Minggu, 22 Agustus 2010

Analogi yang Salah


Sudah lama ketidaknyamanan saya rasakan setiap kali mendengar para pemerhati atau bahkan pakar ekonomi Islam mengungkapkan bahwa perbedaan transaksi syariah itu layaknya seperti perbedaan “kumpul kebo” dengan menikah resmi. Perbedaan keduanya kurang lebih “hanya” terletak pada akadnya (ijab-kabul) saja, teknis transaksinya boleh jadi sama dan identik.

Analogi ini dahulu saya sikapi hanya sebagai sebuah upaya memahamkan kepada masyarakat dalam kemasan yang ringan, tetapi akhir-akhir ini semakin mengganggu saya. Gangguan itu semakin mencemaskan saya ketika ternyata efeknya begitu jelas pada arah dan paradigma pengembangan keuangan syariah. Padahal analogi itu bukan hujjah, bukan dalil dan tidak pula memiliki dalil. Analogi ini kemudian dijadikan dasar dari pembenaran bahwa sesungguhnya teknis aplikasi keuangan konvensional dan syariah tidaklah berbeda.

Dengan analogi itu praktisi cenderung melakukan pemadanan produknya dengan konvensional melalui upaya-upaya konversi dengan menggunakan laundry machine yang disebut fatwa. Sementara para pemangku fatwa dan pengawas syariah cenderung mencari pembenaran hukum dari produk-produk keuangan syariah yang ditawarkan praktisi tanpa memahami esensi transaksi (substance over the form). Kan yang penting ada landasan fiqihnya, ada akadnya, ada ijab-kabulnya?!

Bagaimana mungkin dua aplikasi yang sama memiliki dua implikasi yang berbeda? Itu pertanyaan yang memulakan kegundahan saya. Bagaimana pula kesucian aplikasinya sama dengan kemaksiatan? Ini pertanyaan mendasar kedua yang kemudian membuat saya lama merenungkan esensi-esensi transaksi keuangan syariah. jika inipun menjadi kegundahan anda, mari merenung bersama dan berdiskusi juga tentu saja berkontribusi. Mari menyampaikan hasil renungan, kesimpulan-kesimpulan yang bermanfaat bagi menyadarkan pemahaman ummat bahwa keduanya memiliki perbedaan yang mendasar, dari niatnya, rancangannya, strukturnya, bentuknya sampai dengan implikasinya.

Sejauh ini saya sudah sampai pada kesimpulan, yang mungkin masih terhitung belum matang tetapi saya nyaman dengan kesimpulan ini, yaitu bahwa perbedaan konvensional dan syariah tidak hanya terletak pada akadnya saja, tetapi terletak pula pada detil yang melekat pada aktifitas transaksinya. Detil transaksinya meliputi: (i) karakter pelakunya; niat yang bersih, penuh kesadaran pada kewajiban mematuhi kehendak dan ketentuan Allah SWT, sehingga ketentuan syariah dilihat sebagai batasan yang menyelamatkan dan dipahami esensinya; (ii) interaksi pelakunya; interaksi pelakunya dalam bingkai saling menguntungkan dalam rangka beribadah kepada Tuhan, persaudaraan yang menghantarkan pada kecintaan pada penghambaan dan keimanan; (iii) esensi aplikasinya; bahwa transaksi syariah berawal pada proses produktif menciptakan barang-jasa dan mentransaksikannya, serta membagi hasil keuntungan dari transaksi jual beli, sehingga esensi keuangan syariah adalah mengintermediasi atau menjadi katalisator dari proses produksi, distribusi dan investasi (produktif). Keuangan syariah bukan aktifitas keuangan tanpa ada proses penciptaan barang-jasa. Jadi mudah membedakan syariah dan konvensional menggunakan parameter ini; (iv) implikasinya; dengan esensi yang disebutkan pada poin ketiga, maka implikasi yang jelas sebagai akibat dari aktifitas keuangan syariah adalah meningkatnuya distribusi sumber daya, naiknya produktifitas, meluasnya tingkat keterlibatan ekonomi, terbukanya kesempatan berekonomi, jika transaksi keuangan syariah tidak memiliki implikasi-implikasi tersebut, tentu wajar dipertanyakan derajad kesyariahannya.

Dengan hasil kesimpulan ini, saya dengan tegas menolak analogi di atas tadi. Bahkan saya ingin menegaskan bahwa analogi itu tidak tepat dan benar. Hati-hati mencari dan menggunakan analogi. Apalagi sampai analogi tersebut ternyata berfungsi layaknya dalil. Kesalahan akan kemudian menumpuk, yaitu kesalahan analogi dan kesalahan menggunakannya dalam mengembangkan sesuatu. Sementara kita yang menggunakannya akan tersesat dan kurang memiliki logika shahih dalam beranalisa dan berargumentasi.

Saya mengajak siapa saja untuk semakin dalam memahami esensi keuangan syariah, melalui karakteristiknya, esensi aplikasinya dan implikasinya. Kaidah, prinsip dan dalil syariah saya yakini memiliki keselarasan dengan parameter tadi, bahkan prinsip syariah itulah yang seharusnya menjadi inspirasi utama bagi kita untuk memahami esensi-esensi, karena memang keduanya bukanlah entitas yang berbeda. Jadi teknis keuangan syariah seperti apa bentuknya menjadi sangat penting untuk pengembangan keuangan syariah agar ia selalu berada dalam garis keselamatan dan menyelamatkan. Wallahu a’lam.

1 komentar:

Maylatun Sari mengatakan...

terima kasih,, semoga banyak yang lebih banyak orang yang memahami ttg ekonomi islam dengan benar :)