Selasa, 31 Agustus 2010

Hikmah di atas Hikmah


Apa yang anda fikirkan ketika tak ada lagi yang bisa menjustifikasi bencana yang sedang anda alami, atau ketika kenikmatan juga begitu tiba-tiba datang tanpa ada sebab-sebabnya, atau ketika akal dan hati buntu menemukan hikmah menyikapi itu semua. Saya bukannya ingin membantu kebuntuan anda dalam tulisan ini, tapi saya ingin sharing apa yang sering menjadi lamunan saya ketika kebutuan itu datang. Setidaknya saya ingin mengajak agar kita tidak menghentikan kerja-kerja akal untuk terus berfikir, menjalankan tugasnya baik gagal ataupun berhasil menemukan sasaran berfikir.

Terkait dengan fungsi akal ini, bukankah Tuhan banyak katakan di kitab suci; “..apakah kau tidak renungkan, fikirkan..?” Tuhan tidak katakan; “..apakah kau tidak temukan jalan keluar, solusi..?” Menemukan solusi bukanlah kewajiban akal, kewajibannya hanya berproses fikir. Akal menemukan solusi itu juga tergantung Tuhan, jika Beliau izinkan dan berkehendak maka solusi itu akan melayang di samudera fikir akal. Jadi pastikan saja akal menjalankan tugasnya.

Duh, masalahnya juga disini saya bukan ingin membicarakan akal dengan semua hak dan kewajibannya. Sekali lagi saya hanya ingin sering lamunan. Ups, yang di atas itu juga sebenarnya hasil lamunan. Loh, kok malah bantah-bantahan sendirian. Inilah gambaran dinamika di ruang akal, banyak topik yang hilir mudik, minta di bahas. Konsekwensinya banyak dialektika yang berujung pada banyak logika di ruang-ruang akal. Untuk kesekian kalinya, saya bukan ingin membicarakan kesibukan akal. Saya ingin bercerita tentang satu bahan fikiran, yang saya harapkan bermuara pada hikmah untuk semua persoalan, baik ia berupa bencana maupun kenikmatan.

Sungguh indah Tuhan meramu peristiwa dan kejadian di dunia. Satu peristiwa memiliki dua wajah untuk dua manusia yang berbeda. Dan di dunia ini begitu banyak peristiwa yang uniknya satu peristiwa dengan peristiwa lain mungkin saling berkait, entah terkait karena hubungan sebab-akibat, korelasi pengaruh baik langsung maupun tidak langsung, atau terkait karena hubungan implikasi-konsekwensi. Dilihat dari dimensi waktunya satu peristiwa sejarah akan berakibat pada sejarah lain, dimana ia dapat menimbulkan sejarah lain secara horisontal (pada waktu yang sama) atau secara vertikal (pada waktu yang akan datang).

Dalam ramuan peristiwa-peristiwa itu Tuhan begitu indahnya memasukkan di dalamnya nikmat dan azab, ujian dan cobaan bagi manusia, baik secara individu maupun secara kolektif (bangsa atau kaum). Dan lebih mengherankan lagi, ketika intensitas dan fokus fikir semakin tinggi, ternyata apa yang disebut nikmat, azab, ujian atau cobaan ternyata juga relatif untuk masing-masing manusia. Anda mungkin bilang kehilangan mobil anda itu bencana tapi pada saya itu nikmat bagi anda, karena Tuhan sudah gugurkan dosa anda. Tanpa sempat anda memohon ampun atas satu dosa, karena sayang-Nya Tuhan begitu saja hapuskan dosa anda dengan hilangnya mobil anda.

Nabi pernah berpesan, kalau Tuhan itu mengasihi hamba-Nya, Dia akan turunkan cobaan padanya agar Tuhan mendengar permohonannya. Saya juga mungkin akan mengatakan bahwa hidup saya penuh dengan ujian dan cobaan, terkadang saya lulus ujian terkadang juga gagal. Tapi mungkin anda akan bilang, enak sekali hidup kamu, karena Tuhan selalu ada bersamamu dan selalu mengujimu agar kamu semakin tinggi derajadmu di mata Tuhan.

Kerelatifan hakikat peristiwa itulah yang menghantarkan saya pada satu ujung fikir, bahwa ternyata peristiwa-peristiwa itu menunjukkan bahwa Tuhan itu Maha Penyayang. Inti dari bencana, azab, nikmat, ujian atau cobaan, sesungguhnya adalah kasih sayang Tuhan. Jadi mari hentikan semua kegelisahan. Gelisah itu hanya pantas untuk peristiwa besar nanti setelah masa dunia terlewati, yaitu jika kita diputuskan masuk neraka. Silakan gelisah untuk neraka. Tapi untuk yang lain, tak sepatutnya kita gelisah. Untuk harta, kita cuma diminta untuk mencari saja kok, dapat tidak dapat, kaya atau miskin itu semuanya kehendak Tuhan. Begitu juga ilmu, mendapat gelar atau tidak itu juga tergantung Tuhan kok, kewajiban kita hanya berproses mencari. Hasilnya itu ada di wilayah Tuhan wewenangnya.

Ini lah cerita yang ingin saya sampaikan. Saya sendiri masih terus belajar sekaligus bereksperimen dengan hasil-hasil fikir seperti ini. Sejauh ini, volume kegelisahan saya saya akui berkurang drastis. Tapi mohon maklumnya ya, karena seringkali saya lupa sama semua logika di atas, seringkali harta tetap selalu menilaukan mata, gelar pendidikan tetap menjadi ukuran untuk diakui sebagai orang yang berderajad intelektual tinggi, handphone yang canggih dan mobil yang mewah menjadi ukuran ketinggian status sosial.. Maaf ya.

Senin, 30 Agustus 2010

Ramadhan dan Manusia Baru Ekonomi Islam


Ramadhan itu bulan spesial, bulan private antara Tuhan dengan masing-masing hambanya. Ramadhan menyediakan ruang-ruang pribadi untuk setiap manusia yang mau berbicara “empat-mata” dengan Tuhan, pada setiap jengkal waktu yang tersedia di sepanjang Ramadhan. Tuhan membuka telinga, pelukan, tatapan sayang lebih lapang disemua waktu Ramadhan.

Waktu senja yang syahdu Tuhan menanti doa-doa hamba sesaat sebelum waktu berbuka tiba. Awal malam Tuhan kirimkan malaikat-malaikatnya untuk ikut meramaikan rumah-rumah-Nya untuk menemani manusia yang menunaikan sunnah tarawih. Di pertengahan malam hingga menjelang fajar, Tuhan mendengarkan dengan seksama rintihan lirih dari doa-doa tulus manusia, yang tetap terjaga dengan sengaja untuk mendapatkan sekeping ampunan dari Tuhan. Sesaat mendekati fajar Tuhan dengan penuh kasih memperhatikan hamba-hamba yang menunaikan sunnah sahur. Setelahnya mendekati pagi, Tuhan kirimkan kembali malaikat-malaikat-Nya untuk mendata manusia-manusia beriman yang bersahaja di shaf-shaf subuh, untuk kemudian mendapat ganjaran tak terkira dari Tuhan.

Setelah itu, sepanjang hari dari pagi, siang hingga petang, tak luput Tuhan lipat gandakan setiap gerak dan lisan kebaikan yang dilakukan manusia, dari diam, tidur, bau nafas sampai kerja nafkah terlebih lagi kerja dakwah, tidak luput dari perhitungan dan ganjaran Tuhan. Inilah istimewanya bulan ini, keistimewaan yang betul-betul istimewa.

Apa hubungannya dengan ekonomi Islam? Sesaat ketika pertanyaan ini muncul difikiran saya, saya tidak butuh waktu lama untuk mengatakan; rasanya terlalu memaksakan kalau menghubungkan hikmah-hikmah itu dengan dakwah ekonomi Islam. Tapi tiba-tiba muncul bantahan lain di fikiran saya; tidak, Ramadhan adalah bulan ekonomi Islam. Pertama, Ramadhan adalah bulan dimana manusia bisa jernih berfikir dan bertindak sehingga dakwah-dakwah tentang manusia yang bersahaja dalam bingkai ekonomi islam sangat dekat dengan prilaku manusia-manusia Ramadhan. Kedua, Ramadhan menjadi bulan dimana manusia bersemangat menjalankan printah-perintah Tuhan tanpa banyak bertanya alasan dibaliknya. Ketiga, pada Ramadhan manusia tidak atau mungkin kurang mengedepankan hitungan-hitungan cost-benefit material. Pada bulan ini manusia mengedepankan hitungan cost-benefit spiritual, entah ini karena sebagai kompensasi dari kerakusan pada bulan diluar Ramadhan atau memang sebuah kesadaran yang tulus.

Lihat saja, prilaku sedekah, infak dan zakat meningkat cukup dramatis di bulan ini. Ya bulan inilah bulan dimana manusia mendekati kefitrahan luhurnya. Maka jangan sia-siakan waktu Ramadhan yang tersisa. Kepada saudara-saudara pejuang dakwah ekonomi Islam kenalkan lebih banyak dakwah ini pada sebanyak-banyak manusia yang anda kenal. Dimana saja, pada kesempatan apa saja, sampaikan kepada mereka pesan indah ekonomi Islam. Lakukan cepat karena bumi sedang dipenuhi malaikat-malaikat penghuni langit sehingga nuansanya membuat manusia lembut jiwanya dan siap menerima pesan-pesan atau ajakan-ajakan kebaikan. Segera tunaikan amanah ini, karena syetan-syetan tengah dibelenggu dan jauh dari telinga juga hati manusia, maka dakwah ekonomi Islam akan lebih mudah memenuhi ruang akal dan hatinya.

Manfaatkan mimbar-mimbar tarawih, majelis-majelis subuh, kultum-kultum dzuhur dan tausiyah ifthar, dengan gema dakwah ekonomi islam. Sempatkan dakwah ekonomi Islam menjadi tema renungan bagi setiap pribadi ketika mereka masuk dalam ruang-ruang itikaf. Merenungi halal-haram pendapatannya, kemanfaatan hartanya dan kesahajaan gaya hidupnya. Hingga akhirnya mereka keluar dari Ramadhan menjadi manusia baru dengan prilaku ekonomi yang baru, prilaku manusia-manusia mulia yang dulu pernah ada. Dan kini prilaku itu hadir kembali, ia produk bersama Ramadhan dan dakwah ekonomi Islam. Wallahu a’lam.

Kamis, 26 Agustus 2010

Menjadi Orang yang Paling Kaya



Pernah anda coba renungkan mengapa Tuhan selalu katakan dunia ini adalah senda gurau dan permainan belaka? Atau pesan-pesan lain dari Nabi yang mengatakan bahwa dunia ini fana? Pesan moralnya juga sering disebut-sebut oleh para ulama agar manusia jangan memautkan hatinya pada dunia, karena dunia sifatnya sementara saja.

Beberapa waktu saya coba renungkan hal ini, adakah sesuatu dibalik itu? Adakah sesuatu yang luar biasa untuk diambil hikmahnya? Baru pagi tadi saya mendapatkan fikiran yang membuat saya mengangguk-anggukkan kepala. Memahami maksud Tuhan itu mungkin setidaknya kita juga menggunakan kaca mata yang digunakan oleh Tuhan. Tuhan telah ada sejak dunia ini belum tercipta, kemudian Beliau mencipta sampai nanti Beliau juga yang menghancurkannya.

Dari dunia pertama kali tercipta sampai nantia ia menua dan kemudian musnah, Tuhanlah yang menentukan usianya, zaman-zamannya. Dan didalamnya Tuhan pula yang mengizinkan dan menentukan kejadian dan peristiwa alam, dari kapan daun gugur ketanah, sungai mengering airnya, batang pohon tumbuh dan kemudian mati membusuk, gunung yang menjulang dapat luruh rata dengan tanah, atau sampai manusia ditentukan usia dan dipergilirkan kaum-kaumnya.

Tuhan menggunakan kaca mata dengan periode waktu yang sangat panjang setidaknya melingkupi usia dunia, sehingga dengan ringan saja Beliau mengingatkan, bahwa dunia itu senda gurau dan permainan saja loh. Tuhan menyiratkan baha dunia itu tidak ada nilainya, karena semua yang ada didalamnya tidak abadi, semua ada usianya, semua akan dipergilirkan untuk musnah, ya semuanya. Kita mungkin berfikir bahwa gunung yang gagah menjulang akan tetap disitu sampai seribu tahun setelah pertama kali kita menatapnya. Tidak, boleh jadi beberapa tahun lagi ia akan tak ada lagi karena ternyata ia terkikis oleh gempa atau manusia menggerogoti kandungannya.

Nah sampailah saya pada pelajaran dari logika ini, sampailah saya pada hikmah pesan-pesan Tuhan tadi. Pola pandang itulah yang mungkin harus kita gunakan melihat semua harta yang kita miliki, semua kelebihan-kelebihan yang melekat pada semua yang kita miliki. Rumah yang megah pada waktunya akan tua dan keropos, mobil yang mewah lambat laun juga akan berkarat dimakan cuaca dan usia, wajah yang cantik dan tampan akan mengeriput kulit-kulitnya, rambut yang hitam akan memutih atau bahkan berguguran, gigi yang putih dan lengkap akan tanggal satu demi satu, badan yang tegap akan lemah dan rapuh. Yakinlah sebanyak dan sekuat apapun harta dunia yang kita miliki suatu saat akan musnah. Kalaupun ia tak musnah sampai usia kita selesai, setidaknya kita tidak lagi dapat memanfaatkannya. Jadi intinya semua itu tidak kekal.

Memahami keterbatasan waktu dan usia yang kita miliki, maka kita harus arif menyikapi semua yang kita miliki itu. Tuhan dan Nabi selain menyampaikan pesan-pesan diatas, juga menyampaikan pesan-pesan seperti ini; tunaikanlah zakat, perbanyaklah sedekah, biasakan infak, bantulah mereka yang membutuhkan. Apa maksudnya? Ternyata jika kita sambungkan dengan logika diatas, maka pesan Tuhan dan Nabi itu pada hakikatnya ingin mengekalkan harta dan semua yang kita miliki itu. Karena membuat harta (termasuk juga ilmu) menjadi kekal untuk pemiliknya adalah dengan mengubah harta tersebut menjadi manfaat, bagi diri kita dan bagi orang lain. Kemanfaatannya itulah yang dilihat dan menjadi ukuran apakah kita menjadi manusia yang usianya melampaui usia jasad kita.

Dengan begitu, hakikatnya orang yang kaya itu adalah manusia yang memiliki banyak kemanfaatan pada diri dan dari hartanya. Dan orang miskin adalah manusia yang memiliki sedikit kemanfaatan. Dengan hakikat ini maka betullah kalimat Tuhan bahwa semua manusia; laki-laki perempuan, kaya-miskin, apapun warna kulitnya, apapun suku-bangsa dan bahasanya serta latar belakangnya, semua sama di pandangan Allah SWT, yang membedakan masing-masing adalah takwanya. Dari logika tadi ketakwaan diukur dari kemanfaatan diri manusia dan hartanya. Orang yang bertakwa itu adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lain. Jadi sudah berapa manfaatkah kita? Bermanfaatkah handphone kita? Laptop, motor, mobil, rumah, atau sekedar tenaga dan lisan kita, seberapa banyak mereka telah membantu orang lain? Akhirnya sudah berapa banyak kemanfaatan yang telah kita tabung untuk menjadi orang yang paling kaya di akhirat? Wallahu a’lam.

Paradok yang Penuh Hikmah


...ini masjid al muhajirun di belakang rumah saya...

Anda tahu apa hikmah paradok-paradok yang ada di beberapa nasehat Nabi? Nabi katakan seburuk-buruknya tempat itu pasar, sebaik-baiknya tempat itu masjid. Tetapi mereka yang tidak memiliki kemampuan akses ekonomi (dhuafa) di pasar, kebanyakan dari mereka malah jauh dari masjid (ibadah).

Sementara pada kesempatan lain, Nabi menganjurkan bersemangat mencari dunia seakan-akan kita hidup selama-lamanya, namun Nabi juga menganjurkan menikmati dunia (harta) secukupnya saja. Dan akhirnya kita dengar cerita paradok mereka manusia-manusia mulia, dimana mereka melimpah kekayaannya, tetapi mereka sendiri berpakaian dengan baju yang bertambal-tambal dan seringkali dalam keadaan lapar.

Mari sama-sama kita renungkan hikmahnya, anda pasti punya argumentasi sendiri dan manangkap hikmah yang khusus dari paradok yang unik ini. Tapi apapun hikmah yang kemudian anda dapatkan, semoga itu bermuara pada kearifan, kesahajaan yang berujung pada penghambaan semakin tulus kepada Tuhan.

Rabu, 25 Agustus 2010

Things to Ponder: Diperhatikan Tuhan


Beberapa waktu lalu motor saya hilang dicuri orang. Ketika mengetahui itu entah kenapa hati saya malah plong, bukan muncul cemas atau gelisah apalagi marah. Padahal cicilan motor saldonya masih mencapai Rp 10 jt, ya memang motor itu baru saya beli. Tapi sekali lagi saya saya ingin katakan, saya merasa lega.

Kenapa? Pertama karena saya merasa ada dosa atau kelalaian saya, apapun bentuknya pada masa lalu terhapus karena hal ini. Kedua, saya merasa Tuhan masih memperhatikan saya. Dan alasan kedua ini bagi saya yang terpenting. Selain itu, saya pun menginsyafi diri "pelajaran" Tuhan ini datang ketika rembulan Ramadhan masih menggantung di langit malam.

Selepas subuh tadi dari masjid belakang rumah saya lihat purnama Ramadhan begitu sempurna. Sisa-sisa malam yang cerah masih menampakkan bintang-bintang lengkap dengan kerlap-kerlipnya. saya ingin juga ambil hikmah dari suasana itu, tapi entah kenapa saya tidak dapatkan itu dalam renungan sepanjang jalan menuju rumah. Tapi sekejap kemudian saya sadari bahwa hikmahnya adalah Tuhan masih berikan kesempatan saya melihat pemandangan langit fajar yang indah, lengkap dengan bulan purnama dan bintang-bintang. Sssssttt..., saya masih diberi kesempatan untuk sadar bahwa Tuhan ada dibalik itu semua...

Things to Ponder


Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang yang berinfak, baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri*, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali Imran: 134-135)
*) yang dimaksud perbuatan keji (fahisyah) ialah dosa besar yang akibatnya tidak hanya menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain, seperti zina dan riba. Menzalimi diri sendiri ialah melakukan dosa yang akibatnya hanya menimpa diri sendiri baik besar atau kecil.

Apa yang ada di benak anda jika Tuhan anda khabarkan kalimat-kalimat di atas itu khusus untuk anda, ketika anda khusyuk pada satu malam yang sunyi bermunajat memohon ampunan Tuhan atas dosa-dosa anda yang semakin hari semakin menumpuk? Mungkin mata yang berkaca-kaca atau airmata yang menetes dari sudut-sudut mata sudah cukup menggambarkan apa yang ada dibenak. Atau anda mungkin tersungkur dia atas sajadah, tidak siap menerima jawaban ini, karena harapan anda Tuhan memberikan ganjaran yang setimpal secepatnya agar menjadi tumbal bagi dosa-dosa yang sudah menggunung, bukan malah memusnahkannya hanya karena ratapan mohon ampun.

Saya hanya ingin pertegas kembali pada anda dan khususnya bagi diri saya sendiri, bahwa ramadhan bertujuan mampu mentransformasi manusia biasa menjadi manusia bertakwa, inilah definisi manusia bertakwa itu:
1. Manusia yang kemudian memiliki kebiasaan berinfak baik dalam keadaan lapang maupun sempit.
2. Manusia yang selalu mampu menahan amarah.
3. Manusia yang mampu memaafkan kesalahan orang lain.
4. Manusia yang apabila berbuat dosa besar atau kecil segera mengingat Allah lalu memohon ampun atas dosa-dosanya dan tidak mengulanginya.

Inilah mungkin nasehat yang telah sampai pada kita untuk kesekian kalinya, yang menunjukkan betapa sayangnya Tuhan pada kita, sampai-sampai Beliau tak bosan-bosan menyampaikan nasehat ini. Kita mungkin sudah berkali-kali mengkhianati Tuhan dengan selalu mengingkari janji-janji taat dari lisan kita, tetapi ternyata Tuhan tidak bosan-bosannya mengingatkan, bahwa ampunan-Nya masih seluas alam semesta, bahwa syurga masih layak untuk kita. Mari kembali kita coba...

Senin, 23 Agustus 2010

Bermanfaatlah..


Beberapa waktu lalu saat putra sulung saya menerima raport kenaikan kelas, ia dengan tersenyum malu menunjukkan nilai-nilainya yang lumayan baik. Saya dan istri ikut tersenyum, setelah memberikan pujian-pujian dan motivasi padanya. Anak sulung saya ini memang pantas mendapatkan pujian. Meski ia tidak masuk dalam 10 besar rangking dikelas tetap saja kami merasa nilai anak kami ini cukup baik, mengingat effortnya dalam belajar yang minim tetapi ternyata nilai yang ia dapatkan diatas ekspektasi kami.

Istri saya cerita kalau anak saya ini dikenal sebagai “ustadz” di kalangan teman dan gurunya, karena seringkali menjadi imam shalat bagi rekan-rekannya ketika waktu shalat tiba. Tersenyum saya bangga saya mendengar cerita itu. Dan tambah lebar senyum saya teringat kejadian beberapa waktu sebelumnya ketika kami sedang menuju ke rumah orang tua untuk silaturahim, anak saya ini bersenandung dangdut, lagu yang tengah populer waktu itu. Karuan saja saya dan umminya langsung bertanya, “abang hapal dari mana lagu itu?” Anak saya cuma tersenyum, dan menjawab sekenanya, “lupa ingat dimana.”

Kami mencoba mengingat-ingat dimana kiranya dia dengar lagu itu, dirumah kami tidak pernah putar lagu dewasa, nasyid saja jarang. Di mobil meski sesekali saya putar lagu, selalunya hanya nasyid atau iwan fals. Di rumah kawannya? Biasanya kalau main di rumah kawannya dia selalu main games. Di sekolah pasti tidak mungkin. Hmmm ternyata di mobil antar-jemput sekolahnya. Duh dia di atas mobil jemputan itu kan hanya sebentar, bagaimana mungkin bisa hafal satu lagu dengan baik? Belum pertanyaan penuh keheranan itu berhenti, istri saya sudah panik, dan langsung mengecek hafalan surat-surat pendek Qur’an yang sudah dihafal anak saya, satu persatu dicek, dan ternyata masih hafal, lega kami.

Setelah selesai saya dengan ingatan itu, saya kemudian memberikan pesan-pesan ringan pada anak saya, sambil dia menonton kartun kesukaannya. Saya pesankan; abang, abi ga masalah loh nilai-nilai di pelajaran sekolah biasa-biasa aja, yang penting abang bisa jaga akhlak abang. Yang paling penting buat ummi dan abi, abang jadi anak shaleh, patuh sama orang tua, sayang sama adik-adik, baik sama guru, baik sama teman-teman. Kalau ada teman yang susah abang bantu, berbagi rizki sama orang yang membutuhkan dan jangan lupa shalatnya, kalau bisa jamaah di masjid. Abi sama ummi lebih bahagia kalau abang bisa jaga dan bagus akhlaknya. Mendengar pesan-pesan saya itu, anak saya cuma mengangguk-angguk. Dalam hati saya berharap pesan itu sampai dan membekas dihatinya sampai kapanpun.

Betul, saya sedang belajar mengajarkan anak (dan mungkin juga untuk diri sendiri) tentang konsep kemanfaatan. Saya sangat terkesan sekali dengan pesan Nabi; sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lain. Pesan ini menjadi konsep yang ingin sekali menjadi parameter disemua sisi kehidupan saya dan keluarga. Itu mengapa saya pesankan konsep itu pada anak saya, agar ia memiliki ukuran, pedoman dan arah dari setiap tindakannya. Fokus pada pencapaian kemanfaatan diri yang maksimal. Dan semua jalan menuju kesana harus diseriusi.

Saya sendiri terkadang keliru untuk fokus dalam hidup ini. Saya salah dalam berkonsentrasi. Seringkali saya hanya sebatas konsentrasi pada jalan-jalan menuju pribadi yang bermanfaat, dan merasa jalan itulah tujuannya, proses itulah akhirnya. Jalan atau proses apa itu? Proses mencari nafkah, mengumpulkan harta, menimba ilmu. Kekeliruan saya atau juga mungkin anda adalah merasa bahwa menjadi hartawan adalah tujuan dan sasaran hidup yang paling puncak, atau menjadi seorang penuh dengan gelar-gelar keilmuan yang membuat status intelektual ada pada posisi tertinggi sebagai sebuah pencapaian akhir dan lambang kesuksesan hidup, atau menjadi pejabat, penguasa membuat status sosial terangkat dan hal itu menjadi sasaran hidup yang tertinggi.

Nah, saya tidak ingin diri saya, anak saya dan keluarga saya memiliki konsep hidup seperti itu. Saya ingin mereka tahu bahwa tujuan hidup lebih dari setakat itu. Menjadi hartawan akan baik jika harta-hartanya membuat diri tidak menjadi hina dan harta itu juga bermanfaat bagi manusia lain yang terlunta-lunta karena kesusahan ekonomi, cendikia akan mulia jika ilmunya mampu menjaga diri dari kemaksiatan dan memberikan solusi bagi manusia disekitarnya yang bermasalah, sementara para pejabat dan penguasa akan sangat bermakna ketika ia tidak hanya asyik dengan kekuasaannya tetapi mampu menjadi alat untuk fastabiqul khairat serta meringankan urusan semua orang yang telah meletakkan amanah di pundak mereka. Apapun cita-cita kita, ingin seperti apa kita menjadi, ia akan sangat berarti ketika ia memberikan kemanfaatan bagi manusia lain. Dan tentu saja dengannya kita semakin dekat dengan Allah SWT.

Sekali lagi, konsep kemanfaatan inilah yang menjadi salah satu cermin untuk melihat apakah langkah dan tujuan kita memiliki arah yang benar. Tetapi saya juga tidak ingin sibuk dengan selalu memikirkan ini. Saya ingin semuanya mengalir saja, membantu orang dengan segala kemampuan menjadi kebiasaan yang tidak memerlukan pikiran dan pertimbangan yang terlalu panjang. Tapi inipun sedang saya perjuangkan, saya sedang latih, hati, akal, tangan, lisan dan semua yang melekat pada diri saya untuk sejalan dengan konsep yang saya yakini ini. Dan pada saat yang sama saya sedang bereksperimen untuk menjadikan ini semua pada diri anak saya.

Minggu, 22 Agustus 2010

Masyarakat Ekonomi yang Bersahaja


Seperti biasa setiap pagi pada bulan Ramadhan di kantor saya selalu memulai hari dengan tilawah Qur’an. Beberapa rekan kerja yang berminat tekun mengikuti program ini; membaca, mendengarkan dan menyimak bacaan Qur’an. Yang menarik untuk saya renungkan pagi ini adalah kebiasaan mengkoreksi bacaan yang serta merta dilontarkan oleh rekan-rekan yang lain begitu mendengar ada bacaan yang salah.

Kenapa menarik? Karena kali ini saya merenungkan makna lebih dalam dari koreksi itu. Saya membayangkan kalau saja koreksi spontan atas kesalahan baca itu terjadi pada aktifitas ekonomi, mungkin akan lain pula wajah pergaulan ekonomi disekitar kita. Kalau saja setiap kekurangan ekonomi yang dirasakan oleh setiap dhuafa itu dianalogikan sebagai kesalahan baca, dan kemudian ada tindakan spontan yang cepat untuk “mengkoreksi” keadaan itu dari para orang kaya, bukankah akan terasa indah hidup ini. Seindah interaksi tilawah pagi itu.

Ya, saya memang memimpikan wujudnya orang-orang kaya yang selalu bersegera, spontan, cepat tanggap begitu melihat ada saudara dhuafa di sekelilingnya yang terlunta-lunta secara ekonomi. Layaknya seorang penyimak tilawah Qur’an yang dengan cepat mengkoreksi bacaan saudaranya. Tetapi saya juga bermimpi tumbuhnya masyarakat dhuafa yang bersemangat terus mencari nafkah dan rizki serta memahamkan pada dirinya bahwa kondisi dhuafa dan selalu dibantu itu adalah kondisi yang tidak baik. Seperti orang yang terbata-bata membaca Qur’an bersemangat untuk belajar menjadi fasih dan ia merasa tidak nyaman jika terus dalam kondisi terbata-bata dan selalu dikoreksi ketika membaca.

Inilah yang saya maksud bersahaja dalam berekonomi. Mereka yang kaya menyadari betul kekayaannya merupakan amanah dari Allah SWT, dimana dengan kekayaan itu ia berpotensi menjadi manusia terbaik diantara manusia-manusia yang lain. Dengan kekayaannya ia mampu memberikan manfaat bagi manusia sekitar dirinya, dari keluarga hingga tetangga, dari kawan hingga handai taulan. Kedermawanan bercampur dengan gaya hidup sederhana, akan membuat manusia-manusia kaya menjadi manusia yang terbaik diantara masyarakatnya.

Sementara itu, mereka yang miskin menjaga diri dan kehormatannya untuk sekuat tenaga tidak menjadi beban bagi manusia lain. Kepapaannya melecut dirinya untuk terus berusaha mencari nafkah. Sementara pada ketika yang sama ia tidak berkeluh kesah dengan kadaannya, karena semangat mencari nafkah ditengah kondisi serba kekurangan ia selalu memenuhi hatinya dengan sikap lapang dada dan qonaah.

Nah ditengah-tengah mereka ini wujud pula ulama (cendikia) dan umara (pemimpin) yang selalu mendampingi kedua masyarakat tadi. Mereka yang sudah memposisikan diri mereka untuk menjadi pembina dan pembantu masyarakat. Mereka amanah dengan semua tanggung jawab yang ada di pundak mereka. Tetapi kerja-kerja mereka bukan tanpa pamrih, satu-satunya pamrih yang mereka kejar untuk membalas kerja-kerja mereka tak lain dan tak bukan puncaknya adalah syurga.

Sederhananya inilah komponen masyarakat ekonomi yang bersahaja yang saya maksudkan. Ekonomi yang santun yang bukan hanya membangun kemegahan fisik tetapi juga kemegahan manusianya berupa keluhuran budi dan keharmonian interaksi. Orientasi masyarakat ekonomi bersahaja ini hanya satu, yaitu bersama-sama menjadikan ekonomi sebagai alat memaksimalkan proses penghambaan kepada Tuhan Penguasa Alam Semesta. Wallahu a’lam.

Analogi yang Salah


Sudah lama ketidaknyamanan saya rasakan setiap kali mendengar para pemerhati atau bahkan pakar ekonomi Islam mengungkapkan bahwa perbedaan transaksi syariah itu layaknya seperti perbedaan “kumpul kebo” dengan menikah resmi. Perbedaan keduanya kurang lebih “hanya” terletak pada akadnya (ijab-kabul) saja, teknis transaksinya boleh jadi sama dan identik.

Analogi ini dahulu saya sikapi hanya sebagai sebuah upaya memahamkan kepada masyarakat dalam kemasan yang ringan, tetapi akhir-akhir ini semakin mengganggu saya. Gangguan itu semakin mencemaskan saya ketika ternyata efeknya begitu jelas pada arah dan paradigma pengembangan keuangan syariah. Padahal analogi itu bukan hujjah, bukan dalil dan tidak pula memiliki dalil. Analogi ini kemudian dijadikan dasar dari pembenaran bahwa sesungguhnya teknis aplikasi keuangan konvensional dan syariah tidaklah berbeda.

Dengan analogi itu praktisi cenderung melakukan pemadanan produknya dengan konvensional melalui upaya-upaya konversi dengan menggunakan laundry machine yang disebut fatwa. Sementara para pemangku fatwa dan pengawas syariah cenderung mencari pembenaran hukum dari produk-produk keuangan syariah yang ditawarkan praktisi tanpa memahami esensi transaksi (substance over the form). Kan yang penting ada landasan fiqihnya, ada akadnya, ada ijab-kabulnya?!

Bagaimana mungkin dua aplikasi yang sama memiliki dua implikasi yang berbeda? Itu pertanyaan yang memulakan kegundahan saya. Bagaimana pula kesucian aplikasinya sama dengan kemaksiatan? Ini pertanyaan mendasar kedua yang kemudian membuat saya lama merenungkan esensi-esensi transaksi keuangan syariah. jika inipun menjadi kegundahan anda, mari merenung bersama dan berdiskusi juga tentu saja berkontribusi. Mari menyampaikan hasil renungan, kesimpulan-kesimpulan yang bermanfaat bagi menyadarkan pemahaman ummat bahwa keduanya memiliki perbedaan yang mendasar, dari niatnya, rancangannya, strukturnya, bentuknya sampai dengan implikasinya.

Sejauh ini saya sudah sampai pada kesimpulan, yang mungkin masih terhitung belum matang tetapi saya nyaman dengan kesimpulan ini, yaitu bahwa perbedaan konvensional dan syariah tidak hanya terletak pada akadnya saja, tetapi terletak pula pada detil yang melekat pada aktifitas transaksinya. Detil transaksinya meliputi: (i) karakter pelakunya; niat yang bersih, penuh kesadaran pada kewajiban mematuhi kehendak dan ketentuan Allah SWT, sehingga ketentuan syariah dilihat sebagai batasan yang menyelamatkan dan dipahami esensinya; (ii) interaksi pelakunya; interaksi pelakunya dalam bingkai saling menguntungkan dalam rangka beribadah kepada Tuhan, persaudaraan yang menghantarkan pada kecintaan pada penghambaan dan keimanan; (iii) esensi aplikasinya; bahwa transaksi syariah berawal pada proses produktif menciptakan barang-jasa dan mentransaksikannya, serta membagi hasil keuntungan dari transaksi jual beli, sehingga esensi keuangan syariah adalah mengintermediasi atau menjadi katalisator dari proses produksi, distribusi dan investasi (produktif). Keuangan syariah bukan aktifitas keuangan tanpa ada proses penciptaan barang-jasa. Jadi mudah membedakan syariah dan konvensional menggunakan parameter ini; (iv) implikasinya; dengan esensi yang disebutkan pada poin ketiga, maka implikasi yang jelas sebagai akibat dari aktifitas keuangan syariah adalah meningkatnuya distribusi sumber daya, naiknya produktifitas, meluasnya tingkat keterlibatan ekonomi, terbukanya kesempatan berekonomi, jika transaksi keuangan syariah tidak memiliki implikasi-implikasi tersebut, tentu wajar dipertanyakan derajad kesyariahannya.

Dengan hasil kesimpulan ini, saya dengan tegas menolak analogi di atas tadi. Bahkan saya ingin menegaskan bahwa analogi itu tidak tepat dan benar. Hati-hati mencari dan menggunakan analogi. Apalagi sampai analogi tersebut ternyata berfungsi layaknya dalil. Kesalahan akan kemudian menumpuk, yaitu kesalahan analogi dan kesalahan menggunakannya dalam mengembangkan sesuatu. Sementara kita yang menggunakannya akan tersesat dan kurang memiliki logika shahih dalam beranalisa dan berargumentasi.

Saya mengajak siapa saja untuk semakin dalam memahami esensi keuangan syariah, melalui karakteristiknya, esensi aplikasinya dan implikasinya. Kaidah, prinsip dan dalil syariah saya yakini memiliki keselarasan dengan parameter tadi, bahkan prinsip syariah itulah yang seharusnya menjadi inspirasi utama bagi kita untuk memahami esensi-esensi, karena memang keduanya bukanlah entitas yang berbeda. Jadi teknis keuangan syariah seperti apa bentuknya menjadi sangat penting untuk pengembangan keuangan syariah agar ia selalu berada dalam garis keselamatan dan menyelamatkan. Wallahu a’lam.

Rabu, 18 Agustus 2010

Sampai-Sampai Allah Merasa Heran Kepada Sembilan Orang

Nasehat berbentuk syair yang disadur EMHA Ainun Nadjib di bawah ini sudah pernah saya posting beberapa bulan yang lalu. Tapi entah kenapa pagi ini saya ingin ulang dan posting kembali, untuk diri saya, juga beberapa anda di luar sana. Selamat menikmati...

Sampai-Sampai Allah Merasa Heran Kepada Sembilan Orang

Aku heran kepada orang yang percaya terhadap pastinya maut,
tetapi ia masih sombong dan membanggakan diri.

Aku heran terhadap orang yang mengetahui hari perhitungan,
tetapi ia masih sibuk menumpuk-numpuk harta.

Aku heran terhadap orang yang faham bahwa ia pasti masuk lubang kuburan
tapi ia masih sanggup tertawa terbahak-bahak.

Aku heran kepada orang yang yakin terhadap hari akhirat,
tetapi ia masih berpanjang-panjang dalam kesenangan dan lalai.

Aku heran kepada orang-orang yang mengerti bahwa dunia ini fana,
tapi ia masih terus saja menambatkan hati kepadanya.

Aku heran kepada orang yang pintar bicara,
tetapi bodoh di dalam menyelami pengertian.

Aku heran kepada orang yang hari-harinya habis untuk membicarakan aib orang lain
tetapi ia lupa melihat cacatnya sendiri.

Aku heran kepada orang yang sadar bahwa Aku memperhatikan tingkah lakunya
kapan dan dimanapun saja tetapi tetap saja ia durhaka.

Aku heran kepada orang yang tahu bahwa ia akan mati sendirian dan masuk kuburan sendirian, tapi masih saja ia menggantungkan kebahagiaan kepada senda gurau dan main-main dengan banyak orang.

EMHA Ainun Najib, Isyarat Zaman (1) “Allah Merasa Heran”

Kalau tidak salah syair di atas yang disusun oleh Emha berasal dari penggalan Hadits Qudsi yang memiliki banyak tuntunan. Seringkali sebuah nasehat akan mengena pada seseorang, sampai pada hatinya, karena pilihan kata yang tepat, suasana hati yang terbuka pada apa saja, lingkungan diri yang hening dan membawa ketentraman atau karena memang seseorang itu memang tengah haus akan sebuah tuntunan. semoga nasehat ini sampai kepada hati-hati kita semua.

Rabu, 11 Agustus 2010

Memori Gombak


Tidak terasa..., ini ungkapan yang biasa dilisankan oleh orang yang sedang bernostalgia dengan masa lalunya. Persis sama dengan yang saya alami saat ini. Ketika Rabu kemarin (10 Agt 2010) saya injakkan kaki di kampus tercinta International Islamic University Malaysia (IIUM). Tak banyak yang berubah, kecuali suasana rimbun yang kini nampak menonjol dari kampus tercinta ini.

Dua hari setelah ini saya akan mengikuti delegasi Bank Indonesia untuk melakukan meeting dengan pihak Bank Negara Malaysia dan CIMB. Tetapi kesibukan itu tidak membuat saya memalingkan perhatian saya dari kampus IIUM yang sudah pernah menjadi bagian dari hidup saya. berharap sebelum pulang ke Indonesia, saya memiliki kesempatan untuk menghabiskan malam Ramadhan, tarawih di Masjid kampus, atau sekedar ngobrol bareng teman-teman mahasiswa Indonesia di sana.

Senin, 02 Agustus 2010

Kesederhanaan


Ditengah semakin banyaknya pemandangan para mujahid dakwah yang asyik dengan kemegahan harta dan fasilitas hidup, saya jadi ingin bersenandung kisah Nabi yang bersahaja yang dulu diperkenalkan Mas Ikmal dari Suara Persaudaraan. Hmm.. jadi ingat Mas Ikmal yang juga bersahaja beserta keluarga beliau. Semoga Allah perbanyak orang-orang yang sederhana dan bersahaja dengan hartanya. Dan aku kembali bersenandung...

Pernahkah engkau renungkan tentang kisah Rasulullah junjungan
Rela hidup dalam kesederhanaan pertahankan kehormatan
Lewati malam-malam yang kelam dalam keadaan lapar
Bersama segenap keluarganya tak dapatkan satupun makanan

Bahkan tak pernah menikmatinya dari atas meja makan
Tidur beralaskan tikar kasar terbuat dari kulit dan rerumputan
Hingga membekas pada punggungnya, tak pernah kenyang di dalam hidupnya
Bahkan pernah tiga purnama tiada api menyala di rumahnya

Rasulullah junjungan kita Rasulullah tauladan kita
Qudwah ummat manusia sedunia shalawat dan salam padanya

Di suatu saat pasca perang hunain berkumpullah istri-istrinya
Menuntut tambahan harta dunia yang tiada dimilikinya
Hingga dikemudian hari mereka mendapat pelajaran dari Allah
Dengan turunnya ayat-ayat yang tertulis dalam Al Qur’an

“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu,
apabila mereka menghendaki gemerlapnya dunia,
maka kemarilah akan aku ceraikan kamu dengan sebaik-baiknya”

Sekonyong-konyong mereka tersadar, segera berpaling dari kelengahan
Terburu-buru untuk mengatakan, Allah dan Rasul, kampung akhirat pilihan
Damailah kembali seluruh kota, musnah fitnah gemuruh murka
Setelah satu bulan lamanya Rasulullah bermuram durja

Rasulullah junjungan kita Rasulullah tauladan kita
Qudwah ummat manusia sedunia shalawat dan salam padanya

Banyak lagi kisah-kisah sahabat beliau yang memberikan ketauladanan hidup penuh sederhana. Ketauladanan yang sangat berpatut dicontoh oleh para pewarisnya diakhir zaman ini. Saya sendiri masih terus berjuang menundukkan hati dan mencoba meyakinkannya bahwa harta yang berkilau itu bukanlah segalanya. Kemanfaatan dibaliknyalah yang seharusnya dikejar. Potensi-potensi amal shaleh dari hartalah yang kilaunya membuat kita rakus mengejarnya.

Kesederhanaan pada ketika dulu menjadi gaya hidup yang trendy, yang membuat komunitas itu harum namanya. Sampai-sampai zamannya pun ikut ternama, jazirah tempat komunitas itu pernah ada menjadi melegenda. Ketauladanan menjadi sempurna, karena bukan saja ada pada prilaku pribadi-pribadi tetapi juga melekat nyata pada prilaku kolektif komunitas itu. Komunitas Nabi akhir zaman bersama para sahabatnya yang santun penuh cinta.

Mereka tidak stress apalagi depresi karena harta. Harta bagi mereka adalah pedang untuk medan jihad semisal badar dan uhud. Pedang yang mereka gunakan untuk mengumpulkan pundi-pundi pahala dan kemuliaan tertinggi sehingga mereka layak digelari sebaik-baik manusia. Harta begitu ringan di tangannya. Mereka rakus mencari siapa saja yang membutuhkan harta mereka, agar harta mereka menjadi sebaik-baiknya harta dan menjadi teman sejati setelah tak ada lagi teman di barzakh nanti.

Tidak jarang mereka tidak tinggalkan sekeping atau sehelaipun pakaian lebih bagi diri dan keluarganya. Bahkan cukup bagi mereka sekantung gandum untuk mengamankan makan 1-2 hari kedepan, lebih dari itu mereka akan gelisah memikirkan saudara mereka yang saat itu mungkin tidak memiliki apa-apa untuk dimakan.

Duh Tuhanku yang Agung, bila manusia-manusia sederhana dan bersahaja itu memakmurkan bumimu kembali? Yang akan kembali membuat gunung-gunung tersenyum, yang membuat lembah, bukit dan samudera dapat istirahat, tidak lagi cemas karena makhluk pemegang amanah Tuhan mereka menunaikan janjinya. Gunung, lembah, bukit dan samudera kembali ikhlas dipimpin manusia, karena manusia-manusianya adalah manusia yang sederhana dan bersahaja.