Minggu, 22 Agustus 2010

Masyarakat Ekonomi yang Bersahaja


Seperti biasa setiap pagi pada bulan Ramadhan di kantor saya selalu memulai hari dengan tilawah Qur’an. Beberapa rekan kerja yang berminat tekun mengikuti program ini; membaca, mendengarkan dan menyimak bacaan Qur’an. Yang menarik untuk saya renungkan pagi ini adalah kebiasaan mengkoreksi bacaan yang serta merta dilontarkan oleh rekan-rekan yang lain begitu mendengar ada bacaan yang salah.

Kenapa menarik? Karena kali ini saya merenungkan makna lebih dalam dari koreksi itu. Saya membayangkan kalau saja koreksi spontan atas kesalahan baca itu terjadi pada aktifitas ekonomi, mungkin akan lain pula wajah pergaulan ekonomi disekitar kita. Kalau saja setiap kekurangan ekonomi yang dirasakan oleh setiap dhuafa itu dianalogikan sebagai kesalahan baca, dan kemudian ada tindakan spontan yang cepat untuk “mengkoreksi” keadaan itu dari para orang kaya, bukankah akan terasa indah hidup ini. Seindah interaksi tilawah pagi itu.

Ya, saya memang memimpikan wujudnya orang-orang kaya yang selalu bersegera, spontan, cepat tanggap begitu melihat ada saudara dhuafa di sekelilingnya yang terlunta-lunta secara ekonomi. Layaknya seorang penyimak tilawah Qur’an yang dengan cepat mengkoreksi bacaan saudaranya. Tetapi saya juga bermimpi tumbuhnya masyarakat dhuafa yang bersemangat terus mencari nafkah dan rizki serta memahamkan pada dirinya bahwa kondisi dhuafa dan selalu dibantu itu adalah kondisi yang tidak baik. Seperti orang yang terbata-bata membaca Qur’an bersemangat untuk belajar menjadi fasih dan ia merasa tidak nyaman jika terus dalam kondisi terbata-bata dan selalu dikoreksi ketika membaca.

Inilah yang saya maksud bersahaja dalam berekonomi. Mereka yang kaya menyadari betul kekayaannya merupakan amanah dari Allah SWT, dimana dengan kekayaan itu ia berpotensi menjadi manusia terbaik diantara manusia-manusia yang lain. Dengan kekayaannya ia mampu memberikan manfaat bagi manusia sekitar dirinya, dari keluarga hingga tetangga, dari kawan hingga handai taulan. Kedermawanan bercampur dengan gaya hidup sederhana, akan membuat manusia-manusia kaya menjadi manusia yang terbaik diantara masyarakatnya.

Sementara itu, mereka yang miskin menjaga diri dan kehormatannya untuk sekuat tenaga tidak menjadi beban bagi manusia lain. Kepapaannya melecut dirinya untuk terus berusaha mencari nafkah. Sementara pada ketika yang sama ia tidak berkeluh kesah dengan kadaannya, karena semangat mencari nafkah ditengah kondisi serba kekurangan ia selalu memenuhi hatinya dengan sikap lapang dada dan qonaah.

Nah ditengah-tengah mereka ini wujud pula ulama (cendikia) dan umara (pemimpin) yang selalu mendampingi kedua masyarakat tadi. Mereka yang sudah memposisikan diri mereka untuk menjadi pembina dan pembantu masyarakat. Mereka amanah dengan semua tanggung jawab yang ada di pundak mereka. Tetapi kerja-kerja mereka bukan tanpa pamrih, satu-satunya pamrih yang mereka kejar untuk membalas kerja-kerja mereka tak lain dan tak bukan puncaknya adalah syurga.

Sederhananya inilah komponen masyarakat ekonomi yang bersahaja yang saya maksudkan. Ekonomi yang santun yang bukan hanya membangun kemegahan fisik tetapi juga kemegahan manusianya berupa keluhuran budi dan keharmonian interaksi. Orientasi masyarakat ekonomi bersahaja ini hanya satu, yaitu bersama-sama menjadikan ekonomi sebagai alat memaksimalkan proses penghambaan kepada Tuhan Penguasa Alam Semesta. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: