Sudah menjadi kemahfuman, ditengah kondisi pertumbuhan yang tinggi di fase-fase awal pengembangan perbankan syariah, “konflik” strategi pengembangan akan muncul diantara pihak-pihak yang berkepentingan. Namun yang paling menonjol tentu saja adalah tarik-menarik antara kepentingan industri (pelaku pasar) dengan kepentingan otoritas (regulator). Dan inilah yang juga dirasakan dalam industri perbankan syariah Indonesia. Pertentangan kepentingan bank-bank syariah sebagai pelaku pasar dengan kepentingan Bank Indonesia sebagai regulator.
Konflik kepentingan pelaku pasar dan otoritas memang lumrah dan wajar, namun jangan sampai mengganggu kelajuan optimal pengembangan industri. Faktor penyebab yang paling pentik dari konflik ini adalah orientasi atau perspektif yang berbeda dari keduanya. Pelaku pasar sebagai entitas usaha komersial tentu melakukan bisnisnya dengan pendekatan yang berorientasi profit. Karena hal itulah yang memelihara aktifitas usaha masih terus dapat berlangsung. Sementara, otoritas industri melaksanakan tugasnya bersandar pada orientasi pondasi industri yang kuat, sistem yang sehat dan kemanfaatan maksimal bagi masyarakat atau perekonomian nasional.
Dipihak pelaku industri, seringkali orientasi profit mengabaikan tujuan pencapaian pondasi dan sistem kuat sekaligus sehat, apalagi kemanfaatan industri bagi perekonomian nasional. Kadangkala argumentasi yang sederhana dijadikan alasan, bahwa selama mereka melayani kebutuhan masyarakat maka pada saat itu juga mereka sudah memberikan manfaat bagi ekonomi dan masyarakat. Sedangkan dipihak otoritas, tak jarang orientasi pondasi dan sistem yang sehat-kuat serta kemanfaatan ekonomi yang optimal mengabaikan kebutuhan lingkungan kondusif dari pihak industri.
Sudah sering saya mendengar pernyataan kritis yang sebenarnya mempertanyakan peran otoritas dalam mengakselerasi perkembangan industri khususnya pada aspek pengembangan produk. Bahkan pada perspektif lain, pertanyaannya sampai meragukan konsistensi dukungan otoritas industri bagi pengembangan pasar. Di satu sisi otoritas industri terkesan menghalang-halangi perkembangan produk melalui mekanisme screening ketat untuk produk baru yang inovatif. Sedangkan pada sisi yang lain, otoritas mendorong atau bahkan “memaksa” industri untuk berkembang lebih kencang.
Disamping itu, tentu kita juga menyadari bahwa aspek lain diluar perbedaan perspektif dan orientasi ini juga punya peran yang tidak bisa dikatakan kecil, seperti aspek kompetensi SDM yang sampai saat ini masih diakui belum memadai. Selain itu, interaksi dengan industri negara lain atau industri global yang tidak memiliki pendekatan dan paradigma pengembangan yang sama dengan Indonesia, tentu akan menjadi salah satu fatkor yang penting pula. Ada perbedaan intensitas interaksi di tingkat industri dan di tingkat otoritas.
Interaksi yang lebih cair dikalangan industri antara pelaku nasional dengan global, membuat pendekatan dan strategi pengembangan produk misalnya, akan membuat konflik orientasi antara pelaku industri dengan otoritas nasional berpotensi semakin besar. Sementara interaksi antar otoritas relatif tidak secair di tingkat industri, hal ini tentu wajar mengingat setiap otoritas memiliki pertimbangan-pertimbangan kebijakan yang berbeda terkait dengan kondisi tingkat perekonomian, struktur industri dan ekonomi dan aspek hukum formal serta perundang-undangan yang berbeda, atau perbedaan pemahaman terhadap interpretasi muamalah syariah yang memang nature-nya sangat bervariatif antar negara (jurisdiksi) sekaligus otoritas.
Namun jika kondisi ini dibiarkan terus, maka konflik kepentingan ini tidak bagus untuk perkembangan industri pada masa yang akan datang. Akan muncul persepsi-persepsi yang tidak pada tempatnya, argumentasi yang picik dan kerdil terhadap apa yang saat ini sedang berlangsung. Salah satu argumentasi semacam ini yang muncul di kalangan industri adalah argumentasi yang mengkritisi otoritas, bahwa ketika otoritas tidak mengizinkan satu produk perbankan syariah, itu sama saja otoritas membiarkan masyarakat tenggelam dalam kemaksiatan produk-produk perbankan konvensional. Dan nanti di akhirat adalah menjadi beban otoritas dosa-dosa itu. Otoritas yang harus bertanggung jawab mengapa masyarakat asyik dengan kemaksiatan. Kerdil dan picik!
Mengapa? Ya karena argumentasi itu tidak cerdas, tidak intelek. Bagaimana mungkin menisbahkan judgement seperti itu dengan mengabaikan keshahihan produk. Jika produk tersebut dinilai, baik secara prudential banking maupun fikih, identik dengan produk konvensional, bagaimana mungkin otoritas memperkenankan produk yang substansinya sama dengan produk maksiat dikonsumsi oleh masyarakat banyak. Bukankah otoritas sebagai lembaga Hisbah (pengawas pasar) secara syariat bertugas menjaga maqashid asy syariah, menjaga kepentingan masyarakat, terlebih lagi jika masyarakat umumnya masih awam, belum mampu membedakan mana yang syariah mana yang tidak syariah.
Apakah salah seseorang jika ia menghalangi orang yang ingin memberikan minuman alkohol bercap halal bagi mereka yang kehausan. Memang substansi masalah ini terletak pada perbedaan interpretasi dan persepsi terhadap muamalah syariah, tetapi jika argumentasinya seperti diatas, maka argumentasi itu menjadi terkesan berlebih-lebihan, lebay!
Nah, agar hal ini tidak berlarut, mitigasi yang mungkin tepat dari kondisi ini adalah penyamaan persepsi terhadap visi pengembangan industri, memahami destinasi dari semua upaya pengembangan dan memahami koridor interpretasi dari muamalah syariah bagi pengembangan perbankan syariah. Selama pemahaman tersebut masih memiliki deviasi yang besar, maka sulit mendapatkan kondisi tumbuh yang kondusif bagi industri. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar