Minggu, 02 Mei 2010
Buruh dan Ekonomi Islam
Tanggal 1 Mei menjadi hari pesta pora kalangan buruh, dan selalunya Buruh memiliki persepsi sebagai golongan pekerja terbawah dalam piramida pekerja. Masalah utama mereka selama ini klasik saja, yaitu upah yang belum memberikan taraf kehidupan yang layak bagi mereka dan keluarganya. Lintasan singkat yang ada di benak saya begitu sederhana; kalau saja masyarakat kaya mau jujur dan shaleh terhadap harta mereka, kalau saja harta zakat terkumpul optimal dan terdistribusikan secara maksimal, kalau saja pemimpin-pemimpin Negara ini lebih shaleh dan concern dengan kondisi masyarakat dhuafa, mungkin wajah perburuhan ini memiliki kehormatan dan harga diri yang telah hilang sejak dulu.
Mari berimajinasi. Jikalau zakat selalu tersedia untuk mereka yang dhuafa, (dimana jumlah zakat senilai dengan tingkat kebutuhan dasar keluarga dhuafa) baik karena produktifitas yang terbatas maupun karena kesempatan kerja yang tidak ada, bukankah zakat akan menjadi benchmark bagi pilihan-pilihan nafkah/income bagi mereka yang berada pada segmen masyarakat dhuafa. Khusus untuk buruh, zakat akan menjadi “harga plafon” bagi kerja-kerja mereka. Sederhananya jika upah buruh lebih rendah dari distribusi zakat, para buruh akan punya pilihan lain untuk tetap bekerja sebagai pekerja social Negara dengan upah berupa zakat.
Implikasinya, dunia usaha tidak akan sewenang-wenang dalam menetapkan upah bagi pegawai terendah mereka, disamping karena pengusaha-pengusahanya yang shaleh, terjaga oleh regulasi pemerintah yang shaleh, tetapi juga karena ada zakat yang membuat penawaran kerja mereka harus memiliki daya saing harga (upah) dbandingkan zakat. Sehingga betul-betul zakat menjadi stimulus yang menyeluruh, bukan hanya menstimulus kondisi masyarakat dhuafa, tetapi juga menjadi stimulus system ekonomi dan social menuju pada level yang lebih baik, lebih mapan, dan lebih mensejahterakan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar