Jumat, 31 Oktober 2008

Selamat Datang Krisis!

Ada sebagian orang yang khawatir kalau krisis keuangan ini akan menjerumuskan perekonomian Indonesia ke jurang kehancuran yang lebih dalam dari yang pernah kita rasakan dan lihat tahun 1997-1998. Seperti apa logika kekhawatiran itu? Logikanya adalah kehancuran sector keuangan Amerika, Eropa dan juga Jepang, akan pula mengacaukan sector riil mereka akibat tamparan beruntun berupa keketatan likuiditas yang membuat capital produksi langka dan pemberhentian kerja secara massif diawali oleh perusahaan-perusahaan keuangan. Kondisi tersebut tentu akan menurunkan daya beli masyarakat cukup signifikan. Terlebih lagi jika masyarakat secara kolektif cenderung menahan uang tunainya atas dalih berjaga-jaga mengantisipasi portfolio-portfolio investasi yang saat ini sedang tidak menarik untuk diakrabi.

Sebagai negara tujuan ekspor terbesar dari produk Indonesia (akumulasi Amerika, Eropa dan Jepang), tentu penurunan daya beli masyarakat Amerika, Eropa dan Jepang akan membuat goyangan yang cukup keras bagi trade balance Indonesia. Apalagi jika sector keuangan Indonesia juga ikut guncang mengingat pasar keuangan sewajarnya tidak memiliki sekat yang mampu mengisolasi krisis ada di pasar keuangan negara tertentu. Jika perkiraan ini terjadi, maka lumrahlah kekhawatiran membuat banyak orang sedikit mengurut dada menekan degub jantungnya yang semakin keras.

Terbayang kembali masa-masa sulit 1997-1998; antrian sembako, PHK dimana-mana, kriminalitas, social unrest, penjarahan, dan pemandangan menakutkan lainnya. Akankah pemandangan itu kembali terjadi? Tidak cukupkah informasi positif dari ekonomi domestik seperti; cadangan devisa kita jauh lebih besar, perbankan kita jauh dari masalah (NPF/NPL kecil dengan FDR/LDR tinggi), sektor riil kita sedang berputar dengan akselerasi yang baik, menepis kekhawatiran? Meskipun kekhawatiran lain adalah keakurasian kondisi perbankan, karena sinergi pasar keuangan global, diperkirakan tidak ada satu pasar keuangan pun di dunia ini yang telah berjalan dan mapan dapat lolos dari badai krisis keuangan.

Melihat kondisi perekonomian Indonesia saat ini, sepatutnya kita tidak perlu khawatir dengan krisis keuangan. Boleh jadi saat ini kekuatan Indonesia tidak lagi tergantung pada data-data ekonomi tetapi lebih pada kekuatan kebersamaan dalam respon prilaku ekonomi. Percaya diri pada kondisi ekonomi domestik dengan beralih dan konsistem menggunakan produk-produk dalam negeri dan meninggalkan aktifitas transaksi yang berakhir pada penggelembungan semu ekonomi (aktifitas interest base & spekulatif), sedikit banyak akan meningkatkan daya tahan ekonomi nasional. Terlebih lagi jika di sektor produksi, pemerintah dan dunia usaha maksimal menguatkan sektor riil dengan optimalisasi potensi SDA dan SDM dan kebijakan fiskal-moneter yang domestically conducive.

Perbankan, baik Syariah maupun konvensional harus secara maksimal menemukan terobosan dan peluang baru pada sector-sektor usaha domestic. Dengan besarnya potensi pasar, melimpahnya sumber daya alam dan manusia, diperkirakan perekonomian Indonesia belumlah sampai pada angka potensialnya. Sehingga dalam situasi krisis, penguatan sector riil bukan hanya menjadi perisai bagi perekonomian nasional dari infeksi krisis eksternal tetapi juga momentum membangkitkan kekuatan perekonomian Indonesia pada skala yang sebenarnya.

Di samping itu, kalaupun krisis itu menjelma kembali di tanah air tercinta ini, anggaplah sebuah pembelajaran kembali. Mungkin krisis kemarin tidak sepenuhnya menyadarkan kita pada kekacauan system dan prilaku serakah yang merusak. Badai krisis manghantam Indonesia itu sudah pasti, tetapi berapa lama dan berapa dalam implikasinya, kini tergantung pada upaya kita bersama. Semoga Allah SWT berikan yang terbaik. Wallahu a’lam.

6 komentar:

nRn mengatakan...

assalamualaikum pak aLi,,

saya pserta acra FOSSEI "mahasiswa menentang krisis"

krn td pak aLi cpt plg
klo blh saya mw nanya dsini aj..

td kn dibilang klw sbenarnya financial sector gk berkontribusi apa2 terhadap pertumbuhan ekonomi trs bpk blg qta g usa bljr pasar modal krn dsana sgt rawan judi..

so, knp g ditutup aj BEI?
kr2 bisa g tu.. kan dia eyangnya krisis..

trs pak ali
mmg nya orang BI blm pernah baca ya tentang indahnya ekonomi islam yang penuh keadilan..?
koq ketinggalan si sama yang non muslim di inggris?

jika salah kata saya mohon maaf..
tlg dijawab ya pak rasa penasaran saya ini..

Jazakumullah khairan katsiran..

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...

tidak ingin mendahului pemilik blog dalam menjawab...

sekadar ingin mengomentari...pernyataan 'kita gak usah belajar pasar modal"

wah ...konteksnya gimana nih?...yg jadi pertanyaan saya gimana tuh instrumen sukuk yg diterbitkan pemerintah yg sudah dihalalkan oleh MUI dijual sebelum jatuh tempo dipasar derivatnya...ketika tidak ada institusi pasar modal ( yg idealnya bisa memantau keabsahan transaksi jual belinya)...maka bayangan saya instrumen sukuk itu, ketika pasar modal gak ada...sukuk itu diperjualbelikan dibawah meja dong nantinya...?
persis kasus Saham Bakrie yg digadai dibawah meja kemarin...

saya bertanya ini bukan berarti saya pro model perjudian di pasar modal lho...sekadar nanya aja...

PENGURUS mengatakan...

Wa'alaikumussalam...

Maafkan sebelumnya saya kemarin harus keluar cepat dari acara seminar karena mengejar pesawat ke Bandara. Saya diundang world bank untuk presentasi pengalaman BI dalam pengembangan Islamic Microfinance di Indonesia dalam Seminar Islamic Microfinance, Dubai 3 Nov 2008.

Jadi saat ini saya pun masih di Dubai. Mudah-mudahan forum ini bisa saling sharing pengetahuan.

Memang pernyataan saya pada seminar Fossei sepintas akan kontraproduktif jika tidak dijelaskan lebih jauh.

Yang saya maksud dengan tidak care dengan pasar modal, karena kini pasar modal lebih didominasi oleh aktifitas spekulasi di pasar sekunder. Perlu diketahui bahwa transaksi di bursa pada dasarnya ada dua jenis transaksi; yaitu transaksi pasar sekunder dan pasar primer.

keberadaan bursa tentu saja penting selama menjaga kemanfaatannya mempertemukan pemodal dengan pengusaha di pasar primer. Mereka inilah yang disebut dengan genuine investor, dimana motivasi mereka adalah bagi hasil (deviden) dari hasil investasi yang dia tanam dalam satu perusahaan.

sementara pasar sekunder belakangan lebih melayani kepentingan spekulator yang termotivasi oleh spread harga.

oleh sebab itu perlu pengaturan yang lebih baik agar transaksi lebih melayani kebutuhan manajemen likuiditas dari pemilik modal daripada capital gain seperti yang saat ini tengah berlangsung. kebijakannya bisa berupa pajak atau masa tenor transaksi.

Demikian, penjelasan sederhana saya semoga bermanfaat. silakan jika ada rekan-rekan yang ingin memberikan sharing.

Unknown mengatakan...

wah ...bisa dishare juga tuh hasil presentasinya di World bank tentang pengembangan Microfinance...

kira2 permasalahan apa ya Pak Ali...yg terkait dgn fakta dan arah kedepan mengenai microfinance syariah di Indonesia?...sedang mencari ide buat penelitian tesis nih soalnya...

kemudian terkait ttg kondisi pasar modal terutama di Indonesia yg cenderung mengarah kepada transaksi untung2an...memang secara sistemik kondisi yg ada saat ini adalah membuat siapapun yg terjun kedalamnya terdorong untuk berspekulasi...gambaran sederhananya kurang lebih begini :

Institusi penyelenggara pasar modal dlm hal ini BEI mendapat pendapatan salah satunya dari fee adanya transaksi baik beli maupun jual saham...demikian pula para broker/pialang juga mendapat komisi dari adanya transaksi beli maupun jual...secara sederhana semakin banyak frekuensi jual-beli maka semakin besar pula komisi yg diterima masing2 institusi...
jika yg diharapkan pasar modal yg islami itu based on kondisi fundamental perusahaan atau dengan kata lain valuasi dari saham itu semata2 berdasarkan kondisi fundamental perusahaan, maka akibatnya volatilitas pergerakan harga saham tidak akan besar dan transaksi jual-beli di pasr derivat pun akhirnya tidak sebanyak dibandingkan dgn sistem perdagangan saham saat ini....

bayangan saya institusi pasar modal yg islami mungkin tidak harus besar seperti saat ini, mengingat frekuensi jual-beli nya pun tidak banyak....
kemudian lembaga keuangan islam yg ada bisa menggantikan peran broker saat ini, karena data base para pemodal sudah ada di lembaga keuangan islam itu....

PENGURUS mengatakan...

Sepakat dengan "bayangan" anda Mas Backpackers, bahwa volume transaksinya mungkin tidak akan banyak, karena pemain spekulatifnya dieliminasi. tetapi kemanfaatannya lebih banyak bagi perekonomian; kestabilan sistem, reduksi ketimpangan sektoral, reduksi misalokasi produksi dan kapital.

Di pasar keuangan yang lain, kejadiannya pun sama, bahwa keseimbangan investasi harus berorientasi pada projek investasi yang berakhir pada peningkatan volume (transaksi) barang dan jasa.

Dengan begitu kita akan tahu bahwa sebenarnya moneter syariah hanyalah pasar investasi yang posisinya tidak sejajar dengan sektor riil (classical dichotomy-nya konvensional). sektor moneter Islam adalah sektor pendukung sektor rill, yang eksistensinya tergantung pada eksistensi sektor riil. Jika sektor riil (underlying transaction) ada maka sektor moneter ada.

kalau sektor mikrofinance syariah saat ini hanya perlu pembenahan, karena dengan kondisi saat ini Indonesia sebenarnya tergolong negara terkemuka dalam praktek keuangan mikro syariah. dari seminar yang lalu kondisi itu diakui oleh banyak negara. saya akan segera menuliskan hasil seminar ini di blog ini, Insya Allah.