sudah menjadi kelaziman dalam ekonomi terdapat logika-logika yang telah menjadi teori standard ilmu ekonomi. Teori ini bahkan telah secara otomatis menjadi asumsi dalam penyusunan analisis ekonomi atau bahkan rekomendasi sustu kebijakan. Kalau kita telusuri logika ini sangat berkaitan dengan paradigma pelaku pasar baik individual maupun unit bisnis, sendiri-sendiri ataupun agregat. Paradigma tadi tentu merujuk pada nilai-nilai konsisten yang dianut oleh subjek-subjek tadi. Dan ini tentu saja dipengaruhi oleh rezim nilai tertentu pada wilayah tertentu dan zaman tertentu. Namun memang akibat perkembangan teknologi dan pergaulan sebuah rezim nilai akan menjadi populer dan dianut oleh semua pelaku pasar dimanapun ia berada, sehingga suatu zaman akan menganut logika ekonomi tertentu sepanjang pelaku pasar secara bersama menganut rezim nilai yang sama.
Artinya boleh jadi, sebuah komunitas yang memiliki anutan nilai yang berbeda menjadi kacau interaksi ekonominya, karena dalam aktivitas ekonomi harus menggunakan logika ekonomi berdasarkan rezim nilai yang dianut komunitas lain. sehingga sebuah kebijakan atau instrumen ekonomi yang diniatkan memperbaiki keadaan tidak efektif berfungsi karena harus berhadapan dengan prilaku ekonomi yang tak sama paradigmanya.
Misalnya logika bahwa yang mengatakan hubungan investasi dan suku bunga secara makro berkorelasi negatif. Logika ini muncul tentu saja akibat:
1. Eksistensi bunga sebagai sebuah harga dari sejumlah uang yang bisa berpotensi digunakan untuk investasi. Kata kuncinya disini adalah potensi. Artinya bunga adalah harga yang menentukan jumlah uang yang "bisa" digunakan untuk investasi (belum pasti jadi investasi/usaha), bukan menentukan realisasi investasi. jadi naik-turunnya suku bunga tidak menentukan jumlah realisasi investasi tetapi ia menentukan berapa uang yang akan tersedia yang bisa digunakan untuk investasi (loanable fund).
2. Projek investasi (usaha) diasumsikan selalu dilakukan dengan cara utang (konsep bunga), padahal terlalu banyak pelaku pasar membuka usahanya bukan atas dasar utang, tetapi ekspektasi keuntungan masa depan, membantu manusia lain, memanfaatkan sumber daya yang dimiliki dan lain sebagainya, sehingga tak ada kaitannya sama sekali dengan tinggi rendahnya harga utang (bunga).
dari dua pondasi berfikir ini dapat dikatakan bahwa logika ekonomi yang menyebutkan hubungan negatif antara bunga dan investasi, yang digunakan sebagai asumsi secara otomatis dalam berbagai analisa atau bahkan kebijakan ekonomi, sangat rapuh sebagai teori.
Akhirnya, ada kondisi dimana logika-logika ekonomi hanya berfungsi sebagai jawaban sementara atau bahkan hipotesis dari sebuah peristiwa yang pernah terjadi atau yang diinginkan terjadi. Padahal ia tak pernah terbuktikan, tak pernah benar-benar menjadi kenyataan, tak pernah menjadi fakta dan data ekonomi. logika itu hanyalah mitos-mitos yang masih terus digunakan karena manusia belum menemukan jawaban yang lebih memuaskan (atau memang tak mau menyadari fakta yang akan merugikannya secara pribadi). wallahu a'lam bishawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar