Rabu, 24 Maret 2010

Hanya Berbeda Definisi Berbeda Bentuk Industri


Jangan remehkan definisi. Ini pelajaran penting dari perbedaan yang mendasar dari aplikasi keuangan syariah antara Indonesia dan negara lain. Banyak orang yang bertanya mengapa bay’ al innah dan bay’ al dayn di Malaysia boleh, mengapa commodity murabaha di Timur Tengah diperkenankan, sementara di Indonesia itu tidak boleh. Salah satu alasannya karena kita berbeda definisi tentang apa itu sektor riil. Implikasinya tentu akan berpengaruh pada definisi bentuk-bentuk jual-beli yang diperkenankan.

Paradigma yang digunakan oleh Indonesia dalam pengembangan keuangan syariah adalah keuangan syariah yang produk-produknya terkait erat dengan sektor riil. Dan definisi sektor riil yang dimaksud adalah sektor yang mengkreasi atau memproduksi barang atau jasa baru, dimana dalam prosesnya akan tercipta transaksi produktif yang memanfaatkan sumberdaya baik mempekerjakan SDM dan atau memberdayakan/mengolah SDA. Sementara kebanyakan negara diluar sana sektor riil diartikan sebatas ada transaksi jual-beli sebuah barang. Tidak peduli barang tersebut hanya sebagai justifikasi atau benchmark dari transaksi yang hakikat dan motivasinya adalah credit transaction.

Disiplin terhadap sebuah definisi ternyata akan berpengaruh signifikan. Dan seringkali menggunakan parameter definisi ini saja, maka dengan sangat mudah kita bisa mengklasifikasikan produk keuangan syariah itu masih konsisten dengan semangat ekonomi syariah atau tidak. Karena saya sangat yakin konsistensi terhadap semangat ekonomi syariah yang ingin meminimalisasi konsentrasi atau penumpukan moneter sekaligus mengoptimalkan dukungan terhadap perekonomian (sektor riil), akan menentukan wajah ekonomi syariah yang memang lebih mempesona.

Tulisan ini sekedar respon ringan terhadap semangat pengembangan keuangan syariah yang cenderung meninggalkan prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam demi mengejar size industri dengan lebih meng-entertain kemauan pasar. Padahal notabene pasar dipenuhi oleh konsumen yang masih belum well educated terhadap nilai-nilai Islam. Otoritas dan pelaku pasar harus hati-hati menyikapi karakter pasar seperti ini. semangat ekonomi Islam dengan nilai dan prinsip yang telah digariskan Islam harus secara konsisten dipegang. Idealisme ini terlalu murah untuk digadaikan, atau terlalu mahal nanti harga yang harus kita bayarkan akibat idealisme itu kita kesampingkan.

3 komentar:

setiawannomic mengatakan...

bukan karena berbeda pengakuan pada mazhab tertentu ustadz?? memang ada sebagian ulama yang membolehkan bay al inah dan ada yang mengharamkannya karena ada unsur ta'alluq dlm transaksi tsb.

setiawannomic mengatakan...

bukan karena berbeda pengakuan pada mazhab tertentu ustadz?? memang ada sebagian ulama yang membolehkan bay al inah dan ada yang mengharamkannya karena ada unsur ta'alluq dlm transaksi tsb.

PENGURUS mengatakan...

Akhi Setiawan, saya masih mempercayai alat saring aplikasi ekonomi, yaitu "analisa akibat", maksudnya ketika dua hukum berkesimpulan berbeda, maka untuk memastikan mana yang lebih dekat dengan semangat dan esensi ekonomi Islam, dapat dianalisa menggunakan pendekatan ekonomi makro (bukan hanya pendekatan fikih). misalnya bay' Al Innah; ternyata akibat makro dari penggunaan akad ini akan membuat implikasi makro yang sama dengan akad kredit konvensional (riba) yaitu creating money atau no impact to the real sector...