Pada International Conference on Sharia Governance yang baru lalu berlangsung di Yogyakarta (3 Desember 2011), kerjasama antara UII Yogyakarta dengan ISRA Malaysia, ada hal yang menarik dan membuat saya terus memikirkannya sampai hari ini. Secara umum tidak ada yang istimewa dalam konferensi itu, meski memang topic yang dibincangkan dalam konferensi tersebut memang menarik, tetapi yang special bagi saya adalah respon Dr. Aznan Hasan terhadap presentasi saya terkait isu Fatwa Shopping. Isu fatwa shopping sengaja saya munculkan dan bahan itu saya quote dari Dr. Sayd Farook (Thomson Reuters). Dan tentang fatwa shopping sudah pernah saya elaborasi dalam satu tulisan khusus dalam blog ini.
Dr. Aznan Hasan menyayangkan isu fatwa shopping ini muncul, beliau berpendapat ulama mengeluarkan fatwa telah melalui proses yang cukup ketat dalam eksplorasi dalil dan pengetahuan syariah yang ada, begitu juga dengan kualifikasi ulama yang mengeluarkan fatwa tersebut diyakini cukup mumpuni. Panjang lebar beliau mengungkapkan “kekecewaan”-nya terhadap isu fatwa shopping yang mungkin seolah-olah telah mendakwa ulama otoritas fatwa mengkhianati amanahnya. Saya mencermati betul kalimat-kalimat beliau, dan sesekali menuliskan beberapa catatan.
Namun saat diberikan waktu untuk menyampaikan pendapat saya, entah mengapa saya tidak secara langsung menjawab apa yang menjadi perhatian Dr. Aznan tadi. Saya lebih menekankan pentingnya proses formulasi kebijakan pengembangan perbankan syariah mempertimbangkan kemanfaatan ekonomi, termasuk kebijakan dalam pengambilan fatwa, pertimbangan fatwa atau bahkan tata-kelola syariah. Mungkin pertimbangannya ketika itu, saya hanya tidak ingin memperpanjang polemic yang boleh jadi sangat sensitive, mengingat konferensi itu ingin membangun awareness pentingnya tata-kelola syariah (Sharia Governance) dalam pengembangan perbankan syariah.
Namun jika saya ditanya lebih lanjut, maka akan saya katakan bahwa isu fatwa shopping itu masih cukup relevan terlebih untuk kondisi Indonesia. Ditengah kondisi kurangnya sharia scholars dan tata-kelola syariah yang belum mapan, terutama masih tumpang tindihnya keanggotaan DPS dan DSN, maka isu fatwa shopping masih sangat relevan. Isu ini sebaiknya dipandang sebagai kritisi dengan maksud menjaga fungsi fatwa authority untuk tetap in-line dengan semangat sharia khususnya pada aspek ekonomi syariah. Fatwa yang keluar harus bebas dari proses fatwa shopping, bebas dari kontaminasi motif diluar kebenaran keilmuan dan keshahihan praktik. Fatwa harus bebas dari motif melayani kepentingan dan maksud praktisi, sekedar menjadi justifikasi transaksi dan produk yang substansinya sama dengan transaksi atau produk konvensional. Wallahu a’lam.
1 komentar:
Tentu saja ulama yang mengeluarkan fatwa tidak berniat buruk melayani kepentingan industri dan menjadi pembenar produk konvensional, walau keduanya memang menjadi konsekuensi dari fatwa yang mereka keluarkan. Saya kira masalahnya adalah keterbatasan kreativitas dalam menciptakan produk keuangan yang Islami dan memenuhi kebutuhan masyarakat, dan atau ketidakmauan praktisi dan regulator menerapkan produk keuangan Islami yang sudah memenuhi dua kriteria tersebut, seperti pembiayaan mudharabah/ musyarakah.
Posting Komentar