. Karena bisa saja setelah keputusan diambil, tidak akan ada lagi peluang untuk berputar kembali. Karena Allah terlanjur memberikan hukuman atau Tuhan memang sudah menutup hati. Padahal tertutup hati itu merupakan hukuman Tuhan yang terdahsyat bagi manusia, karena ujungnya adalah kehinaan yang bermuara pada siksa abadi yaitu neraka. Astaghfirullah. Betul-betul tulisan ini terkhusus untuk saya. Wallahu a’lam.
Kamis, 07 Oktober 2010
I Trapped in Limbo, So Do Not Trust Me…
Jika saya ditanya saat ini, apa yang paling sulit saya hadapi di dunia ini, maka dengan mudah saya akan jawab, bahwa yang tersulit dalam hidup saya adalah menjaga kesadaran pada Tuhan. Mungkin situasi ini pernah anda hadapi, dan menyusahkan anda (atau mungkin juga tidak sama sekali). Satu waktu kita dapat begitu berkonsentrasi untuk selalu sadar pada kekuasaan Tuhan, dapat begitu menikmati setiap detik prosesi peribadahan atau menahan diri dari kehinaan. Tetapi ada waktu yang lain, dimana kita begitu mabuk dalam kenikmatan yang sejatinya adalah kehinaan, dan sangat terganggu oleh semua bentuk kebaikan, kapanpun dan dimanapun.
Menjaga kesadaran itu setiap saat, setiap keadaan, setiap situasi, pada semua peristiwa dan kejadian yang meliputi kita, menjadi tantangan kehidupan yang paling berat. Untunglah Tuhan sediakan jalan keluar dengan istighfar dan taubat. Beliau tahu hambanya yang bernama manusia ini, begitu lemahnya, penuh khilaf atas semua komitmennya, selalu lupa dengan janji-janjinya, selalu lalai pada semua amanah yang diembannya. Jadi sekali lagi, duhai seluruh manusia, saya sebagai manusia bukanlah manusia kuat, tangguh, apalagi mulia seperti yang mungkin ada di benak anda. Jika ada kebenaran keluar dari lidah saya, kebaikan yang diberikan tangan saya, lihatlah saja itu sebagai sebuah kebaikan yang memang Tuhan sudah tetapkan. Kebenaran dan kebaikan itu jangan dihubung-kaitkan dengan saya, karena percayalah anda akan kecewa jika tahu siapa sebenarnya saya.
siapa aku
mau tahu berapa banyak kebaikanku?
ia laksana telaga yang merasa seperti samudra
mau tahu seperti apa keburukanku?
ia mengira seperti setetes embun padahal seluas alam semesta
bianglala di cakrawala hidupku, tapi tak kulihat warnanya
air telah melepaskan dahagaku, tapi tak kurasa segarnya
mau tahu siapa aku?
aku yang tahu syurga diujung jalan
tapi dengan sadar melangkah mundur ke neraka
13 Oktober 2007, 22:15 WITA, Balikpapan
siapa aku (2)
Ingin kubelah langit dengan kata-kata
kuaduk-aduk bintang dengan kalimat-kalimat sastra
Tidak ada yang kucari kecuali satu saja
Sekedar takdir masa depan yang tak kutahu apa
Aku ini pelamun bukan pujangga
Tapal batas pelamun sejauh batas yang pernah ada
Sementara batas pujangga sepanjang goresan pena pada kata
Sehingga pelamun bukanlah pujangga
Beda pelamun dan pujangga laksana imajinasi dan sastra
Tetapi dunia mereka sama, dunia para perenung dan penyendiri
Aku bukan pujangga karena aku tidak suka mempermainkan kata
Aku hanya pelamun yang mencari kata untuk diri dan sepi
14 Oktober 2007, 12:00 WITA, Balikpapan
siapa aku (3)
Hening di sana sepi di sini
Seluas-luas bumi ingin kucari
Karena dengan hening kunikmati dunia
Oleh sebab sepi kudapatkan bahagia
Aku tidak pernah bermimpi
Semua mimpiku sudah menjadi imajinasi
Aku pun tak memiliki cinta untuk dijadikan obsesi
Karena kutahu bersama takdir selalunya ia pergi
Yang kupahami aku hanya seorang pelamun pencari sepi
Yang selalu mencari inti dari semua peristiwa dan rasa
Senyap-senyap pula kutemukan siapa diriku ini
Manusia yang penuh dengan tipu daya dan dosa
Duhai Tuhan pemilik segala-gala
Inilah aku makhluk kreasi-Mu
Menyelam disamudra dunia mencari makna
Berdiri disini mencari hakikat cinta-Mu
14 Oktober 2007, 16:18 WITA, Balikpapan
Minggu, 03 Oktober 2010
Ketaatan Tanpa Syarat
Pagi ini saya ingin menulis renungan yang muncul saat seorang ustadz memberikan penerangan tentang ibadah haji pada saat sesi manasik haji Ahad kemarin. Beliau menyampaikan bagaimana prosesi-prosesi ibadah haji yang ditetapkan Allah. Jika diamati lebih dalam, seringkali prosesi ibadah haji seperti tahallul, thawaf, sa’i, wukuf ataupun melempar jumrah, tidak memiliki hikmah lebih layaknya pelarangan riba atau kewajiban membayar zakat. Prosesi haji sama dengan kewajiban ibadah utama (mahdhoh) lainnya, seperti shalat dan puasa, hikmahnya tak lebih sebagai simbol ketaatan. Dan memang alasan utama pertama dari setiap ibadah adalah ketaatan.
Jika mengambil contoh selain haji, shalat misalnya, dalam ibadah yang kastanya paling tinggi dalam Islam ini, mungkin kita pernah bertanya-tanya; apa hikmah sujud yang bentuknya seperti yang kita kenal saat ini, dimana kepala dan kaki saja yang harus menyentuh lantai. Kenapa tidak sekujur badan menyentuh lantai, sebagai simbol ketundukan dan penyembahan total? Mengapa ruku’ bentuknya seperti membungkuk, mengapa tidak bersimpuh saja pada dua lutut yang mengesankan penyerahan diri secara tulus? Apa hikmah dibalik itu?
Sejauh ini, saya sangat puas pada alasan bahwa prosesi itu dilakukan tidak memiliki alasan kecuali ketaatan menjalankan apa yang sudah ditetapkan. Tanpa perlu mencari alasan logis sebagai syarat untuk menjalankannya. Mungkin ini wilayah otoriter Tuhan. Terserah Beliau mau disembah dengan cara apa. Bukankah Tuhan sangat berwenang untuk menetapkan itu. Dan kita sebagai hamba, tidak pantas mencari-cari alasan dibelakangnya, bahkan mungkin bertanya saja sudah terkesan tak sopan, apalagi sampai bersikap tak akan menjalankannya tanpa ada alasan yang logis. Tugas kita hanyalah menjalankannya (sami’na wa atho’na).
Ini mungkin yang disebut ketaatan tanpa syarat, penyerahan diri yang melingkupi penyerahan semua yang kita miliki atau penyerahan semua aturan hidup dan penyembahan kepada Tuhan yang Maha Segala. Dengan landasan argumentasi ketaatan pada prosesi ibadah inilah saya pernah menjawab posisi saya terhadap pendapat yang menyarankan pelaksanaan ibadah Qurban (pada Idul Adha) dilakukan dengan cara berbeda mengingat begitu banyaknya kaum dhuafa di Indonesia ini. pendapat ini menyarakan agar pelaksanaan Qurban dilakukan dengan mengumpulkan saja uang untuk membeli hewan Qurban dan kemudian di bagikan kepada mereka yang membutuhkan atau dikelola dengan konsep pengelolaan dana produktif. Coba bayangkan bagaimana efek positifnya secara ekonomi, besar bukan?
Ketika itu saya jawab singkat, kalau saja itu dibenarkan, tentu Nabi adalah orang yang lebih dulu menjalankan ijtihad itu, mengingat kondisi muslim masa Beliau tidak kurang kedhuafaannya. Tetapi nyatanya, ketika waktu Idul Adha tiba, Beliau bersama sahabat-sahabatnya tetap menyembelih hewan Qurban, begitu juga masa sahabat sepeninggal Beliau. Anda pembaca mungkin memiliki argumen sendiri-sendiri, atau bahkan telah menemukan hikmah dibalik ibadah Qurban ini. tetapi yang ingin saya sampaikan adalah bahwa ibadah Qurban inipun merepresentasikan sebuah prosesi penghambaan yang mutlak, ketaatan tanpa syarat. Karena hikmah tertingginya ya ketaatan total itu kepada Tuhan, dengan menjalankannya sesuai aturan Tuhan yang telah ditetapkan.
Sebentar lagi hari besar Idul Adha sampai pada kita semua, semoga Ibadah Qurban yang akan kita tunaikan menjadi representasi ketaatan total kita kepada Allah SWT untuk kesekian kali, yang mampu mengetuk pintu kasih sayang-Nya, sehingga kita manusia yang penuh salah ini selalu ada dalam kebaikan. Dan buat semua yang pada hari-hari besar itu berada di Arafah, semoga betul-betul keberkahan langit tercurah bagi anda, bagi keluarga anda, dan bagi semua yang mengenal anda, karena keberkahan diri anda tentu akan menentramkan semua yang ada disekitar anda. Semoga Allah penuhi bumi ini dengan keberkahan karena semakin banyaknya manusia yang memiliki keberkahan itu. Wallahu a’lam bishawab.
Jumat, 01 Oktober 2010
Sedikit Kesadaran dari Banyak Kesalahan yang Tidak Disadari
Pernah satu kali saya merasa bersalah sekali. Saya memandang seseorang begitu remeh karena saya tahu keburukannya. Pada poin itu secara tak sadar saya menunjukkan sikap bahwa saya manusia yang lebih baik dari dia. Tersadar saya, bahwa pandangan remeh itu sepatutnya ditujukan pada keburukannya bukan pada manusianya. Anda punya renungan yang sama?
Padahal Allah saja tidak pernah meremehkan siapa saja, sejahat dan seburuk apapun hamba-Nya itu. Tetap saja kalimat-kalimat Allah adalah kalimat-kalimat kasih sayang, kalimat-kalimat pengampunan bagi semua hambanya. Oleh karenanya tidak sepatutnya keburukan seseorang membuat kita mensirnakan senyum, menjauhkan keakraban dan menghilangkan tatapan remeh pada siapapun.
Boleh jadi keburukan seseorang sudah terhapus dari buku amalnya karena taubat yang baik, dan berganti dengan amal yang bertumpuk-tumpuk. Sementara buku amal kita vakum lama tak terisi karena kita sibuk memikirkan dan menyikapi keburukan orang lain yang telah dimaafkan Tuhan itu.
Disini saya mengajak siapa saja, untuk tidak menghabiskan energi dengan pikiran keburukan-keburukan orang lain. Lebih baik memikirkan keburukan diri sendiri, atau yang lebih baik memikirkan apa amal shaleh yang dapat kita lakukan pada siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Kesahajaan bersikap bukan berawal dari prilaku, tetapi dari berfikir. Maaf jika tulisan ini juga sudah menunjukkan sikap saya yang tidak bersahaja, karena merepresentasikan kebijaksanaan yang saya punya.
Sekali lagi tulisan ini hanya menyampaikan sedikit kesadaran diri saya pada banyak kesalahan yang tidak saya sadari, dan mungkin saja berguna bagi anda.
Padahal Allah saja tidak pernah meremehkan siapa saja, sejahat dan seburuk apapun hamba-Nya itu. Tetap saja kalimat-kalimat Allah adalah kalimat-kalimat kasih sayang, kalimat-kalimat pengampunan bagi semua hambanya. Oleh karenanya tidak sepatutnya keburukan seseorang membuat kita mensirnakan senyum, menjauhkan keakraban dan menghilangkan tatapan remeh pada siapapun.
Boleh jadi keburukan seseorang sudah terhapus dari buku amalnya karena taubat yang baik, dan berganti dengan amal yang bertumpuk-tumpuk. Sementara buku amal kita vakum lama tak terisi karena kita sibuk memikirkan dan menyikapi keburukan orang lain yang telah dimaafkan Tuhan itu.
Disini saya mengajak siapa saja, untuk tidak menghabiskan energi dengan pikiran keburukan-keburukan orang lain. Lebih baik memikirkan keburukan diri sendiri, atau yang lebih baik memikirkan apa amal shaleh yang dapat kita lakukan pada siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Kesahajaan bersikap bukan berawal dari prilaku, tetapi dari berfikir. Maaf jika tulisan ini juga sudah menunjukkan sikap saya yang tidak bersahaja, karena merepresentasikan kebijaksanaan yang saya punya.
Sekali lagi tulisan ini hanya menyampaikan sedikit kesadaran diri saya pada banyak kesalahan yang tidak saya sadari, dan mungkin saja berguna bagi anda.
Kamis, 30 September 2010
CALL FOR PAPERS: FORUM RISET PERBANKAN SYARIAH II - 2010
FORUM RISET PERBANKAN SYARIAH II - 2010
Kamis, 9 Desember 2010, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
“Menuju Sistem Perbankan Syariah yang Sehat, Kuat dan Konsisten terhadap Prinsip Syariah”
TOPIK UNTUK CALL FOR PAPER:
1. Optimalisasi peran bank syariah dalam pengentasan kemiskinan, mencakup a.l.:
a. Inovasi program pemberdayaan sektor mikro melalui kerjasama bank syariah dengan lembaga keuangan mikro atau lembaga pengelola dana sosial
b. Produk atau program bersama bank syariah dengan lembaga terkait, (swasta maupun pemerintah, lembaga keuangan maupun lembaga sosial) dalam pemberdayaan masyarakat dhuafa.
c. Efektifitas produk atau program pemberdayaan masyarakat dhuafa oleh bank syariah selama ini.
d. Dan isu-isu terkait dalam ruang lingkup pengentasan kemiskinan melalui bank syariah
2. Efisiensi dan efektifitas pengawasan serta Inovasi produk pembiayaan Bank Syariah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat usaha (bisnis), seperti:
a. Bentuk pengukuran tingkat kesehatan bank syariah berdasarkan perspektif syariah.
b. Bentuk dan mekanisme pengawasan real time bagi industri perbankan syariah.
c. Urgensi perbankan syariah mengikuti ketentuan Basel II dan Basel III dari BIS.
d. Urgensi penerapan PSAK 50/55 dalam industri perbankan syariah nasional.
e. Efektifitas pembiayaan bank syariah yang ada selama ini dalam mendukung perekonomian nasional.
f. Optimalisasi atau pemberdayaan sektor ekonomi yang selama ini minim digarap sektor perbankan, seperti sektor pertanian, transportasi, manufaktur, elektrik dan pertambangan.
g. Inovasi produk-produk pembiayaan berbasis bagi-hasil sesuai dengan kebutuhan masyarakat usaha (bisnis).
h. Produk bersama bank syariah dengan lembaga non-bank dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan mendorong integrasi pasar keuangan syariah.
i. Dan isu-isu terkait inovasi produk yang praktis dan profitable dilakukan oleh bank syariah nasional.
3. Strategi peningkatan kualitas sumber daya manusia Bank Syariah dalam rangka menuju industri perbankan syariah yang unggul dan bermanfaat maksimal bagi perekonomian nasional, seperti:
a. Efektifitas pembelajaran formal perbankan syariah di perguruan tinggi selama ini dalam memenuhi kebutuhan industri.
b. Inovasi program pendidikan dan pelatihan dalam memenuhi kebutuhan (demand) industri yang lebih banyak dari supply dari sistem pendidikan formal.
c. Dan isu-isu terkait lainnya.
KUALIFIKASI PAPER
1. Paper perbankan syariah tersebut harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Tulisan sesuai dengan ruang lingkup yang telah ditentukan dengan menggunakan format dan kaidah penulisan ilmiah yang lazim dan dengan elaborasi sumber-sumber pustaka yang memadai; yaitu minimal memiliki ruang lingkup pembahasan:
i. Abstrak
ii. Latar Belakang, identifikasi masalah, tujuan penelitian
iii. Literatur Review (jurnal dan buku mutakhir)
iv. Metode Penelitian
v. Analisa
vi. Kesimpulan dan Rekomendasi
vii. Daftar Pustaka
b. Ditulis dalam kertas ukuran A4, 1,5 spasi, font 12 Times New Roman dan minimal 20 halaman (tidak termasuk tabel atau grafik dan daftar pustaka). Penjelasan tambahan (note) ditulis dalam bentuk footnote (bukan endnote).
2. Tulisan dan softfile-nya paling lambat kami terima paling lambat tanggal 25 November 2010, dan dikirimkan ke Kantor Pusat Masyarakat Ekonomi Syariah, Jl Setiabudi Tengah No. 29, Setiabudi, Kuningan, Jakarta Selatan - 10220, E-mail: sekretariat@ekonomisyariah.org.
3. FRPS 2010 dibuka untuk para peneliti dengan kategori:
a. Peneliti Pemula (Mahasiswa S1, Sarjana (S1), Mahasiswa S2 atau setingkat)
b. Peneliti Madya/Utama (Master (S2), Mahasiswa Doktoral, PhD/Dr. (S3) atau setingkat)
4. Paper yang disampaikan oleh akademisi dan peneliti akan dipilih 6 paper terbaik (3 paper peneliti pemula dan 3 peneliti madya/utama) yang harus dipresentasikan oleh penulis pada FRPS II 2010. 6 paper tersebut adalah paper terbaik untuk masing-masing topik, dengan rincian 2 paper terbaik dari masing-masing klasifikasi peneliti (peneliti pemula dan peneliti madya/utama) untuk satu topik.
5. Kepada penulis diberikan kompensasi masing-masing sebesar:
a. Rp. 6.500.000,00 (termasuk pajak) untuk Peneliti Pemula.
b. Rp. 10.000.000,00 (termasuk pajak) untuk peneliti madya.
6. DPbS-BI akan menanggung biaya akomodasi dan transportasi untuk penulis yang berasal dari luar Yogyakarta (penerbangan langsung/perjalanan domestik kelas ekonomi, termasuk dari Malaysia dan Singapura) .
7. Kompensasi finansial pemenang paper terbaik akan ditransfer ke rekening penulis pada Bank Syariah yang ditunjuk, setelah diterima hasil tulisan yang terpilih untuk dipresentasikan pada FRPS 2010.
8. Paper yang terpilih akan menjadi hak Bank Indonesia untuk keperluan apapun dalam bentuk apapun.
PELAKSANAAN TEKNIS FRPS
1. Session Pleno:
a. Generale Lecture atau Studium Generale dari Prominent Scholar (Alternatif scholar Prof. Dr. Volker Nienhaus* atau Dr. M. Nejatullah Siddiqi * tema : “Islamic banking and finance: where to go?”
b. Professorship Lecture oleh Pakar Ekonomi Syariah Nasional dengan tema: “Upaya mewujudkan idealisme perbankan syariah yang memberikan kemaslahatan bagi masyarakat luas dan berkontribusi optimal dalam pembangunan nasional”
2. Parallel Session:
a. Dibagi menjadi 3 parallel session berdasarkan topik-topik yang telah ditentukan;
i. Komisi Poverty Alleviation
ii. Komisi Product Innovation/Engineering
iii. Komisi Human Capital
b. Dalam parallel session akan dipaparkan hasil riset dari paper terpilih dan kajian DPbS tahun 2010.
Selasa, 28 September 2010
FORUM RISET PERBANKAN SYARIAH II - 2010: CALL FOR PAPERS
Siap-siap untuk FRPS II tahun 2010, yang menurut rencana akan diselenggarakan pada tanggal 9 Desember 2010. Sambil menunggu pengumuman resmi, segera siapkan paper anda yang memenuhi beberapa tentative kriteria dibawah ini.
TEMA“Menuju Sistem Perbankan Syariah yang Sehat, Kuat dan Konsisten terhadap Prinsip Syariah”
TOPIK UNTUK CALL FOR PAPER:
1. Optimalisasi peran bank syariah dalam pengentasan kemiskinan, mencakup a.l.:
a. Inovasi program pemberdayaan sektor mikro melalui kerjasama bank syariah dengan lembaga keuangan mikro atau lembaga pengelola dana sosial
b. Produk atau program bersama bank syariah dengan lembaga terkait, (swasta maupun pemerintah, lembaga keuangan maupun lembaga sosial) dalam pemberdayaan masyarakat dhuafa.
c. Efektifitas produk atau program pemberdayaan masyarakat dhuafa oleh bank syariah selama ini.
d. Dan isu-isu terkait dalam ruang lingkup pengentasan kemiskinan melalui bank syariah
2. Inovasi produk pembiayaan Bank Syariah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat usaha (bisnis), seperti:
a. Efektifitas pembiayaan bank syariah yang ada selama ini dalam mendukung perekonomian nasional.
b. Optimalisasi atau pemberdayaan sektor ekonomi yang selama ini minim digarap sektor perbankan, seperti sektor pertanian, transportasi, manufaktur, elektrik dan pertambangan.
c. Inovasi produk-produk pembiayaan berbasis bagi-hasil sesuai dengan kebutuhan masyarakat usaha (bisnis).
d. Produk bersama bank syariah dengan lembaga non-bank dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan mendorong integrasi pasar keuangan syariah.
e. Dan isu-isu terkait inovasi produk yang praktis dan profitable dilakukan oleh bank syariah nasional.
3. Strategi peningkatan kualitas sumber daya manusia Bank Syariah dalam rangka menuju industri perbankan syariah yang unggul dan bermanfaat maksimal bagi perekonomian nasional, seperti:
a. Efektifitas pembelajaran formal perbankan syariah di perguruan tinggi selama ini dalam memenuhi kebutuhan industri.
b. Inovasi program pendidikan dan pelatihan dalam memenuhi kebutuhan (demand) industri yang lebih banyak dari supply dari sistem pendidikan formal.
c. Dan isu-isu terkait lainnya.
KUALIFIKASI PAPER
1. Paper perbankan syariah tersebut harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Tulisan sesuai dengan ruang lingkup yang telah ditentukan dengan menggunakan format dan kaidah penulisan ilmiah yang lazim dan dengan elaborasi sumber-sumber pustaka yang memadai; yaitu minimal memiliki ruang lingkup pembahasan:
i. Latar Belakang, identifikasi masalah, tujuan penelitian
ii. Literatur Review (jurnal dan buku mutakhir)
iii. Metode Penelitian
iv. Analisa
v. Kesimpulan dan Rekomendasi
vi. Daftar Pustaka
b. Ditulis dalam kertas ukuran A4, 1,5 spasi, font 12 Times New Roman dan minimal 20 halaman (tidak termasuk tabel atau grafik dan daftar pustaka).
2. Tulisan dan softfile-nya paling lambat kami terima paling lambat 14 hari sebelum Forum Riset diselenggarakan.
3. FRPS 2010 dibuka untuk para peneliti dengan kategori:
a. Peneliti Pemula (Mahasiswa S1, Sarjana (S1), Mahasiswa S2 atau setingkat)
b. Peneliti Madya/Utama (Master (S2), Mahasiswa Doktoral, PhD/Dr. (S3) atau setingkat)
4. Paper yang terpilih akan menjadi hak Bank Indonesia untuk keperluan apapun dalam bentuk apapun.
Secepatnya akan segera diumumkan secara resmi oleh panitia; Bank Indonesia bekerjasama dengan MES & IAEI. Siap-siap ya...
TEMA“Menuju Sistem Perbankan Syariah yang Sehat, Kuat dan Konsisten terhadap Prinsip Syariah”
TOPIK UNTUK CALL FOR PAPER:
1. Optimalisasi peran bank syariah dalam pengentasan kemiskinan, mencakup a.l.:
a. Inovasi program pemberdayaan sektor mikro melalui kerjasama bank syariah dengan lembaga keuangan mikro atau lembaga pengelola dana sosial
b. Produk atau program bersama bank syariah dengan lembaga terkait, (swasta maupun pemerintah, lembaga keuangan maupun lembaga sosial) dalam pemberdayaan masyarakat dhuafa.
c. Efektifitas produk atau program pemberdayaan masyarakat dhuafa oleh bank syariah selama ini.
d. Dan isu-isu terkait dalam ruang lingkup pengentasan kemiskinan melalui bank syariah
2. Inovasi produk pembiayaan Bank Syariah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat usaha (bisnis), seperti:
a. Efektifitas pembiayaan bank syariah yang ada selama ini dalam mendukung perekonomian nasional.
b. Optimalisasi atau pemberdayaan sektor ekonomi yang selama ini minim digarap sektor perbankan, seperti sektor pertanian, transportasi, manufaktur, elektrik dan pertambangan.
c. Inovasi produk-produk pembiayaan berbasis bagi-hasil sesuai dengan kebutuhan masyarakat usaha (bisnis).
d. Produk bersama bank syariah dengan lembaga non-bank dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan mendorong integrasi pasar keuangan syariah.
e. Dan isu-isu terkait inovasi produk yang praktis dan profitable dilakukan oleh bank syariah nasional.
3. Strategi peningkatan kualitas sumber daya manusia Bank Syariah dalam rangka menuju industri perbankan syariah yang unggul dan bermanfaat maksimal bagi perekonomian nasional, seperti:
a. Efektifitas pembelajaran formal perbankan syariah di perguruan tinggi selama ini dalam memenuhi kebutuhan industri.
b. Inovasi program pendidikan dan pelatihan dalam memenuhi kebutuhan (demand) industri yang lebih banyak dari supply dari sistem pendidikan formal.
c. Dan isu-isu terkait lainnya.
KUALIFIKASI PAPER
1. Paper perbankan syariah tersebut harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Tulisan sesuai dengan ruang lingkup yang telah ditentukan dengan menggunakan format dan kaidah penulisan ilmiah yang lazim dan dengan elaborasi sumber-sumber pustaka yang memadai; yaitu minimal memiliki ruang lingkup pembahasan:
i. Latar Belakang, identifikasi masalah, tujuan penelitian
ii. Literatur Review (jurnal dan buku mutakhir)
iii. Metode Penelitian
iv. Analisa
v. Kesimpulan dan Rekomendasi
vi. Daftar Pustaka
b. Ditulis dalam kertas ukuran A4, 1,5 spasi, font 12 Times New Roman dan minimal 20 halaman (tidak termasuk tabel atau grafik dan daftar pustaka).
2. Tulisan dan softfile-nya paling lambat kami terima paling lambat 14 hari sebelum Forum Riset diselenggarakan.
3. FRPS 2010 dibuka untuk para peneliti dengan kategori:
a. Peneliti Pemula (Mahasiswa S1, Sarjana (S1), Mahasiswa S2 atau setingkat)
b. Peneliti Madya/Utama (Master (S2), Mahasiswa Doktoral, PhD/Dr. (S3) atau setingkat)
4. Paper yang terpilih akan menjadi hak Bank Indonesia untuk keperluan apapun dalam bentuk apapun.
Secepatnya akan segera diumumkan secara resmi oleh panitia; Bank Indonesia bekerjasama dengan MES & IAEI. Siap-siap ya...
Senin, 27 September 2010
Adakah Tersisa Rindu...
Sudah 19 hari Ramadhan meninggalkan kita. Adakah masih tersisa jejaknya pada hari-hari yang kita lewati ini? Seberapa turun tilawah Qur'an kita dibandingkan hari-hari Ramadhan? Seberapa jarang sedekah kita kini? Seberapa sensitif kini kita dengan dosa dan kemaksiatan? Atau kini sudah kembali "normal" seperti waktu sebelum Ramadhan.
Adakah tersisa rindu kita dengan Ramadhan? Rindu pada fajar dan paginya yang sejuk dengan semangat dan ketulusan ibadah. Rindu pada siang dan petangnya dengan amal-amal shaleh yang kian hari kian membanyak. Rindu pada senja dan malamnya dengan kekhusyukan dan munajat-munajat...
Ramadhan sudah pergi, tapi masih ada manusia Ramadhan sebagai warisan bulan suci itu. Masih ada anda, saya dan kita, yang mampu merubah bulan-bulan setelahnya menjadi Ramadhan selanjutnya, mari kita pastikan 11 bulan selanjutnya adalah Ramadhan-Ramadhan yang kita rindui itu...
Adakah tersisa rindu kita dengan Ramadhan? Rindu pada fajar dan paginya yang sejuk dengan semangat dan ketulusan ibadah. Rindu pada siang dan petangnya dengan amal-amal shaleh yang kian hari kian membanyak. Rindu pada senja dan malamnya dengan kekhusyukan dan munajat-munajat...
Ramadhan sudah pergi, tapi masih ada manusia Ramadhan sebagai warisan bulan suci itu. Masih ada anda, saya dan kita, yang mampu merubah bulan-bulan setelahnya menjadi Ramadhan selanjutnya, mari kita pastikan 11 bulan selanjutnya adalah Ramadhan-Ramadhan yang kita rindui itu...
Prasangka
Masalah utama dari banyak orang mungkin adalah prasangka buruk. Mengapa? Boleh jadi karena fitrah manusia yang selalu memiliki dzon (prasangka). Meski prasangka bukan dosa besar, tetapi mereka yang mampu menjaga fikiran dan hatinya dari prasangka buruk, ternyata ganjarannya Syurga. Masih ingat cerita Nabi, yang menunjuk dengan sengaja seorang sahabat dan memberitahukan kalau beliau itu bakal penghuni syurga. Nabi mengungkapkan hal itu di sebuah majelis (Jum'at), di depan sahabat-sahabat yang lain. Sementara sahabat yang ditunjuk itu tidak menyadari karena sedang tertidur (tertidur di majelis nasehat Rasulullah, tega ya?).
Singkat cerita ada sahabat lain yang penasaran menyelidiki, ternyata keistimewaan sahabat tersebut bukanlah ibadahnya yang banyak, dzikirnya yang tekun, amal shalehnya yang melimpah, atau tilawah dan hafalannya yang berjuz-juz, tetapi hanya karena sahabat itu tidak memiliki prasangka buruk terhadap orang lain. Bayangkan prasangka saja bisa menghantarkan pemiliknya memasuki kebahagiaan yang maha dahsyat.
saya juga jadi teringat bacaan saya beberapa tahun yang lalu, tentang hadits Nabi yang mengatakan kurang lebih seperti ini; jika engkau berprasangka jangan lisankan, jika engkau kecewa jangan dipendam, jika engkau marah jangan diumbar. Maaf ya saya belum kaji lagi riwayat hadits ini. Tetapi saya ingin mengambil hikmah dari nasehat Nabi ini.
Pelajaran yang saya pahami berdasarkan hadits ini khususnya untuk prasangka adalah bahwa prasangka itu fitrah, semua orang pasti berprasangka. Hanya saja ia akan dinilai menjadi buruk ketika ia terlontar pada lisan. Karena memang tidak mungkin orang tidak berprasangka. Manusia selalu memiliki lintasan fikiran dalam benaknya itulah yang selama ini saya yakini sebagai prasangka, prasangka pada manusia, peristiwa, alam semesta. Khusus pada manusia, Nabi memberikan pedoman kode etiknya. Nah, yang kini menjadi kunci adalah sejauh mana kita mampu menahan diri untuk tidak melisankan prasangka-prasangka itu, khususnya prasangka buruk terhadap orang lain. Dicoba yuk?!
Singkat cerita ada sahabat lain yang penasaran menyelidiki, ternyata keistimewaan sahabat tersebut bukanlah ibadahnya yang banyak, dzikirnya yang tekun, amal shalehnya yang melimpah, atau tilawah dan hafalannya yang berjuz-juz, tetapi hanya karena sahabat itu tidak memiliki prasangka buruk terhadap orang lain. Bayangkan prasangka saja bisa menghantarkan pemiliknya memasuki kebahagiaan yang maha dahsyat.
saya juga jadi teringat bacaan saya beberapa tahun yang lalu, tentang hadits Nabi yang mengatakan kurang lebih seperti ini; jika engkau berprasangka jangan lisankan, jika engkau kecewa jangan dipendam, jika engkau marah jangan diumbar. Maaf ya saya belum kaji lagi riwayat hadits ini. Tetapi saya ingin mengambil hikmah dari nasehat Nabi ini.
Pelajaran yang saya pahami berdasarkan hadits ini khususnya untuk prasangka adalah bahwa prasangka itu fitrah, semua orang pasti berprasangka. Hanya saja ia akan dinilai menjadi buruk ketika ia terlontar pada lisan. Karena memang tidak mungkin orang tidak berprasangka. Manusia selalu memiliki lintasan fikiran dalam benaknya itulah yang selama ini saya yakini sebagai prasangka, prasangka pada manusia, peristiwa, alam semesta. Khusus pada manusia, Nabi memberikan pedoman kode etiknya. Nah, yang kini menjadi kunci adalah sejauh mana kita mampu menahan diri untuk tidak melisankan prasangka-prasangka itu, khususnya prasangka buruk terhadap orang lain. Dicoba yuk?!
Kamis, 23 September 2010
Kemiskinan yang Memelihara Kesadaran
Kemiskinan seperti apa yang mampu menjaga akal sehat? Kemiskinan bagaimana yang mampu memelihara kesadaran pada Tuhan? Pertanyaan ini menggoda, karena kemiskinan identik dengan keterdesakan, dan keterdesakan biasanya membuat manusianya sulit untuk berfikir jernih atau sekedar menjaga konsentrasi (pada apa saja), apalagi harus fokus pada kesadaran kebaikan dan ketuhanan. Nah inilah titik perhatian tulisan ini, yaitu spesialnya kondisi paradok ini jika wujud dalam sebuah pribadi, sesosok manusia, dimana manusia memiliki kecenderungan pada keduanya, yaitu kekhilafan dan kebaikan.
Memang harus ditegaskan terlebih dahulu, bahwa bukanlah kemiskinan yang menjadi kata kunci tetapi manusianya. Bagaimana manusia mampu membuat kemiskinan menjadi indah untuk dijalani. Atau bahkan menarik untuk dipilih sebagai jalan hidup, gaya hidup. Ya kemiskinan menjadi kesengajaan. Naïf memang kesannya kalimat-kalimat dalam tulisan ini. Tapi saya tidak ingin terjebak oleh kesan dan kelaziman kehidupan itu. Saya ingin menyampaikan sebuah keyakinan yang mampu memberikan warna hidup yang lebih baik, memberikan alternative gaya hidup lain yang mungkin lebih menentramkan, atau membantu meminimalkan (bahkan menghilangkan) kecemasan jika memang kemiskinan itu melekat pada kita tanpa kita harapkan.
Sekali lagi kata kunci bukanlah kemiskinan, sehingga tidak penting mendefinisikan seberapa jauh kemiskinan yang mampu menjaga kesadaran. Atau mengindentifikasi bentuk-bentuk kemiskinan yang baik. Atau batas minimum kemiskinan yang mampu menawarkan ketentraman. Kemiskinan tetaplah kemiskinan, kondisi dimana manusia kesulitan secara harta (konsep miskin secraa materi), kondisi keterbatasan. Oleh sebab itu yang menjadi penting adalah paradigma berfikir manusianya menyikapi kemiskinan tersebut. Dan paradigma berfikir manusia tentu sangat terkait dengan keyakinan-keyakinan pada Tuhan yang berkuasa memiskinkan atau mengkayakan manusia.
Manusia yang memiliki criteria seperti ini dan mampu menjadikan kemiskinan sebagai kondisi yang tidak kalah nikmat dari kondisi kaya adalah manusia yang shaleh. Manusia yang dekat dengan Tuhannya, manusia yang melakukan penghambaan pada Tuhan secara total dan menyeluruh. Manusia yang telah meletakkan penghambaan pada Tuhan sebagai perkara diatas perkara, yang harus dijunjung tinggi dan memuarakan semua urusan pada perkara penghambaan ini. Manusia seperti ini akan memasuki kemiskinan dengan keikhlasan, menjalaninya dengan kesabaran dan syukur tanpa henti, serta melewatinya dengan kesahajaan.
Pesan-pesan terpuji tentang kemuliaan yang melekat pada kemiskinan membuat manusia shaleh tidak mencemaskan kemiskinan, bahkan pada tingkat keshalehan tertentu, kemiskinan bahkan dipilih sebagai sebuah gaya hidup dan dinikmati sama lezatnya dengan kekayaan. Bahkan kelezatan kemiskinan mampu memabukkan manusia, sehingga mereka dengan sengaja dan sekuat tenaga menjaga agar kemiskinan itu selalu menjadi kondisi mereka.
Mari kita renungkan hakikat-hakikat kemiskinan yang ternyata di dalamnya penuh dengan kemuliaan jika disikapi dengan benar dan baik. Orang miskin hidupnya penuh dengan keterbatasan, tetapi keterbatasan itu hakikatnya adalah kemuliaan-kemuliaan. Jika kita dapatkan situasi lapar, bukankah puasa merupakan ibadah yang penuh dengan keberkahan. Jika tidak memiliki uang/harta, bukankah memperbanyak infak, sedekah menyediakan kehormatan berupa gerbang tersendiri menuju syurga. Jika tidak memiliki kuasa dan jabatan, bukankah menghindari kezaliman dan kesewenangan akan membuat kita tidak merugi pada hari pembalasan nanti.
Merenungkan hakikat-hakikat ini berikut hikmah-hikmahnya serta dilengkapi dengan keyakinan bahwa Tuhan saying sekali dengan kita, maka tentu takdir-takdir Tuhan yang hadir pada kita, khususnya dalam hal ini kemiskinan, tidak akan mencemaskan dan menggelisahkan kita. Kemiskinan tidak akan mengganggu, bahkan mungkin lebih menentramkan. Inilah kemiskinan yang mampu menjaga kesadaran.
Memang harus ditegaskan terlebih dahulu, bahwa bukanlah kemiskinan yang menjadi kata kunci tetapi manusianya. Bagaimana manusia mampu membuat kemiskinan menjadi indah untuk dijalani. Atau bahkan menarik untuk dipilih sebagai jalan hidup, gaya hidup. Ya kemiskinan menjadi kesengajaan. Naïf memang kesannya kalimat-kalimat dalam tulisan ini. Tapi saya tidak ingin terjebak oleh kesan dan kelaziman kehidupan itu. Saya ingin menyampaikan sebuah keyakinan yang mampu memberikan warna hidup yang lebih baik, memberikan alternative gaya hidup lain yang mungkin lebih menentramkan, atau membantu meminimalkan (bahkan menghilangkan) kecemasan jika memang kemiskinan itu melekat pada kita tanpa kita harapkan.
Sekali lagi kata kunci bukanlah kemiskinan, sehingga tidak penting mendefinisikan seberapa jauh kemiskinan yang mampu menjaga kesadaran. Atau mengindentifikasi bentuk-bentuk kemiskinan yang baik. Atau batas minimum kemiskinan yang mampu menawarkan ketentraman. Kemiskinan tetaplah kemiskinan, kondisi dimana manusia kesulitan secara harta (konsep miskin secraa materi), kondisi keterbatasan. Oleh sebab itu yang menjadi penting adalah paradigma berfikir manusianya menyikapi kemiskinan tersebut. Dan paradigma berfikir manusia tentu sangat terkait dengan keyakinan-keyakinan pada Tuhan yang berkuasa memiskinkan atau mengkayakan manusia.
Manusia yang memiliki criteria seperti ini dan mampu menjadikan kemiskinan sebagai kondisi yang tidak kalah nikmat dari kondisi kaya adalah manusia yang shaleh. Manusia yang dekat dengan Tuhannya, manusia yang melakukan penghambaan pada Tuhan secara total dan menyeluruh. Manusia yang telah meletakkan penghambaan pada Tuhan sebagai perkara diatas perkara, yang harus dijunjung tinggi dan memuarakan semua urusan pada perkara penghambaan ini. Manusia seperti ini akan memasuki kemiskinan dengan keikhlasan, menjalaninya dengan kesabaran dan syukur tanpa henti, serta melewatinya dengan kesahajaan.
Pesan-pesan terpuji tentang kemuliaan yang melekat pada kemiskinan membuat manusia shaleh tidak mencemaskan kemiskinan, bahkan pada tingkat keshalehan tertentu, kemiskinan bahkan dipilih sebagai sebuah gaya hidup dan dinikmati sama lezatnya dengan kekayaan. Bahkan kelezatan kemiskinan mampu memabukkan manusia, sehingga mereka dengan sengaja dan sekuat tenaga menjaga agar kemiskinan itu selalu menjadi kondisi mereka.
Mari kita renungkan hakikat-hakikat kemiskinan yang ternyata di dalamnya penuh dengan kemuliaan jika disikapi dengan benar dan baik. Orang miskin hidupnya penuh dengan keterbatasan, tetapi keterbatasan itu hakikatnya adalah kemuliaan-kemuliaan. Jika kita dapatkan situasi lapar, bukankah puasa merupakan ibadah yang penuh dengan keberkahan. Jika tidak memiliki uang/harta, bukankah memperbanyak infak, sedekah menyediakan kehormatan berupa gerbang tersendiri menuju syurga. Jika tidak memiliki kuasa dan jabatan, bukankah menghindari kezaliman dan kesewenangan akan membuat kita tidak merugi pada hari pembalasan nanti.
Merenungkan hakikat-hakikat ini berikut hikmah-hikmahnya serta dilengkapi dengan keyakinan bahwa Tuhan saying sekali dengan kita, maka tentu takdir-takdir Tuhan yang hadir pada kita, khususnya dalam hal ini kemiskinan, tidak akan mencemaskan dan menggelisahkan kita. Kemiskinan tidak akan mengganggu, bahkan mungkin lebih menentramkan. Inilah kemiskinan yang mampu menjaga kesadaran.
Belajar dari Manusia Biasa
Saya ingin cerita tentang orang-orang istimewa disekitar saya, yang saya banyak mengambil pelajaran dari mereka. Saya tidak akan sebutkan namanya dan detil tentang mereka, biar kemuliaan mereka tidak terusik atau bahkan terkontaminasi oleh saya. Saya hanya ingin sampaikan pelita-pelita yang hidup dari manusia-manusia yang sangat biasa. Ya sangat biasa, tidak luar biasa. Yang istimewa adalah dalam kesangat-biasaannya, mereka mampu memberikan sesuatu yang dikenang, dipegang dan disayang-sayang oleh manusia lain disekitarnya, manusia lain yang mengenalnya.
Satu kawan saya, seorang anak guru agama yang selalu bersemangat dengan semua kegiatan sekolah. Sepertinya ia memiliki semangat untuk masing-masing kegiatan sekolah, baik di kelas, di lapangan olah raga, laboratoriummaupun di pengajian rutin. Sampai-sampai saya tidak pernah ingat atau bahkan tidak pernah tahu bagaimana rupanya kalau ia dalam keadaan sedih. Suasana sedih, gelisah, putus asanya tidak pernah nampak di hadapan saya, sejak pertama kali saya mengenalnya sampai kami tidak dapat lagi berjumpa.
Semangat itulah pelajaran pertama yang saya ambil darinya. Tapi sampai saat ini pun saya tidak dapat menyamai beliau. Satu pelajaran lain adalah ringan tangannya membantu siapa saja yang membutuhkan, masalah orang lain yang ia ketahui seakan-akan menjadi masalahnya, bahkan mungkin ia lebih sibuk menyelesaikan masalah orang lain daripada masalah dirinya sendiri. Dan pelajaran selanjutnya adalah pelajaran utama yang saya betul-betul pelajari darinya hingga kini terlihat jejaknya pada diri saya, adalah pelajaran membaca Qur’an. Dari beliaulah kemampuan baca Qur’an saya dapatkan.
Kalau saya diminta Tuhan untuk bersaksi atas kawan saya ini, maka saya tidak akan berfikir lama untuk mengatakan beliau adalam manusia baik yang layak mendapatkan kebahagiaan di akhirat. Dan inilah yang saya lirihkan di samping jenazah beliau ketika saya dampingi janazahnya di mobil ambulance menuju pemakaman. Mungkin balas jasa yang saya berikan untuk pelajaran-pelajaran yang beliau berikan hanyalah memanggul jasadnya dan ikut meletakkannya di liang lahat.
Pada waktu yang berbeda saya juga mengenal beberapa kawan yang keistimewaannya identik, yaitu sigap sekali membantu, ia korbankan kepentingan pribadinya; waktu, tenaga dan harta. Ringan bagi mereka untuk memberikan apa saja yang dimilikinya untuk siapa saja yang membutuhkan. Seorang kawan dengan tulusnya membantu saya pada semua masalah saya di kuliah, meski pada saat yang berbeda kami selalu berseteru dalam diskusi-diskusi ekonomi, politik atau agama sekalipun. Tetapi dialektika atau konflik diskusi tidak membuat beliau mengurangi semangatnya untuk membantu saya atau lawan diskusinya. Kekaguman pada mereka intinya terletak pada tingginya kepekaan terhadap masalah orang lain, kelembutan yang membuat dirinya tidak tahan melihat manusia lain susah, kegelisahan hati jika tidak mampu merubah sedih dan suram menjadi senyum dan ceria, atau jeli melihat peluang-peluang amal shaleh dimanapun dan kapanpun. Duh cerita ini semakin membuat saya mengasihani diri sendiri, karena saya sendiri masih jauh dari sikap istimewa seperti itu. Sikap istimewa manusia-manusia biasa, mereka yang dekat dengan saya, mereka yang penuh dengan keistimewaan.
Tapi satu pelajaran lain yang saya ambil dari suguhan-suguhan seperti ini, yaitu belajar dari semua orang adalah satu usaha yang tak ada ruginya. Setiap manusia memiliki keistimewaannya sendiri-sendiri. Dan itu merupakan bagian-bagian puzzle dari rahasia hidup dan kehidupan. Sehingga, padan rasanya usaha belajar itu dengan hikmah yang kita dapatkan nanti.
Satu kawan saya, seorang anak guru agama yang selalu bersemangat dengan semua kegiatan sekolah. Sepertinya ia memiliki semangat untuk masing-masing kegiatan sekolah, baik di kelas, di lapangan olah raga, laboratoriummaupun di pengajian rutin. Sampai-sampai saya tidak pernah ingat atau bahkan tidak pernah tahu bagaimana rupanya kalau ia dalam keadaan sedih. Suasana sedih, gelisah, putus asanya tidak pernah nampak di hadapan saya, sejak pertama kali saya mengenalnya sampai kami tidak dapat lagi berjumpa.
Semangat itulah pelajaran pertama yang saya ambil darinya. Tapi sampai saat ini pun saya tidak dapat menyamai beliau. Satu pelajaran lain adalah ringan tangannya membantu siapa saja yang membutuhkan, masalah orang lain yang ia ketahui seakan-akan menjadi masalahnya, bahkan mungkin ia lebih sibuk menyelesaikan masalah orang lain daripada masalah dirinya sendiri. Dan pelajaran selanjutnya adalah pelajaran utama yang saya betul-betul pelajari darinya hingga kini terlihat jejaknya pada diri saya, adalah pelajaran membaca Qur’an. Dari beliaulah kemampuan baca Qur’an saya dapatkan.
Kalau saya diminta Tuhan untuk bersaksi atas kawan saya ini, maka saya tidak akan berfikir lama untuk mengatakan beliau adalam manusia baik yang layak mendapatkan kebahagiaan di akhirat. Dan inilah yang saya lirihkan di samping jenazah beliau ketika saya dampingi janazahnya di mobil ambulance menuju pemakaman. Mungkin balas jasa yang saya berikan untuk pelajaran-pelajaran yang beliau berikan hanyalah memanggul jasadnya dan ikut meletakkannya di liang lahat.
Pada waktu yang berbeda saya juga mengenal beberapa kawan yang keistimewaannya identik, yaitu sigap sekali membantu, ia korbankan kepentingan pribadinya; waktu, tenaga dan harta. Ringan bagi mereka untuk memberikan apa saja yang dimilikinya untuk siapa saja yang membutuhkan. Seorang kawan dengan tulusnya membantu saya pada semua masalah saya di kuliah, meski pada saat yang berbeda kami selalu berseteru dalam diskusi-diskusi ekonomi, politik atau agama sekalipun. Tetapi dialektika atau konflik diskusi tidak membuat beliau mengurangi semangatnya untuk membantu saya atau lawan diskusinya. Kekaguman pada mereka intinya terletak pada tingginya kepekaan terhadap masalah orang lain, kelembutan yang membuat dirinya tidak tahan melihat manusia lain susah, kegelisahan hati jika tidak mampu merubah sedih dan suram menjadi senyum dan ceria, atau jeli melihat peluang-peluang amal shaleh dimanapun dan kapanpun. Duh cerita ini semakin membuat saya mengasihani diri sendiri, karena saya sendiri masih jauh dari sikap istimewa seperti itu. Sikap istimewa manusia-manusia biasa, mereka yang dekat dengan saya, mereka yang penuh dengan keistimewaan.
Tapi satu pelajaran lain yang saya ambil dari suguhan-suguhan seperti ini, yaitu belajar dari semua orang adalah satu usaha yang tak ada ruginya. Setiap manusia memiliki keistimewaannya sendiri-sendiri. Dan itu merupakan bagian-bagian puzzle dari rahasia hidup dan kehidupan. Sehingga, padan rasanya usaha belajar itu dengan hikmah yang kita dapatkan nanti.
Rabu, 22 September 2010
Kuta - Bali
Baru kali ini saya dapat mengunjungi Kuta dan tinggal beberapa hari disini. Suasana Kuta, gaya hidup orang dan pengunjungnya, hiruk-pikuknya, interaksi, menggambarkan komunitas modern yang mungkin membuat sebagian orang merasa nyaman atau sebaliknya. bagi mereka penikmat gaya hidup, petualang kuliner dan sensasi traveling atau para pencari ketenangan dari kerja-kerja yang monoton, Kuta menawarkan apa-apa yang mereka cari. Harus diakui Kuta memiliki segudang kemanfaatan.
Saya sendiri masih terus merenungkan apa hikmah yang bisa diambil. sambil terus merenung dan sesekali juga terus berusaha menikmati apa yang memang harus dijalani disini, saya masih merasa tidak nyaman karena harus terus bertanya-tanya apakah makanan yang saya makan ini halal (karena ketidak-tahuan saya pada lingkungan Kuta dan persepsi miring yang ada di memori saya tentang Kuta, baik dari cerita, informasi audio maupun visual), pemandangan lingkungan yang sampai-sampai untuk bebas darinya, hanyalah memejamkan mata sepanjang waktu, atau tidak keluar kamar.
Tetapi diluar itu semua Kuta, Bali memang memiliki pesona. Dan fikiran saya terus membedah apa gerangan pesona itu. Ups, rapat harus mulai...
Saya sendiri masih terus merenungkan apa hikmah yang bisa diambil. sambil terus merenung dan sesekali juga terus berusaha menikmati apa yang memang harus dijalani disini, saya masih merasa tidak nyaman karena harus terus bertanya-tanya apakah makanan yang saya makan ini halal (karena ketidak-tahuan saya pada lingkungan Kuta dan persepsi miring yang ada di memori saya tentang Kuta, baik dari cerita, informasi audio maupun visual), pemandangan lingkungan yang sampai-sampai untuk bebas darinya, hanyalah memejamkan mata sepanjang waktu, atau tidak keluar kamar.
Tetapi diluar itu semua Kuta, Bali memang memiliki pesona. Dan fikiran saya terus membedah apa gerangan pesona itu. Ups, rapat harus mulai...
Minggu, 19 September 2010
Pilihan
Mari berfikir sejenak sebelum anda termasuk saya memulai kerja-kerja pagi hari ini. Apa yang menjadi kerja rutin kita tahun-tahun terakhir ini? Akuntan, pengajar, konsultan, peneliti, teller, satpam, pedagang, ibu rumah tangga, ustadz, pengusaha? Apa itu pilihan kita atau sekedar menjalankan peluang yang ada saja? Apa itu sudah sesuai dengan cita-cita kecil kita? Atau sama sekali tidak pernah terlintas di fikiran bahkan hati?
Mungkin ada yang diantara kita merasa yakin bahwa kerja-kerja saat ini adalah sebuah pilihan sadar berdasarkan kemampuan, tetapi ada juga yang merasa semua itu sekedar pencapaian dari kesempatan yang dimiliki, bukan pilihan tapi sekedar menjalani hidup dan peluang-peluangnya. Tapi apapun itu, saya sangat yakin itu pada hakikatnya adalah pilihan, jika bukan pilihan kita setidaknya itu pilihan Tuhan. Ya skenario Tuhan bekerja atas kehendak-Nya dan berlaku pada kita semua.
Bagi kita yang mendapat kerja-kerja halal dan penuh dengan kebaikan pula, yakinlah Tuhan berkehendak baik pada kita. Sementara bagi kita yang tidak berada di kerja-kerja seperti itu, mungkin itu ujian komitmen keimanan, dan jika kemudian kita beralih serta meninggalkan kerja-kerja buruk, maka kemuliaan yang lebih istimewalah bagi kita. Namun hati-hati dengan kita yang merasa nyaman dengan kerja-kerja buruk, karena boleh jadi Tuhan memang berkehendak buruk pada kita.
Terlepas dari diskusi ini pilihan kita atau bukan, saya meletakkan rasa hormat saya yang amat tinggi bagi mereka yang telah memilih dan ikhlas dalam kerja-kerja dakwah. Mewakafkan dirinya secara sadar, baik kebetulan maupun sengaja, pada kerja-kerja mengajak manusia lain menuju dan memelihara kebaikan, menghamba secara maksimal kepada Tuhan, merupakan kerja termulia dimuka bumi ini. Untuk merekalah saya sengajakan tulis artikel ini.
Saya dedikasikan tulisan ini bagi mereka yang ada dipelosok negeri, dipedalaman rimba dan hutan, di bukit dan lembah atau bahkan ada di negeri sebrang nun jauh disana, yang saat ini tengah melakukan pelayanan dakwah kepada mereka, yang belum sampai ditelinga dan hati mereka kebenaran-kebenaran Allah SWT. Hormat takzim saya pada Ustadz-Ustadz pembawa amanah Islam di pedalaman Sorong – Papua, para Penjaga akidah dan akhlak di tempat-tempat pengungsian di lokasi bencana, di sumatera, jawa, nusa tenggara dan pojok negeri lainnya, para Pendamping pekerja migran sekaligus Pembimbing agama di Malaysia, Hong Kong, Korea, Arab Saudi, dan di penjuru bumi. May Allah Bless and Keep You Brother and Sister.
Mereka yang ada diposisi itu jauh dari hiruk-pikuk prestise profesi, kebanggaan satu-satunya yang mereka punya hanya dipamerkan pada Pemberi Amanah, yaitu Allah SWT. Dengan segala tantangan yang ada pada kerja-kerja seperti ini, maka mereka yang menjalankan amanah ini pastilah penuh dengan komitmen yang tinggi, integritas, keikhlasan dan tentu kesabaran. Oleh karena itu, tidak ada penghargaan yang pantas bagi mereka kecuali kemuliaan dari Allah SWT.
Kamis, 16 September 2010
Kalau Anda Jijik Dengan Babi Kenapa Anda Tidak Jijik Dengan Riba?
Provokatif ya judul di atas? Biarin ah, ga ada yang salah kan dari judul itu? Bukankah tingkatan dosa riba lebih besar dari makan daging babi, bukankah skala kerusakan akibat riba juga lebih besar dan luas dibandingkan babi, dan bukankah riba kini lebih dekat dengan keseharian kita, “kandang”-nya bertebaran dimana-mana sementara kandang babi tidak setiap tahun kita lihat. Kalau sudah begitu, maka pertanyaan selanjutnya adalah, kalau anda super sensitif dengan babi, sampai-sampai pakai sepatu kulit babi saja anda ga rela (padahal bukan untuk dimakan), kenapa anda tidak sensitif dengan riba?
Kegundahan ini sebenarnya saya sudah ungkapkan pada beberapa tulisan, hanya saja saya kurang puas. Maaf ya, kalau saya terkesan sangat cerewet. Tapi tidak ada motif saya kecuali amar ma’ruf nahi munkar sebatas kemampuan saya. Lewat tulisanlah saya bisa ungkapkan apa yang menjadi kegelisahan saya melihat ketidakpantasan-ketidakpantasan dalam berekonomi. Salah satunya adalah praktek riba ini.
Banyak ketidak-konsistenan yang saya perhatikan dari mereka yang secara hati berpihak pada aplikasi ekonomi Islam, tetapi praktek mereka tidak menunjukkan keberpihakan itu. Mereka yang bahkan dalam diskusi begitu retorik dan heroik membela ekonomi Islam tetapi dalam memenuhi kebutuhan pribadi, mereka dengan segala justifikasi yang mereka punya melakukan praktek riba.
Haram,haram, haram, dosa besar! Masih tidak cukupkah peringatan-peringatan itu. Tidakkah peringatan itu membangun derajad kejijikan pada riba yang sama atau bahkan melebihi dengan jijik anda kepada babi, atau alkohol sekalipun. Tulisan ini hanya ingin menyinggung komitmen anda, saya, kita. Komitmen yang menghidupkan perjuangan ekonomi Islam. Jika ternyata ada yang meremehkan komitmennya dengan melanggar keyakinan utama ini, maka sama saja anda berkhianat pada perjuangan ekonomi Islam ini. maaf kalau saya harus ucapkan ini; jika anda terus berkhianat, andalah beban dari perjuangan, yang telam membuat perjuangan menjadi lebih berat, yang membuat kemajuan perjuangan menjadi lebih lambat, karena anda! Dan kalau sayapun melakukan hal yang sama, saya pun bergelar pengkhianat pula.
Kegundahan ini sebenarnya saya sudah ungkapkan pada beberapa tulisan, hanya saja saya kurang puas. Maaf ya, kalau saya terkesan sangat cerewet. Tapi tidak ada motif saya kecuali amar ma’ruf nahi munkar sebatas kemampuan saya. Lewat tulisanlah saya bisa ungkapkan apa yang menjadi kegelisahan saya melihat ketidakpantasan-ketidakpantasan dalam berekonomi. Salah satunya adalah praktek riba ini.
Banyak ketidak-konsistenan yang saya perhatikan dari mereka yang secara hati berpihak pada aplikasi ekonomi Islam, tetapi praktek mereka tidak menunjukkan keberpihakan itu. Mereka yang bahkan dalam diskusi begitu retorik dan heroik membela ekonomi Islam tetapi dalam memenuhi kebutuhan pribadi, mereka dengan segala justifikasi yang mereka punya melakukan praktek riba.
Haram,haram, haram, dosa besar! Masih tidak cukupkah peringatan-peringatan itu. Tidakkah peringatan itu membangun derajad kejijikan pada riba yang sama atau bahkan melebihi dengan jijik anda kepada babi, atau alkohol sekalipun. Tulisan ini hanya ingin menyinggung komitmen anda, saya, kita. Komitmen yang menghidupkan perjuangan ekonomi Islam. Jika ternyata ada yang meremehkan komitmennya dengan melanggar keyakinan utama ini, maka sama saja anda berkhianat pada perjuangan ekonomi Islam ini. maaf kalau saya harus ucapkan ini; jika anda terus berkhianat, andalah beban dari perjuangan, yang telam membuat perjuangan menjadi lebih berat, yang membuat kemajuan perjuangan menjadi lebih lambat, karena anda! Dan kalau sayapun melakukan hal yang sama, saya pun bergelar pengkhianat pula.
Senin, 13 September 2010
Kalau Tidak Begini Bukan Akhir Zaman Namanya
Ada yang mau bakar Qur’an di Florida – Amerika Serikat, ada yang merobek Qur’an dan menjadikannya rokok di Queensland – Australia, ada yang menghina dan mengolok-olok Islam di jalan-jalan Amerika atau Eropa, ada yang membunuhi muslim hampir setiap hari di Gaza dan Tepi Barat – Palestina, ada berkonspirasi memeranginya dengan dalih terorisme di Irak, Afghanistan, Pakistan, Chechnya (Chenchen) dan Somalia, tetapi pada saat yang sama kaum muslimin di negeri-negeri mereka lebih banyak yang asyik di bar-bar, club-club malam, nongkrong di jalan bersama komunitas-komunitas materialisme, ribut sendiri diantara mereka untuk hal-hal yang sepele dan tidak penting, malah ada yang tega-teganya mengaku-aku nabi, inilah wajah kita ummat Islam. Ummat yang oleh Tuhan sudah dilabeli sebagai ummat terbaik (khairu ummah). Ummat yang akan menjadi saksi bagi ummat lain; kafir, nashrani, yahudi, majusi dan lain-lain, dan mendapat kehormatan karena Nabi yang akan menjadi saksi bagi mereka. Tuhan juga pernah menghibur; “janganlah kamu merasa lemah, jangan pula kamu bersedih, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi derajadnya, jika kamu orang-orang yang beriman” (QS. Ali Imran: 139).
Intinya, di luar negeri muslim, ummat ini di zalimi, dianiaya, dilecehkan sampai-sampai sudah tidak memiliki harga. Di dalam negeri mereka sendiri, mereka tidak memiliki pegangan sehingga yang ada hanya kebingungan, perseteruan, pecah-belah, kemaksiatan, saling intimidasi dan berujung pada kehinaan kolektif. Betul-betul menyedihkan. Tapi sepertinya kondisi ini baru pembukaan, baru mukaddimah dari kondisi yang jauh lebih buruk.
Saat ini ummat jauh dari tuntunan Islam, mereka lebih banyak yang berbondong-bondong meninggalkan kewajiban-kewajiban ibadah, apalagi kebiasaan sunnah. Malah kemaksiatan lambat laun menjadi benar dimata mereka, hilang rasa bersalah setelah melakukannya apalagi menyesal. Ironisnya ibadah-ibadah yang masih terpelihara lebih sebagai sebuah ritual simbolik untuk status sosial, bahkan ada yang memperlakukannya sebagai paket hiburan dan industri.
Kalau sudah begini jangan dulu tanya kekhusyukan, jangan tanya kualitas, persaudaraan, ketawadhuan, kezuhudan, kesantunan dan kesederhanaan, esensi-esensi Islam itu semakin menjadi dongeng dan legenda. Itu mengapa sampai-sampai Nabi memberikan stimulus bagi ummatnya di akhir zaman; “barang siapa yang menghidupkan sunnahku ketika banyak manusia meninggalkannya, maka ganjarannya sama seperti pahala seratus kali mati syahid.”
Mungkin diam saja tidak melakukan amal shaleh apapun sudah sangat bermakna di mata Tuhan saat ini, karena disekeliling kita, kemaksiatan sudah mengepung dan mengurung, sehingga diam untuk tidak tergoda saja sudah sebuah prestasi. Bahkan boleh jadi kita yang menentang arus sudah dipinggirkan oleh kelaziman kehidupan atau mungkin sudah dianggap gila, karena memegang kebenaran. Apalagi jika nanti biang keburukan dan kemaksiatan, dajjal durjana muncul di muka bumi. Islam betul-betul akan asing dan manusia Islam yang shaleh akan terasing, tapi beruntunglah mereka yang asing.
Dengan alasan yang sama dan analogi yang seperti ini, saya ingin meyakinkan diri sendiri dan mengajak semua pejuang ekonomi syariah, bahwa semakin hari perjuangan ini tidaklah semakin ringan meski barisan kita semakin panjang. Tantangan bukan hanya ditujukan pada kita secara kolektif tetapi juga secara pribadi. Godaan kerja yang tidak jelas kehalalannya, desakan pendapatan untuk hidup mapan, status sosial yang menuntut juga pelayanan, gaya hidup materialistik yang makin lama-makin menggoda, dan semakin banyaknya justifikasi dan toleransi pada keburukan yang mampir ke otak kita. Yakinlah, semua itu bagian dari perjuangan. Artinya perjuangan bukan hanya berupa perjuangan mewujudkan Islam dalam ekonomi, tetapi juga perjuangan menjaga akal sehat dan idealisme di dalam hati dan jiwa.
Inilah akhir zaman saudara-saudara. Siapkanlah diri kita pada segudang keanehan dan gelombang kegilaan yang mampu memutar-balikkan logika. Kuncinya adalah berpegang teguh pada Islam, percaya pada janji Tuhan dan mari saling menguatkan barisan. Selain itu, bukankah kekacauan akhir zaman ini membuat kerja-kerja shaleh kita menjadi tinggi nilai dan derajadnya di mata Tuhan? Akhir zaman adalah puncak pengkhianatan manusia pada Tuhannya, inovasi maksiat tertinggi yang dilakukan manusia. Dan di sela-selanya jika ada manusia yang bertahan dengan kepatuhan pada Tuhan, maka tak ada yang pantas mengganjar mereka kecuali syurga. Jadi jangan menyerah, kalau tidak begini bukan akhir zaman namanya. Wallahu a’lam
Gaya Hidup “Malam 1000 Bulan”
Subuh tadi saya lihat langit sangat cerah, bintang-bintang bertaburan dengan cahayanya yang selalu mempesona. Teringat saya pada memori Ramadhan yang baru lalu. Kalau pemandangan seperti ini ada di Ramadhan pasti malam tadi sudah “dituduh” sebagai lailatul qadr. Mereka pemburu malam itu, memang selalu sensitive dengan fenomena malam , khususnya pada akhir-akhir Ramadhan. Seperti yang pernah saya sampaikan dalam tulisan lalu, yang kemudian menjadi kekhawatiran saya adalah beralihnya konsentrasi mereka dari focus bermunajah kepada Allah menjadi sekedar berjaga-jaga melihat situasi malam. Eh, saya berprasangka ya?! Maaf ya, semoga apapun niat kita mengunjungi malam Ramadhan, Allah dengan kebijakannya Yang Maha Bijaksana memberikan semua keberkahan yang kita harapkan.
Tapi kali ini ada sesuatu yang ingin saya sampaikan. Jika saja definisi malam qadr itu adalah malam dimana kita memperoleh keberkahan, hidayah, kesadaran pada Tuhan, maka pada dasarnya malam seperti itu kita bisa pungut pada malam-malam di semua malam di luar Ramadhan. Tinggal saja kita mau menyempatkan diri untuk menyendiri di pojok malam, menjumpai Tuhan, mengetuk pintu-Nya dengan shalat malam. Dan kemudian dalam sujud atau setelah shalat kita bisa lantunkan semua harapan dan permintaan. Begitulah mungkin prosesi menjumpai dan mendapatkan lailatul qadr.
Hal ini saya fikirkan untuk menentramkan kegelisahan saya, yang muncul karena kekhawatiran tidak menjumpai malam itu pada Ramadhan yang baru saja berlalu. Padahal para alim, para ustadz sudah sering mengingatkan berkali-kali, bahwa malam itu memang luar biasa tapi yang terpenting adalah mereka yang menjumpai malam itu, pada hari-hari selanjutnya menjadi manusia yang lebih baik. Menjadi pribadi yang lebih bersahaja, beribadah lebih banyak dan konsentrasi yang konsisten sama baiknya pada kematian dan kehidupan. Dan boleh jadi, malam qadr yang dia sudah dapatkan, ia jaga dan pelihara disetiap malamnya, melalui pelaksanaan prosesi ibadah ketika mendapatkan malam itu pada setiap malam.
Menghidupkan malam, memakmurkan malam dengan shalat special, doa special dan air mata special, hadir hampir setiap malam. Saya jadi teringat kisah seorang sahabat yang matanya hamper-hampir buta karena seringnya matanya bengkak karena tangisan keharuan dan ketakutan pada Tuhan. Atau kisah seorang mulia yang dikisahkan sampai-sampai dipipinya seperti telah terdapat kerutan-kerutan khusus untuk aliran air matanya yang memang begitu seringnya menetes. Atau ada manusia mulia yang lain, yang demi menjaga konsentrasinya pada ibadah dan hari akhir, ia selalu membawa-bawa kain kafannya kemana saja ia pergi. Atau ada mereka yang tidak pernah lagi menyisakan uang di sakunya atau harta di rumahnya, karena uang dan hartanya sudah berada ditangan mereka yang lebih membutuhkan kecuali semua itu ada untuk makan secukupnya atau hidup sederhana.
Inilah gaya hidup baru yang mungkin harus saya atau anda hidupkan. Gaya hidup “malam 1000 bulan” mungkin begitu gaya hidup ini kita namakan. Gaya hidup yang akan merubah diri, merubah keluarga, merubah masyarakat, atau bahkan merubah bangsa, tergantung pada semasif apa manusia-manusia yang berubah. Tapi memang gaya hidup ini bukan gaya hidup yang efektif untuk dipamerkan, seperti gaya hidup trendy, populis, selebritis, materialis. Gaya hidup ini, ibadahnya saja afdhalnya disembunyikan dengan rapi, yang “dipamerkan” hanya kesahajaan, kesantunan, kesederhanaan, semua itu tidak menarik untuk dipamer-pamer. Bahkan beberapa orang akan merasa bersalah dan kotor hatinya, jika sampai ada orang lain melihat kesahajaan dirinya. Gaya hidup ini memang pantasnya hanya dipamerkan pada Tuhan.
Tertantang untuk melakukannya? Atau mengadopsinya menjadi gaya hidup untuk sisa usia kita? Mungkin ada baiknya kita list semua bentuk-bentuk amal shaleh yang mencerminkan gaya hidup itu. Dari sedekah pagi, tersenyum, mempersilakan kendaraan dibelakang mendahului, atau kendaraan di depan memotong, menolong mereka yang membutuhkan dengan semua kemampuan kita, meminjamkan pulpen, buku, uang atau kendaraan, menyisihkan pakaian layak pakai, sepeda yang tidak pernah terpakai, sebagian mainan anak yang semakin hari-semakin menggunung, atau sekedar menyebarkan email lowongan kerja pada siapa saja yang mungkin membutuhkan. Duh, anda pasti punya list yang lebih panjang. Gaya hidup “malam 1000 bulan”, menarik bukan? Apalagi kalau kita memang yakin ga dapat malam itu Ramadhan kemarin, tapi kita jalankan saja praktek-prakteknya menjadi gaya hidup. Siapa tahu, melihat kegigihan kita ini, Tuhan kasihan pada kita dan kemudian Beliau jumpakan kita dengan malam special ini pada Ramadhan nanti, meski saya tahu anda akan lebih lega jika kasihan Tuhan itu membuahkan bukan sekedar malam qadr, tapi syurga. Sssst saya juga gitu kok.
Bermimpi...
Mari bermimpi tentang Indonesia. Bermimpi tentang masa depannya. Mimpi masa depan tentang alamnya, tentang pemimpin-pemimpinnya, tentang masyarakatnya, dan tentang kedudukannya nanti di akherat. Bermimpi tentang masa depan sebenarnya adalah mencoba mendefinisikan tujuan dan arah hidup, mengidentifikasi cara dan strategi menuju kesana. Bermimpi bukanlah berangan-angan panjang dan kosong, karena inti kebaikannya ada pada semangat dan proses bermimpi, bukan pada apa yang diimpikan.
Mereka yang tak bosan-bosan dan selalu bermimpi, maknanya selalau memiliki semangat, selalu memiliki harapan yang kemudian membuat ia terjaga dari kondisi terburuk dari hidup, yaitu putus asa. Buat mereka yang telah memiliki kesadaran pada Tuhan, selalu bermimpi maknanya selalu berharap tak putus-putus pada Tuhan. Nah, ini yang menurut saya menjadi credit point di pandangan Tuhan. Mereka tidak pernah berputus asa sekalipun mereka pernah terbenam dalam lumpur dosa, menggunung dosa di punggungnya, karena ia tahu Tuhan selalu siap dengan samudera pengampunan. Bagi mereka yang belum memiliki kesadaran pada Tuhan, bermimpi menjadi media mereka untuk sampai pada hidayah dan kasih sayang Tuhan, siapa tahu nanti Tuhan akan mempertemukan hati dan mimpinya itu dengan cahaya yang lebih menentramkan lamunan dan tidurnya.
Sebagai sebuah subjek mimpi, maka Indonesia harus diberikan mimpi yang lebih baik. Dengan semangat bermimpi yang tinggi dari anak-anak bangsa. Indonesia telah ditakdirkan menjadi sebuah Negara di akhir zaman, dan Tuhan sudah takdirkan saya juga anda menjadi bagian dari takdir besar itu. Maka sudah sepantasnya kita bermimpi sesuatu yang terbaik bagi negeri ini. Saya sendiri bermimpi pada akhirnya bangsa yang dibanyakkan Tuhan manusia Islamnya di atas bumi ini menjadi kaum yang banyak pula di syurga. Bangsa ini memenuhi pojok-pojok syurga. Kalimat indahnya, memindahkan Indonesia ke syurga, itulah mimpinya.
Kini yang menjadi pertanyaan penting, bagaimana mewujudkan mimpi itu? Nah, sebelum anda atau saya sibuk berdiskusi, atau bahkan berdebat memaparkan argumentasi misi bangsa menuju syurga dengan segala dalil sekaligus trategi teknisnya. Tulisan saya ini mungkin cukup sampai disini, karena tulisan ini cuma ingin menyadarkan saya dan anda untuk bermimpi sesuatu yang baik bagi Indonesia. Jika anda merasa tidak cukup, maka tulislah bagaimana cara mewujudkan mimpi itu menurut versi yang anda punya, dan sharing dengan siapa saja yang pantas diajak berdiskusi, siapa saja yang asyik diajak bermimpi.
Langganan:
Postingan (Atom)