Dunia Membutuhkan Sistem Ekonomi Baru
Perdana Menteri Australia, Kevin Rudd mengatakan bahwa global economic crisis ini merupakan hasil dari “comprehensive failure of extreme capitalism”. Rudd mengungkapkan bahwa keserakahan dan ketakutan (greed and fear) sebagai “twin evils” yang menjadi akar penyebab dari kehancuran sector keuangan dunia. Tatakelola korporasi yang lebih mengedepankan keserakahan daripada integritas menjadi salah satu penyebab kehancuran system keuangan ini.
Dalam laporan tentang pertemuan pemimpin Eropa di Brussel oleh Economist.com, Presiden Sarkozy dari Prancis mengungkapkan bahwa Masyarakat Ekonomi Eropa meminta diselenggarakannya Global Summit yang membahas tentang pembuatan “a new form of capitalism based on moral values, and the effective regulation and supervision of all corners of the financial world”. Ide global summit ini akan disampaikan oleh Jose Manuel Barroso, Presiden komisi Eropa, di Camp David pada Sabtu (18 Okt 2008) nanti. Pertemuan ini merupakan pertemuan yang akan menawarkan “Britton Woods” baru. Sebelumnya Gordon Brown perdana menteri Inggris sudah juga mengatakan bahwa sudah saatnya dunia mencari Bretton Woods baru.
Uniknya, jika pertemuan tersebut jadi dilaksanakan, pertemuan itu seperti dejavu karena ia merupakan pertemuan yang hampir sama dengan pertemuan pemimpin Eropa dan Amerika di kota Bretton Woods, New Hampshire – Amerika bulan Juli pada tahun 1944. Pertemuan ketika itu juga berlangsung ketika Eropa dan Amerika mengalami guncangan yang dahsyat pada system keuangan mereka selama satu decade sebelum perang dunia kedua meletus. Pertemuan itu menghasilkan dua keputusan penting yang mengubah wajah ekonomi dunia, yaitu disepakatinya perjanjian Bretton Woods yang bermakna dimulainya system fixed exchange rate regime dan didirikannya International Monetary Fund (IMF) yang ditujukan sebagai lembaga keuangan international yang membantu Negara Eropa dan Amerika untuk bersama-sama keluar dari krisis yang tengah mereka hadapi ketika itu.
Apa itu sebenarnya Bretton Woods Agreements? Perjanjian Bretton Woods pada dasarnya adalah kesepakatan antara Negara – Negara Eropa dan Amerika untuk menggunakan kembali fixed exchange rate berbasis emas dengan pedoman bahwa semua mata uang di dunia harus mengacu pada US dollar dan US dolar merujuk pada standard emas dengan nilai 1 once emas sama dengan USD35. Perjanjian ini dilatar-belakangi oleh krisis keuangan yang bertubi-tubi melanda perekonomian Eropa dan Amerika sejak 1907 hingga tahun 1940-an.
Banyak yang menuduh krisis itu bermula dari maraknya pendirian bank swasta yang mencapai 19 kali lipat sejak tahun 1860 hingga tahun 1921 tanpa ada pengaturan yang jelas pada awalnya (Francisco LR dan Luis R Batiz,1985). Federal Reserve Amerika saja baru didirikan tahun 1913. Akibat fungsi money creation secara bebas dimiliki oleh lembaga perbankan, rezim mata uang emas ketika itu runtuh pada tahun 1915.
Sejak itu dapat dikatakan dunia mengalami monetary chaos, krisis bergantian dan mewabah di Eropa, Amerika bahkan Jepang. Yang paling menonjol adalah krisis yang dialami oleh German, Austria, Jepang dan tentu saja Amerika. German mengalami hiperinflasi yang membuat sampai-sampai gaji pegawai ketika itu harus dibayarkan dua kali dalam sehari. Austria selanjutnya menjadi korban akibat kehancuran ekonomi German. Jepang pun mengalami krisis perbankan sampai harus menutup 37 bank dalam system perbankan nasionalnya. Puncaknya adalah terjadinya The Great Crash di pasar modal New York dan Great Depression di dunia perbankan/ekonomi Amerika pada tahun 1929-1930, hingga net national product Amerika terpangkas lebih dari setengahnya.
Sejak saat itu perekonomian Eropa dan Amerika selalu dibayangi awan gelap krisis dan kekacauan ekonomi. Kondisi ini yang memaksa Pemimpin Eropa dan Amerika mengadakan pertemuan yang menghasilkan perjanjian Bretton Woods. Perjanjian ini kemudian tak dapat lagi dipertahankan pada tahun 1971. Ditengarai dinamika sector keuangan dunia yang semakin “menggila” dengan aplikasi credit system dan spekulatif membuat rezim nilai tukar berbasis emas tidak sanggup bertahan. Tahun itu juga coba diatasi dengan melakukan devaluasi dollar melalui perjanjian baru yaitu Smithsonian Agreement dengan mengubah basis rezim dari 1 ounce sama dengan USD35 menjadi 1 ounce sama dengan USD38. Tetapi perjanjian ini hanya bertahan hingga tahun 1973 dan sejak tahun itu rezim nilai tukar dunia menjadi mengambang bebas.
Menggunakan definisi Batiz, praktis sejak tahun 1973 sebenarnya dunia mengalami monetary chaos kembali, terbukti dengan munculnya krisis-krisis keuangan baik di negara-negara maju maupun negara-negara emerging market di Asia dan Amerika Selatan. Bagaimana dengan IMF yang diharapkan berfungsi sebagai “polisi” dalam system keuangan dunia? Ternyata IMF gagal total menjadi lembaga yang mencegah krisis berulang. IMF hanya menjadi sekedar ambulans yang sebisa mungkin menjadi perawat yang baik dalam meminimalkan penderitaan negara-negara korban krisis.
Keberadaan lembaga-lembaga keuangan internasional dan lembaga-lembaga stabilitas keuangan baik di tingkat nasional maupun regional, sejatinya merupakan bendera putih tanda menyerah dari warga system keuangan terhadap eksistensi krisis. Krisis selalu ada dan menjadi kelumrahan system yang dianut. Oleh sebab itu lembaga keuangan internasional dan lembaga stabilitas keuangan sebagai ambulance harus selalu “stand-by.” Tapi haruskah krisis keuangan menjadi kelaziman? Adakah satu system yang tak memiliki konsekwensi krisis?
Bagaimana dengan Ekonomi Islam? Diyakini ekonomi Islam memiliki sesuatu yang lebih sebagai sebuah konsep ekonomi. Ekonomi Islam memiliki dua kekuatan utama, yaitu aplikasi ekonomi yang secara nature tidak menuju pada bubble/fragility dan moral yang menjadi pedoman berprilaku dari pelaku-pelaku ekonomi. Aplikasi ekonomi Islam lekat dengan aplikasi produktif barang dan jasa. Sedangkan keberadaan keuangan Islam pada dasarnya hanyalah aktifitas yang mendorong aktifitas ekonomi produktif, dimana transaksi-transaksi keuangan selalu bersandar sekaligus bermuara pada transaksi barang dan jasa, baik perbankan, asuransi, reksadana, pasar modal dan lain sebagainya.
Sementara itu, keterpaduan nilai-nilai moral dan aplikasi ekonomi sudah menjadi nature dari ekonomi Islam. Bahkan moral menjadi nilai utama yang terlebih dulu terbangun dalam diri para manusia yang terjun sebagai pelaku ekonomi. Artinya seorang pelaku ekonomi harus terlebih dulu menjadi seorang moralis sebelum ia menjadi pelaku bisnis. Nilai-nilai seperti “manusia terbaik adalah manusia yang paling bermanfaat bagi orang manusia lain” dan “harta terbaik adalah harta yang ada di tangan orang-orang yang shaleh,” menjadi pedoman dan menjadi indikasi bahwa moralitas didahulukan daripada aplikasi ekonomi. Selanjutnya aplikasi ekonomi Islam secara disiplin dikawal oleh syariah, yang terkandung didalamnya panduan-panduan bertransaksi dan prinsip-prinsip aplikasi ekonomi. Moral dan syariah bersinergi dalam satu system yang pas untuk karakter manusia (karena memang Islam dirancang untuk manusia). Tidak heran kini ekonomi Islam tengah menjadi sorotan utama para pencari model ekonomi, terlebih ketika sosialisme tidak menawarkan apa-apa. Karena sosialisme telah menjadi pengalaman yang menyakitkan buat dunia. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar