Membaca analisa Jeffrey D. Sachs pada artikelnya tentang akar permasalahan krisis finansial di US, membuat dahi kita sedikit berkerut apakah ini sekedar memang masalah kesalahan kebijakan yang diambil oleh otoritas yang kemudian menyebabkan kecenderungan negatif di pasar keuangan, atau memang karena sistem keuangannya yang kacau, yang dengan kebijakan apapun kecenderungan negatif itu pasti terjadi.
Menurut Sachs, semua ini berawal dari ketidak-telitian Fedres dalam men-set kebijakan tingkat suku bunga. Kebijakan tersebut memberikan sinyal monetary ekspansi yang mendorong agregat konsumsi di pasar. Kecenderungan konsumsi ini dalam dua tahun terakhir, terkonsentrasi di sektor perumahan. dorongan konsumsi ini diperkuat dengan kemudahan credit system oleh lembaga keuangan khususnya mortgage. Para bankir berasumsi bahwa pada masa mendatang harga rumah akan meningkat, sehingga hakikatnya jikapun nasabah tak mampu membeli, nilai rumah tersebut akan membeli dirinya sendiri. dengan tingkat bunga yang rendah dan ekspektasi (juga kecenderungan yang terjadi) nilai rumah meningkat, tentu akan mendorong kenaikan permintaan akan rumah. Tetapi ketika permintaan itu melambat (menuju posisi "kapasitas terpasang" atau jenuh), jatuh pulalah harga rumah itu jauh di bawah akumulasi kredit yang telah terbentuk.
Karena memang posisi para nasabah lemah dalam basis keuangan, tentu potensi kredit macet menghadang lembaga-lembaga mortgage. Jadi peningkatan permintaan terhadap rumah lebih karena kebijakan tingkat suku bunga yang terlalu rendah dan kemudahan prosedur yang diterapkan lembaga keuangan instead of kemampuan keuangan nasabah (genuine demands). Otoritas yang dalam periode sub-prime mortgage ini menaikkan tingkat suku bunga, kembali menurunkan suku bunga tersebut. Tetapi pengalaman pada kegagalan di sektor perumahan sebelumnya ternyata men-drive credit expansion ke arah commodity speculation and foreign currency. Dan terjadilah financial turmoil yang saat ini kita tengah saksikan adegan dramanya.
Analisa Sachs sepintas memberikan jawaban yang relatif komprehensif tentang krisis ini. tapi ada benang merah yang membuat krisis ini terus berulang dan beberapa tahun terakhir ini selalu dan bahkan semakin kerap terjadi. Pertanyaan yang menggelitik adalah, mengapa kecenderungan kebijakan dan prilaku rasional pasar tidak bisa diprediksikan implikasi dan konsekwensinya sebelum akibat negatifnya terjadi. Selalu saja analisa "cerdas" datang belakangan.
Kalau sedikit menengok kebelakang, krisis-krisis keuangan pada hakikatnya memberikan fenomena yang sama baik kondisi sebelum, sedang maupun sesudahnya. Saya tetap bersikukuh semua berawal dari konsepsi credit system yang mengandalkan suku bunga. keberadaan bunga yang ditetapkan sebelum proses ekonomi, kemudian mendikte pasar dan menentukan prilaku pasar yang misleading dari yang sepatutnya. seharusnya suku bunga menggambarkan tingkat productivity of capital dalam proses ekonomi. Tapi itu tak terjadi. Ketetapan suku bunga seakan-akan menggantikan produktifitas riil ekonomi. Ketika ada gap antara ketetapan suku bunga dengan produktivitas riil, maka kecenderungan prilaku dipasar akan membuat distorsi. Hal ini tentu membuat interaksi pada aplikasi keuangan menjadi unpredictable, uncertaint dan fragile. Lihat saja apa yang menjadi fenomena sub-prime mortgage.
Intinya perulangan krisis keuangan yang selalu melanda dunia merupakan hasil dari sistem yang salah dilengkapi dengan prilaku manusianya yang tak terpuji (greedy). Ketika semua pelaku pasar tak ingin menanggung risiko, karena risiko tak bisa hilang (risiko adalah kondisi alamiah yang melekat pada setiap effort & return), maka somehow risiko itu pasti akan meminta korban diantara para pelaku pasar. Sementara pada tataran sistem, credit system telah mendikte pasar untuk tidak perprilaku alamiah. Penetapan suku bunga pada hakikatnya pemastian sebelah pihak terhadap potensi kejadian pada masa depan. Suku bunga (baik tinggi maupun rendah) memaksa pasar harus selalu memberikan return, padahal produktifitas riil bisa saja turun bisa pula naik, mungkin untung mungkin juga rugi. Ketika ada gap maka ini membuat pasar menjadi negatif.
Dengan penggambaran di atas, sangat beralasan untuk mengatakan bahwa sepatutnya yang dibenahi oleh para pemegang otoritas adalah pada ranah system, bukan mengutak-utik kebijakan. Wallahu a'lam. Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar