Lazimnya kebijakan ekonomi suatu negara diambil berdasarkan keyakinan pada suatu logika sebab akibat pada variable-variabel ekonomi. Keyakinan itu terbangun berdasarkan pemahaman-pemahaman baku seperti apa kelaziman ekonomi berlangsung. Ketika perekonomian dunia menggunakan konsep bunga dan praktek spekulasi, perekonomian dunia terdikotomi menjadi dua sectoral besar; moneter dan riil. Dikotomi ini muncul sebagai hasil dari respon pelaku pasar pada eksistensi bunga dan praktek spekulasi. Dengan adanya bunga uang menjadi suatu komoditi yang memiliki pasarnya sendiri yang akhirnya menjelma menjadi industri. Bahkan ketika praktek spekulasi ikut dalam industri keuangan itu industri tersebut semakin meraksasa, sehingga sangat layak aktifitas terkait dengan uang dikelompokkan menjadi sektor ekonomi tersendiri (sektor moneter) menemani sektor riil yang telah alamiah ada dalam perekonomian.
Realitas dikotomi itu ternyata memiliki konsekwensi-konsekwensi yang jelas akibat interaksi keduanya, baik interaksi pada tingkat kebijakan yang saling mempengaruhi melalui respon pelaku-pelaku ekonomi terhadap kedua jenis kebijakan tersebut, maupun interaksi teknis pada tingkat aplikasi ekonomi. Pada satu kondisi tertentu (entah akibat satu kebijakan ekonomi atau karena fenomena alamiah tertentu) sector moneter mengembang meninggalkan sector riil, dan pada kondisi yang lain yang terjadi adalah sebaliknya. Situasi tersebut dapat saja menimbulkan masalah-masalah ekonomi seperti inflasi, kesenjangan, pengangguran dan lain sebagainya. Menyikapi situasi itulah, suatu otoritas ekonomi melakukan perannya untuk mencegah atau meminimalkan masalah-masalah ekonomi tersebut. Peran yang direfleksikan oleh pemilihan atau pemberlakuan kebijakan-kebijakan ekonomi; baik kebijakan moneter maupun kebijakan fiscal. Tetapi selalunya kebijakan itu diambil bersandar pada realitas bahwa perekonomian terdikotomi pada moneter dan riil, serta konsepsi bunga praktek spekulasi menjadi kelumrahan ekonomi.
Artinya kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pastinya berdasarkan pada realitas system/aplikasi ekonomi dan realitas prilaku ekonomi tertentu. Perlu dipahami pula bahwa prilaku ekonomi yang menjadi asumsi adalah prilaku yang konsisten dengan prinsip “maksimalisasi kepuasan dan minimalisasi penderitaan”, dengan ruang lingkup definisi kepuasan dan penderitaan sangat bersifat materialistic. Maksudnya, yang disebut “kepuasan” atau “semakin puas” secara ekonomi adalah jika pelaku ekonomi (individual atau unit usaha) memperoleh materi/harta/uang/segala bentuk sumber daya ekonomi dalam jumlah yang semakin meningkat. Sedangkan penderitaan bermakna sebaliknya.
Logika inilah yang puncaknya tergambar atau menjadi landasan pemilihan kebijakan-kebijakan ekonomi suatu negara. Sehingga menjadi sangat rasional ketika kita lihat segala tindakan otoritas dalam menghindari atau meminimalkan masalah ekonomi, hanya “bermain” dalam ruang lingkup kebijakan, kebijakan yang berpijak pada realitas system/aplikasi ekonomi dan realitas prilaku ekonomi, tanpa pernah masalah ekonomi dirunut hingga mempertanyakan realitas system dan prilaku ekonomi tadi. Atau sedikit mencoba membuktikan kebenaran prinsip materialistic prilaku ekonomi. Karena boleh jadi hakikatnya masalah-masalah ekonomi muncul bukanlah akibat kesalahan pengambilan kebijakan, tetapi memang menjadi konsekwensi dari realitas system dan prilaku ekonomi yang ada. Jadi sebenarnya mengatasi masalah-masalah ekonomi tidak hanya terbatas pada fine tuning pada tingkat kebijakan tetapi juga dapat dilakukan dengan merombak system dan pembangunan nilai-nilai prilaku (moral) ekonomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar