Dalam kebingungan menyikapi begitu banyaknya pilihan-pilihan dalam hidup, baik pilihan pada jalan, cara maupun sekedar menetapkan harapan masa depan, saya pun kemudian bingung bangaimana keluar dari kebingungan ini. Tetapi secara tiba-tiba muncul dalam benak saya pertanyaan yang pendek tetapi kemudian membantu saya menunjukkan arah pada semua jawaban yang saya butuhkan.
Pertanyaan itu adalah “lantas apa?”. Kalau saya saat ini sedang bingung pada semua aspek dan dimensi hidup dan kehidupan, “lantas apa?”. Pertanyaan lantas apa ini seakan menantang saya, memangnya kenapa kalau saya bingung, masalahkah? Bukankah kebingungan selalu hadir pada setiap jeda-jeda hidup dimana kejemuan menjadi sebuah hal yang lumrah dalam kehidupan yang penuh dengan dinamika dan perseteruan antara kenyataan dan harapan.
Baiklah kalau begitu, kalau memang bingung tidak memiliki jawaban, kenapa saya tidak cari arah baru yang membuat saya tidak bingung. Intinya mencari harapan baru, karena memang harapanlah yang menjadi semangat inti dari semua manusia dalam menjalani hidup mereka masing-masing. Harapanlah yang mampu membuat mereka bertahan pada setiap badai yang datang di setiap episode hidup mereka.
Oleh sebab itu, menetapkan harapan yang tepat menjadi tantangan yang paling krusial dari langkah saya selanjutnya. Tetapi sebelum hal itu saya lakukan tergelitik hati saya untuk mengevaluasi semua harapan-harapan yang pernah saya jadikan semangat hidup menggunakan pertanyaan sederhana “lantas apa” tadi. Karena boleh jadi saya bisa tentukan harapan-harapan masa depan yang selama ini selalu susah payah saya pilih.
Dahulu ketika SMP dan SMA harapan saya tidak muluk-muluk, hanya ingin dapat kuliah di perguruan tinggi yang baik, ternyata memang saya dapatkan, bahkan saya dapat kuliah ketingkat yang lebih tinggi. Lantas apa? Saya berharap setelahnya saya dapat kerja, dan memang saya dapat kerja dengan penghasilan yang cukup. Lantas apa? Saya berharap menikah dengan wanita yang baik, saya pun dapatkan. Lantas apa? Saya mengidamkan anak-anak yang sehat dan lucu, tak kurang itu saya dapatkan. Lantas apa?
Sampai disini saya belum tentukan harapan baru, tetapi dengan pertanyaan “lantas apa” saya tergoda melanjutkan tantangan pertanyaan itu. Yang kemudian terbayang oleh saya harapan memiliki rumah, karena saat ini saya masih menyewa rumah. Kalau nanti keinginan itu terwujud, lantas apa? Saya ingin dirikan sekolah dhuafa, lantas apa? Saya ingin sebanyak mungkin membahagiakan orang lain, lantas apa? Saya ingin masa tua yang tak surut perjuangannya, lantas apa? Saya ingin kematian yang istimewa, mati syahid, lantas apa? Saya ingin akherat Syurga...
Mentok! Pertanyaan “lantas apa” setelah harapan syurga menjadi tidak relevan untuk dilanjutkan, karena cerita hidupku sudah sampai ujungnya. Kini aku tahu di muara sana harapan atau bahkan obsesi puncakku adalah syurga. Jika memang syurga yang di ujungnya kenapa tidak dari sekarang aku siapkan itu semua. Karena syurga tidak dapat diwujudkan begitu saja. Untuk syurga, tidak bisa saat ini berkehendak besok mati dapat syurga, syurga adalah hasil dari rekam jejak hidup. Sehingga jika memang ujung-ujungnya syurga kenapa ia tidak dijadikan harapan sejak sekarang. Artinya harapan-harapan masa depan yang nanti akan saya tentukan, adalah harapan bayangan dari harapan yang sebenarnya yaitu syurga. Ingin punya rumah, untuk apa? Untuk menjaga dan memeilhara amanah Tuhan, anak dan istri, sebagai tempat terkecil dari pusat-pusat dakwah kebaikan dalam rangka mendapatkan syurga. Begitu seterusnya.
Kembali pada harapan apa yang ingin saya tentukan untuk keluar dari kebingungan, merujuk pada gelitik hati yang baru saja memenuhi benak saya, maka saya tentukan harapan tunggal yang akan saya gunakan kapan saja, dimana saja, dan pada kebingungan apa saja, yaitu harapan meraih SYURGA. Setidaknya kini jelas dihadapanku, jalan-jalan kebingungan hanyalah perusak konsentrasi dari upaya mewujudkan harapan tunggal dan puncak saya ini. Jalan menuju harapan itu jelas arahnya, bentuk dan caranya. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar