Muangkin ada yang betanya-tanya mengapa saya tayangkan gambar di samping ini yang bertuliskan Bait Al Hikmah. Tidak ada maksud-apa-apa sebenarnya, kecuali hanya ingin menunjukkan mimpi atau mungkin obsesi, tentang keberadaan lembaga yang menjadi rujukan para pencari ilmu, pencari kebijaksanaan, pencari hikmah, yaitu The House of Wisdom atau Bait Al Hikmah.
Saya memfungsikan blog ini sebagai Bait al Hikmah bagi saya. Karena renungan yang "pop-up" di kepala saya dalam jangka waktu tertentu dan tertuang dalam tulisan dapat memberikan hikmah baik bagi saya sendiri maupun bagi orang lain. Atau tulisan-tulisan pihak lain yang sejalan dengan misi blog ini menjadi hikmah buat semua.
Entah kapan, saya memang memimpikan satu tempat atau lembaga Bait Al Hikmah berdiri, dimana orang didalamnya bergaul dan berinteraksi murni untuk mencari ilmu. Mereka berkumpul bukan mencari nilai, sertifikat atau kompetensi atas motifasi lain kecuali kepuasan mendapatkan "wisdom". Dari wisdom itu, mereka akan lebih nyaman menjalani hidup yang didalamnya terdapat banyak cobaan, ujian dan kenikmatan. Dengan wisdom mereka bisa tampil menjadi manusia terbaik dari manusia baik yang ada.
Oleh sebab itu, misi dari Bait Al Hikmah itu adalah "mewujudkan manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lain".
Dalam mimpi saya, Bait Al Hikmah terkumpul para pakar dari disiplin ilmu apapun yang saling membagi keilmuannya, dalam diskusi, dalam informal lectures, dalam kelas-kelas reguler dan ireguler. Di Bait Al Hikmah terdapat perpustakaan dengan buku-buku yang lengkap, tempat itu tepat untuk menyepi mencari hikmah. Tetapi juga tepat bagi siapa yang membutuhkan komunitas untuk saling berbagi ilmu dan pengalaman.
Bait Al Hikmah pada perspektif lain dapat menjadi knowledge cafe, tempat persinggahan orang yang ingin melepaskan kepenatan fikiran dan hati, dengan mendengarkan hikmah-hikmah dari lectures berbagai disiplin ilmu atau sekedar syair-syair Islami.
Hmmm... adakah yang bermimpi sama?
Minggu, 30 November 2008
Konsep Tabungan dalam Islam
Keteladanan merupakan bentuk tafsir dari pemahaman terhadap suatu prinsip atau nilai-nilai. Dalam hal ini keteladanan Rasulullah SAW dan para Sahabat beserta ulama-ulama terdahulu dapat dijadikan referensi shahih dalam mencari definisi dan interpretasi atas suatu konsep Islam (khususnya ekonomi) dalam kehidupan modern. Keteladanan ini yang bagi saya dapat menjelaskan banyak hal mengenai banyak isu dalam bidang Ekonomi Islam.
Banyak yang bertanya kepada saya, seperti apa konsep tabungan dalam Islam ketika saya banyak memberikan contoh keteladanan para Sahabat dalam memperlakukan hartanya. Banyak Sahabat yang terkesan tidak melakukan aktifitas "saving" dalam definisi modern yang sangat terkait dengan potensi investasi. Para Sahabat lebih banyak memperlihatkan prilaku zuhud dan qona'ah dalam bentuknya yang ekstrem, yaitu tidak meninggalkan sisa hartanya dalam bentuk "saving".
Alasannya akan sangat tidak relevan, jika kita mengajukan dalih bahwa aplikasi fund intermediary belum berkembang pada masa itu. Dengan begitu, alasan yang sangat mungkin dikedepankan adalah, bahwa penyisihan harta (deposit - D)) dalam prilaku Islam memiliki dua motif; berjaga-jaga (saving - S) dan investasi (Investment - I), diluar konsumsi dan amal shaleh.
D = S + I
bukan seperti yang selama ini diformulakan konvensional:
D = S = I
Selain itu, alasan yang juga cukup valid untuk di ajukan adalah begitu ketat dan tingginya prilaku para Sahabat yang percaya dengan janji-janji Allah SWT. Janji-janji yang menjadi pedoman tersebut diantaranya: Allah SWT akan lipat-gandakan rizki seseorang yang membelanjakan hartanya di jalan kebajikan atau Allah tidak akan memberikan cobaan (yang berisiko memakai harta, jiwa dan tenaga dimasa yang akan datang) kepada seseorang di luar kemampuan orang tersebut.
Dengan demikian, salah satu jalan untuk melancarkan rizki (harta) dalam perspektif para sahabat bukan malah menyimpannya tetapi MEMBELANJAKANNYA! Tentu saja dalam bentuk belanja kebajikan. Disamping itu, penyisihan harta dalam bentuk tabungan tidak akan berlebih-lebihan karena mereka percaya bahwa Allah SWT tidak akan memberikan cobaan diluar kemampuan dirinya.
Banyak yang bertanya kepada saya, seperti apa konsep tabungan dalam Islam ketika saya banyak memberikan contoh keteladanan para Sahabat dalam memperlakukan hartanya. Banyak Sahabat yang terkesan tidak melakukan aktifitas "saving" dalam definisi modern yang sangat terkait dengan potensi investasi. Para Sahabat lebih banyak memperlihatkan prilaku zuhud dan qona'ah dalam bentuknya yang ekstrem, yaitu tidak meninggalkan sisa hartanya dalam bentuk "saving".
Alasannya akan sangat tidak relevan, jika kita mengajukan dalih bahwa aplikasi fund intermediary belum berkembang pada masa itu. Dengan begitu, alasan yang sangat mungkin dikedepankan adalah, bahwa penyisihan harta (deposit - D)) dalam prilaku Islam memiliki dua motif; berjaga-jaga (saving - S) dan investasi (Investment - I), diluar konsumsi dan amal shaleh.
D = S + I
bukan seperti yang selama ini diformulakan konvensional:
D = S = I
Selain itu, alasan yang juga cukup valid untuk di ajukan adalah begitu ketat dan tingginya prilaku para Sahabat yang percaya dengan janji-janji Allah SWT. Janji-janji yang menjadi pedoman tersebut diantaranya: Allah SWT akan lipat-gandakan rizki seseorang yang membelanjakan hartanya di jalan kebajikan atau Allah tidak akan memberikan cobaan (yang berisiko memakai harta, jiwa dan tenaga dimasa yang akan datang) kepada seseorang di luar kemampuan orang tersebut.
Dengan demikian, salah satu jalan untuk melancarkan rizki (harta) dalam perspektif para sahabat bukan malah menyimpannya tetapi MEMBELANJAKANNYA! Tentu saja dalam bentuk belanja kebajikan. Disamping itu, penyisihan harta dalam bentuk tabungan tidak akan berlebih-lebihan karena mereka percaya bahwa Allah SWT tidak akan memberikan cobaan diluar kemampuan dirinya.
Kamis, 27 November 2008
Islamic Finance News: Islamic Banking in Bahrain
Dear Ali Sakti,
Monetary Authority of Singapore managing director Heng Swee Keat says one of the most significant lessons about the ongoing financial crisis is also the most basic, that is, finance needs to return to its basic function of allocating scarce capital to the most productive uses, with the capital earning an appropriate risk-adjusted return.
In this regard, the underlying precept in Islamic finance of not using capital for speculation but to build productive capacity and generate sustainable economic growth takes on great relevance. He is confident that by adhering to this basic precept, Islamic finance will assume a more prominent role in the coming years.
He also feels that regulators, financial institutions and investors all have a role in bringing about an effective regulatory regime. Singapore has taken a further step: it has placed the primary responsibility for sound risk management and oversight of each institution on the board and senior management, which, Heng says, must set the right tone and culture.
At this week’s World Islamic Banking Conference which Heng attended, Hari Bhambra, senior partner at Praesidium, spoke of Islamic finance products having potential take-up in markets like the US, where they may be repackaged as ethical or moral products, like the “green” or Christian funds already on offer.
In supporting ethical finance, Fair Capital CEO Iqbal Ahmed Khan welcomed the idea of “an alliance of goodness” with other ethical products around the world. Islamic finance needs to be an agent for “democratized wealth, to bring more people into the banking system”, he said. “It could create a major force of goodness, and hopefully will address the needs of the most vulnerable members of society."
That’s a rosy picture. But the reality is that Islamic finance has a long way to go even in the basic requisites of education, communication and acceptance. On top of that, according to this week’s DIFC Forum, the Islamic banking industry has a confidence problem. It won’t become a major force in the GCC until current investors gain confidence in their own regional structures, and sovereign wealth funds are invested locally, rather than in markets like New York or London, the panelists said.
Another point of view was from Ahmed Khan, CEO of Fajr Capital. He felt that Islamic finance should play a role in finding solutions to support people who belong to the most vulnerable sections of society. “The financial crisis will affect poverty reduction budgets around the world and there is a risk of increased polarization between the rich and the poor. Islamic finance can play a role in helping the poorest sections of society by finding creative solutions to support them.”
Bahrain Central Bank governor Rasheed Al Maraj meanwhile reminded the Islamic financial industry on the importance of risk diversification, good liquidity management and sound corporate governance if it is to continue to enjoy a framework for stability against the background of global financial turmoil. He suggested that the industry develop a greater diversity of business models, more diverse and stable income sources, and more robust risk management and stress testing techniques.
It certainly was a week of brainwaves.
The next issue will be available from Friday 5th December 2008.
Best regards,
IFN team
Monetary Authority of Singapore managing director Heng Swee Keat says one of the most significant lessons about the ongoing financial crisis is also the most basic, that is, finance needs to return to its basic function of allocating scarce capital to the most productive uses, with the capital earning an appropriate risk-adjusted return.
In this regard, the underlying precept in Islamic finance of not using capital for speculation but to build productive capacity and generate sustainable economic growth takes on great relevance. He is confident that by adhering to this basic precept, Islamic finance will assume a more prominent role in the coming years.
He also feels that regulators, financial institutions and investors all have a role in bringing about an effective regulatory regime. Singapore has taken a further step: it has placed the primary responsibility for sound risk management and oversight of each institution on the board and senior management, which, Heng says, must set the right tone and culture.
At this week’s World Islamic Banking Conference which Heng attended, Hari Bhambra, senior partner at Praesidium, spoke of Islamic finance products having potential take-up in markets like the US, where they may be repackaged as ethical or moral products, like the “green” or Christian funds already on offer.
In supporting ethical finance, Fair Capital CEO Iqbal Ahmed Khan welcomed the idea of “an alliance of goodness” with other ethical products around the world. Islamic finance needs to be an agent for “democratized wealth, to bring more people into the banking system”, he said. “It could create a major force of goodness, and hopefully will address the needs of the most vulnerable members of society."
That’s a rosy picture. But the reality is that Islamic finance has a long way to go even in the basic requisites of education, communication and acceptance. On top of that, according to this week’s DIFC Forum, the Islamic banking industry has a confidence problem. It won’t become a major force in the GCC until current investors gain confidence in their own regional structures, and sovereign wealth funds are invested locally, rather than in markets like New York or London, the panelists said.
Another point of view was from Ahmed Khan, CEO of Fajr Capital. He felt that Islamic finance should play a role in finding solutions to support people who belong to the most vulnerable sections of society. “The financial crisis will affect poverty reduction budgets around the world and there is a risk of increased polarization between the rich and the poor. Islamic finance can play a role in helping the poorest sections of society by finding creative solutions to support them.”
Bahrain Central Bank governor Rasheed Al Maraj meanwhile reminded the Islamic financial industry on the importance of risk diversification, good liquidity management and sound corporate governance if it is to continue to enjoy a framework for stability against the background of global financial turmoil. He suggested that the industry develop a greater diversity of business models, more diverse and stable income sources, and more robust risk management and stress testing techniques.
It certainly was a week of brainwaves.
The next issue will be available from Friday 5th December 2008.
Best regards,
IFN team
Senin, 24 November 2008
Harga Mahal Suatu Kebosanan
Mana yang kita beli, ketika ada dua pilihan dihadapan kita, membeli handphone biasa atau blackberry. Tentu yang menjadi constrain utama kita adalah budget, bagaimana kalau budget tidak menjadi masalah, apa yang menjadi constrain setelah itu? Bila norma dan pertimbangan kepekaan sosial tidak menjadi masalah pula, maka ukuran kepuasan dari sisi prestise atau gengsi tentu akan lebih dikedepankan. Ya blackberry pasti yang akan dipilih, meskipun penggunaan featurenya juga sama saja dengan yang ada pada handphone biasa; telephone dan sms saja.
Masih banyak lagi pilihan yang dilakukan manusia di dunia ini, yang jauh dari pertimbangan kemanfaatan, sehingga akhirnya uang "terbuang" percuma dalam rongsokan barang-barang mewah. Atau uang-uang lebih banyak terkurung digudang-gudang berupa barang-barang tak terpakai entah karena lecet, tak enak dipandang atau hanya karena bosan.
Pernah anda bayangkan di satu sisi ada orang yang terseok-seok sekedar untuk mencari sesuap nasi sementara pada sisi yang lain tak sedikit orang mencampakkan barang yang dibelinya hanya karena BOSAN?! bosan warnanya, bosan modelnya, bosan ini, bosan itu...
Saya berangan-angan setiap orang kaya amanah dengan harta dan keinginannya. Mereka berhati-hati dalam membelanjakan uangnya. Mereka lebih mengedepankan azas kemanfaatan dalam berkonsumsi, lebih mendahulukan apa yang mereka butuhkan daripada keinginan. Tetapi pada saat yang sama, ringan tangannya untuk memberikan charity bagi mereka yang tidak mampu.
Saya perkirakan potensi ekonomi dari prilaku tidak amanah pada harta ini begitu besar. Karenanya saya perkirakan "uang idle" berupa onggokan barang-barang mewah digudang-gudang, atau barang biasa yang tidak digunakan karena kebosanan pemiliknya tidak kalah besarnya dengan "uang idle" yang terkonsentrasi di pasar-pasar keuangan.
Pernahkah kita berhitung-hitung berapa usia barang yang kita beli. Usianya tentu diukur dari berapa lama anda menggunakannya. berapa usia baju dalam anda? berapa usia kemeja, jam tangan, tas, kacamata, laptop, HP, sepatu, sendal, mobil, sepeda motor, stik golf, raket tenis, atau sekedar berapa usia kesukaan anda pada barang apapun? Bukankah harga kebosanan itu mahal?
Tidak terasa ya, pernik-pernik harta yang melekat dan dekat dengan kita semakin hari semakin banyak. Akhirnya tanpa sadar perhatian kita habis tersita untuk pernik-pernik itu, bagaimana kalau kemeja kita tertumpah tinta, laptop kena virus, jam tangan pecah kacanya, HP tak bisa on, mobil tergores catnya, raket tenis putus senarnya. Waktu luang habis untuk membetulkan itu, kalau sudah letih, buang saja, taruh di gudang dan beli yang baru.
Kalaupun kita memberikan charity, berbuat baik kepada orang lain, kita pada dasarnya hanya "membuang" barang -barang yang membosankan bagi kita, karena kita juga ingin mengurangi isi gudang rumah kita. Ya, akhirnya tidak ada itu kepentingan orang lain, semuanya adalah untuk kepentingan kita, sekalipun untuk memberikan charity.
Masih banyak lagi pilihan yang dilakukan manusia di dunia ini, yang jauh dari pertimbangan kemanfaatan, sehingga akhirnya uang "terbuang" percuma dalam rongsokan barang-barang mewah. Atau uang-uang lebih banyak terkurung digudang-gudang berupa barang-barang tak terpakai entah karena lecet, tak enak dipandang atau hanya karena bosan.
Pernah anda bayangkan di satu sisi ada orang yang terseok-seok sekedar untuk mencari sesuap nasi sementara pada sisi yang lain tak sedikit orang mencampakkan barang yang dibelinya hanya karena BOSAN?! bosan warnanya, bosan modelnya, bosan ini, bosan itu...
Saya berangan-angan setiap orang kaya amanah dengan harta dan keinginannya. Mereka berhati-hati dalam membelanjakan uangnya. Mereka lebih mengedepankan azas kemanfaatan dalam berkonsumsi, lebih mendahulukan apa yang mereka butuhkan daripada keinginan. Tetapi pada saat yang sama, ringan tangannya untuk memberikan charity bagi mereka yang tidak mampu.
Saya perkirakan potensi ekonomi dari prilaku tidak amanah pada harta ini begitu besar. Karenanya saya perkirakan "uang idle" berupa onggokan barang-barang mewah digudang-gudang, atau barang biasa yang tidak digunakan karena kebosanan pemiliknya tidak kalah besarnya dengan "uang idle" yang terkonsentrasi di pasar-pasar keuangan.
Pernahkah kita berhitung-hitung berapa usia barang yang kita beli. Usianya tentu diukur dari berapa lama anda menggunakannya. berapa usia baju dalam anda? berapa usia kemeja, jam tangan, tas, kacamata, laptop, HP, sepatu, sendal, mobil, sepeda motor, stik golf, raket tenis, atau sekedar berapa usia kesukaan anda pada barang apapun? Bukankah harga kebosanan itu mahal?
Tidak terasa ya, pernik-pernik harta yang melekat dan dekat dengan kita semakin hari semakin banyak. Akhirnya tanpa sadar perhatian kita habis tersita untuk pernik-pernik itu, bagaimana kalau kemeja kita tertumpah tinta, laptop kena virus, jam tangan pecah kacanya, HP tak bisa on, mobil tergores catnya, raket tenis putus senarnya. Waktu luang habis untuk membetulkan itu, kalau sudah letih, buang saja, taruh di gudang dan beli yang baru.
Kalaupun kita memberikan charity, berbuat baik kepada orang lain, kita pada dasarnya hanya "membuang" barang -barang yang membosankan bagi kita, karena kita juga ingin mengurangi isi gudang rumah kita. Ya, akhirnya tidak ada itu kepentingan orang lain, semuanya adalah untuk kepentingan kita, sekalipun untuk memberikan charity.
Minggu, 23 November 2008
Global Financial Crisis: Psikologi Bangsa Amerika
Melihat perkembangan krisis keuangan Amerika Serikat yang tidak membaik, membuat saya tertarik untuk menulis perubahan psikologis Amerika sebagai bangsa. Kehancuran industry keuangan yang mulai meluas dan mendalam kekacauannya menjadi krisis ekonomi tentu mempengaruhi kredibilitas profesionalisme pekerja Amerika di kancah internasional. Cerita tentang profesionalisme, kompetensi, keahlian dan integritas bangsa Amerika tentu jatuh dan saat ini mungkin menuju pada tingkat reputasinya yang terendah.
Kondisi ini jadi mengingatkan saya pada kritik Joseph E. Stiglitz yang pernah mengatakan bahwa professional Amerika diuntungkan oleh reputasi Amerika sebagai Negara dalam menilai kemampuan profesionalisme mereka, baik reputasi yang berasal dari politik, ekonomi maupun sosial budaya. Stiglitz secara pedas mengatakan dengan reputasi itu professional Amerika menerima keuntungan pada apapun keadaan perusahaan yang mereka tangani. Jika perusahaan berjalan dengan baik, maka akan ada justifikasi bagi mereka untuk mendapatkan bonus special atas alasan kinerja perusahaan yang stabil, namun kalaupun perusahaan tidak berjalan baik, tetap saja ada justifikasi bagi mereka untuk mendapatkan bonus special, denan alas an bahwa karena merekalah perusahaan tidak terpuruk lebih dalam.
Tidak berapa lama lalu kita saksikan arogansi Amerika dalam kampanye “war on terror” mereka, yang memojokkan hampir semua negara di dunia dengan kalimatnya yang terkenal: “anda bersama kami atau anda bersama teroris.” Kini kita lihat di forum apapun, posisi Amerika berubah menjadi negara yang terpaksa tahu diri dengan kondisi yang ada. Kini Amerika begitu lemah (kalau tidak mau dikatakan hina), bahkan terkesan menghiba kepada the rest of the world, meminta keterlibatan semua negara di dunia untuk ikut menyelesaikan krisis keuangan global yang notabene akibat ketidakbecusan mereka mengelola ekonomi.
Di pertemuan G-20 summit di Washington - US, pertemuan Apec di Lima - Peru, dan forum-forum lainnya, pada hakikatnya merupakan forum-forum downgrading status keadidayaan Amerika. Karena di forum itulah semakin terlihat ketidakmampuan Amerika untuk berbicara lebih lantang khusus dalam bidang ekonomi. Penurunan reputasi dan ketidakprofesionalitasan ekonomi akan berimbas pada sector-sektor terkait seperti sector pendidikan. Ketidakbecusan ekonomi diperkirakan akan membuat reputasi sekolah atau universitas-universitas Amerika akan semakin memburuk, dan boleh jadi akan menurunkan minat pelajar internasional untuk menimba ilmu disana. Dan ini dapat saja merembet pada minat studi politik, hokum dan disiplin ilmu lainnya.
Khusus untuk George W. Bush, di penhujung karirnya, kondisi ini menjadi situasi yang sempurna mempermalukan dirinya. Hingga akhir tahun 2008 ia menanggung hari-hari yang memalukan bagi dirinya dan bagi bangsa Amerika. Administrasi yang buruk di dalam negeri, penanganan bencana, banjir, badai, kebakaran hutan menjadi ukuran untuk itu. Politik luar negeri yang represif semakin membangkitkan kebencian dan dendam, bukan hanya pada Negara musuhnya tetapi juga membuat apatis para sekutu Amerika. Mungkin ia menjadi presiden yang berhasil membenamkan reputasi Amerika, ia menjadi sejarah hitam bagi bangsanya. Mungkin pula ia tidak menyangka reputasinya dipenghujung karirnya buruk seperti ini. Beginilah harga sebuah arogansi dari pemimpin sebuah bangsa, yang malu bukan hanya dirinya tetapi juga bangsa yang dia pimpin.
Kondisi ini, tentu akan juga sangat mempengaruhi industry film Amerika, yang selama ini menjadi alat propaganda dalam meningkatkan image mereka di dunia. Dengan industry filmnya, Amerika berhasil membentuk persepsi dunia bahwa mereka adalah bangsa yang unggul dan tangguh. Kini dan kedepan nanti, boleh jadi tema-tema film Hollywood akan berganti menjadi tema yang lebih realistic dalam menampilkan negaranya. Kritikan melalui film ini sudah mulai muncul melalui tema-tema film yang berlatar belakang perang timur-tengah dan satir politik negeri Paman Sam.
Sementara itu image negative pun mulai disematkan kepada warga Amerika dimanapun mereka berada di seluruh sudut dunia, baik ia sebagai pekerja, diplomat maupun sekedar menjadi turis. Tak jarang mereka juga tidak sungkan-sungkan mempermalukan negaranya di depan bangsa lain terkait dengan arogansi Negara mereka yang ditunjukkan oleh pemimpin-pemimpinnya. Di dalam negeri, fenomena ketimpangan, prilaku amoral, kriminalitas dan diskriminasi rasial semakin nyata dan ditonton dunia. Pemandangan yang kontradiktif atau mungkin paradox dengan gembar-gembor diplomasi mereka. Akhirnya Amerika sekedar menjadi Negara yang menarik untuk di saksikan tetapi tidak untuk diikuti, dicontoh atau bahkan direplikasi.
Kondisi ini jadi mengingatkan saya pada kritik Joseph E. Stiglitz yang pernah mengatakan bahwa professional Amerika diuntungkan oleh reputasi Amerika sebagai Negara dalam menilai kemampuan profesionalisme mereka, baik reputasi yang berasal dari politik, ekonomi maupun sosial budaya. Stiglitz secara pedas mengatakan dengan reputasi itu professional Amerika menerima keuntungan pada apapun keadaan perusahaan yang mereka tangani. Jika perusahaan berjalan dengan baik, maka akan ada justifikasi bagi mereka untuk mendapatkan bonus special atas alasan kinerja perusahaan yang stabil, namun kalaupun perusahaan tidak berjalan baik, tetap saja ada justifikasi bagi mereka untuk mendapatkan bonus special, denan alas an bahwa karena merekalah perusahaan tidak terpuruk lebih dalam.
Tidak berapa lama lalu kita saksikan arogansi Amerika dalam kampanye “war on terror” mereka, yang memojokkan hampir semua negara di dunia dengan kalimatnya yang terkenal: “anda bersama kami atau anda bersama teroris.” Kini kita lihat di forum apapun, posisi Amerika berubah menjadi negara yang terpaksa tahu diri dengan kondisi yang ada. Kini Amerika begitu lemah (kalau tidak mau dikatakan hina), bahkan terkesan menghiba kepada the rest of the world, meminta keterlibatan semua negara di dunia untuk ikut menyelesaikan krisis keuangan global yang notabene akibat ketidakbecusan mereka mengelola ekonomi.
Di pertemuan G-20 summit di Washington - US, pertemuan Apec di Lima - Peru, dan forum-forum lainnya, pada hakikatnya merupakan forum-forum downgrading status keadidayaan Amerika. Karena di forum itulah semakin terlihat ketidakmampuan Amerika untuk berbicara lebih lantang khusus dalam bidang ekonomi. Penurunan reputasi dan ketidakprofesionalitasan ekonomi akan berimbas pada sector-sektor terkait seperti sector pendidikan. Ketidakbecusan ekonomi diperkirakan akan membuat reputasi sekolah atau universitas-universitas Amerika akan semakin memburuk, dan boleh jadi akan menurunkan minat pelajar internasional untuk menimba ilmu disana. Dan ini dapat saja merembet pada minat studi politik, hokum dan disiplin ilmu lainnya.
Khusus untuk George W. Bush, di penhujung karirnya, kondisi ini menjadi situasi yang sempurna mempermalukan dirinya. Hingga akhir tahun 2008 ia menanggung hari-hari yang memalukan bagi dirinya dan bagi bangsa Amerika. Administrasi yang buruk di dalam negeri, penanganan bencana, banjir, badai, kebakaran hutan menjadi ukuran untuk itu. Politik luar negeri yang represif semakin membangkitkan kebencian dan dendam, bukan hanya pada Negara musuhnya tetapi juga membuat apatis para sekutu Amerika. Mungkin ia menjadi presiden yang berhasil membenamkan reputasi Amerika, ia menjadi sejarah hitam bagi bangsanya. Mungkin pula ia tidak menyangka reputasinya dipenghujung karirnya buruk seperti ini. Beginilah harga sebuah arogansi dari pemimpin sebuah bangsa, yang malu bukan hanya dirinya tetapi juga bangsa yang dia pimpin.
Kondisi ini, tentu akan juga sangat mempengaruhi industry film Amerika, yang selama ini menjadi alat propaganda dalam meningkatkan image mereka di dunia. Dengan industry filmnya, Amerika berhasil membentuk persepsi dunia bahwa mereka adalah bangsa yang unggul dan tangguh. Kini dan kedepan nanti, boleh jadi tema-tema film Hollywood akan berganti menjadi tema yang lebih realistic dalam menampilkan negaranya. Kritikan melalui film ini sudah mulai muncul melalui tema-tema film yang berlatar belakang perang timur-tengah dan satir politik negeri Paman Sam.
Sementara itu image negative pun mulai disematkan kepada warga Amerika dimanapun mereka berada di seluruh sudut dunia, baik ia sebagai pekerja, diplomat maupun sekedar menjadi turis. Tak jarang mereka juga tidak sungkan-sungkan mempermalukan negaranya di depan bangsa lain terkait dengan arogansi Negara mereka yang ditunjukkan oleh pemimpin-pemimpinnya. Di dalam negeri, fenomena ketimpangan, prilaku amoral, kriminalitas dan diskriminasi rasial semakin nyata dan ditonton dunia. Pemandangan yang kontradiktif atau mungkin paradox dengan gembar-gembor diplomasi mereka. Akhirnya Amerika sekedar menjadi Negara yang menarik untuk di saksikan tetapi tidak untuk diikuti, dicontoh atau bahkan direplikasi.
Jumat, 21 November 2008
Peradaban Kapitalisme
Banyak yang telah menunjukkan euphoria kemenangan, dengan mengatakan bahwa saatnyalah kehancuran ekonomi kapitalis, sampai-sampai, gringo-gringgo dan kamerad-kamerad ekonomi sosialis di Amerika Latin dan sisa-sianya di Eropa Timur, turun kejalan merayakan euphoria itu. Hugo Chaves Presiden Venezuela memimpin langsung perayaan itu di jalan-jalan ibukota Venezuela, bahkan khabarnya menetapkan hari kehancuran keuangan Amerika/Kapitalis yang ditandai dengan likuidasi Lehman Brothers sebagai hari libur nasional.
Betulkah kapitalisme segera menutup usianya? Sejauh mana sih kehancurannya? Pertanyaan ini yang tidak sedikit membuat perdebatan baru dikalangan oponen Kapitalisme. Mereka terbagi menjadi dua golongan ekstrem; golongan realistic dan golongan militant. Golongan realistic merasa bahwa kapitalisme terlalu raksasa untuk tumbang, yang akan terjadi akhirnya hanyalah restrukturisasi kapitalisme, dimana at the end of the day kapitalisme tetap akan berdiri tegak tapi wajah dan aromanya telah berganti. Sementara golongan militant yakin bahwa ekonomi kapitalisme akan hancur-sehancur-hancurnya, seperti hancurnya hegemoni golongan gereja dalam bernegara sebelum revolusi industry di Eropa.
Saya mungkin terlalu lama merenung dan memikirkan ini, sebelum secara jelas mengambil posisi ada dimana; realistic atau militant. Saya mulai percaya bahwa kapitalisme saat ini tidak sekedar hanya sebagai system ekonomi, tetapi ia telah menjelma menjadi raksasa yang sangat besar. Kapitalisme telah menjadi peradaban bagi manusia modern saat ini. Karena perannya sudah melintas batas, bukan hanya ada di ranah ekonomi. Tetapi kapitalisme eksis dan membumi di wilayah politik, hukum, budaya dan pendidikan. Tidak salah memang jika ekonomi digelari sebagai Queen of Science.
Kapitalisme merubah wajah politik monarki dan musyawarah menjadi politik pasar yang kita sebut demokrasi. Pemimpin dipilih melalui mekanisme pasar berdasarkan pertemuan kekuatan demand rakyat dan supply politikus partai politik. Betul-betul wilayah politik berubah menjadi pasar atau sektor “ekonomi” jenis baru dalam imperium ideologi kapitalisme. Politik tidak menjadi alat pelayanan terhadap rakyat, politik berubah menjadi lahan mencari nafkah, bahkan pembukaan jurusan di perguruan tinggi terkesan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan laborforce di wilayah ini.
Pada wilayah hukum, ayat-ayat hukum dirumuskan dan dikembangkan menggunakan patern yang sama dengan apa yang sudah kapitalisme lakukan pada wilayah politik. Ayat-ayat hukum terformulakan berdasarkan kebutuhan pasar dan kecenderungan pasar. Sampai-sampai proses hukum mutakhir terkesan hanya berfungsi bagi mereka yang secara ekonomi terpinggirkan. Bagi mereka yang berdiri gagah memegang kendali pasar, para konglomerat dan politikus, hukum tidak memiliki taring.
Bagaimana dengan budaya? Lihatlah, budaya yang bertahan di semua belahan dunia adalah budaya yang diterima dan masuk dalam mekanisme pasar. Budaya yang memiliki nilai jual, memiliki demand di pasar, itulah yang budaya yang bertahan. Budaya pada lagu menjadi industri yang cukup besar, tapi hampir semuanya bukanlah lagu-lagu pada ajakan kebajikan. Budaya pakaian, industrinya yang berkembang adalah industri yang bersandar pada mekanisme pasar, dimana pasar cenderung meminta pakaian-pakaian berbahan baku terbatas alias pakaian umbar aurat.
Kapitalisme juga jelas terlihat jejaknya di dunia pendidikan. Lihat kurikulum pendidikan, lihat disiplin ilmu dan jurusan-jurusan yang ditawarkan. Lihat dunia pendidikan yang kini perlahan-lahan berubah menjadi industri. Sekolah pada semua jenjang berubah menjadi pabrik untuk mengeluarkan manusia-manusia robot atau buruh yang diminta pasar. Paradigma orang tua terhadap kesuksesan anaknya mengacu pada standard-standard kesuksesan materi kapitalisme, sehingga jurusan-jurusan terkemuka/terpandang di perguruan tinggi adalah jurusan-jurusan yang menjanjikan kesuksesan kapitalisme.
Jadi, lengkaplah kapitalisme menguasai semua subsistem peradaban manusia. Atau lebih tepatnya kapitalisme itulah peradaban modern ummat manusia saat ini. Dengan pemahaman seperti ini, mungkin keruntuhan ekonomi Amerika dan Eropa yang saat ini tengah berlangsung, sangatlah prematur untuk dijadikan landasan argumen bahwa kapitalisme akan runtuh. Kalaupun keruntuhan ekonomi betul terjadi, kapitalisme akan mampu membangun lagi, karena kapitalisme telah menjadi worldview dalam diri manusia, telah berubah menjadi norma masyarakat, telah melebur dalam kurikulum-kurikulum pendidikan. Artinya kehancuran kapitalisme secara utuh harus juga diikuti dengan kehancuran generasi dan sistem penopang peradaban kapitalisme.
Dengan demikian, prediksi yang paling logis dari skenario kehancuran kapitalisme salah satunya adalah peperangan. Tetapi sebelum itu terjadi, jikapun peradaban kapitalisme harus hancur, sepatutnya telah ada benih generasi dan sistem peradaban penggantinya. Saat ini yang sangat kuat menjadi kandidat itu adalah Islam. Sehingga hipotesanya jika peperangan itu terjadi, adalah peperangan peradaban kapitalisme dan peradaban Islam. Perseteruannya telah nampak saat ini, tetapi entah kapan pertempuran final akan terjadi.
Buat rekan-rekan aktifis dakwah, mujahid ekonomi syariah dan para pemerhati, saya yakin terlibat atau tidak terlibat anda dalam “pertarungan” itu, gerbong peradaban Islam ini tetap akan melaju menuju pada tujuannya yaitu mengambil alih kuasa peradaban manusia. Akan muncul nanti generasi “genuine” Islam yang memiliki kapasitas minimal dan menanggung amanah itu. Generasi inilah sebenarnya yang pula menjadi prerequisite eksistensi ekonomi Islam.
Jalan menuju terbentuknya generasi itu sudah terlihat, lihatlah kebangkitan golongan menengah muslim di banyak negara muslim, semangat keislaman tergambar dalam prilaku konsumsi dan produksi serta bentukan industri-industri ekonomi, buku-buku Islam menjadi buku terlaris, budaya Islam mengkristal pada setiap aspeknya, politik Islam mulai memunculkan kesadaran kebersamaan Islam (ukhuwwah Islamiyah) seiring dengan tumbangnya pemimpin-pemimpin muslim yang otoriter. Dalam ekonomi negeri-negeri Islam mulai berposisi kuat dan punya bargaining power. Lebih detil lagi, keluarga-keluarga muslim mulai mengenalkan Islam kepada anak-anak mereka sejak dini, mengenalkan baca tulis Al Qur’an, adab Islam, menggunakan nama-nama Islam dan lain sebagainya.
Ya, generasi Islam mulai tumbuh. Sudah dekat masanya bagi putra-putra Islam akhir zaman untuk menunjukkan keberadaannya. Bersiaplah rekan-rekan, jika anda sudah bersedia maju dalam gerbong peradaban ini, jangan malu-malu, jangan setengah-setengah, wakafkan semua yang kita punya. Islam tidak akan tegak dengan piknik dan senda-gurau. Mulailah kita berhitung, lebih banyak kita gunakan untuk apa harta, waktu, tenaga dan pikiran kita? Kita bukan hanya sekedar ingin menegakkan ekonomi Islam, yang kita ingin kibarkan adalah panji-panji peradaban Islam. Oleh sebab itu ia butuh ketekunan dan disiplin, butuh waktu dan konsentrasi, butuh perjuangan dan pengorbanan. Above all, ia butuh kebersamaan, butuh jamaah yang satu langkah dan satu tujuan. Dan yakinlah itu semua bukanlah beban, itu semua adalah kemuliaan dan kehormatan, yang telah juga diusung oleh generasi Islam mulia terdahulu. Wallahu a’lam.
Ali Sakti
Betulkah kapitalisme segera menutup usianya? Sejauh mana sih kehancurannya? Pertanyaan ini yang tidak sedikit membuat perdebatan baru dikalangan oponen Kapitalisme. Mereka terbagi menjadi dua golongan ekstrem; golongan realistic dan golongan militant. Golongan realistic merasa bahwa kapitalisme terlalu raksasa untuk tumbang, yang akan terjadi akhirnya hanyalah restrukturisasi kapitalisme, dimana at the end of the day kapitalisme tetap akan berdiri tegak tapi wajah dan aromanya telah berganti. Sementara golongan militant yakin bahwa ekonomi kapitalisme akan hancur-sehancur-hancurnya, seperti hancurnya hegemoni golongan gereja dalam bernegara sebelum revolusi industry di Eropa.
Saya mungkin terlalu lama merenung dan memikirkan ini, sebelum secara jelas mengambil posisi ada dimana; realistic atau militant. Saya mulai percaya bahwa kapitalisme saat ini tidak sekedar hanya sebagai system ekonomi, tetapi ia telah menjelma menjadi raksasa yang sangat besar. Kapitalisme telah menjadi peradaban bagi manusia modern saat ini. Karena perannya sudah melintas batas, bukan hanya ada di ranah ekonomi. Tetapi kapitalisme eksis dan membumi di wilayah politik, hukum, budaya dan pendidikan. Tidak salah memang jika ekonomi digelari sebagai Queen of Science.
Kapitalisme merubah wajah politik monarki dan musyawarah menjadi politik pasar yang kita sebut demokrasi. Pemimpin dipilih melalui mekanisme pasar berdasarkan pertemuan kekuatan demand rakyat dan supply politikus partai politik. Betul-betul wilayah politik berubah menjadi pasar atau sektor “ekonomi” jenis baru dalam imperium ideologi kapitalisme. Politik tidak menjadi alat pelayanan terhadap rakyat, politik berubah menjadi lahan mencari nafkah, bahkan pembukaan jurusan di perguruan tinggi terkesan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan laborforce di wilayah ini.
Pada wilayah hukum, ayat-ayat hukum dirumuskan dan dikembangkan menggunakan patern yang sama dengan apa yang sudah kapitalisme lakukan pada wilayah politik. Ayat-ayat hukum terformulakan berdasarkan kebutuhan pasar dan kecenderungan pasar. Sampai-sampai proses hukum mutakhir terkesan hanya berfungsi bagi mereka yang secara ekonomi terpinggirkan. Bagi mereka yang berdiri gagah memegang kendali pasar, para konglomerat dan politikus, hukum tidak memiliki taring.
Bagaimana dengan budaya? Lihatlah, budaya yang bertahan di semua belahan dunia adalah budaya yang diterima dan masuk dalam mekanisme pasar. Budaya yang memiliki nilai jual, memiliki demand di pasar, itulah yang budaya yang bertahan. Budaya pada lagu menjadi industri yang cukup besar, tapi hampir semuanya bukanlah lagu-lagu pada ajakan kebajikan. Budaya pakaian, industrinya yang berkembang adalah industri yang bersandar pada mekanisme pasar, dimana pasar cenderung meminta pakaian-pakaian berbahan baku terbatas alias pakaian umbar aurat.
Kapitalisme juga jelas terlihat jejaknya di dunia pendidikan. Lihat kurikulum pendidikan, lihat disiplin ilmu dan jurusan-jurusan yang ditawarkan. Lihat dunia pendidikan yang kini perlahan-lahan berubah menjadi industri. Sekolah pada semua jenjang berubah menjadi pabrik untuk mengeluarkan manusia-manusia robot atau buruh yang diminta pasar. Paradigma orang tua terhadap kesuksesan anaknya mengacu pada standard-standard kesuksesan materi kapitalisme, sehingga jurusan-jurusan terkemuka/terpandang di perguruan tinggi adalah jurusan-jurusan yang menjanjikan kesuksesan kapitalisme.
Jadi, lengkaplah kapitalisme menguasai semua subsistem peradaban manusia. Atau lebih tepatnya kapitalisme itulah peradaban modern ummat manusia saat ini. Dengan pemahaman seperti ini, mungkin keruntuhan ekonomi Amerika dan Eropa yang saat ini tengah berlangsung, sangatlah prematur untuk dijadikan landasan argumen bahwa kapitalisme akan runtuh. Kalaupun keruntuhan ekonomi betul terjadi, kapitalisme akan mampu membangun lagi, karena kapitalisme telah menjadi worldview dalam diri manusia, telah berubah menjadi norma masyarakat, telah melebur dalam kurikulum-kurikulum pendidikan. Artinya kehancuran kapitalisme secara utuh harus juga diikuti dengan kehancuran generasi dan sistem penopang peradaban kapitalisme.
Dengan demikian, prediksi yang paling logis dari skenario kehancuran kapitalisme salah satunya adalah peperangan. Tetapi sebelum itu terjadi, jikapun peradaban kapitalisme harus hancur, sepatutnya telah ada benih generasi dan sistem peradaban penggantinya. Saat ini yang sangat kuat menjadi kandidat itu adalah Islam. Sehingga hipotesanya jika peperangan itu terjadi, adalah peperangan peradaban kapitalisme dan peradaban Islam. Perseteruannya telah nampak saat ini, tetapi entah kapan pertempuran final akan terjadi.
Buat rekan-rekan aktifis dakwah, mujahid ekonomi syariah dan para pemerhati, saya yakin terlibat atau tidak terlibat anda dalam “pertarungan” itu, gerbong peradaban Islam ini tetap akan melaju menuju pada tujuannya yaitu mengambil alih kuasa peradaban manusia. Akan muncul nanti generasi “genuine” Islam yang memiliki kapasitas minimal dan menanggung amanah itu. Generasi inilah sebenarnya yang pula menjadi prerequisite eksistensi ekonomi Islam.
Jalan menuju terbentuknya generasi itu sudah terlihat, lihatlah kebangkitan golongan menengah muslim di banyak negara muslim, semangat keislaman tergambar dalam prilaku konsumsi dan produksi serta bentukan industri-industri ekonomi, buku-buku Islam menjadi buku terlaris, budaya Islam mengkristal pada setiap aspeknya, politik Islam mulai memunculkan kesadaran kebersamaan Islam (ukhuwwah Islamiyah) seiring dengan tumbangnya pemimpin-pemimpin muslim yang otoriter. Dalam ekonomi negeri-negeri Islam mulai berposisi kuat dan punya bargaining power. Lebih detil lagi, keluarga-keluarga muslim mulai mengenalkan Islam kepada anak-anak mereka sejak dini, mengenalkan baca tulis Al Qur’an, adab Islam, menggunakan nama-nama Islam dan lain sebagainya.
Ya, generasi Islam mulai tumbuh. Sudah dekat masanya bagi putra-putra Islam akhir zaman untuk menunjukkan keberadaannya. Bersiaplah rekan-rekan, jika anda sudah bersedia maju dalam gerbong peradaban ini, jangan malu-malu, jangan setengah-setengah, wakafkan semua yang kita punya. Islam tidak akan tegak dengan piknik dan senda-gurau. Mulailah kita berhitung, lebih banyak kita gunakan untuk apa harta, waktu, tenaga dan pikiran kita? Kita bukan hanya sekedar ingin menegakkan ekonomi Islam, yang kita ingin kibarkan adalah panji-panji peradaban Islam. Oleh sebab itu ia butuh ketekunan dan disiplin, butuh waktu dan konsentrasi, butuh perjuangan dan pengorbanan. Above all, ia butuh kebersamaan, butuh jamaah yang satu langkah dan satu tujuan. Dan yakinlah itu semua bukanlah beban, itu semua adalah kemuliaan dan kehormatan, yang telah juga diusung oleh generasi Islam mulia terdahulu. Wallahu a’lam.
Ali Sakti
Kamis, 20 November 2008
Islamic Finance News: Resilience and Stability are the Key
Dear Ali Sakti,
The recent G20 meeting hosted by the US had an urgent agenda: Figure out measures to help better regulate international finance and take steps to stabilize the current turbulent markets. After unprecedented global cooperation in bank bailouts and stimulus packages, there was much anticipation of concrete action at a global level. Some measures were needed without delay but it has become apparent that little substantive work was accomplished at the meeting.
Instead, the buck has been passed to the finance ministers to work on this over the next several months despite the real possibility of the crisis worsening and recession becoming more widespread. Despite broad support for economic stimulus, the leaders were not able to agree on a coordinated global effort.
Another issue which arose but was neglected at that meeting is the impact of the turmoil on many emerging markets and developing countries. With the US and Europe struggling economically and consumed by efforts to stabilize their banks, China, Japan and Saudi Arabia have emerged as the likeliest candidates to help distressed countries.
The reality is that global challenges posed by the current international financial crisis necessitate global engagement. Both reforms and measures need to be global in nature to restore soundness and stability to the international financial system. Can Islamic finance play an effective role in this respect? The key for the Islamic financial industry is to ensure that it will not be a source of such financial instability and is able to achieve a level of resilience that will ensure its sustainability.
The Islamic financial system has the inherent ability to deal with crises such as the current one. The main selling point is that the requirements of Islamic finance are in fact consistent with the international best practices and standards in the conventional financial services industry. This enhances its prospects for soundness and stability.
There are, of course, potential risks for Islamic finance in a crisis environment. The increased globalization of Islamic finance and its greater integration with the international financial system increases its exposure to the spillover effects from adverse economic and financial conditions.
Which is why Malaysian central bank governor Zeti Akhtar Aziz has this piece of advice for industry players: “As innovation of Islamic financial products and services intensifies and as Islamic finance becomes more integrated with the international financial system, it becomes imperative that the foundations upon which Islamic finance has been built remain intact. This will be the key to sustaining the resilience of the Islamic financial system in this more challenging international financial environment.”
She also wants to see an integrated crisis management framework to ensure that any emerging crisis in the Islamic financial system will be promptly managed. These should include mechanisms to preserve short-term liquidity, remove troubled assets from the balance sheets of financial institutions and recapitalize Islamic financial institutions.
This obviously means a need for more concerted efforts at the international level to avert any worsening of a crisis. And, of course, a crisis prevention and management framework that also ensures the preservation of the essential features of Islamic finance so as to retain its inherent resilience and stability.
To read any of the above sections, you may download the specific article or full issue from our website. To do so, you may request for a trial subscription at no-charge.
However, you will not be able to take advantage of our extensive archived section - now containing in excess of 5,000 articles and reports. Why not take this opportunity to subscribe today!
The next issue will be available from Friday 28th November 2008.
Best regards,
IFN team
The recent G20 meeting hosted by the US had an urgent agenda: Figure out measures to help better regulate international finance and take steps to stabilize the current turbulent markets. After unprecedented global cooperation in bank bailouts and stimulus packages, there was much anticipation of concrete action at a global level. Some measures were needed without delay but it has become apparent that little substantive work was accomplished at the meeting.
Instead, the buck has been passed to the finance ministers to work on this over the next several months despite the real possibility of the crisis worsening and recession becoming more widespread. Despite broad support for economic stimulus, the leaders were not able to agree on a coordinated global effort.
Another issue which arose but was neglected at that meeting is the impact of the turmoil on many emerging markets and developing countries. With the US and Europe struggling economically and consumed by efforts to stabilize their banks, China, Japan and Saudi Arabia have emerged as the likeliest candidates to help distressed countries.
The reality is that global challenges posed by the current international financial crisis necessitate global engagement. Both reforms and measures need to be global in nature to restore soundness and stability to the international financial system. Can Islamic finance play an effective role in this respect? The key for the Islamic financial industry is to ensure that it will not be a source of such financial instability and is able to achieve a level of resilience that will ensure its sustainability.
The Islamic financial system has the inherent ability to deal with crises such as the current one. The main selling point is that the requirements of Islamic finance are in fact consistent with the international best practices and standards in the conventional financial services industry. This enhances its prospects for soundness and stability.
There are, of course, potential risks for Islamic finance in a crisis environment. The increased globalization of Islamic finance and its greater integration with the international financial system increases its exposure to the spillover effects from adverse economic and financial conditions.
Which is why Malaysian central bank governor Zeti Akhtar Aziz has this piece of advice for industry players: “As innovation of Islamic financial products and services intensifies and as Islamic finance becomes more integrated with the international financial system, it becomes imperative that the foundations upon which Islamic finance has been built remain intact. This will be the key to sustaining the resilience of the Islamic financial system in this more challenging international financial environment.”
She also wants to see an integrated crisis management framework to ensure that any emerging crisis in the Islamic financial system will be promptly managed. These should include mechanisms to preserve short-term liquidity, remove troubled assets from the balance sheets of financial institutions and recapitalize Islamic financial institutions.
This obviously means a need for more concerted efforts at the international level to avert any worsening of a crisis. And, of course, a crisis prevention and management framework that also ensures the preservation of the essential features of Islamic finance so as to retain its inherent resilience and stability.
To read any of the above sections, you may download the specific article or full issue from our website. To do so, you may request for a trial subscription at no-charge.
However, you will not be able to take advantage of our extensive archived section - now containing in excess of 5,000 articles and reports. Why not take this opportunity to subscribe today!
The next issue will be available from Friday 28th November 2008.
Best regards,
IFN team
Global Financial Crisis: Bye America
Tagihan, tagihan, tagihan, ini yang akan terus menghantui warga Amerika Serikat dalam waktu-waktu kedepan, terutama golongan masyarakat menengah keatas. Sementara, pada ketika yang sama mereka terus dibayangi hantu lay-off yang saat ini menjadi tren pasar US. Laporan semalam (20 November 2008) menyebutkan angka pengangguran tertinggi dalam 16 tahun. Dow Jones dalam dua hari ini turun sekitar 900 basis poin dengan posisi indeks yang kini di bawah 7600, fakta fantastis dari sekian banyak rekor penurunan fantastis yang ada. Menulis paragraph inipun saya masih terus mengkoreksi angka penurunan yang masih terjun hingga closing bell di screen CNBC.
Joseph E. Stiglitz (Nobel Winner 2001) sampai mengatakan tak ada satupun khabar gembira dari kondisi saat ini kecuali penurunan harga minyak mentah dunia. Meskipun terakhir ini kekhawatiran muncul karena penurunan harga minyak mentah dunia trennya sudah di bawah USD50 per barrel. Fakta ini pada satu sisi mengancam stabilitas lain dari ekonomi, seperti harapan yang akan kosong kepada kawasan ekonomi timur tengah karena kekuatan mereka sedikit terganggu dengan kondisi harga minyak mentah saat ini.
Daripada mengatakan selamat tinggal kapitalisme, saya lebih tertarik mengatakan selamat tinggal Amerika. Mengapa? Hegemoni ekonomi Amerika yang perlahan-lahan rontok dalam beberapa bulan lalu dan dalam waktu-waktu kedepan ini menjadi tontonan menarik, ada triller disitu, drama, action apalagi horror. Ini mimpi buruk terutama bagi warga kelas menengah Amerika. Setiap malam mungkin lembaga keuangan menyita ratusan rumah dan kendaraan dari keluarga-keluarga Amerika karena gagal bayar. Tenda-tenda pengangguran dan tuna wisma semakin luas komunitasnya tentu. Wow, what a crisis.
Buat para pengusung American Style Economy (bukannya takut untuk mengatakan kapitalisme,tapi saya ingin sekali menulis bahwa kapitalisme saat ini sudah lebih dari sekedar isme ekonomi), lihatlah tanah suci ekonomi dunia (New Mecca of Economy) ia sedang menuju pada masa karamnya. Lihat simbol-simbol ekonomi yang menjadi kebanggaan mereka, sebentar lagi menjadi puing-puing usang. Wuih, jadi sedikit hiperbolis kalimat saya. Layaknya tubuh manusia, kesalahan system dan prilaku manusia telah menyebabkan kolesterol berikut penyakit-penyakit kronis telah menyebar di sekujur badan, asam urat, diabetes, darah tinggi hingga kanker sudah ada pada stadium tertingginya pada tubuh ekonomi Amerika.
Khabar baik saat ini bagi kita adalah beruntungnya kita diberikan Tuhan kesempatan untuk menjadi saksi dari hancurnya sebuah hegemoni ekonomi, dengan detil kehancuran itu kita saksikan setiap harinya. Alhamdulillah ya. Bagi saya sendiri ini merupakan excitement tersendiri atau bahkan menjadi ecstasy menulis paragraph-paragraf kehancuran ekonomi Amerika. Duh maaf kalau terkesan jadi psychopath economist dan tidak intelek. Tapi ya bagaimana lagi, fenomena ini seperti kejadian gerhana atau melintasnya komet bagi para astronom, peristiwa yang memberikan gairah karena ia telah diteorikan dan di tunggu-tunggu.
Ada kawan yang mengingatkan agar segera fokus berkontribusi dalam merumuskan detil teknis ekonomi-keuangan syariah sebagai alternative dari konvensional. Sementara kondisi pasar ekonomi dalam negeri juga tidak kalah rekor penurunannya, pasar modal sudah berada di bawah angka indeks 1200, sehingga pasar modal Indonesia menjadi “juara” dalam kejatuhan dibandingkan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Tapi saya hanya katakan, “wait, I try to enjoying the moment here, sorry”.
Joseph E. Stiglitz (Nobel Winner 2001) sampai mengatakan tak ada satupun khabar gembira dari kondisi saat ini kecuali penurunan harga minyak mentah dunia. Meskipun terakhir ini kekhawatiran muncul karena penurunan harga minyak mentah dunia trennya sudah di bawah USD50 per barrel. Fakta ini pada satu sisi mengancam stabilitas lain dari ekonomi, seperti harapan yang akan kosong kepada kawasan ekonomi timur tengah karena kekuatan mereka sedikit terganggu dengan kondisi harga minyak mentah saat ini.
Daripada mengatakan selamat tinggal kapitalisme, saya lebih tertarik mengatakan selamat tinggal Amerika. Mengapa? Hegemoni ekonomi Amerika yang perlahan-lahan rontok dalam beberapa bulan lalu dan dalam waktu-waktu kedepan ini menjadi tontonan menarik, ada triller disitu, drama, action apalagi horror. Ini mimpi buruk terutama bagi warga kelas menengah Amerika. Setiap malam mungkin lembaga keuangan menyita ratusan rumah dan kendaraan dari keluarga-keluarga Amerika karena gagal bayar. Tenda-tenda pengangguran dan tuna wisma semakin luas komunitasnya tentu. Wow, what a crisis.
Buat para pengusung American Style Economy (bukannya takut untuk mengatakan kapitalisme,tapi saya ingin sekali menulis bahwa kapitalisme saat ini sudah lebih dari sekedar isme ekonomi), lihatlah tanah suci ekonomi dunia (New Mecca of Economy) ia sedang menuju pada masa karamnya. Lihat simbol-simbol ekonomi yang menjadi kebanggaan mereka, sebentar lagi menjadi puing-puing usang. Wuih, jadi sedikit hiperbolis kalimat saya. Layaknya tubuh manusia, kesalahan system dan prilaku manusia telah menyebabkan kolesterol berikut penyakit-penyakit kronis telah menyebar di sekujur badan, asam urat, diabetes, darah tinggi hingga kanker sudah ada pada stadium tertingginya pada tubuh ekonomi Amerika.
Khabar baik saat ini bagi kita adalah beruntungnya kita diberikan Tuhan kesempatan untuk menjadi saksi dari hancurnya sebuah hegemoni ekonomi, dengan detil kehancuran itu kita saksikan setiap harinya. Alhamdulillah ya. Bagi saya sendiri ini merupakan excitement tersendiri atau bahkan menjadi ecstasy menulis paragraph-paragraf kehancuran ekonomi Amerika. Duh maaf kalau terkesan jadi psychopath economist dan tidak intelek. Tapi ya bagaimana lagi, fenomena ini seperti kejadian gerhana atau melintasnya komet bagi para astronom, peristiwa yang memberikan gairah karena ia telah diteorikan dan di tunggu-tunggu.
Ada kawan yang mengingatkan agar segera fokus berkontribusi dalam merumuskan detil teknis ekonomi-keuangan syariah sebagai alternative dari konvensional. Sementara kondisi pasar ekonomi dalam negeri juga tidak kalah rekor penurunannya, pasar modal sudah berada di bawah angka indeks 1200, sehingga pasar modal Indonesia menjadi “juara” dalam kejatuhan dibandingkan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Tapi saya hanya katakan, “wait, I try to enjoying the moment here, sorry”.
Rabu, 19 November 2008
Global Financial Crisis: Amerika Semakin Remuk
Fantastis! Indeks Dow Jones nyungsep lebih dari 5%, terkapar di bawah 8000, artinya kondisi pasar mundur layaknya tahun 2003-an. Sehari sebelumnya testimoni tiga CEO perusahaan otomotif terkemuka; General Motors, Chrysler dan Ford Motors sudah menyampaikan jeritan hati industri otomotif Amerika, dan mereka menghiba kepada pemerintah untuk di bailout tidak kurang dari USD 25 billion, jika tidak guncangan industri ini akan melengkapi kesengsaraan domestik US yang sudah megap-megap dengan angka pengangguran 7,7%.
Meskipun jadi di bailout industri otomotif US tetap akan menambah panjang antrian penganggur dengan rencana me-lay off ratusan bahkan ribuan pegawainya pada tahun 2009. Sementara itu, respon pasar terhadap rencana PHK 53.000 pegawai Citigroup mempergelap awan badai yang masih menggantung di pasar keuangan US. Saham Citigroup terpuruk signifikan diiringi bayang-bayang deflasi pasar secara keseluruhan.
Amerika Serikat, nasibmu kini. Ups, maaf ini baru awal. Terjun bebas belum sampai di dasar krisis. Dengan begitu, diperkirakan khabar-khabar buruk masih akan terus kita dengan setidaknya hingga akhir semester pertama tahun 2009. Karena biasanya krisis keuangan dipasar modal akan berlanjut dulu ke perbankan dalam perjalannya menuju dasar krisis, dan di Amerika Serikat, krisis sudah menyentuh real sector.
Terlepas dari kisruh itu, saya masih penasaran dengan kondisi pasar credit card perbankan US. Berdasarkan info dan logika keuangan, sewajarnya kisruh likuiditas dan real sector akan menghantam pasar credit card perbankan dengan lebih telak. Bayangkan jika ternyata kondisi mortgage juga terjadi di pasar credit card ini, dengan kecenderungan accountibility dan transparency yang amburadul serta prilaku credit system yang complicated, Insya Allah badai akan semakin mengganas di belantara keuangan US. Ok then, fasten your seatbelt everybody.
Meskipun jadi di bailout industri otomotif US tetap akan menambah panjang antrian penganggur dengan rencana me-lay off ratusan bahkan ribuan pegawainya pada tahun 2009. Sementara itu, respon pasar terhadap rencana PHK 53.000 pegawai Citigroup mempergelap awan badai yang masih menggantung di pasar keuangan US. Saham Citigroup terpuruk signifikan diiringi bayang-bayang deflasi pasar secara keseluruhan.
Amerika Serikat, nasibmu kini. Ups, maaf ini baru awal. Terjun bebas belum sampai di dasar krisis. Dengan begitu, diperkirakan khabar-khabar buruk masih akan terus kita dengan setidaknya hingga akhir semester pertama tahun 2009. Karena biasanya krisis keuangan dipasar modal akan berlanjut dulu ke perbankan dalam perjalannya menuju dasar krisis, dan di Amerika Serikat, krisis sudah menyentuh real sector.
Terlepas dari kisruh itu, saya masih penasaran dengan kondisi pasar credit card perbankan US. Berdasarkan info dan logika keuangan, sewajarnya kisruh likuiditas dan real sector akan menghantam pasar credit card perbankan dengan lebih telak. Bayangkan jika ternyata kondisi mortgage juga terjadi di pasar credit card ini, dengan kecenderungan accountibility dan transparency yang amburadul serta prilaku credit system yang complicated, Insya Allah badai akan semakin mengganas di belantara keuangan US. Ok then, fasten your seatbelt everybody.
Selasa, 18 November 2008
Diskusi Tentang Peluang Bisnis dalam Krisis
Pertanyaan
Pak Ali, kira2 saya harus usaha seperti apa ditengah crisis ini?
Abdulhadid
Jawab
Mas Abdulhadid, saya bukan pakar dalam konsultasi usaha, tetapi kalau boleh urun rembuk dalam hal ini, saya yakin formula: Harapan + Kemampuan + Peluang = Kenyataan bisa dijadikan pedoman. dengan kondisi yang ada kemampuan mas harus diidentifikasi dulu, kemudian harapannya berusaha apa dan tentu mempertimbangkan peluang yang ada. Selaraskan saja ketiganya (harapan, kemampuan dan peluang), insya Allah akan ada kenyataan yang terbaik dari Allah SWT.
Saya cuma bisa kasih info, usaha mikro seperti jajanan pasar, sayur, buah atau semua produk-produk kebutuhan primer akan bertahan di situasi krisis, sementara kebutuhan sekunder dan tersier akan sangat tergantung pada inovasi produk dan ketahanan (permintaan dan karakteristik) perekonomian domestik. Peralihan konsumsi masyarakat menengah keatas kepada kendaraan yang lebih irit atau motor, atau peralihan menkonsumsi barang-barang second dalam situasi krisis bisa dijadikan pelajaran yang sangat berharga. Bahkan bisnis barang bekas (second) menjadi bisnis favorit di negara manapun ketika krisis melanda. Tinggal menyesuaikan bisnis barang bekas untuk segmen pasar seperti apa; bawah, menengah atau atas (sesuai kemampuan dan harapan juga peluangJ). Sepanjang pengetahuan saya kecenderungan konsumsi akan relatif bergerak seperti itu ditengah krisis.
Namun jika ternyata kenyataannya nanti lebih kecil dari yang diharapkan, tidak perlu kecewa, karena apapun kenyataan yang diberikan oleh Allah itu adalah yang terbaik bagi Mas Abdulhadid, setidaknya Mas sudah dapat pahala begitu besar karena telah berusaha untuk mencari nafkah J. Dan ingat juga loh salah satu jalan melancarkan rizki adalah berinfak dan bersedekah. Maaf kalau tidak memuaskan.
Atau ada teman-teman yang lain yang mau memberikan saran?
Pak Ali, kira2 saya harus usaha seperti apa ditengah crisis ini?
Abdulhadid
Jawab
Mas Abdulhadid, saya bukan pakar dalam konsultasi usaha, tetapi kalau boleh urun rembuk dalam hal ini, saya yakin formula: Harapan + Kemampuan + Peluang = Kenyataan bisa dijadikan pedoman. dengan kondisi yang ada kemampuan mas harus diidentifikasi dulu, kemudian harapannya berusaha apa dan tentu mempertimbangkan peluang yang ada. Selaraskan saja ketiganya (harapan, kemampuan dan peluang), insya Allah akan ada kenyataan yang terbaik dari Allah SWT.
Saya cuma bisa kasih info, usaha mikro seperti jajanan pasar, sayur, buah atau semua produk-produk kebutuhan primer akan bertahan di situasi krisis, sementara kebutuhan sekunder dan tersier akan sangat tergantung pada inovasi produk dan ketahanan (permintaan dan karakteristik) perekonomian domestik. Peralihan konsumsi masyarakat menengah keatas kepada kendaraan yang lebih irit atau motor, atau peralihan menkonsumsi barang-barang second dalam situasi krisis bisa dijadikan pelajaran yang sangat berharga. Bahkan bisnis barang bekas (second) menjadi bisnis favorit di negara manapun ketika krisis melanda. Tinggal menyesuaikan bisnis barang bekas untuk segmen pasar seperti apa; bawah, menengah atau atas (sesuai kemampuan dan harapan juga peluangJ). Sepanjang pengetahuan saya kecenderungan konsumsi akan relatif bergerak seperti itu ditengah krisis.
Namun jika ternyata kenyataannya nanti lebih kecil dari yang diharapkan, tidak perlu kecewa, karena apapun kenyataan yang diberikan oleh Allah itu adalah yang terbaik bagi Mas Abdulhadid, setidaknya Mas sudah dapat pahala begitu besar karena telah berusaha untuk mencari nafkah J. Dan ingat juga loh salah satu jalan melancarkan rizki adalah berinfak dan bersedekah. Maaf kalau tidak memuaskan.
Atau ada teman-teman yang lain yang mau memberikan saran?
Senin, 17 November 2008
Pasca G-20 Summit: Krisis Semakin Memburuk
Eurozone dengan beberapa negara di dalamnya seperti Belanda, Jerman dan Spanyol telah secara resmi masuk dalam situasi resesi, dimana kondisi resesi antara pertumbuhan stagnan (0%) seperti yang terjadi di Spanyol hingga penurunan kinerja ekonomi seperti yang dialami Jerman (-0,5%). Amerika Serikat lebih dulu dipastikan akan mengalami kondisi yang sama. Di Asia, Singapura menjadi negara yang cukup menonjol mengalami resesi. Dan yang terbaru adalah raksasa ekonomi Jepang secara resmi juga masuk dalam kelompok ekonomi resesi.
Berita paling akhir (17 November 2008) juga menyebutkan, Citigroup yang kini sebagai bank terbesar kedua di Amerika setelah Bank of America, mengumumkan akan memangkas staff-nya sebanyak 53.000 orang, industri otomotif Amerika sudah menjerit kesulitan likuiditas untuk produksi, situasi ini semakin menghantui angka pengangguran Amerika yang telah mencapai 7,7% saat ini (survey Fedres Bank of Philadelphia).
Kondisi ini menjadi fakta yang kontradiktif (jika tak mau dikatakan lucu), karena baru saja sehari pertemuan G-20 selesai dengan kesepakatan yang begitu ketat, ternyata banyak anggotanya "menjerit" setelah itu. Lihat saja kesepakatan yang disebut-sebut sebagai the bretton woods II, ternyata tidak meningkatkan kepercayaan diri pasar, bahkan membuat pasar dow jones kembali terjun 200-an basis poin.
Kita sekarang seperti sedang terjun bebas tanpa parasut, yang bisa kita lakukan cuma mengira-ngira seperti apa posisi jatuh yang paling "enak"; tengkurap, berdiri, duduk atau apa. Atau mungkin sedikit berdoa, kalau-kalau landasan mendarat kita terbuat dari matras yang paling empuk. tapi tetap saja pertanyaan kita saat terjun ini adalah, dimana dasar-nya dan kapan kita sampai di dasar?
Saya jadi ingat kalimat berbau syair-nya Emha Ainun Najib: kalo pohon sakit itu ada tiga kemungkinan penyikapannya; pertama, obati pohon itu jika masih memungkinkan untuk sembuh. Kedua, jika tidak bisa cabut saja pohon itu ganti dengan pohon baru, tapi mencabut pohon lama pasti menyakitkan. Ketiga, jika menyakitkan mencabut pohon, ya biarkan saja pohon itu mati dan membusuk, toh dari kebusukan pohon itu pasti akan ada organisme pohon baru yang tumbuh.
Nah, kita mau apakan krisis ekonomi ini, kita obati? Sudah beberapa bulan ini obatnya tidak membuat kondisi semakin baik; bailout, penjaminan, suku bunga sampai dengan komitmen, semuanya mentah! Bagaimana kalau kita cabut sistem yang ada, revolusi! Pasti banyak kapitalis yang pasang badan dan siap "perang". So, kita tunggu aja kebusukannya, kehancurannya, kemusnahannya...
Berita paling akhir (17 November 2008) juga menyebutkan, Citigroup yang kini sebagai bank terbesar kedua di Amerika setelah Bank of America, mengumumkan akan memangkas staff-nya sebanyak 53.000 orang, industri otomotif Amerika sudah menjerit kesulitan likuiditas untuk produksi, situasi ini semakin menghantui angka pengangguran Amerika yang telah mencapai 7,7% saat ini (survey Fedres Bank of Philadelphia).
Kondisi ini menjadi fakta yang kontradiktif (jika tak mau dikatakan lucu), karena baru saja sehari pertemuan G-20 selesai dengan kesepakatan yang begitu ketat, ternyata banyak anggotanya "menjerit" setelah itu. Lihat saja kesepakatan yang disebut-sebut sebagai the bretton woods II, ternyata tidak meningkatkan kepercayaan diri pasar, bahkan membuat pasar dow jones kembali terjun 200-an basis poin.
Kita sekarang seperti sedang terjun bebas tanpa parasut, yang bisa kita lakukan cuma mengira-ngira seperti apa posisi jatuh yang paling "enak"; tengkurap, berdiri, duduk atau apa. Atau mungkin sedikit berdoa, kalau-kalau landasan mendarat kita terbuat dari matras yang paling empuk. tapi tetap saja pertanyaan kita saat terjun ini adalah, dimana dasar-nya dan kapan kita sampai di dasar?
Saya jadi ingat kalimat berbau syair-nya Emha Ainun Najib: kalo pohon sakit itu ada tiga kemungkinan penyikapannya; pertama, obati pohon itu jika masih memungkinkan untuk sembuh. Kedua, jika tidak bisa cabut saja pohon itu ganti dengan pohon baru, tapi mencabut pohon lama pasti menyakitkan. Ketiga, jika menyakitkan mencabut pohon, ya biarkan saja pohon itu mati dan membusuk, toh dari kebusukan pohon itu pasti akan ada organisme pohon baru yang tumbuh.
Nah, kita mau apakan krisis ekonomi ini, kita obati? Sudah beberapa bulan ini obatnya tidak membuat kondisi semakin baik; bailout, penjaminan, suku bunga sampai dengan komitmen, semuanya mentah! Bagaimana kalau kita cabut sistem yang ada, revolusi! Pasti banyak kapitalis yang pasang badan dan siap "perang". So, kita tunggu aja kebusukannya, kehancurannya, kemusnahannya...
Minggu, 16 November 2008
Solusi Krisis: Mari Belanja!
Pertemuan G-20 yang disebut-sebut sebagai “The Bretton Woods II” sudah selesai, rekomendasi sudah dapat ditebak, yang disepakati adalah pengetatan regulasi dan penciptaan lingkungan yang lebih baik bagi kebijakan pengetatan. Yang pasti, industri keuangan semakin menjadi industri yang semakin banyak regulasinya. Tetapi ibarat praktek judi yang meng-entertain kerakusan, dapatkah regulasi-regulasi itu menjinakkan prilaku rakus penjudi dan kemudian membawa pengaruh positif bagi ekonomi? Regulasi secanggih apa yang bisa mencegah kerakusan kecuali pelarangan?
Dari rekomendasi itu, terjawab sudah pertanyaan “apakah akan ada perubahan dramatis di dunia keuangan dunia?” Tidak ada yang berubah kecuali dunia keuangan semakin panjang list ketentuannya. Tidak ada yang berubah dengan wajah aplikasi, warna kebijakan, rezim nilai tukar dari dunia keuangan internasional. Dengan kepentingan proteksi ekonomi domestik sebagai respon umum terhadap krisis keuangan, masing-masing negara peserta meeting tersebut (terlebih lagi bagi negara non G-20) tentu memiliki interpretasi dan implementasi berbeda atas rekomendasi yang dihasilkan. Jika tidak diikuti koordinasi lanjutan, dikhawatirkan G-20 meeting akan menjadi sia-sia, dan bahkan tidak akan membendung krisis global ini untuk terus menuju dasarnya (bottom of the crisis) yang jauh lebih dalam dari perkiraan semula.
Dalam keadaan seperti ini, lumrah jika semua ekonom “menyanyikan lagu” rekomendasi yang sama, yaitu perkuat ekonomi domestik! Longgarkan fiskal untuk aktifitas ekonomi dalam negeri! Cegah capital outflow melalui kebijakan fiskal dan moneter yang satu nada! Lagu itu memang harus dinyanyikan bersama, oleh semua komponen ekonomi tanah air. Tetapi bagaimana dengan rekomendasi dari sudut pandang ekonomi Islam?
Mungkin nada dan iramanya sama tapi boleh jadi “liriknya” berbeda untuk solusi yang direkomendasikan oleh ekonomi Islam. Ekonomi domestik memang harus diperkuat, tetapi mungkin dapat dilakukan dengan menggeliatkan perekonomian mikro yang memang sampai saat ini jauh dari angka normal atau bahkan maksimalnya. Logikanya sederhana, populasi penduduk Indonesia begitu besar golongan penduduk miskinnya. Tentu mereka memiliki kontribusi konsumsi yang kecil bagi ekonomi. Sementara untuk meningkatkan volume ekonomi domestik dibutuhkan agregat konsumsi ekstra untuk menjaga kegiatan produksi dan merangsang kegiatan baru (yang pasar luar negerinya sedang tiarap).
Golongan masyarakat miskin yang begitu besar merupakan modal krusial untuk meningkatkan konsumsi agregat. Ingat uang ditangan orang miskin itu lebih efektif menjadi konsumsi daripada uang tersebut berada ditangan orang kaya. Sehingga, Upaya memberikan kemampuan beli kepada mereka dan program peningkatan status mereka menjadi pemain pasar yang aktif mutlak dilakukan. Nah, disinalah ekonomi Islam mampu melakukan tugasnya. Rekomendasinya mungkin menjadi seperti ini:
a. Kepada saudara-saudara yang diberikan lebih rizki berupa harta, berkonsumsilah, keluarkan uang anda untuk pasar, dan bentuk mengeluarkan uang yang paling baik bagi ekonomi adalah INFAK dan SEDEKAH. Namun tentu terlebih dahulu jangan lalaikan kewajiban ZAKAT anda. Jika tidak, investasikan uang anda pada usaha-usaha bisnis yang memang prospeknya baik. Jangan ragu, jangan tahan uang anda hanya karena tidak mau merugi. Yakinlah dengan cara-cara seperti ini, akhirnya uang anda akan aman karena masyarakat miskin dengan kesibukannya di ekonomi akan mengeliminasi potensi mereka menjadi pemain kriminal.
b. Kepada semua saudara yang berkonsumsi, berkonsumsilah di pasar tradisional, karena jumlah pelaku pasar disana besar dan multiplier efek bagi transaksi ekonomi selanjutnya jauh lebih besar. Karena memang pasar tradisional pula yang aksesnya dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat baik kaya dan miskin, baik menjadi pembeli maupun penjual.
c. Kepada pemerintah pusat, daerah, kabupaten atau bahkan lurah, kenali para warga kaya dan miskin, lancarkan dana-dana sosial antara mereka, yang pada akhirnya membesarnya daya beli masyarakat miskin. Tetapi ikuti pula dengan program pemberdayaan masyarakat miskin tersebut, seperti program pembangunan infrastruktur desa, kelurahan, atau diwilayah yang lebih tinggi.
d. Kepada pemerintah pusat, daerah, kabupaten atau bahkan lurah, buka peluang pembentukan pasar seluas-luasnya di lapangan-lapangan, lorong desa, alun-alun kota, perumahan-perumahan dan tempat-tempat yang strategis. Dengan pengelolaan profesional tentu saja, pasar dapat berupa pasar-pasar malam, pasar kaget, pasar week-end morning selanjutnya bahkan ia bisa berkembang menjadi tempat-tempat wisata malam bagi penduduk lokal.
e. Kepada semuanya, ingat, jantung ekonomi adalah pasar, maka upaya memperlancar dan merangsang aktifitas pasar adalah hal yang terbaik yang dapat dilakukan untuk keluar dari krisis dalam situasi pasar yang semakin mengkerut akibat aliran kredit yang semakin mengering. Dan mari “belanja!” belanja untuk kebutuhan pokok atau belanja kebajikan dengan perbanyak infak dan tingkatkan sedekah.
Dari rekomendasi itu, terjawab sudah pertanyaan “apakah akan ada perubahan dramatis di dunia keuangan dunia?” Tidak ada yang berubah kecuali dunia keuangan semakin panjang list ketentuannya. Tidak ada yang berubah dengan wajah aplikasi, warna kebijakan, rezim nilai tukar dari dunia keuangan internasional. Dengan kepentingan proteksi ekonomi domestik sebagai respon umum terhadap krisis keuangan, masing-masing negara peserta meeting tersebut (terlebih lagi bagi negara non G-20) tentu memiliki interpretasi dan implementasi berbeda atas rekomendasi yang dihasilkan. Jika tidak diikuti koordinasi lanjutan, dikhawatirkan G-20 meeting akan menjadi sia-sia, dan bahkan tidak akan membendung krisis global ini untuk terus menuju dasarnya (bottom of the crisis) yang jauh lebih dalam dari perkiraan semula.
Dalam keadaan seperti ini, lumrah jika semua ekonom “menyanyikan lagu” rekomendasi yang sama, yaitu perkuat ekonomi domestik! Longgarkan fiskal untuk aktifitas ekonomi dalam negeri! Cegah capital outflow melalui kebijakan fiskal dan moneter yang satu nada! Lagu itu memang harus dinyanyikan bersama, oleh semua komponen ekonomi tanah air. Tetapi bagaimana dengan rekomendasi dari sudut pandang ekonomi Islam?
Mungkin nada dan iramanya sama tapi boleh jadi “liriknya” berbeda untuk solusi yang direkomendasikan oleh ekonomi Islam. Ekonomi domestik memang harus diperkuat, tetapi mungkin dapat dilakukan dengan menggeliatkan perekonomian mikro yang memang sampai saat ini jauh dari angka normal atau bahkan maksimalnya. Logikanya sederhana, populasi penduduk Indonesia begitu besar golongan penduduk miskinnya. Tentu mereka memiliki kontribusi konsumsi yang kecil bagi ekonomi. Sementara untuk meningkatkan volume ekonomi domestik dibutuhkan agregat konsumsi ekstra untuk menjaga kegiatan produksi dan merangsang kegiatan baru (yang pasar luar negerinya sedang tiarap).
Golongan masyarakat miskin yang begitu besar merupakan modal krusial untuk meningkatkan konsumsi agregat. Ingat uang ditangan orang miskin itu lebih efektif menjadi konsumsi daripada uang tersebut berada ditangan orang kaya. Sehingga, Upaya memberikan kemampuan beli kepada mereka dan program peningkatan status mereka menjadi pemain pasar yang aktif mutlak dilakukan. Nah, disinalah ekonomi Islam mampu melakukan tugasnya. Rekomendasinya mungkin menjadi seperti ini:
a. Kepada saudara-saudara yang diberikan lebih rizki berupa harta, berkonsumsilah, keluarkan uang anda untuk pasar, dan bentuk mengeluarkan uang yang paling baik bagi ekonomi adalah INFAK dan SEDEKAH. Namun tentu terlebih dahulu jangan lalaikan kewajiban ZAKAT anda. Jika tidak, investasikan uang anda pada usaha-usaha bisnis yang memang prospeknya baik. Jangan ragu, jangan tahan uang anda hanya karena tidak mau merugi. Yakinlah dengan cara-cara seperti ini, akhirnya uang anda akan aman karena masyarakat miskin dengan kesibukannya di ekonomi akan mengeliminasi potensi mereka menjadi pemain kriminal.
b. Kepada semua saudara yang berkonsumsi, berkonsumsilah di pasar tradisional, karena jumlah pelaku pasar disana besar dan multiplier efek bagi transaksi ekonomi selanjutnya jauh lebih besar. Karena memang pasar tradisional pula yang aksesnya dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat baik kaya dan miskin, baik menjadi pembeli maupun penjual.
c. Kepada pemerintah pusat, daerah, kabupaten atau bahkan lurah, kenali para warga kaya dan miskin, lancarkan dana-dana sosial antara mereka, yang pada akhirnya membesarnya daya beli masyarakat miskin. Tetapi ikuti pula dengan program pemberdayaan masyarakat miskin tersebut, seperti program pembangunan infrastruktur desa, kelurahan, atau diwilayah yang lebih tinggi.
d. Kepada pemerintah pusat, daerah, kabupaten atau bahkan lurah, buka peluang pembentukan pasar seluas-luasnya di lapangan-lapangan, lorong desa, alun-alun kota, perumahan-perumahan dan tempat-tempat yang strategis. Dengan pengelolaan profesional tentu saja, pasar dapat berupa pasar-pasar malam, pasar kaget, pasar week-end morning selanjutnya bahkan ia bisa berkembang menjadi tempat-tempat wisata malam bagi penduduk lokal.
e. Kepada semuanya, ingat, jantung ekonomi adalah pasar, maka upaya memperlancar dan merangsang aktifitas pasar adalah hal yang terbaik yang dapat dilakukan untuk keluar dari krisis dalam situasi pasar yang semakin mengkerut akibat aliran kredit yang semakin mengering. Dan mari “belanja!” belanja untuk kebutuhan pokok atau belanja kebajikan dengan perbanyak infak dan tingkatkan sedekah.
Jumat, 14 November 2008
Islamic Finance News: Viability is the Challenge
Dear Ali Sakti,
Today, the Islamic financial system is being viewed with a measure of envy and respect. There is growing appreciation of its symbiotic link to real economic activities. As the financial crisis reaches out to even more areas around the globe, some Islamic financial and related institutions are being affected, though not to the extent that has crippled many of their conventional counterparts.
This naturally means that the Islamic finance community should not be complacent; rather, it must continue to critically evaluate itself. Malaysian Prime Minister Abdullah Ahmad Badawi asks: “Have we truly established an alternative system, or are we still very much mimicking the established conventional system?” His challenge: Prove to the global market that the Islamic financial system is truly a robust and viable alternative to the conventional system.
The current financial crisis provides that opportunity. As it is, despite the crisis, new Shariah compliant banks continue to emerge in various places (Sudan, the Gulf and Malaysia); they continue to record strong profits (ABC Islamic Bank’s net profit for the first nine months of 2008 increased by 60% over the same period last year); Britain, despite being in the thick of the crisis, remains committed to launch the first Sukuk by a western government; and Gulf Finance House is embarking on its latest Energy City project, in Libya, worth US$5 billion. Additionally the International Swaps and Derivatives Association is to launch standards for over-the-counter (OTC) Islamic derivative contracts early next year that will be a key tool in Shariah compliant risk management.
As part of efforts to add depth to Islamic finance, the International Shariah Research Academy for Islamic Finance (ISRA) has been set up to foster collaboration between Muslim scholars in different countries to develop knowledge in areas of specific interest to the global Islamic finance community. In particular, it will help find a middle ground for the standardization of Islamic finance practices.
At the same time, Malaysia has embarked on an initiative to promote a more consistent application for Islamic financial contracts. The central bank’s “Shariah parameters” project is aimed at determining the essential features of Islamic financial products derived from underlying Shariah contracts such as Murabahah, Istisna, Mudarabah, Musharakah, Ijarah and Wadiah. These features will serve as a guide for Shariah contracts pertaining to Islamic financial products, and can be applied when designing new products or enhancing existing ones.
Even as these moves take shape in bringing about a certain level of standardization and uniformity in Islamic finance, a debate is ongoing: According to some scholars, binding legal standards for the industry would challenge the Islamic concept of Ijtihad, or reasoning, that continuously re-assesses Shariah law. Standardization, they argue, will also limit the diversity of Islamic finance products. On the other hand, regulators and industry practitioners contend that legally enforced standards are required to enhance investment certainty and reduce transaction costs.
Finally some of the largest pension plans in the US are reported to be restructuring their entire portfolio to venture into infrastructure investment in a major way. Experts estimate that infrastructure spending will average US$2 trillion a year through 2015 as emerging markets build and expand rapidly while developed markets are upgrading their existing infrastructure.
Opportunities beckon for Islamic finance!
Best regards,IFN team
Today, the Islamic financial system is being viewed with a measure of envy and respect. There is growing appreciation of its symbiotic link to real economic activities. As the financial crisis reaches out to even more areas around the globe, some Islamic financial and related institutions are being affected, though not to the extent that has crippled many of their conventional counterparts.
This naturally means that the Islamic finance community should not be complacent; rather, it must continue to critically evaluate itself. Malaysian Prime Minister Abdullah Ahmad Badawi asks: “Have we truly established an alternative system, or are we still very much mimicking the established conventional system?” His challenge: Prove to the global market that the Islamic financial system is truly a robust and viable alternative to the conventional system.
The current financial crisis provides that opportunity. As it is, despite the crisis, new Shariah compliant banks continue to emerge in various places (Sudan, the Gulf and Malaysia); they continue to record strong profits (ABC Islamic Bank’s net profit for the first nine months of 2008 increased by 60% over the same period last year); Britain, despite being in the thick of the crisis, remains committed to launch the first Sukuk by a western government; and Gulf Finance House is embarking on its latest Energy City project, in Libya, worth US$5 billion. Additionally the International Swaps and Derivatives Association is to launch standards for over-the-counter (OTC) Islamic derivative contracts early next year that will be a key tool in Shariah compliant risk management.
As part of efforts to add depth to Islamic finance, the International Shariah Research Academy for Islamic Finance (ISRA) has been set up to foster collaboration between Muslim scholars in different countries to develop knowledge in areas of specific interest to the global Islamic finance community. In particular, it will help find a middle ground for the standardization of Islamic finance practices.
At the same time, Malaysia has embarked on an initiative to promote a more consistent application for Islamic financial contracts. The central bank’s “Shariah parameters” project is aimed at determining the essential features of Islamic financial products derived from underlying Shariah contracts such as Murabahah, Istisna, Mudarabah, Musharakah, Ijarah and Wadiah. These features will serve as a guide for Shariah contracts pertaining to Islamic financial products, and can be applied when designing new products or enhancing existing ones.
Even as these moves take shape in bringing about a certain level of standardization and uniformity in Islamic finance, a debate is ongoing: According to some scholars, binding legal standards for the industry would challenge the Islamic concept of Ijtihad, or reasoning, that continuously re-assesses Shariah law. Standardization, they argue, will also limit the diversity of Islamic finance products. On the other hand, regulators and industry practitioners contend that legally enforced standards are required to enhance investment certainty and reduce transaction costs.
Finally some of the largest pension plans in the US are reported to be restructuring their entire portfolio to venture into infrastructure investment in a major way. Experts estimate that infrastructure spending will average US$2 trillion a year through 2015 as emerging markets build and expand rapidly while developed markets are upgrading their existing infrastructure.
Opportunities beckon for Islamic finance!
Best regards,IFN team
Kamis, 13 November 2008
Negeri Islam yang Bahagia
Membaca posting seorang teman tentang paradigma pembangunan yang dimiliki oleh nagara Buthan; “Gross National Happiness is more important than Gross National Product”, yang didengungkan oleh Raja Buthan, membuat Buthan kini memiliki pencapaian cukup menari sebagai negara. Dengan pendapatan perkapita USD 1,400, Buthan menjadi negara paling berbahagia peringkat 8 di dunia (Penelitian Universitas Leicester UK tahun 2006), 9 tingkat lebih tinggi daripada Amerika Serikat yang memiliki pendapatan perkapita USD 41,800. 97% rakyat Buthan menyatakan bahagia, APBN-nya tidak dibebani pembiayaan militer karena lebih difokuskan pada program pelayanan medis dan pendidikan gratis bagi seluruh warga negara yang mengambil porsi 30% dari APBN-nya.
Mimpinya negeri Islam nan berkah ya mungkin seperti itu, negeri yang digerakkan oleh kesadaran pada pemberian maksimal kemanfaatan diri bagi manusia lain. Pembangunan ekonomi akhirnya dimotivasi oleh keshalehan diri dan kolektif. Kata Nabi, harta yang terbaik adalah harta yang berada di tangan orang shaleh, nah bayangkan kalau warga negara banyak yang shaleh. Pemimpinnya shaleh, orang kayanya shaleh, orang miskinnya shaleh, pemimpin akan menempatkan diri sebagai orang yang terakhir merasakan kenikmatan dan orang pertama yang merasakan kepahitan (sehingga ia menjadi pemimpin yang adil, pemimpin yang adil hingga syurga pun merinduinya, kata Nabi), orang kaya memaksimalkan kekayaannya untuk memberikan kemanfaatan buat orang lain dan terus bersemangat untuk menjadi manusia yang terbaik (manusia yang terbaik diantaramu adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lain, kata Nabi), orang miskin dengan kemiskinannya tetap menjaga izzah dan marwah dengan keterbatasannya, bahkan qona’ah untuk tetap dalam keadaan itu karena teringat sabda Nabi, ada segolongan manusia yang utama dan pertama masuk syurga di akhirat nanti, yaitu golongan miskin yang istiqomah (Islam dan Iman).
Bila ya negeri itu ada...
Mimpinya negeri Islam nan berkah ya mungkin seperti itu, negeri yang digerakkan oleh kesadaran pada pemberian maksimal kemanfaatan diri bagi manusia lain. Pembangunan ekonomi akhirnya dimotivasi oleh keshalehan diri dan kolektif. Kata Nabi, harta yang terbaik adalah harta yang berada di tangan orang shaleh, nah bayangkan kalau warga negara banyak yang shaleh. Pemimpinnya shaleh, orang kayanya shaleh, orang miskinnya shaleh, pemimpin akan menempatkan diri sebagai orang yang terakhir merasakan kenikmatan dan orang pertama yang merasakan kepahitan (sehingga ia menjadi pemimpin yang adil, pemimpin yang adil hingga syurga pun merinduinya, kata Nabi), orang kaya memaksimalkan kekayaannya untuk memberikan kemanfaatan buat orang lain dan terus bersemangat untuk menjadi manusia yang terbaik (manusia yang terbaik diantaramu adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lain, kata Nabi), orang miskin dengan kemiskinannya tetap menjaga izzah dan marwah dengan keterbatasannya, bahkan qona’ah untuk tetap dalam keadaan itu karena teringat sabda Nabi, ada segolongan manusia yang utama dan pertama masuk syurga di akhirat nanti, yaitu golongan miskin yang istiqomah (Islam dan Iman).
Bila ya negeri itu ada...
Rabu, 12 November 2008
Diskusi Tentang Bentuk Pasar Investasi
Pernyataan:
bayangan saya institusi pasar modal yg islami mungkin tidak harus besar seperti saat ini, mengingat frekuensi jual-beli nya pun tidak banyak....kemudian lembaga keuangan islam yg ada bisa menggantikan peran broker saat ini, karena data base para pemodal sudah ada di lembaga keuangan islam itu....
Diskusi:
Sepakat dengan "bayangan" anda Mas Backpackers, bahwa volume transaksinya mungkin tidak akan banyak, karena pemain spekulatifnya dieliminasi. tetapi kemanfaatannya lebih banyak bagi perekonomian; kestabilan sistem, reduksi ketimpangan sektoral, reduksi misalokasi produksi dan kapital.
Di pasar keuangan yang lain, kejadiannya pun sama, bahwa keseimbangan investasi harus berorientasi pada projek investasi yang berakhir pada peningkatan volume (transaksi) barang dan jasa.
Dengan begitu kita akan tahu bahwa sebenarnya moneter syariah hanyalah pasar investasi yang posisinya tidak sejajar dengan sektor riil (classical dichotomy-nya konvensional). sektor moneter Islam adalah sektor pendukung sektor rill, yang eksistensinya tergantung pada eksistensi sektor riil. Jika sektor riil (underlying transaction) ada maka sektor moneter ada.
bayangan saya institusi pasar modal yg islami mungkin tidak harus besar seperti saat ini, mengingat frekuensi jual-beli nya pun tidak banyak....kemudian lembaga keuangan islam yg ada bisa menggantikan peran broker saat ini, karena data base para pemodal sudah ada di lembaga keuangan islam itu....
Diskusi:
Sepakat dengan "bayangan" anda Mas Backpackers, bahwa volume transaksinya mungkin tidak akan banyak, karena pemain spekulatifnya dieliminasi. tetapi kemanfaatannya lebih banyak bagi perekonomian; kestabilan sistem, reduksi ketimpangan sektoral, reduksi misalokasi produksi dan kapital.
Di pasar keuangan yang lain, kejadiannya pun sama, bahwa keseimbangan investasi harus berorientasi pada projek investasi yang berakhir pada peningkatan volume (transaksi) barang dan jasa.
Dengan begitu kita akan tahu bahwa sebenarnya moneter syariah hanyalah pasar investasi yang posisinya tidak sejajar dengan sektor riil (classical dichotomy-nya konvensional). sektor moneter Islam adalah sektor pendukung sektor rill, yang eksistensinya tergantung pada eksistensi sektor riil. Jika sektor riil (underlying transaction) ada maka sektor moneter ada.
Selasa, 11 November 2008
Akar Krisis dan Solusi
Krisis yang berulang tidak kemudian membuat daya tahan ekonomi terhadap krisis semakin meningkat seiring dengan semakin baiknya sistem ekonomi akibat pembenahan-pembenahan yang dilakukan. Padahal sejatinya krisis-krisis yang terjadi, berada dalam lingkungan sektoral ekonomi yang hampir selalu sama dengan gejala dan bentuk krisis yang juga sama, tetapi tetap saja krisis menampar ekonomi semakin hari semakin keras.
Merujuk pada kontinuitas krisis ekonomi yang didominasi oleh krisis keuangan sejak perekonomian dunia mewujud dalam bentuk modern (akhir abad 19), dan kekerapan atau intensitas krisis yang semakin tinggi ketika integrasi ekonomi dunia terjadi, membuat kecurigaan bahwa penyebab utama krisis terletak pada kesalahan penggunaan konsep ekonomi semakin menguat.
Kesalahan penggunaan konsep menjadi lebih beralasan daripada menunjuk kesalahan kebijakan sebagai kambing hitam. Kalau kebijakan yang salah, mengapa krisis ini selalu terjadi. Mengapa krisis di Amerika dan Eropa itu dapat terjadi lagi, apakah mereka tidak belajar dari krisis keuangan Asia Tenggara 10 tahun silam. Karena ternyata apa yang mereka (Amerika & Eropa) lakukan dalam merespon krisis, persis sama dengan apa yang dilakukan negara-negara Asia Tenggara ketika itu.
Disamping itu, apakah tidak cukup canggih metode pengelolaan risiko, good governance, transparency, business conduct dan segala instrumen penjaga di indusri perbankan dan keuangan dunia? Kemana pelajaran yang diambil dari krisis-krisis terdahulu? Tidakkah cukup puluhan atau bahkan ratusan krisis yang telah terjadi, dalam memberikan pengalaman dan wawasan untuk membangun industri yang lebih robust and resilience?
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa krisis-krisis dalam ekonomi dominan bersumber dari kekacauan di sektor keuangannya. Krisis-krisis tersebut merupakan akumulasi dari kesalahan konsep (sistem ekonomi) dan prilaku manusia. Interaksi antara kesalahan sistem dan prilaku bermuara pada kewujudan krisis yang secara reguler menghantam perekonomian dunia.
A. Kesalahan Konsep (Sistem Ekonomi)
Paradigma bahwa sektor keuangan merupakan sektor mandiri dalam perekonomian, boleh jadi merupakan paradigma yang keliru, yang menyebabkan perkembangan ekonomi selalu dihadapkan pada fakta-fakta (konsekwensi) ketimpangan antara sektor keuangan dan riil. Sektor keuangan sepatutnya menjadi sektoral yang berfungsi mendukung pertumbuhan ekonomi melalui aktifitas riil. Oleh sebab itu, semua elemen dan instrumen dalam sektor keuangan sepatutnya dipelihara dan dijaga untuk mendukung penuh aktifitas riil. Dengan demikian, kecenderungan penggelembungan sepihak sektor keuangan yang kerap terjadi akan dapat dihindari.
Ketimpangan sektor keuangan dan riil yang diakibatkan oleh penggelembungan sektor keuangan, secara sistem disebabkan oleh:
Interest base activities; men-drive arus uang lebih menuju pada sektor yang menjanjikan return tetap yang relatif lebih cepat, mudah dan tidak berisiko. Disamping itu, penggunaan konsep ini dalam mekanisme perbankan akan mendorong aktifitas money creation.
Fractional Reserve System; praktek ini dalam dunia perbankan akan menyebabkan pelipatan jumlah uang beredar, atau dapat dikatakan sebagai praktek yang berakibat pada penciptaan uang beredar. Penyisihan sejumlah dana oleh bank dari penempatan yang dilakukan oleh depositor dalam mekanisme perbankan yang saling berkoneksi akan menyebabkan penggelembungan jumlah uang beredar secara total lebih besar dari jumlah uang yang ada.
Speculative motives activities: praktek ini tentu akan mendorong sejumlah uang beredar tertahan berada pada aktifitas tak produktif (money whirlpool). Secara total praktek spekulasi akan semakin menyedot uang beredar yang berpotensi untuk memproduksi barang dan jasa, sehingga sektor riil akan semakin menyusut seiring dengan semakin berkembangnya aktifitas spekulasi yang umumnya bereda di sektor keuangan (Money Concentration).
Non-intrinsict Money Regime: penggunaan jenis uang yang tidak memiliki nilai intrinsik atau memiliki nilai intrinsik lebih rendah daripada nominalnya, cenderung akan meningkatkan potensi pertambahan uang beredar tanpa diimbangi dengan pertumbuhan penciptaan barang dan jasa (sektor riil), seperti munculnya seignorage dalam penciptaan uang kertas.
Ada dua konsekwensi alamiah dari praktek-praktek diatas ini, yaitu pengelembungan sektor keuangan yang berakibat pada ketimpangan sektoral ekonomi. Kedua, praktek tersebut akan menyebabkan terpeliharanya inflasi akibat penyusutan sektor riil (sisi supply) akibat alokasi modal atau investasi lebih terkonsentrasi pada sektor keuangan. Jadi dapat dikatakan sebelum kebijakan moneter (keuangan) konvensional ingin mengentaskan masalah ketimpangan ekonomi dan inflasi, secara tak sadar sebenarnya mekanisme sistem konvensionallah yang menyebabkan fenomena negatif tersebut selalu ada.
B. Prilaku Manusia yang Rakus
Berdasarkan pendapat Prof. Dr. Alex Lanur[1], Jeremy Bentham (1748-1823) sebagai Bapak Utilitarianisme, cukup tegas dalam menjelaskan motivasi dan batasan berprilaku manusia (tentu saja dalam pandangan konvensional). Menurut Lanur, dasar Benthanisme adalah hedonisme psikologis yaitu bahwa setiap manusia menurut kodratnya berusaha untuk mengejar kesenangan (pleasure) dan menghindari rasa sakit (pain).[2] Pernyataan Bentham yang sangat terkenal berkaitan dengan hal ini adalah “alam menempatkan manusia di bawah dua kekuasaan yang berdaulat, yakni rasa sakit dan kesenangan”.
Dengan demikian, asumsi yang digunakan oleh Bentham adalah; pertama, kesenangan yang paling besar adalah yang jumlahnya paling banyak (the greatest happiness of the greatest number). Kedua, tindakan yang baik adalah segala tindakan yang mengarahkan manusia menambah jumlah kesenangan, sementara tindakan yang tidak mengarah kepada kesenangan atau yang mengurangi jumlahnya adalah tindakan yang tidak baik. Pada akhirnya asumsi ini membentuk prinsip yang oleh Bentham disebut sebagai prinsip manfaat atau Prinsip Etis Terakhir (ultima principia).
Selanjutnya Bentham menjelaskan faktor-faktor yang dapat menjadi ukuran dari kesenangan ini (cara menentukan, menilai atau menghitung), yaitu meliputi intensitasnya, lamanya, pasti-tidak pastinya dan jauh dekatnya kesenangan atau rasa sakit untuk seseorang. Ternyata Bentham juga tidak membatasi prinsip manfaat pada wilayah individual tapi juga kepentingan umum, dimana faktor yang dapat menjadi ukurannya adalah faktor luasnya atau besar jumlah atau banyaknya orang yang mengalami kesenangan ataupun rasa sakit itu. Penerus pemikir Benthamisme yang paling dikenal adalah John Stuart Mill, dimana Mill mencoba untuk menjelaskan perbedaan kualitatif intrinsik pelbagai macam kesenangan.
Tidak lengkap rasanya jika membahas filosofi dasar kapitalisme tanpa menyinggung apa yang menjadi pemahaman Adam Smith (1776) tentang prinsip-prinsip dasar ekonomi kapitalis. Adam Smith sebagai Bapak ekonomi, dalam buku Spencer J. Pack[3], disebutkan berkeyakinan bahwa kapitalisme berkembang berdasarkan kepentingan pribadi pelaku ekonomi. Smith mengidentifikasi bahwa sentimen, perasaan dan nafsu adalah motivator utama manusia dalam bertindak. Bahkan Smith berkeyakinan bahwa teologi (agama,) dalam hal ini Smith merujuk pada Bible, bukanlah merupakan sumber yang terjamin kebenarannya. Oleh sebab itu menurut Smith, kapitalisme muncul dan berkembang secara dominan akibat proses respon kolektif masyarakat terhadap prilaku-prilaku individual (the constant feedback of society to the actions of the individual) bukan karena hasil dari proses sistematis yang terencana (conscious planning).
Penjelasan di atas merupakan rangkuman latar belakang logika yang digunakan perekonomian modern dalam upaya membangun sistemnya. Logika diatas merupakan asumsi prilaku manusia sebagai objek dalam suatu mekanisme ekonomi, dan ini yang kemudian menjadi rasionalitas kapitalisme. Setiap orang akan memaksimalkan kepuasannya dalam mendapatkan atau menikmati sumber daya dan faktor produksi. Dan setiap orang tidak wajib mempertimbangkan keadaan manusia lain dalam menjalankan rasionalitas kapitalisme itu, karena jika ia lakukan itu dapat saja logika ekonominya menjadi tidak rasional.
Oleh karena itulah, fenomena krisis ekonomi yang tercipta karena kesalahan sistem semakin diperparah oleh prilaku ekonomi dari manusia sebagai pelakunya. Ketimpangan sektoral antara sektor keuangan dan riil pada setiap gejala krisis ekonomi, selain disebabkan oleh praktek money creation dari aplikasi interest base activities, fractional reserve dan seignorage, dipicu pula oleh rangsangan melakukan money concentration (money whirpool) yang diciptakan oleh sistem yang kemudian disambut dengan prilaku manusia yang konsisten menjalankan rasionalisme kapitalismenya yaitu “maximizing pleasure minimizing pain”, dengan cenderung meletakkan dananya di sektor keuangan.
Solusi
Jangka Panjang
Program secara jangka panjang sepatutnya menjawab masalah yang telah diidentifikasi sebagai akar masalah. Artinya upaya yang dilakukan adalah upaya-upaya perbaikan pada sistem dan prilaku manusia (moral hazard).
Sistem:
Mencari alternatif konsep untuk menggantikan interest base system
Fokus pada aktifitas investasi dengan meminimalkan praktek spekulasi
Konsep aplikasi dan kebijakan moneter dengan instrumennya yang fokus pada sektor riil
Prilaku:
Pembangunan sistem sosial yang mapan
Peningkatan emosi kolektifitas dalam warga ekonomi
Jangka Pendek
Program yang diambil adalah upaya-upaya yang mempertimbangkan keadaan realistis, dalam rangka melindungi perekonomian nasional dari krisis keuangan/ekonomi yang faktanya berasal dari eksternal. Dengan asumsi bahwa pasar domestik yang besar dan saat ini pencapaiannya masih jauh dari angka potensialnya, upaya tersebut dapat berupa:
Kebijakan moneter dan fiskal yang mendukung aktifitas riil domestik; penetapan tingkat suku bunga yang kondusif dan penentuan jenis serta tingkat pajak yang merangsang sekaligus melindungi aktifitas riil domestik
Kebijakan yang mengakomodasi masyarakat golongan bawah agar terlibat aktif dalam ekonomi melalui program-program sosial dan informal yang bertujuan pada peningkatan sisi permintaan. hal ini dilakukan dalam rangka meningkatkan volume ekonomi domestik. Akomodasi masyarakat marginal yang sebelumnya tidak memiliki akses, tentu awalnya akan meningkatkan agregat demand, namun akhirnya akan meningkatkan volume ekonomi.
Kebijakan yang mendorong UMKM karena kontribusinya pada penyerapan tenaga kerja dan output ekonomi. Upaya pada program-program sosial dan pembiayaan/kredit mikro akan sangat dibutuhkan.
[1] Alex Lanur, Pengantar Edisi Indonesia, On Liberty: Perihal Kebebasan, John Stuart Mill, Yayasan Obor Indonesia, 2005, pp. x – xxiv.
[2] Menurut Lanur, pendapat ini bukanlah hal yang baru karena telah juga diutarakan Epicurus (341-271 SM), Claude (Adrian) Helvetius (1715 – 1771) dan David Hartley (1705 – 1757). Namun Bentham membuat teori ini menjadi monumental.
[3] Spencer J. Pack, Smith’s Moral…
Merujuk pada kontinuitas krisis ekonomi yang didominasi oleh krisis keuangan sejak perekonomian dunia mewujud dalam bentuk modern (akhir abad 19), dan kekerapan atau intensitas krisis yang semakin tinggi ketika integrasi ekonomi dunia terjadi, membuat kecurigaan bahwa penyebab utama krisis terletak pada kesalahan penggunaan konsep ekonomi semakin menguat.
Kesalahan penggunaan konsep menjadi lebih beralasan daripada menunjuk kesalahan kebijakan sebagai kambing hitam. Kalau kebijakan yang salah, mengapa krisis ini selalu terjadi. Mengapa krisis di Amerika dan Eropa itu dapat terjadi lagi, apakah mereka tidak belajar dari krisis keuangan Asia Tenggara 10 tahun silam. Karena ternyata apa yang mereka (Amerika & Eropa) lakukan dalam merespon krisis, persis sama dengan apa yang dilakukan negara-negara Asia Tenggara ketika itu.
Disamping itu, apakah tidak cukup canggih metode pengelolaan risiko, good governance, transparency, business conduct dan segala instrumen penjaga di indusri perbankan dan keuangan dunia? Kemana pelajaran yang diambil dari krisis-krisis terdahulu? Tidakkah cukup puluhan atau bahkan ratusan krisis yang telah terjadi, dalam memberikan pengalaman dan wawasan untuk membangun industri yang lebih robust and resilience?
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa krisis-krisis dalam ekonomi dominan bersumber dari kekacauan di sektor keuangannya. Krisis-krisis tersebut merupakan akumulasi dari kesalahan konsep (sistem ekonomi) dan prilaku manusia. Interaksi antara kesalahan sistem dan prilaku bermuara pada kewujudan krisis yang secara reguler menghantam perekonomian dunia.
A. Kesalahan Konsep (Sistem Ekonomi)
Paradigma bahwa sektor keuangan merupakan sektor mandiri dalam perekonomian, boleh jadi merupakan paradigma yang keliru, yang menyebabkan perkembangan ekonomi selalu dihadapkan pada fakta-fakta (konsekwensi) ketimpangan antara sektor keuangan dan riil. Sektor keuangan sepatutnya menjadi sektoral yang berfungsi mendukung pertumbuhan ekonomi melalui aktifitas riil. Oleh sebab itu, semua elemen dan instrumen dalam sektor keuangan sepatutnya dipelihara dan dijaga untuk mendukung penuh aktifitas riil. Dengan demikian, kecenderungan penggelembungan sepihak sektor keuangan yang kerap terjadi akan dapat dihindari.
Ketimpangan sektor keuangan dan riil yang diakibatkan oleh penggelembungan sektor keuangan, secara sistem disebabkan oleh:
Interest base activities; men-drive arus uang lebih menuju pada sektor yang menjanjikan return tetap yang relatif lebih cepat, mudah dan tidak berisiko. Disamping itu, penggunaan konsep ini dalam mekanisme perbankan akan mendorong aktifitas money creation.
Fractional Reserve System; praktek ini dalam dunia perbankan akan menyebabkan pelipatan jumlah uang beredar, atau dapat dikatakan sebagai praktek yang berakibat pada penciptaan uang beredar. Penyisihan sejumlah dana oleh bank dari penempatan yang dilakukan oleh depositor dalam mekanisme perbankan yang saling berkoneksi akan menyebabkan penggelembungan jumlah uang beredar secara total lebih besar dari jumlah uang yang ada.
Speculative motives activities: praktek ini tentu akan mendorong sejumlah uang beredar tertahan berada pada aktifitas tak produktif (money whirlpool). Secara total praktek spekulasi akan semakin menyedot uang beredar yang berpotensi untuk memproduksi barang dan jasa, sehingga sektor riil akan semakin menyusut seiring dengan semakin berkembangnya aktifitas spekulasi yang umumnya bereda di sektor keuangan (Money Concentration).
Non-intrinsict Money Regime: penggunaan jenis uang yang tidak memiliki nilai intrinsik atau memiliki nilai intrinsik lebih rendah daripada nominalnya, cenderung akan meningkatkan potensi pertambahan uang beredar tanpa diimbangi dengan pertumbuhan penciptaan barang dan jasa (sektor riil), seperti munculnya seignorage dalam penciptaan uang kertas.
Ada dua konsekwensi alamiah dari praktek-praktek diatas ini, yaitu pengelembungan sektor keuangan yang berakibat pada ketimpangan sektoral ekonomi. Kedua, praktek tersebut akan menyebabkan terpeliharanya inflasi akibat penyusutan sektor riil (sisi supply) akibat alokasi modal atau investasi lebih terkonsentrasi pada sektor keuangan. Jadi dapat dikatakan sebelum kebijakan moneter (keuangan) konvensional ingin mengentaskan masalah ketimpangan ekonomi dan inflasi, secara tak sadar sebenarnya mekanisme sistem konvensionallah yang menyebabkan fenomena negatif tersebut selalu ada.
B. Prilaku Manusia yang Rakus
Berdasarkan pendapat Prof. Dr. Alex Lanur[1], Jeremy Bentham (1748-1823) sebagai Bapak Utilitarianisme, cukup tegas dalam menjelaskan motivasi dan batasan berprilaku manusia (tentu saja dalam pandangan konvensional). Menurut Lanur, dasar Benthanisme adalah hedonisme psikologis yaitu bahwa setiap manusia menurut kodratnya berusaha untuk mengejar kesenangan (pleasure) dan menghindari rasa sakit (pain).[2] Pernyataan Bentham yang sangat terkenal berkaitan dengan hal ini adalah “alam menempatkan manusia di bawah dua kekuasaan yang berdaulat, yakni rasa sakit dan kesenangan”.
Dengan demikian, asumsi yang digunakan oleh Bentham adalah; pertama, kesenangan yang paling besar adalah yang jumlahnya paling banyak (the greatest happiness of the greatest number). Kedua, tindakan yang baik adalah segala tindakan yang mengarahkan manusia menambah jumlah kesenangan, sementara tindakan yang tidak mengarah kepada kesenangan atau yang mengurangi jumlahnya adalah tindakan yang tidak baik. Pada akhirnya asumsi ini membentuk prinsip yang oleh Bentham disebut sebagai prinsip manfaat atau Prinsip Etis Terakhir (ultima principia).
Selanjutnya Bentham menjelaskan faktor-faktor yang dapat menjadi ukuran dari kesenangan ini (cara menentukan, menilai atau menghitung), yaitu meliputi intensitasnya, lamanya, pasti-tidak pastinya dan jauh dekatnya kesenangan atau rasa sakit untuk seseorang. Ternyata Bentham juga tidak membatasi prinsip manfaat pada wilayah individual tapi juga kepentingan umum, dimana faktor yang dapat menjadi ukurannya adalah faktor luasnya atau besar jumlah atau banyaknya orang yang mengalami kesenangan ataupun rasa sakit itu. Penerus pemikir Benthamisme yang paling dikenal adalah John Stuart Mill, dimana Mill mencoba untuk menjelaskan perbedaan kualitatif intrinsik pelbagai macam kesenangan.
Tidak lengkap rasanya jika membahas filosofi dasar kapitalisme tanpa menyinggung apa yang menjadi pemahaman Adam Smith (1776) tentang prinsip-prinsip dasar ekonomi kapitalis. Adam Smith sebagai Bapak ekonomi, dalam buku Spencer J. Pack[3], disebutkan berkeyakinan bahwa kapitalisme berkembang berdasarkan kepentingan pribadi pelaku ekonomi. Smith mengidentifikasi bahwa sentimen, perasaan dan nafsu adalah motivator utama manusia dalam bertindak. Bahkan Smith berkeyakinan bahwa teologi (agama,) dalam hal ini Smith merujuk pada Bible, bukanlah merupakan sumber yang terjamin kebenarannya. Oleh sebab itu menurut Smith, kapitalisme muncul dan berkembang secara dominan akibat proses respon kolektif masyarakat terhadap prilaku-prilaku individual (the constant feedback of society to the actions of the individual) bukan karena hasil dari proses sistematis yang terencana (conscious planning).
Penjelasan di atas merupakan rangkuman latar belakang logika yang digunakan perekonomian modern dalam upaya membangun sistemnya. Logika diatas merupakan asumsi prilaku manusia sebagai objek dalam suatu mekanisme ekonomi, dan ini yang kemudian menjadi rasionalitas kapitalisme. Setiap orang akan memaksimalkan kepuasannya dalam mendapatkan atau menikmati sumber daya dan faktor produksi. Dan setiap orang tidak wajib mempertimbangkan keadaan manusia lain dalam menjalankan rasionalitas kapitalisme itu, karena jika ia lakukan itu dapat saja logika ekonominya menjadi tidak rasional.
Oleh karena itulah, fenomena krisis ekonomi yang tercipta karena kesalahan sistem semakin diperparah oleh prilaku ekonomi dari manusia sebagai pelakunya. Ketimpangan sektoral antara sektor keuangan dan riil pada setiap gejala krisis ekonomi, selain disebabkan oleh praktek money creation dari aplikasi interest base activities, fractional reserve dan seignorage, dipicu pula oleh rangsangan melakukan money concentration (money whirpool) yang diciptakan oleh sistem yang kemudian disambut dengan prilaku manusia yang konsisten menjalankan rasionalisme kapitalismenya yaitu “maximizing pleasure minimizing pain”, dengan cenderung meletakkan dananya di sektor keuangan.
Solusi
Jangka Panjang
Program secara jangka panjang sepatutnya menjawab masalah yang telah diidentifikasi sebagai akar masalah. Artinya upaya yang dilakukan adalah upaya-upaya perbaikan pada sistem dan prilaku manusia (moral hazard).
Sistem:
Mencari alternatif konsep untuk menggantikan interest base system
Fokus pada aktifitas investasi dengan meminimalkan praktek spekulasi
Konsep aplikasi dan kebijakan moneter dengan instrumennya yang fokus pada sektor riil
Prilaku:
Pembangunan sistem sosial yang mapan
Peningkatan emosi kolektifitas dalam warga ekonomi
Jangka Pendek
Program yang diambil adalah upaya-upaya yang mempertimbangkan keadaan realistis, dalam rangka melindungi perekonomian nasional dari krisis keuangan/ekonomi yang faktanya berasal dari eksternal. Dengan asumsi bahwa pasar domestik yang besar dan saat ini pencapaiannya masih jauh dari angka potensialnya, upaya tersebut dapat berupa:
Kebijakan moneter dan fiskal yang mendukung aktifitas riil domestik; penetapan tingkat suku bunga yang kondusif dan penentuan jenis serta tingkat pajak yang merangsang sekaligus melindungi aktifitas riil domestik
Kebijakan yang mengakomodasi masyarakat golongan bawah agar terlibat aktif dalam ekonomi melalui program-program sosial dan informal yang bertujuan pada peningkatan sisi permintaan. hal ini dilakukan dalam rangka meningkatkan volume ekonomi domestik. Akomodasi masyarakat marginal yang sebelumnya tidak memiliki akses, tentu awalnya akan meningkatkan agregat demand, namun akhirnya akan meningkatkan volume ekonomi.
Kebijakan yang mendorong UMKM karena kontribusinya pada penyerapan tenaga kerja dan output ekonomi. Upaya pada program-program sosial dan pembiayaan/kredit mikro akan sangat dibutuhkan.
[1] Alex Lanur, Pengantar Edisi Indonesia, On Liberty: Perihal Kebebasan, John Stuart Mill, Yayasan Obor Indonesia, 2005, pp. x – xxiv.
[2] Menurut Lanur, pendapat ini bukanlah hal yang baru karena telah juga diutarakan Epicurus (341-271 SM), Claude (Adrian) Helvetius (1715 – 1771) dan David Hartley (1705 – 1757). Namun Bentham membuat teori ini menjadi monumental.
[3] Spencer J. Pack, Smith’s Moral…
Things To Ponder: Keberhasilan Perbaikan Ekonomi Tergantung Pada Keberhasilan Perbaikan Prilaku Manusia
Ekonomi bukanlah sistem tanpa nilai. Ketika ia tidak memiliki nilai, maka ekonomi akan berawal dengan kebingungan dan berakhir pada kehancuran. Karena ekonomi pasti akan tidak memiliki obat berupa kebijakan untuk memperbaiki krisis ekonomi akibat prilaku-prilaku rusak manusia. Oleh sebab itu, perekonomian harus mengkonfirmasi terlebih dahulu kebenaran nilai yang menjadi pedoman pengembangannya.
Dengan nilai, ekonomi akan lebih tepat mendefinisikan diri, karena nilai juga secara tak langsung telah memberikan informasi tentang sasaran dan tujuan dari mekanisme-mekanisme ekonomi. Dengan nilai, ekonomi akan memiliki pedoman arah dalam berkembang dan berfungsi. Namun yang tak kalah krusial tentu saja adalah menentukan nilai yang tepat.
Ekonomi konvensional modern, suka tidak suka ternyata memiliki nilai. Nilai yang konsisten ada dalam dirinya adalah nilai materialistik, dimana sasaran dan tujuan ataupun berkembang dan berfungsi ekonomi menuju pada arah yang satu, yaitu pencapaian materi sebanyak mungkin oleh manusia secara individual. Oleh sebab itu, jika melihat peristiwa krisis saat ini di dunia ekonomi konvensional modern, akar permasalahnya berada pada kesalahan penggunaan nilai. Nilai yang salah akan menghasilkan kerusakan prilaku pada manusia. Dan kekacauan sistem ekonomi merupakan hasil kreasi dari prilaku manusia manusia yang rusak.
Ekonomi Islam, sejak awal telah memitigasi risiko diatas. Sejak awal segala sesuatu yang dimaksudkan untuk mengatur manusia diserahkan kepada Dzat diluar manusia. Nilai yang dianut adalah nilai yang diyakini merupakan kreasi Tuhan. Nilai itulah yang kemudian dijadikan pula pedoman berprilaku. dan akhirnya sistem ekonomi yang terbentuk merupakan kombinasi dari nilai Tuhan dan prilaku manusia dalam menjalankannya.
Dengan nilai, ekonomi akan lebih tepat mendefinisikan diri, karena nilai juga secara tak langsung telah memberikan informasi tentang sasaran dan tujuan dari mekanisme-mekanisme ekonomi. Dengan nilai, ekonomi akan memiliki pedoman arah dalam berkembang dan berfungsi. Namun yang tak kalah krusial tentu saja adalah menentukan nilai yang tepat.
Ekonomi konvensional modern, suka tidak suka ternyata memiliki nilai. Nilai yang konsisten ada dalam dirinya adalah nilai materialistik, dimana sasaran dan tujuan ataupun berkembang dan berfungsi ekonomi menuju pada arah yang satu, yaitu pencapaian materi sebanyak mungkin oleh manusia secara individual. Oleh sebab itu, jika melihat peristiwa krisis saat ini di dunia ekonomi konvensional modern, akar permasalahnya berada pada kesalahan penggunaan nilai. Nilai yang salah akan menghasilkan kerusakan prilaku pada manusia. Dan kekacauan sistem ekonomi merupakan hasil kreasi dari prilaku manusia manusia yang rusak.
Ekonomi Islam, sejak awal telah memitigasi risiko diatas. Sejak awal segala sesuatu yang dimaksudkan untuk mengatur manusia diserahkan kepada Dzat diluar manusia. Nilai yang dianut adalah nilai yang diyakini merupakan kreasi Tuhan. Nilai itulah yang kemudian dijadikan pula pedoman berprilaku. dan akhirnya sistem ekonomi yang terbentuk merupakan kombinasi dari nilai Tuhan dan prilaku manusia dalam menjalankannya.
Kepada Putra-Putra Islam Akhir Zaman
Semakin memburuknya kondisi perekonomian Amerika, yang ditandai dengan peningkatan dramatis jumlah pengangguran (angka tertinggi selama 14 tahun terakhir), tumbangnya kembali beberapa bank besar, downgrade status dan memburuknya kondisi keuangan beberapa lembaga keuangan (seperti American Express & AIG), semakin menegaskan arah kebangkrutan negara adidaya ekonomi dunia.
Ketidakberdayaan juga ditunjukkan oleh Eropa, ditandai dengan tournya pemimpin-pemimpin Eropa ke beberapa negara (khususnya negara muslim kaya di Timur Tengah), mereka tidak lagi segan dan malu meminta bantuan dana untuk menyelamatkan perekonomian Barat melalui IMF. Keangkuhan yang selama ini mereka pertontonkan melalui intervensi ekonomi menggunakan pendiktean kebijakan di negara-negara berkembang, seakan tak berbekas, mungkin mereka sudah sadar perekonomiannya sudah ada di tepi jurang kehancuran, bahkan peradaban mereka sudah di ujung tanduk kekacauan.
Kebangkrutan ekonomi Amerika dan Eropa merefleksikan banyak makna. Kehancuran itu dapat saja berarti kegagalan sistem ekonomi kapitalis, setelah sekian abad ia berkibar tanpa tanding. Atau kekacauan ekonomi ini pula dapat dijadikan tanda awal keruntuhan satu peradaban modern yang dipimpin oleh masyarakat Barat (Amerika & Eropa). Jika saja benar ini berakhir pada melenyapnya satu peradaban berikut sistem-sistem kehidupannya, maka tak lama lagi akan muncul peradaban baru menggantikan Barat.
Peradaban baru akan tiba! Saya bermimpi, peradaban itu adalah peradaban ISLAM. Kemunculannya akan dimulai dan ditandai dengan bangkitnya generasi pengusung peradaban itu. Ya generasi Islam baru akan datang! Putra-putra Islam akhir zaman sedang tumbuh menuju takdirnya, menuju singgasana yang dijanjikan. Kehadiran mereka telah dinanti bukan hanya oleh para orang tua tetapi segenap alam raya.
Mereka akan menunjukkan wajah Islam yang sesungguhnya, karena terlebih dahulu mereka akan tunjukkan seperti apa manusia Islam itu sebenarnya. Mereka akan hadir dengan jasad-jasad yang prima, emosi yang penuh kematangan dan akal yang optimal kecerdasannya. kerja mereka 10 lipat ganda dari manusia biasa. Satu panji yang mereka usung, yaitu panji kebenaran Islam.
Putra-Putra Islam Akhir Zaman, waktu kalian sudah tiba!
Terimalah warisan dunia bersama kekacauannya, perbaiki ia dengan Islam, makmurkan ia dengan iman dan pertemukan manusia dengan kampung halamannya, yaitu Syurga.
Ketidakberdayaan juga ditunjukkan oleh Eropa, ditandai dengan tournya pemimpin-pemimpin Eropa ke beberapa negara (khususnya negara muslim kaya di Timur Tengah), mereka tidak lagi segan dan malu meminta bantuan dana untuk menyelamatkan perekonomian Barat melalui IMF. Keangkuhan yang selama ini mereka pertontonkan melalui intervensi ekonomi menggunakan pendiktean kebijakan di negara-negara berkembang, seakan tak berbekas, mungkin mereka sudah sadar perekonomiannya sudah ada di tepi jurang kehancuran, bahkan peradaban mereka sudah di ujung tanduk kekacauan.
Kebangkrutan ekonomi Amerika dan Eropa merefleksikan banyak makna. Kehancuran itu dapat saja berarti kegagalan sistem ekonomi kapitalis, setelah sekian abad ia berkibar tanpa tanding. Atau kekacauan ekonomi ini pula dapat dijadikan tanda awal keruntuhan satu peradaban modern yang dipimpin oleh masyarakat Barat (Amerika & Eropa). Jika saja benar ini berakhir pada melenyapnya satu peradaban berikut sistem-sistem kehidupannya, maka tak lama lagi akan muncul peradaban baru menggantikan Barat.
Peradaban baru akan tiba! Saya bermimpi, peradaban itu adalah peradaban ISLAM. Kemunculannya akan dimulai dan ditandai dengan bangkitnya generasi pengusung peradaban itu. Ya generasi Islam baru akan datang! Putra-putra Islam akhir zaman sedang tumbuh menuju takdirnya, menuju singgasana yang dijanjikan. Kehadiran mereka telah dinanti bukan hanya oleh para orang tua tetapi segenap alam raya.
Mereka akan menunjukkan wajah Islam yang sesungguhnya, karena terlebih dahulu mereka akan tunjukkan seperti apa manusia Islam itu sebenarnya. Mereka akan hadir dengan jasad-jasad yang prima, emosi yang penuh kematangan dan akal yang optimal kecerdasannya. kerja mereka 10 lipat ganda dari manusia biasa. Satu panji yang mereka usung, yaitu panji kebenaran Islam.
Putra-Putra Islam Akhir Zaman, waktu kalian sudah tiba!
Terimalah warisan dunia bersama kekacauannya, perbaiki ia dengan Islam, makmurkan ia dengan iman dan pertemukan manusia dengan kampung halamannya, yaitu Syurga.
Senin, 10 November 2008
Islamic Financial Trainings
Dear Ali Sakti,
Featured courses:
Shariah Coordination for Financial Institutions 16th - 18th December 2008, KUALA LUMPURA unique and important 3-day training program to enable you and your institution to better understand and coordinate the Shariah advisory process. Understand what is required of your institution and how Shariah advisors work and think during the product development and approval stage. Learn also how to avoid the common challenges associated with Shariah advisory and avoid costly delays.
Takaful Products, Markets & Operations 21st - 23rd December 2008, MANAMA This course will examine crucial differences and similarities between Takaful and conventional insurance, and Takaful and mutual insurance. Also covered in detail will be important operational, legal, accounting, financial and risk management issues, as well as key subjects such as investment of surplus. Delegates will gain an understanding of how Takaful contracts are structured to observe the rules and regulations of Shariah, as well as a comparison of Takaful business models.
Other upcoming programs:
Principles of Islamic Finance & Investment1st December 2008, KUALA LUMPURA 1-day program covering, in a nutshell, the important principles of Islamic finance relevant to capital markets. A preparatory session for the course below.
Sukuk & Islamic Capital Markets: Products & Documentation2nd - 4th December 2008, KUALA LUMPURCoverage of the latest structures, applications and challenges facing the Islamic capital markets. Live case studies include recent Malaysian and GCC transactions. Includes an update of the latest position of AAOIFI with regards to Sukuk structures.
Islamic Financial Engineering and New Product Development30th November - 3rd December 2008, DOHAA detailed program that will enable delegates to understand the structure of innovative Islamic financial products. Delegates will be equipped to structure new products for themselves and develop a detailed understanding of core products such as Sukuk and Ijarah, as well as requisites for Islamic financial engineering.
Modern Islamic Finance & Financial Products18th - 21st January 2009, ABU DHABIAn intermediate, exercise and case-study driven program. The course assumes a good understanding of Islamic finance principles and concepts and will build on this in developing more complex financial products. Key concepts throughout the course will be product development as well as liquidity and risk management issues.
For training information:
Derrick Lee Senior Account Manager 603 2162 7800 ext 14
Indran PanneerselvemAccount Manager603 2162 7800 ext 25
Hatem Almasri Account Executive 603 2162 7800 ext 28
Company Address:21/F, Menara KUB,12, Jalan Yap Kwan Seng, 50450 , Malaysia Tel: +603 2162 7800 Fax: +603 2162 7810
Featured courses:
Shariah Coordination for Financial Institutions 16th - 18th December 2008, KUALA LUMPURA unique and important 3-day training program to enable you and your institution to better understand and coordinate the Shariah advisory process. Understand what is required of your institution and how Shariah advisors work and think during the product development and approval stage. Learn also how to avoid the common challenges associated with Shariah advisory and avoid costly delays.
Takaful Products, Markets & Operations 21st - 23rd December 2008, MANAMA This course will examine crucial differences and similarities between Takaful and conventional insurance, and Takaful and mutual insurance. Also covered in detail will be important operational, legal, accounting, financial and risk management issues, as well as key subjects such as investment of surplus. Delegates will gain an understanding of how Takaful contracts are structured to observe the rules and regulations of Shariah, as well as a comparison of Takaful business models.
Other upcoming programs:
Principles of Islamic Finance & Investment1st December 2008, KUALA LUMPURA 1-day program covering, in a nutshell, the important principles of Islamic finance relevant to capital markets. A preparatory session for the course below.
Sukuk & Islamic Capital Markets: Products & Documentation2nd - 4th December 2008, KUALA LUMPURCoverage of the latest structures, applications and challenges facing the Islamic capital markets. Live case studies include recent Malaysian and GCC transactions. Includes an update of the latest position of AAOIFI with regards to Sukuk structures.
Islamic Financial Engineering and New Product Development30th November - 3rd December 2008, DOHAA detailed program that will enable delegates to understand the structure of innovative Islamic financial products. Delegates will be equipped to structure new products for themselves and develop a detailed understanding of core products such as Sukuk and Ijarah, as well as requisites for Islamic financial engineering.
Modern Islamic Finance & Financial Products18th - 21st January 2009, ABU DHABIAn intermediate, exercise and case-study driven program. The course assumes a good understanding of Islamic finance principles and concepts and will build on this in developing more complex financial products. Key concepts throughout the course will be product development as well as liquidity and risk management issues.
For training information:
Derrick Lee Senior Account Manager 603 2162 7800 ext 14
Indran PanneerselvemAccount Manager603 2162 7800 ext 25
Hatem Almasri Account Executive 603 2162 7800 ext 28
Company Address:21/F, Menara KUB,12, Jalan Yap Kwan Seng, 50450 , Malaysia Tel: +603 2162 7800 Fax: +603 2162 7810
Rabu, 05 November 2008
Presiden Bernama Hussein dan Negara Super Power yang Santun
Melihat berita di CNN yang menginformasikan terpilihnya Barack Obama sebagai presiden Amerika Serikat yang baru membuat saya tersenyum karena merenungkan satu hal yang spontan muncul dalam fikiran saya. Beberapa tahun yang lalu Amerika memulai perang untuk menumbangkan seorang presiden bernama Hussein (Saddam Husein), kini Amerika sendiri memiliki presiden bernama Hussein (Barack Hussein Obama). Meskipun memang Amerika mungkin tak ada intensi untuk menumbangkan presiden karena namanya, tetapi fakta ringan ini cukum membuat saya tersenyum. Takdir-takdir ringan seperti ini pula yang membuat kita “terhibur”, ternyata alam dan zaman memiliki kadar “humor”-nya dengan caranya sendiri.
Tetapi dilain sisi, terlepas dari fakta bahwa Amerika merupakan musuh Islam berdasarkan rezim, tetap saja banyak yang berharap di bawah Obama Amerika sedikit tidak “galak” pada Islam (atau sedikit berharap pada “tuah” kata Hussein dalam nama Obama yang artinya lekat dengan kebaikan). Figure yang relative terkesan humanis begitu menonjol pada diri Obama, sehingga harapan seperti tadi layak muncul di setiap orang yang berposisi besebrangan dengan Amerika.
Harapan pada sosok Amerika yang lebih santun, menjadi Negara super power bukan karena kekuatan militernya (karena nanti sama saja dengan preman yang ditakuti karena kekuasaannya mengintimidasi), tetapi karena kesantunan, kedermawanan dan rendah hati, sehingga manusia-manusia Amerika dimanapun ia, mereka dihormati karena selalu ingin membantu dan melayani.
Hampir tidak ada Negara yang berorientasi kesana, menjadi Negara besar karena kesantunan kolektif sebagai bangsa. Ekonomi, politik, social-budaya dan pertahanan dan keamanan dibangun dalam orientasi visi yang sama, yaitu kesantunan. Negara seperti ini tentu harus lebih dulu memiliki kesantunan itu secara internal, pribadi-pribadi anak bangsa, system sosio kemasyarakatannya serta hokum dan mekanisme kenegaraanya. Bahkan pada satu titik pencapaian puncak idiologi itu bukan saja memberikan kesantunan pada Negara dan mensuperpowerkannya, tetapi juga memunculkan peradaban yang santun.
Diyakini bahwa kesantunan yang mensuperpowerkan suatu Negara, berawal dari idiologi manusia, bangsa dan Negara. Berdasarkan sejarah dan fakta-fakta yang ada, peradaban santun itu pernah hadir dan dirasakan ummat manusia pada satu zaman. Zaman ketika Tuhan dijadikan idiologi pada setiap jengkal aktifitas manusia. Zaman ketika Islam bukan sekedar menjadi agama, ketika Islam menjadi idiologi dan menjadi referensi puncak atas setiap prilaku manusia, baik secara kolektif maupun pribadi.
Namun Allah SWT-lah yang berkuasa atas segala peristiwa, dan maha tahu terhadap apa-apa yang ada di setiap dada manusia. Amerika tetap Amerika, Barack Obama tetap barrack Obama, kenyataan bahwa mereka menyatu dalam system yang berada di luar Islam, bahkan cenderung menganiaya Islam, tentu tak akan membuat mereka special di mata Islam.
Tetapi dilain sisi, terlepas dari fakta bahwa Amerika merupakan musuh Islam berdasarkan rezim, tetap saja banyak yang berharap di bawah Obama Amerika sedikit tidak “galak” pada Islam (atau sedikit berharap pada “tuah” kata Hussein dalam nama Obama yang artinya lekat dengan kebaikan). Figure yang relative terkesan humanis begitu menonjol pada diri Obama, sehingga harapan seperti tadi layak muncul di setiap orang yang berposisi besebrangan dengan Amerika.
Harapan pada sosok Amerika yang lebih santun, menjadi Negara super power bukan karena kekuatan militernya (karena nanti sama saja dengan preman yang ditakuti karena kekuasaannya mengintimidasi), tetapi karena kesantunan, kedermawanan dan rendah hati, sehingga manusia-manusia Amerika dimanapun ia, mereka dihormati karena selalu ingin membantu dan melayani.
Hampir tidak ada Negara yang berorientasi kesana, menjadi Negara besar karena kesantunan kolektif sebagai bangsa. Ekonomi, politik, social-budaya dan pertahanan dan keamanan dibangun dalam orientasi visi yang sama, yaitu kesantunan. Negara seperti ini tentu harus lebih dulu memiliki kesantunan itu secara internal, pribadi-pribadi anak bangsa, system sosio kemasyarakatannya serta hokum dan mekanisme kenegaraanya. Bahkan pada satu titik pencapaian puncak idiologi itu bukan saja memberikan kesantunan pada Negara dan mensuperpowerkannya, tetapi juga memunculkan peradaban yang santun.
Diyakini bahwa kesantunan yang mensuperpowerkan suatu Negara, berawal dari idiologi manusia, bangsa dan Negara. Berdasarkan sejarah dan fakta-fakta yang ada, peradaban santun itu pernah hadir dan dirasakan ummat manusia pada satu zaman. Zaman ketika Tuhan dijadikan idiologi pada setiap jengkal aktifitas manusia. Zaman ketika Islam bukan sekedar menjadi agama, ketika Islam menjadi idiologi dan menjadi referensi puncak atas setiap prilaku manusia, baik secara kolektif maupun pribadi.
Namun Allah SWT-lah yang berkuasa atas segala peristiwa, dan maha tahu terhadap apa-apa yang ada di setiap dada manusia. Amerika tetap Amerika, Barack Obama tetap barrack Obama, kenyataan bahwa mereka menyatu dalam system yang berada di luar Islam, bahkan cenderung menganiaya Islam, tentu tak akan membuat mereka special di mata Islam.
Minggu, 02 November 2008
Salam Dari Dubai
Assalamu'alaikum wR.wB.
Saat ini saya sedang di Dubai, menjalankan amanah kantor untuk memberikan presentasi tentang pengalaman BI dalam mengembangkan Islamic Microfinance di Indonesia pada sebuah Seminar yang diselenggarakan oleh International Finance Corporation - World Bank. Seminar Islamic Microfinance itu sendiri dilaksanakan di Hotel Novotel yang letaknya bersebelahan dengan Hotel Jumeirah Emirates Tower tempat saya menginap.
Sejak awal pertanyaan yang menggelitik saya adalah, mengapa seminar yang membicarakan program poverty alleviation harus diselenggarakan di tempat-tempat yang mewah, khawatir sensitifitas para peserta menjadi tidak begitu tajam terhadap apa yang sebenarnya terjadi di sektor Microfinance dan Micro Enterprises, sehingga resolusi yang kemudian dihasilkan lebih mencerminkan kepentingan lain selain kepentingan mereka yang berada di sektor marginal tersebut. Semoga Allah SWT memberikan yang terbaik.
Ada satu pengalaman menarik yang saya alami kemarin, ketika melakukan check in di hotel megah Jumeirah Emirates Towers. Meskipun akomodasi dan transportasi hotel telah ditanggung oleh pihak IFC - WB, namun pihak hotel tetap meminta saya untuk memberikan deposit terhadap expences yang mungkin saya keluarkan untuk mini bar dan lain-lain. Mereka meminta kartu kredit saya untuk keperluan deposit itu.
Dengan tersenyum saya katakan; I do not have credit card, i'm using debit. Front Desk officer hotel itu mengernyitkan dahi sembari mengulangi apa yang saya katakan dengan penuh keheranan: you don't have credit card? saya jawab dengan tetap tersenyum; yupe! sembari bersiap menyerahkan debit card dari satu bank syariah tanah air (meskipun saya tidak yakin itu bisa digunakan). Officer itu menuju supervisornya, mengkonfirmasi keadaan. Sementara saya membalikkan badan tersenyum sendiri, dalam hati saya berkata; kejadian seperti di hotel waktu di Bali sepertinya akan berulang, hahahaha...
Tak lama supervisor front desk itu yang kemudian mengambil alih dan mencoba konfirmasi kembali pada saya. ia katakan bahwa memerlukan deposit untuk keperluan yang tadi saya sebutkan. Saya kemudian mencoba memberikan alternatif; may I use cash money for deposit? Sure! dia menjawab mantap, akhirnya saya serahkan hampir semua uang saku yang kantor berikan pada saya. Beres, dalam hati saya.
Sampai di kamar saya terus memikirkan kejadian tadi; idealisme membangun ekonomi/keuangan syariah memang memerlukan pengorbanan. Dan idealisme saya untuk tidak menggunakan instrumen utang seperti credit card membuat saya harus sedikit "susah" dalam beberapa urusan. Tapi ini harus dijalani.
Saya lihat kemegahan Dubai dari jendela kamar, Subhanallah... semoga kemegahan dunia ini tidak melenakan saya, kaum muslimin, dan semua saudara yang tengah berjuang menegakkan Islam. Beberapa ratus kilometer dari tempat saya, saya membayangkan tanah suci para Nabi, tanah para syuhada, tanah Palestina tercinta. Kemegahan Dubai tentu jauh dari bayangan mereka...
Dubai, 3 November 2008
Saat ini saya sedang di Dubai, menjalankan amanah kantor untuk memberikan presentasi tentang pengalaman BI dalam mengembangkan Islamic Microfinance di Indonesia pada sebuah Seminar yang diselenggarakan oleh International Finance Corporation - World Bank. Seminar Islamic Microfinance itu sendiri dilaksanakan di Hotel Novotel yang letaknya bersebelahan dengan Hotel Jumeirah Emirates Tower tempat saya menginap.
Sejak awal pertanyaan yang menggelitik saya adalah, mengapa seminar yang membicarakan program poverty alleviation harus diselenggarakan di tempat-tempat yang mewah, khawatir sensitifitas para peserta menjadi tidak begitu tajam terhadap apa yang sebenarnya terjadi di sektor Microfinance dan Micro Enterprises, sehingga resolusi yang kemudian dihasilkan lebih mencerminkan kepentingan lain selain kepentingan mereka yang berada di sektor marginal tersebut. Semoga Allah SWT memberikan yang terbaik.
Ada satu pengalaman menarik yang saya alami kemarin, ketika melakukan check in di hotel megah Jumeirah Emirates Towers. Meskipun akomodasi dan transportasi hotel telah ditanggung oleh pihak IFC - WB, namun pihak hotel tetap meminta saya untuk memberikan deposit terhadap expences yang mungkin saya keluarkan untuk mini bar dan lain-lain. Mereka meminta kartu kredit saya untuk keperluan deposit itu.
Dengan tersenyum saya katakan; I do not have credit card, i'm using debit. Front Desk officer hotel itu mengernyitkan dahi sembari mengulangi apa yang saya katakan dengan penuh keheranan: you don't have credit card? saya jawab dengan tetap tersenyum; yupe! sembari bersiap menyerahkan debit card dari satu bank syariah tanah air (meskipun saya tidak yakin itu bisa digunakan). Officer itu menuju supervisornya, mengkonfirmasi keadaan. Sementara saya membalikkan badan tersenyum sendiri, dalam hati saya berkata; kejadian seperti di hotel waktu di Bali sepertinya akan berulang, hahahaha...
Tak lama supervisor front desk itu yang kemudian mengambil alih dan mencoba konfirmasi kembali pada saya. ia katakan bahwa memerlukan deposit untuk keperluan yang tadi saya sebutkan. Saya kemudian mencoba memberikan alternatif; may I use cash money for deposit? Sure! dia menjawab mantap, akhirnya saya serahkan hampir semua uang saku yang kantor berikan pada saya. Beres, dalam hati saya.
Sampai di kamar saya terus memikirkan kejadian tadi; idealisme membangun ekonomi/keuangan syariah memang memerlukan pengorbanan. Dan idealisme saya untuk tidak menggunakan instrumen utang seperti credit card membuat saya harus sedikit "susah" dalam beberapa urusan. Tapi ini harus dijalani.
Saya lihat kemegahan Dubai dari jendela kamar, Subhanallah... semoga kemegahan dunia ini tidak melenakan saya, kaum muslimin, dan semua saudara yang tengah berjuang menegakkan Islam. Beberapa ratus kilometer dari tempat saya, saya membayangkan tanah suci para Nabi, tanah para syuhada, tanah Palestina tercinta. Kemegahan Dubai tentu jauh dari bayangan mereka...
Dubai, 3 November 2008
Langganan:
Postingan (Atom)