Krisis keuangan global ternyata "menggoyang" industri perbankan syariah Nasional. Ketatnya likuiditas bukan hanya monopoli industri keuangan konvensional dalam situasi bada saat ini. Kesulitan likuiditas tentu akan mengganggu operasional teknis perbankan sekaligus atmosfir industrinya. Jika goyangan ini ternyata menjerumuskan bank syariah secara individu pada situasi yang lebih serius, bukan tidak mungkin dibutuhkan pula semacam skenario bailout untuk mereka. Dari kondisi ini, maka (mungkin) lumrah ada yang bertanya: "masih relevankah bank syariah dikatakan perkasa terhadap guncangan keuangan?"
Perlu dipahami terlebih dahulu anatomi guncangan yang menggoyak industri perbankan syariah nasional. Ketatnya likuiditas yang juga ditandai dengan penurunan DPK, sejatinya bukan berasal dari kelemahan sistem perbankan syariah. Kondisi ini sederhananya merupakan konsekwensi logis dari situsi aplikasi perbankan ganda dalam satu playing field.
Respon kebijakan moneter yang meningkatkan suku bunga terhadap potensi capital outflow dan inflasi, membuat daya tarik pasiva perbankan konvensional menjadi lebih meningkat dibanding perbankan syariah. Sementara itu, kesulitan likuiditas unit-unit bisnis (baik riil maupun keuangan) di negara-negara Eropa dan Amerika sebagai negara tujuan utama ekspor korporasi nasional, mau tidak mau berimbas pada situasi likuiditas korporasi nasional, akibatnya untuk memenuhi kebutuhan likuiditas tersebutnasabah korporasi banyak yang menarik atau mengalihkan dananya. Kondisi inilah yang diyakini menjadi sebab menurunnya DPK di perbankan syariah.
Artinya ini menjadi realitas yang diluar kontrol perbankan syariah, sehingga ketatnya likuiditas tidak relevan dihubungkan dengan ketahanan alami yang dimiliki perbankan syariah sebagai salah satu piranti sistem keuangan syariah. Sejauh ini guncangan keuangan yang dirasakan perbankan syariah merupakan kewajaran sistem, dimana industri syariah dan konvensional tidak terdikotomi. industri syariah dan konvensional masih saling tergantung dan saling mempengaruhi baik melalui transmisi-transmisi pasar maupun prilaku nasabah (akibat dominannya floating customer).
Secara umum bagi otoritas, penyikapan yang tepat dalam merespon situasi seperti ini adalah memperkuat perekonomian domestik melalui penguatan sektor riil dengan upaya optimalisasi pencapaian potensi pasar riil domestik. Ingat jantung ekonomi bukanlah Bank atau lembaga keuangan. Jantung ekonomi adalah pasar, maka kunci umum dari berlangsungnya perekonomian adalah pemastian kehidupan pasar. Harus ada upaya-upaya serius dari otoritas untuk menyajikan kepada seluruh pemegang modal agar percaya diri untuk berinvestasi di pasar riil. Dan jalan menuju pasar riil bukan saja sekedar diperlancar, tetapi juga harus diperbanyak jalan menuju kesana. Oleh sebab itu, some how saya sepakat sekali dengan pendapat bahwa bagi otoritas lebih penting pasar malam dan tanah abang dari pada pasar-pasar keuangan (yang lebih banyak dipenuhi oleh penjudi-penjudi yang malas). wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar