Rabu, 10 Maret 2010

Hidupku adalah Memandang-Mu


Isu reorganisasi tempatku bekerja saya perhatikan semakin hari semakin meng-“heboh”-kan rekan-rekan kerja. Atmosfer kerja kini penuh dengan diskusi dan perdebatan tentang hal itu. Intinya adalah mereka bertujuan mendapatkan kepastian tentang sumber nafkah yang selama ini sudah mereka nikmati. Terkadang saya pun larut dalam kehebohan itu.

Namun diskusi dan perdebatan tentang itu pagi ini membuat saya berfikir lain, sesaat ketika melihat mulai munculnya kepedihan, ketidakpuasan dan kekhawatiran yang sangat emosional diantara kami. Tersentak saya pada ingatan kisah hidup saya sebelum ini dan hikmah-hikmah yang menyertainya. Hikmah yang saya pahami ketika kuliah di Malaysia, ketika memulai karir di Jakarta atau ketika memasuki tempat saya bekerja saat ini.

Ketika kuliah saya memasuki tahap akhir di Malaysia, diumumkan bahwa international student akan dipaksa menyelesaikan masalah keuangan, jika tidak maka pihak universitas akan menghentikan study atau menahan kelulusan yang bersangkutan. Saya dan istri yang statusnya sedang appeal untuk mendapatkan softloan dari universitas, mau tidak mau dapat terkena kebijakan terbaru ini. pengumuman ini tentu menganggu konsentrasi saya dan istri yang sedang mempersiapkan sidang thesis dan bersiaga untuk kelahiran anak pertama kami.

Tapi ketika itu terlintas dibenak saya, saya sudah sampai study di Malaysia ini atas izin Allah jua. Dengan segala kesulitan di awal dan ketika proses study berlangsung, logikanya Allah berkehendak saya dapat menyelesaikan study ini. kalaupun ada hambatan keuangan insya Allah pasti ada solusinya. Dan jika Allah berkehendak saya lulus dari kuliah ini, tidak ada satu kekuatanpun yang mampu menghalangi, begitu juga sebaliknya.

Akhirnya saya datangi bagian finance division, setelah diskusi singkat, ternyata disepakati bahwa saya dan istri dapat lulus tanpa hambatan keuangan dengan syarat pihak universitas akan menahan ijazah. Tak berapa lama saya dan istri mampu merampungkan study ditandai dengan keluarnya nilai ujian akhir dari mata kuliah terakhir kami yang masing-masing mendapat nilai A. Seminggu kemudian istri melahirkan putra pertama kami, dan sehari setelahnya saya mampu pertahankan thesis saya di depan sidang para penguji. Akhirnya Allah berkehendak, bukan hanya saya bisa rampungkan study tetapi juga dapatkan keluarga yang utuh. Subhanallah, kehormatan bagi saya pada perlakuan istimewa Allah ini.

Berserah pada kehendak Allah atas nasib masa depan kembali terjadi ketika saya mulai karir di tempat saya bekerja saat ini. Atas beberapa pertimbangan, beberapa saat setelah tiba kembali di tanah air, saya beranikan diri mengikuti seleksi penerimaan pegawai diinstitusi tempat saya saat ini mengabdi. Saya kirimkan berkas lamaran, dan tentu saja minus ijazah, karena ijazah saya masih tertahan di almamater saya di Malaysia. Tetapi sebagai penggantinya saya ikutkan surat keterangan lulus yang dikeluarkan oleh pihak universitas. Ternyata beberapa tes saya dapat lewati dan akhirnya masuk menjalani pendidikan calon pegawai.

Ketika masa percobaan sebagai pegawai, seorang pegawai SDM mengingatkan syarat ijazah itu, saya harus menyerahkan ijazah sebelum masa percobaan selesai, jika tidak besar kemungkinan pengangkatan pegawai saya akan dibatalkan. Dengan berbekal banyak pelajaran tentang kehendak Allah pada masa-masa sebelumnya, agak ringan saya hadapi masalah ini. saya katakan pada istri untuk bersiap untuk mencari kerja nafkah yang lain dengan secara sadar kami serahkan semuanya kepada Sang Maha Berkehendak.

Tak berapa lama saya dipanggil pimpinan untuk ditugaskan membantu salah satu direktorat yang akan menyelenggarakan seminar terbatas tentang Sukuk. Mengingat saya punya relasi dengan professor-professor keuangan dan hukum Islam di almamater saya, maka saya diminta untuk mengusulkan satu narasumber yang kompeten untuk berbicara tentang sukuk dari alamamater saya. Saya usulkan Dr. Daud Bakar. Singkat cerita, saya kemudian ditugaskan pula menjadi liaison officer bagi beliau.

Dan siapa sangka ternyata Dr. Daud Bakar bukan hanya sekedar dosen biasa di almamater saya ketika itu. Beliau juga menjabat sebagai Deputy Rector bidang pendidikan. Dan ketika mengantarkan beliau ke Bandara untuk kembali ke Kuala Lumpur, terungkap masalah ijazah saya. Tetapi ketika itu beliau hanya bertanya mengapa bisa terjadi seperti itu. Saya pun menjelaskan kondisinya. Seminggu kemudian saya terima SMS dari beliau yang mengabarkan Ijazah saya sudah bisa diambil, dan lebih mengejutkan lagi tiga hari kemudian kawan yang liburan ke indonesia menyempatkan diri mampir ketempat saya bekerja sekedar untuk menyampaikan ijazah. Allahu Akbar!

Kalau sudah seperti ini hidup yang saya jalani, dimana kehendak Allah lebih banyak berperan, apa yang harus saya risaukan?! Kalau memang Allah izinkan tempatku bekerja saat ini harus direorganisasi dan konsekwensinya boleh jadi saya termasuk yang akan di lay-off, itu semua atas izin dan kehendak Allah, sebagaimna kehendak-Nya ketika Beliau izinkan saya bekerja di dalamnya. Dan ingin saya katakan kepada Allah-ku yang Maha Penyayang itu:

“Duhai Tuhanku yang agung, tak ada kerisauan dalam hatiku tentang bilangan-bilangan rizki-Mu bagiku, Engkau sudah genapkan semuanya. Aku pun sudah serahkan semua urusanku pada-Mu. Aku hanya mengikuti apa kehendak-Mu. Sudah tidak pantas aku bertanya tentang takdir-takdir dari-Mu, karena semua kehendak-Mu tak satupun yang cacat, semua sempurna untuk kebaikan hamba-Mu ini. Hidupku hanya memandang-Mu, memandang-Mu, memandang-Mu...”

1 komentar:

ERWINNOMIC mengatakan...

subhanallah sekali ust. memang jika kita telah mewakafkan diri kepada dakwah, maka menjadi apapun kita bukan masalah. yg trpenting idealisme dakwahny tak pernah luntur. justru an pribadi setuju skali dg ust. menjadi apa yang kita mau tetapi smakin mnjauhkan diri dari Allah tak lebih a/ kerugian yg nyata. afwan, kpn an bisa bertemu lg ust di kajian SEBI. Erwin