Tuhan sudah perjalankan saya kebanyak negeri, dari bumi yang telah dihamparkan ini. Saya sudah hamper menapaki seluruh pelosok tanah air, menginjakkan kami disemua datarannya, melihat dan berinteraksi dengan manusianya, merasakan dan menikmati budayanya. Begitu juga negeri-negeri yang notabene bukan negara saya, negeri seberang yang memiliki bahasa yang berbeda, budaya yang sangat tak sama, lingkungan alam yang asing baik geografi maupun iklimnya. Tuhan berikan saya kesempatan. Atau mungkin tepatnya, Tuhan sengaja memperjalankan saya ke negeri-negeri tertentu, karena ingin mengajarkan sesuatu dimana kesimpulannya nanti menjadi hikmah yang krusial untuk saya jadikan referensi dalam pengambilan keputusan-keputusan hidup, baik untuk diri saya maupun untuk orang lain.
Terkesan sedikit narsis ya kalimat saya diatas. Seakan-akan saya ini manusia penting yang punya misi penting nan rahasia untuk merubah wajah dunia. Bahkan seolah-olah ingin menempatkan diri sendiri ada di tengah episentrum alam semesta, the center of the universe. Tetapi bukan itu maksud saya, saya hanya ingin menggambarkan betapa saya percaya bahwa scenario baik Tuhan telah ditetapkan atas semua manusia, scenario atas diri saya, pada anda dan bagi semua manusia. Sehingga, apa-apa yang terjadi pada semua manusia termasuk saya, saya yakini sebagai peristiwa by design yang memiliki kedalaman hikmah dan maksud tertentu.
Termasuk dalam hal ini, takdir yang membuat saya dapat mengunjungi pelosok-pelosok bumi. Melihat banyak hal, mencermatinya dari berbagai sudut pandang, dan kemudian berusaha memahami berbagai hikmah untuk mendapatkan kearifan. Mungkin anda disana juga memiliki pengalaman yang jauh lebih banyak, mengunjungi berbagai tempat dengan skala yang lebih luas. Apa yang kita dapatkan dari perjalanan itu? Apakah sekedar meninggalkan jejak saja atau menambah lembar-lembar foto kenangan yang kemudian waktu-waktu setelahnya hanya cukup untuk dikenang dan dipandang?
Mencermati manusia dan merenungkan tingkah laku mereka pada berbagai peristiwa berdasarkan kondisi lingkungan dan emosi yang mereka punya, menjadi renungan yang menarik untu selalu dilakukan. Terlebih lagi jika mampu berempati dengan imajinasi seandainya kita menjadi mereka, apa yang akan kita lakukan dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi pada mereka. Setiap manusia memiliki latar belakang, kondisi lingkungan, pengetahuan dan kemampuannya sendiri-sendiri. Kadar pada kuantitas serta kualitas dari itu semua setiap manusia juga berbeda. Sehingga sepatutnya hal itu membuat kita lebih arif menyikapi tingkah laku manusia lain, membuat wilayah pemakluman yang ada di hati kita semakin luas.
Meski pada hal-hal tertentu, seperti ketentuan agama pada ibadah-ibadah agungnya tidak dapat menggunakan akomodasi dan toleransi yang sama. Ketentuan agama adalah garis baku dari langit, pengabaiannya bukan sekedar berimplikasi horizontal sesame manusia tetapi juga berimplikasi vertical. Oleh sebab itu, pemaklumannya tidak hanya bersandar pada kearifan manusia, ia harus berpedoman pada garis-garis hokum yang telah ditetapkan. Dan itu wilayah prerogative Tuhan yang sifatnya mutlak. Yang saya diskusikan di atas terbatas pada interaksi horizontal, interaksi sesama manusia. Yang saya bicarakan adalah usaha untuk mengasah akhlak, meningkatkan kualitasnya, dan dengannya waktu-waktu yang kita punya, tenaga serta pengetahuan juga keahlian yang kita miliki semaksimal mungkin memberikan manfaat bukan hanya bagi mereka yang membutuhkan tetapi bagi kita sendiri.
Lihatlah di sudut-sudut kota di pelosok negeri ini, atau bahkan di sudut-sudut bumi yang lain, masih banyak manusia yang terduduk lesu dengan tatapan kosong, tidak memiliki apa-apa ditangannya dan tak tersisa nilai-nilai di dalam hatinya. Jangan tanya sebab apalagi menghardiknya jika mereka tak mengenal Tuhan. Ini mungkin hikmah sebagian manusia dilebihkan kemampuannya atas sebagian yang lain. Kita diminta untuk berinteraksi dan berkontribusi. Keshalehan dan kecerdasan tidak akan berarti apa-apa jika ia tidak berubah menjadi perbuatan, menjadi manfaat bagi diri juga ummat.
Ya, sekali lagi, mengunjungi berbagai tempat memberikan cerita dan renungan yang berbeda, tetapi semua tempat selalu memberikan pelajaran yang berharga, khususnya pelajaran tentang manusia, pelajaran yang dapat membuat diri kita menjadi manusia yang lebih baik. Menjadi manusia yang bekerja lebih keras, berfikir lebih dalam, berkontribusi lebih banyak, memberikan kemanfaatan lebih luas. Dan kemudian mengajak sebanyak mungkin manusia lain untuk bergabung melakukan kebaikan-kebaikan bersama. Sehingga kebaikan nantinya bukan lagi gerakan sporadic dari pribadi-pribadi yang terpisah, tetapi menjadi gelombang kebaikan yang “membasahi” setiap jengkal bumi dan hati.
Saat menulis renungan ini, sesekali saya memandangi pegunungan bersalju kota Teheran dari jendela kamar, dan sedikit lama diam mengenang apa yang telah saya lalui sebelum ini. Saya teringat perjalanan sebelumnya yang pernah saya lakukan. Mengingat pantai Jeddah dengan air mancur raksasanya, kemegahan gedung-gedung pencakar langit dan hiruk-pikuk manusia metropolis multiras di kota Dubai, atau kesahajaan kota Abu Dhabi yang Nampak hijau dengan hutan-hutan buatannya, kekeluargaan penduduk Karachi, keramahan saudara-saudara di Bahrain, keceriaan masyarakat Maldives dengan samudera yang mengelilingi mereka, semangat penduduk Makkah dan keteduhan Masjidil Haram, senyum ramah masyarakat Madinah dan kesyahduan Raudhah Masjid Nabawi.
Tetapi ingatan saya terhenti ketika sampai pada kenangan di pedalaman sumatera barat, di kampung Parabek dekat Bukittinggi, dimana saya berkesempatan menunaikan shalat Jum’at di salah satu masjid tertua di sana (didirikan 1902). Saya ingat pesan khatib jum’at, yang bercerita tentang seseorang yang selalu tenggelam jika ia terjatuh di telaga, baik yang telaga yang cukup dalam maupun telaga yang dangkal. Masalah orang itu bukan karena ia tak bisa berenang tetapi karena setiap kali jatuh ia tak pernah mau bangkit, berusaha untuk keluar dari air. Pesan sederhana itu menyadarkan saya pada banyak hal, khususnya kesalah-kesalahan yang selalu berulang saya lakukan. Mungkin cerita ini juga tepat untuk anda.
Mari dalami sebanyak mungkin hikmah, kumpulkan berbagai macam kearifan. Dan jadikan itu semua sebagai air nasehat yang mampu membersihkan hati, menghaluskan budi pekerti, mencegah nurani menjadi batu dan mati. Mari berkumpul dan saling menjaga diri, saling berdoa, semoga Tuhan ampuni kesalahan-kekhilafan dan mudahkan jalan ini bagi kita semua, dengan kasih-sayang-Nya yang tiada batas luasnya dan besarnya lebih dari alam semesta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar