Minggu, 10 Agustus 2008

ISLAMIC BANK IS TRULY GREEN BANK

Bank syariah yang dibatasi oleh nilai-nilai moral Islam dan hokum syariah dalam operasionalnya, membuat bank Islam relative memenuhi criteria sebagai bank yang ramah lingkungan. Ramah lingkungan bukan hanya berdefinisi bahwa bank syariah akan memelihara kondisi lingkungan alam sekitar, mengingat bank syariah tidak memberikan pembiayaan pada sector atau nasabah yang memproduksi pencemaran, tetapi juga memelihara kondisi sosial (interaksi kemasyarakatan) karena tidak mempraktekkan aplikasi keuangan yang mengandung unsure kezaliman dan eksploitasi (bunga, spekulasi & judi) antara pelakunya. Artinya bank syariah ramah lingkungan bukan hanya bermakna ia memelihara lingkungan dari pencemaran alam melalui pembatasan-pembatasan pada jenis projek-projek usaha yang bias di biayai, tetapi juga menjaga manusianya dari pencemaran moral (prilaku).
Aktifitas ekonomi berupa projek-projek usaha yang diperkenankan dalam Islam pada dasarnya adalah aktifitas yang mengedepankan penghindaran terhadap keburukan (mafsadat atau mudharat) dan konsisten pada pencapaian kemanfaatan bagi manusia dan alam sekitar. Oleh sebab itu, projek-projek usaha yang dibiayai bank syariah tentu secara otomatis harus memenuhi beberapa criteria sebagai berikut:
Tidak memproduksi barang atau jasa yang dilarang diperdagangkan ataupun dikonsumsi oleh manusia; seperti babi, alcohol, narkoba.
Tidak melakukan proses produksi ataupun pemasaran yang dilarang oleh syariat; mendapat modal dari riba, melakukan monopoly dan kecurangan lainnya.
Tidak merusak lingkungan atau merugikan manusia dan alam sekitar; pencemaran limbah beracun, penggundulan hutan, penyeludupan, dan lain sebagainya.
Prinsip yang juga menjadi referensi dari sebuah aktifitas (baik ekonomi maupun non-ekonomi) dalam Islam adalah bahwa setiap aktifitas harus berawal dari niat/motif karena Allah SWT[1], kemudian dilakukan dengan cara-cara atau prosesi tindakan yang telah digariskan oleh Allah SWT[2], dan terakhir bahwa aktifitas tersebut dilakukan dengan tujuan untuk Allah SWT[3].
Pedoman-pedoman tersebut terinspirasi dari ketentuan-ketentuan syariah yang memang telah digariskan dalam Islam. Dengan karakteristik dan panduan seperti yang telah disebutkan di atas, bentuk interaksi dan bangunan ekonomi syariah menjadi cukup khas. Dengan pedoman bahwa barang-barang dan jasa yang tersedia dari projek-projek yang dibiayai oleh perbankan syariah adalah barang dan jasa yang tidak membahayakan bagi manusia secara individu maupun kolektif (masyarakat), maka barang dan jasa dari hasil projek-projek tersebut akan relatif “ramah” lingkungan. Artinya perbankan syariah mendorong penciptaan barang dan jasa yang “ramah” bagi lingkungan baik lingkungan alam maupun lingkungan manusia, karena produksi dan transaksi barang tersebut disamping memperhatikan kelestarian lingkungan alam, juga memperhatikan aspek psikologis, kesehatan individu manusia serta keharmonian sosial diantara mereka.
Harapan pada masa yang akan datang sebenarnya bukan hanya sebatas terciptanya perbankan syariah yang mampu menjaga hokum syariat teraplikasikan pada operasi jasa keuangan dan mampu bersaing dengan perbankan tradisional pada aspek prudential banking, tetapi juga mampu menjelma menjadi perbankan syariah yang lebih berkualitas, lebih berakhlak. Seperti apa itu? Perbankan syariah yang lebih berakhlak yaitu perbankan yang tidak sebatas disiplin pada aspek syariah compliance atau konsisten pada orientasi pencapaian dan pemeliharaan tingkat profitabilitasnya, tetapi juga memperhatikan:
Luas ruang lingkup kemanfaatan yang dapat diberikan kepada masyarakat/ummat; bank syariah tidak hanya dirasakan oleh segelintir nasabah tetapi bank syariah tersebut mampu meningkatkan jumlah nasabah yang merasakan kemanfaatannya, termasuk bentuk-bentuk kemanfaatan bank yang semakin bervariatif dan bertambah.
Pembiayaan bank syariah tidak hanya memberikan kemudahan modal usaha bagi nasabah tetapi pembiayaan tersebut mampu memfasilitasi peningkatan keimanan, kesadaran keislaman nasabah dan masyarakat, misalnya pembiayaan pada sector pendidikan, infrastruktur public, atau program-program pembiayaan yang diikuti dengan program ukhuwwah bagi nasabah maupun masyarakat. Selain itu, pembiayaan juga memperhatikan bidang-bidang usaha yang men-support kemandirian ummat seperti sector komoditas pangan.
Pembiayaan lebih dirasakan oleh komunitas masyarakat dimana bank syariah tersebut beroperasi.
[1] Sentralitas referensi atau pedoman bertindak kepada Tuhan atas kegiatan apapun dari manusia dalam kehidupannya menjadi nafas yang cukup khas. Karena memang secara umum baik kegiatan maupun pemikiran manusia di dunia ini diyakini tak lepas dari esensi ibadah.
[2] Pedoman bertindak dalam aktifitas manusia berdasarkan kehendak Allah SWT sudah begitu jelas prinsipnya. Terdapat dua klasifikasi tindakan dari manusia yang memiliki dua prinsip yang berlawanan. Klasifikasi pertama adalah aktifitas ibadah, yaitu aktifitas yang terkait dengan prosesi wajib yang standard atau baku dalam beribadah (menunjukkan rasa/tanda ketundukan/kepatuhan pada Tuhan dan segala kuasa-Nya). Sedangkan yang klasifikasi yang kedua adalah aktifitas muamalah, yaitu aktifitas yang terkait dengan prosesi bergaul dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Pada klasifikasi yang pertama yaitu ibadah, prinsip pelaksanaan yang harus dipatuhi adalah “semua (cara-cara peribadahan) itu hakikatnya terlarang kecuali jika ada dalil (Tuhan) yang membolehkan”, sebaliknya klasifikasi kedua memiliki prinsip “semua (cara-cara pergaulan termasuk ekonomi) itu hakikatnya boleh kecuali jika ada dalil (Tuhan) yang melarang”. Dari dua kaidah atau prinsip tersebut, secara logika disimpulkan bahwa ruang lingkup apa-apa yang boleh dalam ibadah tentu akan lebih sedikit daripada apa-apa yang tidak boleh, maka akan lebih mudah jika manusia hanya mempelajari apa-apa boleh saja. Sementara sebaliknya pada muamalah, ruang lingkup apa-apa yang tidak boleh lebih kecil dari apa-apa yang boleh, sehingga akan lebih mudah mempelajari apa-apa yang tidak boleh saja. Dengan begitu cara-cara yang sesuai kehendak Allah SWT menjadi lebih dapat dipelihara dan terjaga.
[3] Tujuan dari setiap tindakan bermakna memperjelas arah dan maksud dari sebuah tindakan, dan hal ini tentu menjadi alat untuk mengukur efisiensi dan efektifitas tindakan tersebut. Tindakan yang bertujuan kepada Allah berarti bahwa setiap tindakan sepatutnya bermuara pada pengagungan Tuhan, pengakuan pada kekuasaan Tuhan dan upaya penegakan atau pelestarian eksistensi/hukum Tuhan di dunia.

Tidak ada komentar: