Selasa, 16 Maret 2010
Sepenggal Hikmah Tentang Iman
Nasehat Nabi yang mengatakan bahwa hikmah itu berserak dan ambillah dimana ia ada, baru saja saya alami. Dan sungguh hikmah yang hakikatnya merupakan nasehat ini bagi saya pribadi begitu berkesan, khususnya untuk keimanan dan hati saya. Dalam sebuah obrolan ringan dengan seorang tetangga yang berprofesi sebagai juru masak dalam sebuah acara syukuran dan silaturahim warga, beliau bercerita tentang seorang ustadz yang memberikan nasehat tentang iman.
Ustadz itu berpesan, bahwa iman itu seperti nafkah yang harus dicari. Iman memerlukan usaha, kerja keras, perjuangan bahkan membutuhkan pengorbanan-pengorbanan. Keimanan tidak dapat dimiliki hanya dengan cara mengurung diri dan berdzikir beribu-ribu kalimat kebaikan. Seperti cerita seorang shaleh terdahulu yang ingin menggapai iman dengan mengurung diri di kamarnya dan membasahi bibirnya dengan dzikir. Sesaat ada suara mencurigakan dari atas atap rumahnya, ketika ia hardik untuk mengetahui siapa yang ada diatas rumahnya, terdengar suara yang mengaku malaikat sedang mencari unta. Jawaban itu membuatnya bingung, kemudian ia tanyakan dengan nada meremehkan, “bagaimana mungkin mencari unta diatas atap rumah.” Suara diatas pun menjawab dengan nada tak kalah mengejek, “kamupun begitu, bagaimana mungkin mendapatkan iman dengan cara mengurung diri di kamar itu.”
Keimanan memang berawal dari keinsyafan, kesadaran diri atas kebutuhan pada kekuasaan Tuhan. Tetapi ia tak hanya berhenti sejauh itu. Keimanan akan sempurna ketika ia mampu bertahan dalam badai-badai ujian dan cobaan Tuhan. Dari sepenggal cerita ini saja saya sudah meraba hikmah-hikmah lanjutannya dengan sejenak memperhatikan tingkah polah manusia kebanyakan. Lihatlah manusia-manusia disekitar kita, atau setidaknya diri kita sendiri, begitu asyik dengan dunia dan akhirnya luput dari hakikat-hakikat hidup dan dunia.
Jikalau dunia ini adalah proses pembelajaran yang tak putus-putusnya, dimana di sela-selanya selalu ada sisipan ujian-ujian dari satu pembelajaran menuju pembelajaran berikutnya, maka kebanyakan manusia hanya sibuk atau fokus pada fasilitas-fasilitas dan alat-alat untuk belajar. Mereka berlomba-lomba memperindah dan bermegah-megah dalam proses pembelajaran dengan sebaik-baik alat dan fasilitas. Akibatnya mereka lalai dengan apa-apa yang diajarkan. Dan tidak heran mereka kebanyakan selalu gagal ketika masa ujian datang. Perlu diingat ujian dan cobaan hidup dari Tuhan tidak terjadwal waktunya, ia dapat dating sewaktu-waktu. Dan seperti kita sama-sama tahu, waktu ujian itu lebih singkat dari waktu yang dibutuhkan untuk pembelajaran.
Dan kemanfaatan iman layaknya seperti nafkah yang telah didapatkan, dimana dengan nafkah kita bisa membeli berbagai macam harta benda. Seperti itu pulalah iman, dengan iman kita mampu “membeli” banyak kebaikan. Dengan keimanan yang cukup, kewajiban shalat dapat dimiliki dengan jamaah dilakukan di masjid secara disiplin, zakat ditunaikan dengan tertib. Pada keimanan yang lebih melimpah, kebaikan pun dapat diperoleh dengan berlebih pula, seperti shalat malam, dhuha, rawatib, sedekah, silaturahim, amar ma’ruf nahi munkar serta sunnah-sunnah utama lainnya.
Oleh karena itu, iman menjadi modal yang tak ternilai bagi orang-orang yang berupaya menjaga dan memelihara keshalehannya. Mengetahui dimana dan bagaimana mendapatkan keimanan menjadi usaha-usaha yang diutamakan dalam keseharian. Syarat penting bagi orang-orang shaleh atau orang yang berupaya menjadi shaleh adalah memahami kapasitas dirinya. Jika mereka tahu bahwa mereka lemah pada satu jenis ujian Tuhan, maka jalan terbaik dan termudah dalam menjaga keimanannya adalah menghindari (jalan) apa-apa yang didalamnya terdapat ujian itu. Jika lemah pada ujian kekuasaan dan jabatan, maka mereka menghindarkan diri dari kekuasaan itu, begitu juga ujian-ujian seperti harta dan wanita.
Selanjutnya nasehat yang tidak kalah penting adalah ketika keimanan itu ada, seorang yang shaleh mampu mengghaibkan apa tampak dan menampakkan apa yang ghaib. Artinya dunia dengan segala isinya ini hakikatnya adalah ujian dan fitnah, ia tak lebih sebagai permainan dan senda gurau. Oleh sebab itu, jangan tenggelam dengan dunia, jangan akrab dan memasukkannya kedalam hati. Semua perhiasan dunia yang tampak itu harus “ghaib” dihadapan manusia. Perhiasan dunia itu sepatutnya tidak memiliki nilai apapun kecuali sekedar alat untuk sebanyak-banyaknya mendapatkan kasih-sayang Allah SWT.
Sementara keridhaan, kasih sayang dan cinta Tuhan yang ghaib itu harus diupayakan selalu tampak nyata di depan mata manusia. Ia menjadi destinasi kongkrit dari semua kerja-kerja manusia. Ia menjadi orientasi dan mengarahkan langkah-langkah dunia manusia. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan mata hati, dengan modal kondisi hati yang juga memadai, dan hal itu hanya didapat ketika hati dekat dengan Allah. Rongganya penuh dengan iman. Dan tidak pernah mengakrabkan diri dengan dunia beserta semua isinya yang melenakan.
Duh, Tuhan… meski hikmah ini hanya sepenggal dari sebuah obrolan yang sangat ringan, aku sadar konsekwensinya meminta hidupku dengan semua yang aku punya. Karena aku pun sadar tanpa iman, kemanusiaanku boleh jadi akan lebih hina dari binatang yang paling hina.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar