Pertimbangan moral atau keadilan dapat dengan mudah kita temukan dalam banyak tempat di dalam tubuh ilmu ekonomi. Adam Smith (untuk menyebut salah satu contoh dari sekian banyak pemikiran tentang moral di dalam ilmu ekonomi) di dalam The Theory of Moral Sentiments telah menyebut secara jelas bahwa utilitas manusia itu dipengaruhi dan tidak dapat terpisah dari utilitas manusia yang lain (konsep inilah yang akhir-akhir ini disebut sebagai social preferences atau social utility function).
Paragraf diatas ini secara umum tidak memiliki hal-hal yang perlu saya komentari karena awal pemikiran konvensional klasik dalam membangun perekonomian memang banyak bicara tentang moral. Tetapi yang mungkin “lupa” dibahas di sini adalah definisi moral seperti apa yang dimaksud oleh Adam Smith, Todi atau juga teman yang menulis ini. Saya juga tidak temukan definisi konkrit dari moral yang dimaksudkan oleh Smith, tapi dari tulisannya, bisa kita simpulkan sejauhmana ruang lingkup moral yang dimaksud.
Adam Smith (1776):
“Capitalism is based upon individual self interest and the pursuit of Monetary Gain”
“the capitalist economy is not the result of total conscious planning”
“similarly, the moral education and socialization of a human is not the result of total conscious planning. It is the result of the constant feedback of society to the actions of the individual”.
Khusus pada kalimat ketiga yang saya quote, sudah tersirat bagaimana Smith sudah mengindikasikan bawa moral yang dia maksud tidak mengandung unsur “Tuhan” di dalamnya. Hal ini sejalan dengan ulasan Spencer J Pack pada pemikiran Smith yang meyakini bahwa Smith berpendapat bahwa “Humans are largely ruled by sentiments, feelings and passions. Theology is not a source of guaranteed truth”
Selain yang di atas lebih baik kita sepakat saja bahwa moral itu abstrak!
Seringkali kita menentukan pilihan warung mana yang akan kita masuki untuk makan siang dengan mendasarkan keputusan pada banyaknya antrian pembeli yang berdiri di depan suatu warung. Inilah salah satu bukti bahwa preferensi kita tidak sepenuhnya berdiri sendiri dari preferensi orang lain. Contoh lain, pernahkah kita bisa dengan mudah makan dengan nyaman di depan teman dekat kita yang sepuluh menit sebelumnya mengaku kelaparan belum makan selama dua hari akibat dompetnya yang berisi uang makan selama sebulan hilang ? Manusia sama sekali jauh dari bayangan aliran standar dalam ilmu ekonomi yang melulu memaksimalkan utilitasnya sendiri. Manusia adalah makhluk sosial ! Titik !
Contoh yang diambil sangat tidak relevan dalam membantah bahwa ekonomi mainstream sudah mempertimbangkan moral dalam pengembangan/pembangunan teorinya. Apakah contoh itu merupakan kasus masiv dalam ekonomi yang kemudian menjadi core model ekonomi? Itu kasus-kasus minor yang kemudian tak menjadi teori sekalipun. Kalaupun ia coba diteorikan, cukup hanya sampai sejauh itu.
Kalau kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk sosial kita tidak membantah, jika kita bicara dalam ranah sosiologi. Tapi dalam wilayah ekonomi, mungkin kesimpulan itu menjadi tidak valid. Lihat saja adakah teori-teori terapan ekonomi memasukkan elemen manusia bermoral di dalamnya. Contoh yang paling vulgar, lihat teori-teori produksi, marginal utility, keuangan dan lain-lain, semuanya konsisten dengan prinsip rasionalitas Jeremy Bentham (1748-1823): maximizing pleasure minimizing pain. Sehingga wajar ketika para ekonom konvensional tidak mampu menemukan apa yang salah dalam system saat krisis keuangan/ekonomi melanda mereka hanya mengkambing hitamkan greedy (moral), mungkin mereka sadar (atau sudah sejak dulu sadar) bahwa yang tak ada dalam ekonomi mereka adalah moral.
Diawali dari Smith dan kemudian diteruskan oleh misalnya, Garry S. Becker, Vernon Smith, Daniel Kahneman, Samuel J. Bowles, Schmidt atau Matthew Rabin serta ekonom-ekonom lainnya semua menyimpulkan bahwa pertimbangan non-materi menjadi bagian tak terpisahkan dari rasionalitas yang dimiliki oleh manusia. Rabin (saya memperkirakan dia initidak lama lagi akan mendapat Nobel) contohnya mampu merumuskan model yang menggambarkan perilaku manusia untuk selalu membalas kebaikan dengan (juga) kebaikan atau kejelekan dengan (juga) kejelekan berdasarkan intention (baca=niat) yang dimiliki masing-masing individu (lihat theory of fairness-nya Rabin).
Teori-teori moral yang coba diungkit konvensional seketika mati setelah ia ditelurkan, lihat saja apa ia berkembang menjadi teori terapan ? apakah ia membentuk bangunan ekonomi ? membentuk masyarakat ekonomi ? karena boleh jadi ia tak memiliki pijakan yang kuat dalam menilai ini baik dan itu buruk. Baik dan buruk oleh ekonomi konvensional diserahkan pada pasar. Sehingga ekonomi modern yang berkembang adalah teori-teori individualistik materialisme yang tak ada sedikitpun moral ada disana. Akhirnya kita temukan bangunan ekonomi konvensional adalah bangunan materialistik, masyarakat individualistik. Kalau mau menggunakan moral, How to measure moral ? Pencabutan moral dari disiplin ekonomi ini silakan dikonfirmasi pada buku Alfred Marshall (1890) ’Principles of Economics’.
Kejujuran, untuk menyebut aspek moral yang lain, juga dijunjung tinggi dalam ilmu ekonomi. Buktinya ? Ketiga ekonom yang meraih hadiah Nobel tahun 2007 lalu adalah para ekonom yang berpendapat bahwa Pareto optimal dan alokasi sumber daya yang lebih efisien bisa didapat jika para pelaku pasar mau, mampu dan mempunyai insentif mengungkapkan apa yang mereka punya dan ketahui. Oleh karena itu perlu diciptakan mekanisme yang memberi insentif untuk itu. Dengan kata lain, insentif untuk berlaku jujur (sekedar info penelitian aktual yang saya lakukan saat ini juga berkisar di topik ini dengan memasukkan faktor kejujuran ke dalam signaling game dan kemudian mengujinya di laboratorium melalui eksperimen ekonomi). Sedikit "menentang" pendapat Todi, bahwa tanpa bantuan agama pun manusia telah mampu berpikir dan bertindak bahwa pertimbangan moral dan keadilan akan selalu membawa kebaikan.
Pertanyaannya kembali, apa yang menjadi parameter/ukuran moral, keadilan dan kebaikan itu ? ketika manusia mengakui ada kelemahan dalam sifat dan sikapnya, dalam kecenderungan dan karakteristiknya, yang built in dalam dirinya, bukankah sangat logis dalam menilai, mencipta atau apapun yang ia lakukan kelemahan itu akan juga built in dalam hasil kreasi manusia. Sama halnya ekonomi sebagai ilmu yang menjadi sistem kelola harta untuk manusia, yang coba dikreasi oleh manusia, maka tentu kelemahan manusia akan built in dalam sistem itu. Oleh sebab itu sangat beralasan tak pantas manusia menciptakan sistem yang ditujukan untuk mengatur dirinya sendiri.
Sayangnya, budaya memasukkan moral dalam analisa ekonomi ini sedikit tenggelam. Beruntunglah kemudian ada psikologi, biologi atau matematika yang mampu menyelamatkan wajah ilmu ekonomi menjadi sedikit "lebih bermoral". Temuan-temuan ini tidak akan pernah muncul jika rasionalitas yang kita pakai masih mendasarkan pada metode utilitarianisme- nya neoklasik itu. Jadi, jelas sekali bahwa kalau kita ber-moral, jujur dan secara sosial menghargai orang lain maka kesejahteraan bersama yang akan kita dapat dan bukan sebaliknya. Ilmu ekonomi telah jauh-jauh hari sebenarnya membawa kita pada kesimpulan ini.
Dalam filosofi ilmu ada dua jenis ilmu berdasarkan fungsinya: ilmu tentang pengaturan manusia dan ilmu tentang pengaturan alam raya beserta isinya. Kimia, fisika, biologi, matematika adalah ilmu pengaturan alam raya yang didapatkan dari observasi manusia pada benda-benda alam. Keilmuan itu sifatnya tetap, seperti air yang akan selalu mengalir ketempat yang lebih rendah, udara berpindah dari tekanan tinggi ketekanan rendah, atau sekedar pohon rambutan yang selalu kompak akan berbuah pada musimnya meskipun mereka tak sama waktu di tanamnya (usianya). Semua benda alam patuh pada satu hokum. Artinya hokum itu sudah built in dalam sifat kebendaannya. Yang kemudian manusia temukan hokum-hukum itu. Ada hokum fisika, kimia biologi dan lain sebagainya.
Ekonomi, psikologi, sosiologi, hokum, politik adalah ilmu-ilmu yang mengatur manusia, dan manusia berbeda dengan benda alam selain dirinya. Manusia memiliki kebebasan dalam memilih untuk bertindak, manusia tidak memiliki sifat kebendaan yang konsisten untuk patuh pada satu hokum. Oleh sebab itu ilmu yang sepatutnya menjadi pedoman mengatur dirinya adalah ilmu yang bersifat rivilasi (revelation). Ilmu dari pihak yang memang tahu betul sia pa manusia beserta karakteristik dan kecenderungannya, yaitu pihak yang menciptakannya. Dan inilah landasan mengapa di Islam ada Ekonomi Islam, politik Islam, Hukum Islam, Psikologi Islam dan lain-lain. Karena memang Islam adalah ilmu mengatur manusia. Dari sini juga sudah dapat diidentifikasi bahwa dalam islam ilmu dan agama tidak bisa didikotomikan.
Sementara F.Y. Edgeworth (1881) mengatakan dalam Mathemathical Economics bahwa yang selalu konsisten dalam diri manusia (terlepas dia berbeda agama atau tidak beragama sekalipun, berbeda suku, bahasa dsb) dalam menentukan keputusan hidupnya termasuk ekonomi adalah egoisme (lihat Rational Fool-nya Amartya Sen).
Saya khawatir yang coba diungkit oleh paragraph diatas adalah pemikiran-pemikiran ekonomi mainstream yang sudah tak ada tempat dalam ekonomi mainstream itu sendiri. Karena ia tak hadir dalam wajah ekonomi modern saat ini. Kalaupun muncul kembali, pemikiran-pemikiran itu akan menemukan kebingungan karena ekonomi modern tidak memiliki tembat bagi mereka walaupun mereka satu “atap” dalam konsep. Pemikiran moral tidak menemukan ukuran baik-buruknya, kecuali ia dikembalikan kepada interpretasi dan preferensi manusia.
Nah, bagaimana dengan peran agama ? Saya sendiri pernah melakukan penelitian kecil tentang faktor apa yang membuat manusia mau memberikan sesuatu yang dia miliki kepada orang lain. Ini saya lakukan dengan menggunakan metode eksperimen dengan subjek dan reward yang menyerupai kehidupan nyata. Salah satu kesimpulan yang saya dapat adalah religiositas tidak mampu menjadi predictor yang signifikan terhadap jumlah donasi (amal) yang diberikan oleh satu manusia kepada manusia lain. Dengan kata lain, ada factor lain di luar agama yang mampu mendorong untuk berbuat baik kepada orang lain. Meskipun hasil kesimpulan saya ini masih bisa diperdebatkan lebih jauh dengan melihat metodologi ataupun teknis eksperimen yang saya lakukan, setidaknya ini mampu memberikan gambaran (meskipun sedikit) tentang hubungan antara keberagamaan dan kebaikan sosial (charity).
Ya mungkin harus dilakukan sebuah penelitian yang besar sehingga tidak sampai pada kesimpulan yang tak sempurna.
Berkenaan dengan Islam, dengan ber-Islam secara benar, makin ber-moral dan adil-kah kita? Mungkin ya dan mungkin juga tidak. Kenapa? Ya itu tadi karena manusia adalah makhluk sosial. Bukan semata-mata agama yang jadi rujukan dia. Sekelompok orang atau identitas sosial tertentu bisa dia jadikan bahan rujukan untuk bertindak atau berperilaku.
Berkenaan dengan landasan moral dalam ajaran Islam, saya melihat bahwa rasionalitas yang menyusun ilmu ekonomi Islam masih menyimpan banyak kesulitan setidaknya dalam tataran operasional (saya tidak melihat ini dari keunggulannya dibanding ilmu ekonomi standar). Berikut beberapa hal sulit itu:
1. Konsep pembatasan hawa nafsu membawa konsekuensi pada adanya rasionalitas minimalis yang berbeda dengan prinsip maksimasi di ilmu ekonomi standar itu. Bisa saja kemudian kita berkata bahwa dalam sistem Islam bahwa perusahaan tidak akan selalu mengejar keuntungan setinggi yang dia dapat dan individu tidak terdorong untuk mencapai kesejahteraan sepanjang yang dia mampu kejar.
Prinsip-prinsip agama jika dipahami secara parsial atau sepotong-sepotong tentu akan mengantarkan pada kesimpulan pada poin pertama ini. Meskipun masalah utamanya adalah ketika ada seseorang mau membahas satu objek, sepatutnya orang tersebut tahu betul objek tersebut. Dalam hal ini, apakah penulis di atas tahu betul apa itu Islam berikut prinsip-prinsip ekonominya? Poin diatas tidak menggambarkan pemahaman itu, karena kalau hanya berkaca pada pembatasan hawa nafsu tentu kesimpulannya seperti itu. Kaidah atau prinsip “ manusia terbaik diantaramu adalah manusia yang mermanfaat bagi manusia lain” maka tentu saja baik individu maupun kolektif termasuk unit bisnis akan berusaha memaksimalisasi kemanfaatan dirinya dari sebanyak mungkin sumber daya ekonomi yang dimilikinya.
2. Pembatasan hawa nafsu berarti pembatasan keinginan dan pemenuhan atas keinginan itu sendiri. Sehingga, misalnya, pilihan teknologi untuk mengolah barang dan jasa demi memenuhi kebutuhan manusia pun jadi terbatasi seterusnya sehingga pertumbuhan ekonomi jadi lebih moderat dibanding ilmu ekonomi standar yang mengasumsikan tak terbatasnya kebutuhan dan pemenuhan atas kebutuhan manusia. Konsekuensi lain, dalam model pertumbuhan seperti ini bisa saja pengangguran dan inflasi tak terlalu kentara. Output lebih sedikit berfluktuasi, karena asumsi pembatasan kebutuhan tadi, pengangguran alami relatif sedikit dan perekonomian secara umum lebih stabil.
Untuk butir kedua ini pun penjelasannya sama dengan yang di butir pertama. Dengan kaidah yang telah disebutkan itu tentu manusia yang meyakini prinsip “kemanfaatan” akan memaksimalkan upayanya termasuk teknologi, capital dan labor (Coub Douglas model J). Hidup hemat juga tidak bermakna consumsi menjadi moderat dan agregat demand (AD) berkurang sehingga outpun menjadi minimal. Ingat setelah dia memaksimalkan pencapaian income kelebihan income setelah kebutuhan pokok hidupnya akan dimaksimalkan untuk mengoptimalkan kemanfaatan dirinya. Sisa disposable income itu akan berada di tangan mereka yang membutuhkan dan kemudian berubah menjadi demand. Sehingga boleh jadi pada kondisi ini AD akan jauh lebih besar karena mengakomodasi golongan masyarakat yang sebelumnya tidak memiliki daya beli (yang sebelumnya tidak ada dalam teori). Apalagi jika charity bisa digerakkan oleh keimanan keberagamaan sehingga bisa membantu I (investasi) dan G (govt spending). Sudah tentu dengan begitu pertumbuhan ekonomi tidak sekedar moderat bukan?
3. Peredaran uang akhirnya hanya ditentukan dengan kecepatan aktifitas pemenuhan kebutuhan manusia yang terbatas tadi. Pertanyaannya, siapa yang berhak menentukan seberapa banyak jumlah barang dan jasa yang diproduksi?
Ups, ingat kebutuhan tidak selalu bermakna statis, ia dinamis tergantung perkembangan taraf ekonomi. Dulu kebutuhan dasar kita air yang dimasik hingga mendidih kini kebutuhan dasar kita air-air mineral di dalam kemasan gallon maupun botol. Nilai-nilai kebersamaan dan kemanfaatan tadi akan membatasi simpangan deviasi yang kita kenal dengan ketimpangan atau kesenjangan ekonomi. Jumlah Uang memang kemudian hanya ditentukan oleh volume transaksi produktif barang dan jasa dan dengan dinamikanya yang tepat secara syariat, maka akhirnya secara genuine yang menentukan pertumbuhan ekonomi adalah populasi disamping preferensi.(untuk jumlah barang dan jasa).
4. Mirip dengan sistem Keynesian, ketimpangan sosial mungkin akan lebih kecil dibanding sistem ekonomi standar karena orang miskin dibantu oleh zakat dan santunan. Pertanyaannya, bagaimanakah cara menjaga agar individu selalu mempunyai insentif agar berzakat atau shodaqoh?
Well ada yang kembali miss, Zakat berbeda dengan shodaqoh, dan zakat berbeda pula dengan pajak. Zakat tidak memerlukan insentif. Karena zakat itu wajib sifatnya. Ia harus bersifat memaksa, untuk ini ia hampir sama dengan pajak. Tetapi penggunaanya ia definitif hanya untuk 8 golongan manusia dan ini yang berbeda dengan pajak. Jangan berkaca pada apa yang saat ini berlaku terkait pajak, aplikasi saat ini jauh dari bentuk idealnya.
5. Pencemaran lingkungan akibat dari eksploitasi yang berlebihan untuk pembangunan ekonomi bisa jadi sama sekali tidak akan ditemukan dalam sistem ekonomi Islam. Tetapi, sebagai pertanyaan terakhir, adakah empirical validity yang telah mampu mendukung berjalannya sistem ekonomi seperti yang saya sebut di atas?
Apakah pertanyaan empirical validity ini pernah dipertanyakan pada ekonomi konvensional kapitalisme atau konvensional sosialisme sebagai menjadi syarat kesahihan aplikasinya ketika keduanya baru dibangun? Jadi ketika ia dikomparasikan secara teori akan menjadi tidak relevan ketika faktor komparasinya dibawa keranah empiris ketika keduanya tidak memiliki stage yang sama pada ranah tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar