Siap siaga! Indonesia dalam waktu dekat akan meratifikasi tawaruq dalam industri keuangan syariahnya. Informasi ini saya dapatkan dari berbagai sumber, baik langsung dari kawan di DSN-MUI maupun tidak langsung dari kolega di Bank Indonesia. Tetapi saya masih berharap, kalaupun tawaruq diperkenankan hadir di Indonesia, tawaruq ini memiliki definisi yang berbeda, definisi khas Indonesia. Seperti definisi ekonomi Islam yang diterjemahkan lain oleh Indonesia (relatif dibandingkan negara-negara lainnya di dunia). Saya pernah tulis beberapa waktu lalu tentang Ekonomi Islam Madzhab Indonesia. Jadi seperti apa definisi tawaruq yang berbeda itu?
Sebelum membahas itu, silahkan mereview tulisan saya tentang tawaruq sebelum ini. Tawaruq atau commodity murabaha dalam dunia keuangan syariah, sederhananya adalah transaksi yang berinti pada kombinasi transaksi “jual tunai murah, beli tidak tunai mahal” (atau sebaliknya tergantung dari sisi pandang nasabah atau lembaga keuangan). Hakikatnya adalah transaksi jual-beli yang mencoba menjustifikasi kebutuhan uang (likuiditas) salah satu pihak.
Saya sudah berulang kali menyampaikan diberbagai kesempatan, bahwa transaksi yang dibenarkan oleh hukum syariat, memenuhi kaidah maqashid asy-syariah dan sejalan dengan logika kemanfaatan ekonomi, adalah transaksi keuangan yang diikuti oleh proses penciptaan/produksi barang dan jasa (transaksi produktif). Dimana profit dari sebuah transaksi muncul dan dibenarkan karena ada value added (‘iwad) yang juga muncul bagi perekonomian.
Di lain pihak transaksi tawaruq (dengan definisi yang lazim diterapkan oleh negara-negara lain seperti Timur – Tengah dan Malaysia) jika digunakan dalam industri perbankan syariah akan menggerus jumlah pembiayaan perbankan syariah ke sektor riil yang selama ini selalu kita bangga-banggakan kinerjanya. Tawaruq ini akan menekan fungsi intermediasi bank syariah. Dengan struktur ekonomi Indonesia yang 98% usahanya berada di sektor UMKM, tentu pemberlakuan tawaruq menjadi berita buruk bagi dunia usaha UMKM yang selama ini dilayani (atau masih berharap untuk dilayani) oleh bank-bank syariah.
Oleh sebab itu, jikapun tawaruq diperkenankan oleh otoritas, baik otoritas fatwa maupun otoritas industri, maka bagi saya pribadi ini adalah kebijakan yang buruk. Tapi saya juga tidak ingin meninggalkan pendapat saya sampai disini tanpa tanggung jawab dengan tidak memberikan usulan solusi, jalan tengah, atau apapun namanya. Itu mengapa, saya sudah wanti-wanti di awal, harapan saya terhadap definisi berbeda yang diaplikasikan oleh Indonesia. Apa itu?
Pertama, saya berharap kalau ia diterapkan dengan definisi yang ada, maka sebaiknya dibatasi hanya untuk keperluan manajemen likuiditas (liquidity management) lembaga keuangan syariah, khususnya bank syariah. artinya akad ini hanya digunakan untuk produk likuiditas antar sesama bank syariah atau antara bank syariah dengan Bank Indonesia sebagai otoritas. Dengan kata lain, tawaruq bukan untuk produk yang dijajakan kepada nasabah, dimana bank syariah bermaksud mengambil keuntungan dari produk jenis ini.
Kedua, barang yang dijadikan alat justifikasi transaksi adalah komoditas agro seperti CPO, kakao, kopra, dan sejenisnya yang memiliki batas usia, bukan komoditas metal seperti baja atau tembaga (meski efeknya tidak signifikan, namun sebagai preseden kepada pasar bahwa tujuan transaksi ini bukanlah untuk motif spekulatif – profit oriented). Ketiga, konsekwensi dari hal dua poin tadi adalah pihak otoritas tidak boleh mengklasifikasikan produk ini sebagai pembiayaan.
Namun begitu, meski ada pembatasan yang ketat saya tetap “dag-dig-dug” dengan langkah-langkah “akomodatif” seperti ini. Saya khawatir ini dijadikan preseden untuk upaya lebih jauh untuk menarik dunia keuangan syariah dari jati diri yang sebenarnya. Jikapun semua pihak di otoritas fatwa dan otoritas industri memahami betul latar belakang transaksi ini diperkenankan keberadaannya di Indonesia, tidak dapat dijamin pihak-pihak diluar mereka memiliki pemahaman yang sama, memahami alasan, latar belakang, maksud dan tujuan.
Oleh sebab itu, saya berpendapat praktek-praktek seperti ini (tawaruq, commodity murabaha, termasuk juga jual-beli emas secara tidak tunai dan qardh untuk komersil) atau produk lain sejenis nantinya yang merupakan hasil dari langkah akomodatif (darurat?), tidak boleh dijadikan landasan, sandaran, referensi, atau dasar bagi pengembangan transaksi (produk) turunannya. Semoga Allah SWT berikan petunjuk dan maafkan semua kekhilafan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar