Minggu, 18 Desember 2011

Fenomena Turki, Krisis Eropa, Arab Spring dan Kebangkitan Islam


Sebelum berangkat ke Yogyakarta untuk menghadiri International Conference on Sharia Governance, di bandara Soekarno-Hatta, saya tertarik membeli Majalah Time edisi November 28, 2011. Yang membuat saya tertarik adalah covernya yang memajang foto gagah Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan (dalam bahasa arab mungkin nama beliau menjadi Rasyid Thoyib Irwan). PM Turki ini sukses membuat dirinya dan kinerja ekonomi negerinya menjadi perbincangan hangat di banyak forum ekonomi dan politik di seluruh dunia. Penasaran saya bertambah pada majalah ini setelah melihat beberapa artikel yang menjadi bahasan dalam majalah Time tersebut. Salah satunya adalah Euro Crisis: A Critical New Phase.

Fenomena Turki
Dalam 8 tahun masa kepemimpinan PM Erdogan, Turki berhasil meningkatkan taraf ekonominya sampai 3 kali lipat; pendapatan perkapita negara itu mampu meningkat dari USD 3,492 menjadi USD 10,079 atau naik 288%. Dengan pencapaian ini PM Erdogan dan partainya dapat membuktikan banyak hal pada sikap skeptic pemimpin-pemimpin dunia khususnya regional Eropa dan Timur Tengah ketika Erdogan dan partainya AKP (Partai Keadilan dan Pembangunan) pertama kali memenangi pemilihan umum pada 8 tahun lalu. Partai yang beraliran islam moderat ini mampu membuktikan bahwa partai Islam dapat hidup berdampingan dengan konstitusi sekuler negara Turki, bahkan dengan gemilang mempersembahkan pembangunan ekonomi yang mengagumkan, pembangunan yang notabene tidak pernah sekalipun dicapai oleh rezim sekuler sebelumnya sejak rezim sekuler Altaturk (Kemal Al Taturk) berkuasa awal abad 20.

Selain itu, Erdogan mampu menjawab keangkuhan Eropa yang mengulur-ulur proposal Turki untuk bergabung dalam masyarakat ekonomi Eropa karena alasan keterbelakangan ekonomi, demokrasi dan HAM, dengan jawaban yang begitu cantik. Erdogan bahkan bukan hanya mampu menjawab, tetapi berhasil menjaga Turki untuk tampil mengagumkan secara ekonomi di tengah kondisi negara-negara Eropa yang cenderung bangkrut secara massif. Prestasi Turki ini memperlihatkan situasi yang unik kalau tak ingin dikatakan lucu, dulu Eropa menuding-nuding kondisi tradisional ekonomi Turki, namun kini mereka tidak dapat menyembunyikan kekagumannya pada performa ekonomi Turki. Sementara itu, kondisi negeri mereka di Eropa butuh bantuan keroyokan utang untuk tetap hidup dari negeri kaya dan lembaga-lembaga keuangan dunia. Kasihan ya.

Meski begitu, Turki sendiri dalam upaya mewujudkan kesejahteraan dan kejayaan bangsanya, pilihan strategi dan motivasi pembangunan ekonomi serta bentuk diplomasi luar negeri Turki pada dasarnya tidak terfokus pada concern dan kemauan negara-negara Eropa. Turki sepertinya memiliki gaya dan skenarionya sendiri, alih-alih berbaik-baik dengan Eropa demi satu tempat keanggotaan di European Union, Turki lebih mengambil gaya diplomasi terbuka dengan memainkan peran yang lebih kuat di wilayah Timur-Tengah dan tetangga di utara, negara-negara pecahan Uni Soviet yang memiliki kesamaan akar budaya dan bahasa. Dengan diplomasi luar negeri yang aktif dan semakin kuat diwilayah regional didukung dengan performa ekonomi dalam negeri yang mengagumkan (terlebih ditengah kecenderungan krisis kawasan tetangganya Eropa), Turki telah berhasil memposisikan diri (atau mungkin juga diposisikan oleh beberapa negara) menjadi role model bagi negara-negara emerging market sekaligus bagi negara-negara muslim. Dengan kondisi dan posisinya seperti itu, tentu Turki semakin kuat secara politik dan ekonomi dalam interaksi global. Perannya semakin diperhitungkan dalam dinamika politik-ekonomi, bukan hanya di dua wilayah strategis; Timur-Tengah dan Eropa, tetapi juga pada tingkat global.

Dan kini yang sebenarnya layak menjadi pertanyaan adalah, “masih berminatkah Turki menjadi anggota European Union saat ini?”. Ditengah kondisi Eropa yang babak belur dihantam krisis utang ditambah terungkapnya berbagai bentuk freud dan rugi pada berbagai perusahaan keuangannya, serta perkiraan bahwa kondisi “mandeg” ekonomi ini akan berlangsung lama, tentu tidak ada nilai tambah apapun bagi Turki untuk “ngotot” bergabung dalam komunitas Eropa. Kondisi Eropa saat ini secara jangka panjang juga akan menurunkan persepsi global terhadap reputasi baik kawasan ini. Reputasi itulah yang telah lama dinikmati Eropa berupa rating kredit yang sempurna dari berbagai lembaga rating dunia. Namun akhirnya privilege itu juga yang akhirnya menyeret kinerja keuangan fiskalnya berantakan. Mereka fikir dengan credit rating yang bagus mereka bisa dapatkan uang (utang) berapapun dengan mudah dan seenaknya belanja apa dan berapa saja. Akhirnya mereka terlena dengan itu semua, mereka melupakan besarnya kemampuan pendapatan mereka, dan ketika krisis keuangan menghantam industri keuangan mereka tahun 2008, mau tidak mau utang-utang yang selama ini mereka nikmati harus dibelanjakan untuk bailout perusahaan keuangan. Selanjutnya mereka harus menumpuk utang semakin besar, dan kini tumpukan utang itu semakin kuat menarik Eropa menuju kebangkrutan. Memang banyak analisis detil lebih rumit lainnya yang menjadi alasan shahih atas kondisi Eropa saat ini, namun jika ingin menyederhanakan apa yang sebenarnya terjadi, mungkin tidak salah memaparkan kronologi singkat seperti diatas tadi.

Krisis Eropa
Turki tidak perlu merasa kehilangan apalagi rugi. Bahkan boleh dikatakan langkah yang diambil Turki sudah tepat. Eropa mungkin sekali akan menjadi masa lalu, reputasinya dan kemegahannya hanya akan menjadi kenangan. Boleh jadi Eropa hanya akan menjadi pusat-pusat budaya untuk nostalgia, tetapi tidak untuk menjadi pemimpin peradaban dunia. Kondisi Eropa yang terus memburuk saat ini sangat memungkinkan mewujudnya kondisi masa depan Eropa seperti itu. Kepemimpinan ekonomi Eropa perlahan terlihat akan bergeser, motor baru ekonomi dunia seperti Asia dan Timur-Tengah nampaknya akan menggantikan posisi itu. Pembangunan megah ekonomi Timur-Tengah dan Asia ditambah berseminya demokrasi di kawasan itu, pasti akan menjadi gravitasi untuk menjadikan negara-negara tersebut sebagai pusat-pusat budaya dan pendidikan baru dunia. Mungkin analisis ini terlalu premature, tetapi pantas dilakukan, setidaknya untuk mendorong langkah antisipasi dan perbaikan-perbaikan yang diperlukan.

Perlu dicermati lebih mendalam, efek dari kondisi ekonomi yang memburuk di Eropa dan Amerika Serikat boleh jadi memberikan pengaruh signifikan bukan hanya pada dimensi (sektor) ekonomi tetapi juga pada dimensi yang lebih luas, khususnya politik, keamanan, sosial dan budaya. Kebangkrutan ekonomi yang menghantui Eropa dan Amerika tentu akan menyita perhatian pemimpin Negara-negara maju itu, dikhawatirkan perhatian dominan ke masalah ekonomi domestic membuat perhatian mereka pada percaturan politik, keamanan, social dan budaya menjadi minim. Hal ini tentu diperkirakan akan membuat kekosongan pengendalian atas arah perjalanan sektor non-ekonomi dunia. Padahal disektor ekonomi sendiri kekosongan pengendalian arah ekonomi dunia juga dapat saja terjadi mengingat negara-negara maju juga cenderung lebih focus perhatiannya pada kepentingan domestic ekonomi mereka. Tendensi kearah itu sudah terlihat dari dinamika European Union yang gagal mengambil kesepakatan bersama untuk tindakan bersama atas kondisi krisis yang mengancam mereka. Sikap saling curiga dan perbedaan pendapat dari pertemuan EU diperkirakan merefleksikan sikap individualis masing-masing pemimpin Negara Eropa yang cenderung memproteksi kepentingan ekonomi domestic mereka. Usulan-usulan yang diajukan untuk mengatasi krisis, tidak bebas dari tuduhan sebagai usulan untuk kepentingan ekonomi domestic negara pengusul. Kondisi ini tentu akan menjauhkan Negara-negara Eropa dari cita-cita unifikasi komunitas mereka, yaitu menciptakan komunitas yang memiliki stabilitas pembangunan kuat dengan tingkat kesejahteraan terkemuka di dunia.

Kekosongan pengendalian serupa akan terjadi di tingkat politik dan keamanan. Kebangkrutan ekonomi Eropa dan Amerika dapat menggeser dominasi mereka pada peta politik dunia. Hal ini tentu akan menyulitkan membaca logika-logika politik mengingat logikanya menjadi begitu beragam di dunia. Politik dunia yang cenderung tidak lagi dikendalikan penuh oleh Eropa dan Amerika Serikat akan mendorong munculnya egoism politik dari negera-negara kuat ekonomi lain di luar kawasan itu. Sehingga membuat kepentingan dan tarikan politik dunia menjadi begitu beragam, dan hal ini tentu akan mempengaruhi kelajuan interaksi positif sektor lain (non-politik) baik pada bentuk interaksi bilateral maupun multilateral pada skala regional juga global. Disamping itu, kondisi kekosongan pengendalian keamanan akibat pengetatan budget pada Negara-negara adidaya militer Eropa dan Amerika akan meningkatkan risiko keamanan dunia. Dan situasi ini tentu akan memncing munculnya konflik yang lebih tajam baik secara bilateral maupun multilateral. Sementara itu kebangkrutan ekonomi Eropa dan Amerika tentu akan menurunkan belanja dan bantuan-bantuan social yang selama ini dominan dilakukan negara-negara donor dari kawasan krisis tersebut.

Kecenderungan ini tentu akan mempengaruhi program-program sektor social, khususnya pemberdayaan masyarakat marjinal (dhuafa) serta pelestarian lingkungan alam. Berdasarkan satu data, lebih dari 50% dana social yang didistribusikan di dunia khususnya untuk Negara-negara berkembang dan miskin, diberikan oleh negara-negara Eropa. Kesulitan keuangan negara-negara Eropa akibat krisis utang, mendorong mereka untuk menghentikan kucuran dana social yang biasa mereka berikan. Pertanyaannya adalah, “apakah pergeseran episentrum motor pembangunan ekonomi dunia dengan serta merta dapat menggeser negara donor dari Eropa-Amerika Serikat ke negara emerging market?” Sulit sekali menjawab pertanyaan ini dengan jawaban “ya”. Jika jawaban yang kuat itu “tidak”, maka dikhawatirkan implikasinya adalah memburuknya pembangunan masyarakat atau komunitas marginal yang ada khususnya di negara-negara miskin, mengingat program-program pemberdayaan tersebut dominan dibiayai oleh dana social dari donator di Eropa-Amerika Serikat. Padahal jika ingin mengandalkan peran negara-negara emerging market, salah-satu kesulitannya adalah budaya birokrasi yang efisien dan keberpihakan regulasi masih belum terbangun.

Pada tingkat mikro dunia usaha, ketiadaan pengendalian pada tatanan keuangan dunia akan menimbulkan instabilitas dan ketidakpastian atmosfer bisnis. Risiko dan biaya bisnis akan meningkat akibat munculnya ketidakberagaman regulasi ekonomi dan bisnis (regional dan internasional), karena tiap negara memiliki alasan kuat untuk menyesuaikan kebijakan dan regulasi mereka dalam rangka memproteksi kepentingan ekonomi nasional mereka masing-masing ditengah krisis dan ketidakmenentuan.

Bayangkan, jika kekosongan pengendalian secara menyeluruh pada semua dimensi kehidupan di dunia terjadi dalam waktu yang relative lama, dimana setiap negara tidak lagi mengikuti etika dan kelaziman interaksi yang sepatutnya dalam bingkai mutualisme karena saling curiga dan mempertahankan kepentingan negaranya masing-masing, tentu akan menimbulkan kekacauan interaksi multilateral (global). Dengan demikian ruang ringkup kekacauan ekonomi di Eropa dan Amerika tentu akan meluas dan membesar skala efeknya. Akhirnya, dunia dapat kehilangan factor perekat dalam menjalankan tata karma global. Sanggup membayangkan kekacauan multidimensi pada tingkat global?

Arab Spring dan Kebangkitan Islam
Ketidakmenentuan ekonomi Eropa dan Amerika Serikat yang mungkin akan merubah peta kekuatan ekonomi atau bahkan politik dunia, ternyata diikuti dengan perubahan politik secara dramatis di kawasan kaya sumber daya alam yaitu Timur-Tengah. Satu persatu negara Timur-Tengah terbebas dari pemimpin-pemimpin tirannya, dan kemudian memunculkan rezim baru yang lebih demokratis. Demokrasi di wilayah ini diyakini akan semakin meningkatkan performa ekonomi mereka yang memanfaatkansumber daya alam yang memang kaya. Kondisi ini tentu akan semakin menguatkan Timur-Tengah sebagai salah satu episentrum baru pembangunan ekonomi dunia. Kebangkitan politik Timur-Tengah yang dikenal dengan istilah Arab Spring memunculkan harapan baru bagi masyarakat Timur-Tengah untuk dapat menikmati potensi ekonomi mereka. Pada sisi politik Arab Spring juga memberikan pengaruh yang signifikan pada pergeseran peta kekuatan politik dan pertahanan di kawasan Timur-Tengah. Ketidak mampuan back-up Eropa dan Amerika Serikat kepada Israel akibat dilumpuhkan oleh kebangkrutan ekonominya masing-masing, akan membuat Israel terisolasi di kawasan tersebut. Mengingat demokrasi yang muncul dari Arab Spring tentu akan menyalurkan kemarahan masyarakat Arab terhadap Israel selama puluhan tahun yang berhasil diredam oleh tiran-tiran mereka.

Dalam konteks peradaban, kondisi ini tentu tidak bisa dipisahkan dari wacana kebangkitan Islam. Perlu di perhatikan dengan seksama, Arab Spring sejauh ini telah memunculkan rezim baru yang dominan berasal dari gerakan-gerakan Islam. Demokrasi Tunisia dimenangkan oleh Partai Islam Moderat Annahdah sedangkan Demokrasi Mesir memunculkan Partai Kebebasan dan Keadilan yang menjadi sayap politik organisasi Islam Moderat Ikhwanul Muslimin. Sementara negara-negara Arab lainnya memiliki kecenderungan yang sama. Sebelumnya Turki dengan Partai Islam Moderatnya, Partai Keadilan dan Pembangunan berhasil menjadi rezim baru yang dicintai rakyat Turki. Fenomena ini tentu menjadi inspirasi masyarakat Arab untuk memilih rezim baru bagi negeri mereka masing-masing. Sehingga masalah Palestina yang selama ini menjadi momok ketidakpedulian Arab, tinggal menunggu waktu gilirannya untuk diselesaikan. Partai Islam Moderat yang akan menjadi nahkoda baru di negara-negara Arab diyakini akan menempatkan Palestina sebagai agenda prioritas dalam rangka mewujudkan stabilitas politik kawasan. Oleh karenanya, Israel sadar dan sudah memproyeksikan posisi mereka yang sulit pada waktu-waktu kedepan. Israel bukan hanya akan menghadapi tekanan politik di kawasan Timur-Tengah, tetapi juga menghadapi kendornya dukungan sekutu loyalist mereka Eropa dan Amerika Serikat. Memburuknya situasi ekonomi Eropa dan Amerika serta semakin berseminya demokrasi politik Arab, diperkirakan akan memakan korban secara politik, dan tentu korban utamanya adalah Israel.

Dilain sisi, perkembangan Islam tidak dihambat factor eksternal seperti yang selama ini terjadi. Propaganda anti Islam dan misi-misi misionaris yang selama ini dibiayai donator Eropa dan Amerika Serikat, boleh jadi mengendur akibat desakan krisis. Berkembangnya peran Islam moderat dengan bukti-bukti keberhasilannya beberapa negara muslim pada kinerja ekonominya dan demokrasi politik, membuat negara-negara Eropa dan Amerika Serikat relative tidak mendikte strategi pembangunan negeri muslim, disamping memang mereka saat ini betul-betul membutuhkan bantuan dari siapapun, berapapun dan apapun bentuknya. Negeri-negeri muslim yang kaya tentu akan menjadi teman yang baik untuk mengatasi kondisi keuangan mereka, sementara negeri muslim yang berpopulasi besar tentu sangat pas untuk menjadi pasar produk-produk mereka. Ditengah tingkat mengangguran tinggi Eropa dan Amerika Serikat sangat membutuhkan pasar bagi sektor riil mereka untuk membuka lapangan kerja. Dengan demikian, perkembangan Islam akan sangat ditentukan oleh kondisi internal negeri-negeri muslim itu sendiri. Factor yang cukup menentukan adalah meningkatnya penduduk muslim ekonomi menengah yang terdidik, berkembangnya demokrasi dan tentu berseminya kesadaran keislaman yang terus membaik di negeri-negeri muslim. Bentuk-bentuk kebangkitan yang yang mungkin lebih tepat disebut “Islam Spring” terlihat dalam bentuk internationalization ekonomi Islam, diterimanya politik Islam berdampingan dengan demokrasi modern, budaya Islam yang membangkitkan kebanggaan pada nilai dan norma Islam. Dalam situasi inilah pondasi kebangkitan politik-ekonomi Islam akan dibangun. Dan pondasi ini yang kemungkinan besar akan menjadi landasan awal dari munculnya sebuah peradaban baru Islam di akhir zaman. Shahihkah analisis ini? Mari sama-sama kita saksikan dan buktikan.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

izin copas Mas. Terima kasih.

Anonim mengatakan...

izin copas Mas. Terima kasih.