Selasa, 31 Agustus 2010
Hikmah di atas Hikmah
Apa yang anda fikirkan ketika tak ada lagi yang bisa menjustifikasi bencana yang sedang anda alami, atau ketika kenikmatan juga begitu tiba-tiba datang tanpa ada sebab-sebabnya, atau ketika akal dan hati buntu menemukan hikmah menyikapi itu semua. Saya bukannya ingin membantu kebuntuan anda dalam tulisan ini, tapi saya ingin sharing apa yang sering menjadi lamunan saya ketika kebutuan itu datang. Setidaknya saya ingin mengajak agar kita tidak menghentikan kerja-kerja akal untuk terus berfikir, menjalankan tugasnya baik gagal ataupun berhasil menemukan sasaran berfikir.
Terkait dengan fungsi akal ini, bukankah Tuhan banyak katakan di kitab suci; “..apakah kau tidak renungkan, fikirkan..?” Tuhan tidak katakan; “..apakah kau tidak temukan jalan keluar, solusi..?” Menemukan solusi bukanlah kewajiban akal, kewajibannya hanya berproses fikir. Akal menemukan solusi itu juga tergantung Tuhan, jika Beliau izinkan dan berkehendak maka solusi itu akan melayang di samudera fikir akal. Jadi pastikan saja akal menjalankan tugasnya.
Duh, masalahnya juga disini saya bukan ingin membicarakan akal dengan semua hak dan kewajibannya. Sekali lagi saya hanya ingin sering lamunan. Ups, yang di atas itu juga sebenarnya hasil lamunan. Loh, kok malah bantah-bantahan sendirian. Inilah gambaran dinamika di ruang akal, banyak topik yang hilir mudik, minta di bahas. Konsekwensinya banyak dialektika yang berujung pada banyak logika di ruang-ruang akal. Untuk kesekian kalinya, saya bukan ingin membicarakan kesibukan akal. Saya ingin bercerita tentang satu bahan fikiran, yang saya harapkan bermuara pada hikmah untuk semua persoalan, baik ia berupa bencana maupun kenikmatan.
Sungguh indah Tuhan meramu peristiwa dan kejadian di dunia. Satu peristiwa memiliki dua wajah untuk dua manusia yang berbeda. Dan di dunia ini begitu banyak peristiwa yang uniknya satu peristiwa dengan peristiwa lain mungkin saling berkait, entah terkait karena hubungan sebab-akibat, korelasi pengaruh baik langsung maupun tidak langsung, atau terkait karena hubungan implikasi-konsekwensi. Dilihat dari dimensi waktunya satu peristiwa sejarah akan berakibat pada sejarah lain, dimana ia dapat menimbulkan sejarah lain secara horisontal (pada waktu yang sama) atau secara vertikal (pada waktu yang akan datang).
Dalam ramuan peristiwa-peristiwa itu Tuhan begitu indahnya memasukkan di dalamnya nikmat dan azab, ujian dan cobaan bagi manusia, baik secara individu maupun secara kolektif (bangsa atau kaum). Dan lebih mengherankan lagi, ketika intensitas dan fokus fikir semakin tinggi, ternyata apa yang disebut nikmat, azab, ujian atau cobaan ternyata juga relatif untuk masing-masing manusia. Anda mungkin bilang kehilangan mobil anda itu bencana tapi pada saya itu nikmat bagi anda, karena Tuhan sudah gugurkan dosa anda. Tanpa sempat anda memohon ampun atas satu dosa, karena sayang-Nya Tuhan begitu saja hapuskan dosa anda dengan hilangnya mobil anda.
Nabi pernah berpesan, kalau Tuhan itu mengasihi hamba-Nya, Dia akan turunkan cobaan padanya agar Tuhan mendengar permohonannya. Saya juga mungkin akan mengatakan bahwa hidup saya penuh dengan ujian dan cobaan, terkadang saya lulus ujian terkadang juga gagal. Tapi mungkin anda akan bilang, enak sekali hidup kamu, karena Tuhan selalu ada bersamamu dan selalu mengujimu agar kamu semakin tinggi derajadmu di mata Tuhan.
Kerelatifan hakikat peristiwa itulah yang menghantarkan saya pada satu ujung fikir, bahwa ternyata peristiwa-peristiwa itu menunjukkan bahwa Tuhan itu Maha Penyayang. Inti dari bencana, azab, nikmat, ujian atau cobaan, sesungguhnya adalah kasih sayang Tuhan. Jadi mari hentikan semua kegelisahan. Gelisah itu hanya pantas untuk peristiwa besar nanti setelah masa dunia terlewati, yaitu jika kita diputuskan masuk neraka. Silakan gelisah untuk neraka. Tapi untuk yang lain, tak sepatutnya kita gelisah. Untuk harta, kita cuma diminta untuk mencari saja kok, dapat tidak dapat, kaya atau miskin itu semuanya kehendak Tuhan. Begitu juga ilmu, mendapat gelar atau tidak itu juga tergantung Tuhan kok, kewajiban kita hanya berproses mencari. Hasilnya itu ada di wilayah Tuhan wewenangnya.
Ini lah cerita yang ingin saya sampaikan. Saya sendiri masih terus belajar sekaligus bereksperimen dengan hasil-hasil fikir seperti ini. Sejauh ini, volume kegelisahan saya saya akui berkurang drastis. Tapi mohon maklumnya ya, karena seringkali saya lupa sama semua logika di atas, seringkali harta tetap selalu menilaukan mata, gelar pendidikan tetap menjadi ukuran untuk diakui sebagai orang yang berderajad intelektual tinggi, handphone yang canggih dan mobil yang mewah menjadi ukuran ketinggian status sosial.. Maaf ya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar