Beberapa laporan outlook ekonomi dari beberapa lembaga ekonomi, bank atau lembaga keuangan lainnya menempatkan situasi pemilu sebagai variabel negatif dari laju pertumbuhan ekonomi. Dari kacamata sosial politik boleh jadi hiruk pikuk pemilu memiliki korelasi yang negatif terhadap aktifitas ekonomi, namun dari kaca-mata ekonomi pemilu Indonesia kali ini menjadi salah jika ditempatkan sebagai variabel negatif.
Pemilu Indonesia yang memiliki masa kampanye terpanjang di dunia yaitu selama 9 bulan telah memberikan kesempatan peningkatan volume ekonomi akibat suntikan dana-dana kampanye. Baik dana kampanye yang dikeluarkan oleh partai, caleg atau simpatisan partai. Jika ekonomi formal memiliki istilah stimulus fiskal, yang saat ini tengah dilakukan menghadapi dampak krisis keuangan global, pemilu memiliki stimulus politik yang dampaknya tidak bisa dianggap remeh oleh perekonomian.
Dana kampanye yang dikeluarkan dalam dinamika politik secar langsung akan meningkatkan volume konsumsi agregat perekonomian. Selanjutnya peningkatan itu tentu akan direspon oleh penyediaan barang dan jasa (supply), dimana at the end of the day volume ekonomi akan meningkat tentu saja.
Mari kita berhitung, berdasarkan data yang ada calon anggota legislatif Indonesia yang mencapai 1,7 juta orang selama masa kampanye pasti telah mengeluarkan dana kampanye dalam mempromosikan diri mereka kepada masyarakat. Kalau saja diasumsikan setiap caleg rata-rata mengeluarkan dana kampanye Rp 100 juta, maka sedikitnya uang kampanye yang beredar yang berasal dari caleg mencapai Rp 170 triliun. Bayangkan, stimulus politik jauh melebihi stimulus fiskal pemerintah bukan?
Angka ini baru berasal dari calon anggota legislatif. Bagaimana jika uang yang digelontorkan oleh parta-partai juga dihitung, begitu juga dana-dana yang dikeluarkan oleh simpatisan baik perorangan, pengusaha, kelompok, lembaga maupun perusahaan. Sebuah dinamika ekonomi yang bervolume fantastis bukan?
Pasa sisi yang lain, ekonomi pemilu telah memaksa para caleg yang mayoritas orang kaya harus mendistribusikan aset, simpanan atau deposito mereka yang selama ini idle di rekening-rekening tabungan, deposito, surat berharga, tanah, gedung dan bentuk-bentuk harta lainnya. Dengan begitu pemilu telah berjasa melakukan pemerataan pendapatan dan kekayaan (wealth-income distribustion) dalam ekonomi.
Jika benar asumsi bahwa banyak koruptor di kalangan masyarakat kaya Indonesia, maka pemilu juga menjadi ajang "Money Laundring" yang efektif bagi para koruptor untuk menggelontorkan semua kekayaannya dalam bentuk dana kampanye. Dari kaca-mata positif, penggelontoran ini sebenarnya adalah kondisi dimana para koruptor "dipaksa" oleh pemilu untuk menyerahkan kembali dana-dana korupsinya ke dalam perekonomian.
Meskipun ada peluang koruptor itu akan menarik kembali "investasi" mereka ketika mereka berhasil menjadi anggota legislatif atau setidaknya dari proyek-proyek yang diberikan oleh jagoan politik yang mereka sokong, tetapi harapannya rakyat tidak memilih mereka atau memilih orang-orang yang mereka sokong. Dengan begitu pemilu sedikit-banyak menjadi alat ekonomi yang menetralisir kecenderungan money concentration akibat prilaku korupsi masyarakat kaya.
Bayangkan, pemilu di indonesia bukan hanya pemilu yang dilaksanakan 5 tahun sekali. Tetapi juga pilkada-pilkada yang boleh jadi dilangsungkan sepanjang tahun di seluruh Indonesia. Kesimpulan sederhananya, pemilu betul-betul telah membuat ekonomi hidup pada tingkat tertentu, asal pemilu tersebut berlangsung secara baik. Jika tidak, pemilu bisa menjadi variabel perusak yang juga maha dahsyat bagi perekonomian. Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar