Senin, 06 September 2010

Tidak Butuh Lailatul Qadr


Melihat semakin ramainya orang memasuki masjid, ia beringsut perlahan-lahan menuju pelataran belakang masjid yang masih gelap. Cahaya yang ada disitu hanya semburat cahaya malam dari bulan yang terlihat tinggal sepenggal. Ia bermaksud berbicara secara pribadi dengan Tuhan, Dia turunkan kedua tangannya yang biasa menengadah mantap memanjatkan doa-doa harapan. Kali ini sepertinya ia terlihat malu-malu melantunkan doa.

Dengan lirih atau bahkan terkesan bergumam, ia mulai berkata, “Aku di rumah-Mu ini bukan mencari lailatul Qadr ya Rabbi, aku tidak butuh lailatul Qadr, yang aku cari adalah ampunan-Mu, yang aku butuhkan adalah belas kasihan-Mu. Yang aku mau adalah Engkau, yang aku harap-harap adalah Engkau ada di sini menjawab doaku, permohonanku dan permintaanku. Aku tidak peduli apakah ini malam 1000 bulan itu, aku tidak peduli seberapa banyak malaikat turun memenuhi jengkal-jengkal bumi, aku bahkan tak peduli apakah ini malam atau pagi. Yang aku peduli hanya “anggukan” dan “senyum”-Mu atau apapun itu, yang memberikan tanda bahwa dosaku sudah Kau ampuni. Aku telah tunggu Ramadhan ini, karena Banyak yang Kau janjikan pada kami yang memang telah tenggelam dengan dosa-dosa. Tunaikan janji itu pada kami ya Rabbi. Kemarilah ya Tuhanku, aku sudah di rumah-Mu, kemana lagi aku mencari-Mu kecuali di sini? Aku tahu, aku sudah pernah lisankan doa-doa semacam ini, tahun lalu, tahun sebelumnya, dan tahun sebelumnya, tetapi selalu pula diluar Ramadhan aku khianati itu semua. Duh Tuhan yang Maha suci, aku selalu gagal menjaga kesucian Ramadhan di luar Ramadhan, aku tidak punya alasan apapun untuk itu, kecuali aku cuma mau katakan, maafkan aku, ampuni aku…”

Hening memenuhi beranda masjid, lirihnya terhenti diujung permohonan ampun. Kedua tangannya yang terbuka terkulai lemas di kedua kakinya yang bersila. Kepalanya tertunduk tak mampu menahan rasa bersalah yang amat sangat. Kini terdengar suara nafas yang tersengal, air matanya menetes membasahi lantai dingin beranda masjid, sesekali ia merasakan hembusan angin malam menerpa punggungnya dengan lembut.

Tiba-tiba ia dengar langkah kaki mendekatinya, ia usap mata dan pipinya yang telah basah dengan air mata. Langkah itu berhenti di depannya, ia menengadah mencoba mengenali siapa yang mendekatinya di tengah gelapnya beranda. Ternyata marbot masjid, yang mengingatkannya, kalau sebentar lagi qiyamullail berjamaah akan segera dimulai. Ia mengangguk menyetujui untuk segera bergabung dengan jamaah lain di ruang utama masjid. Tak berapa lama ia kemudian larut dalam sembahyang malam bersama tetangga-tetangga rumahnya di masjid itu. Imam membacakan ayat-ayat doa yang dinukil dari Qur’an. Setiap kali sampai pada lantunan ayat permohonan ampun, ia tak kuasa untuk kembali meneteskan air mata dari sudut-sudt matanya. Ayat-ayat itu menjadi perwakilan harap dari hati dan jiwanya.

Teduh, rasa itu yang acap kali singgah dihatinya, ketika ia ada di rumah Tuhan itu. Dan kenyamanan yang tidak memiliki bandingan adalah rasa yang menjadi bekal baginya setiap meninggalkan Rumah Tuhan itu menuju peristiwa-peristiwa dunia yang menantinya. Perjalanan pulangnya terhenti sejenak di lorong samping rumah, ia menengadahkan wajahnya menatap langit. Ia lihat langit fajar yang gelap dengan beribu bintang yang berserakan. Bergumam dihatinya, “Tuhanku, jika Engkau terima aku, ampuni aku, sediakan belas kasihan bagiku, maka cukuplah itu bagiku. Aku tak peduli malam ini Lailatul Qadr. Yang kutunggu di Ramadhan ini adalah Engkau, bukan Lailatul Qadr. Aku tak ingin tukar malam bersama-Mu ini dengan apapun…” ia lanjutkan langkahnya menuju rumah, sementara langit dibelakangnya perlahan-lahan terang mengabarkan pagi segera menjelang.

Tidak ada komentar: