Senin, 01 September 2008

Wakaf Tunai Sebagai Instrumen Penekan Biaya Sosial

I. Pendahuluan
Kini di Indonesia wakaf tunai mulai banyak diperbincangkan dalam hubungannya sebagai instrumen untuk memberdayakan potensi dana masyarakat dengan tujuan mengentaskan kemiskinan dan masalah sosio-ekonomi lainnya. Kebutuhan inovasi instrumen dalam mengentaskan kemiskinan, membuat banyak kalangan terus mengkaji mekanisme wakaf secara menyeluruh, dan salah satu rekomendasinya adalah pemberdayaan wakaf tunai.

I. Landasan Hukum dan Filosofi
Secara bahasa wakaf bermakna berhenti atau berdiri (waqafa/yaqifu/waqfan) dan secara istilah syara’ definisi wakaf menurut Muhammad Ibn Ismail dalam Subulus Salamnya, adalah menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusakkan bendanya (ain-nya) dan digunakan untuk kebaikan, Adijani Al Alabij (2002)[i]. Jadi benda wakaf bersifat tidak dapat dimiliki secara pribadi atau perorangan (mal mahjur), benda wakaf merupakan milik Allah SWT yang dibahasakan sebagai milik umum (kepentingan umum) dengan tujuan yang spesifik. Jadi dengan definisi ini kita kenallah wakaf yang bersifat terus-menerus atau abadi (perpetual)

Namun ketika masa Khalifah Umar Bin Khattab[ii] pernah terjadi wakaf tertentu yang wakafnya bersifat tidak permanen. Seorang wakif mewakafkan dalam bentuk sebuah kebun, dimana hasilnya atau keuntungannya yang pertama sekali diberikan kepada keturunan wakif, dan jika ada lebih harus diberikan kepada kaum fakir miskin. Wakaf jenis ini disebut wakaf keluarga. Jadi beberapa ulama terutama mazhab Maliki berpendapat wakaf dapat bersifat temporer (temporary).

Dalam literature klasik ekonomi Islam, pembahasan wakaf lebih terfokus pada barang-barang yang tidak habis berapa kalipun dipakai, seperti tanah dan bangunan. Karena pada kedua bentuk barang itulah terjaga karakteristik wakaf yang tidak habis dipakai. Para ulama sepakat benda yang dapat diwakafkan tidak terbatas hanya tanah dan bangunan, sepanjang bendanya tidak langsung musnah ketika diambil manfaatnya, barang tersebut dapat diwakafkan. Jadi mayoritas fuqaha sepakat pada wakaf benda yang bersifat kekal (perpetual) atau setidaknya terus ada sepanjang usia harta tersebut, seperti bangunan, kuda, unta dll. Sedangkan kelompok Maliki juga membolehkan wakaf yang bersifat temporer.

Jadi dapat disimpulkan bahwa benda apa saja sepanjang ia tidak dapat musnah setelah diambil manfaatnya, dapat diwakafkan. Uangpun termasuk benda yang dapat diwakafkan (wakaf tunai), sepanjang uang tersebut dimanfaatkan sesuai dengan tujuan akad wakaf dan tidak habis atau musnah. Jadi uang dapat saja diwakafkan dengan mekanisme membelanjakan uang tersebut pada benda-benda yang memiliki sifat tidak musnah.

Namun dalam kasus wakaf tunai yang bersifat temporer (temporary wakaf), uang diposisikan juga sebagai harta yang dapat diwakafkan. Dan harta yang diwakafkan bukanlah perpindahan kepemilikan fisik atau materi harta tapi hanya sekedar mewakafkan manfaat kegunaan uang tersebut, yang secara fisik atau materi kepemilikannya tidak berubah. Ta’rif yang cenderung diambil oleh mazhab Maliki, Hanbali dan Syafi’I bahwa definisi harta tidak terbatas pada materi tapi juga pada manfaatnya, bahkan unsur manfaat inilah yang menjadi elemen penting dalam mendefinisikan harta.

Sehingga konsekwensi pemahaman ini adalah munculnya perbedaan dalam aplikasi-aplikasi syariah yang melibatkan harta, misalnya dalam mekanisme wakaf tunai yang kita bahas saat ini. Abu Hanifah bahkan secara spesifik berpendapat bahwa wakaf kemudian tidak harus ada perpindahan materi harta tapi cukup pemanfaatan kegunaan harta saja oleh pihak yang membutuhkan, Ghufron A. Mas’adi, 2002.[iii]

Selain itu dengan menggunakan pemahaman Maliki, wakaf tunai juga dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan pembangunan gedung atau sarana apapun yang sifatnya pinjaman tanpa biaya (free of charge), kecuali biaya administrasi yang dibolehkan syariat dalam proses pinjaman tersebut. Dan diharapkan nanti pemakai bangunan tersebut mengembalikan pinjaman itu untuk dapat digunakan pada program-proglam yang lainnya. Jadi wakaf tunai jumlahnya tidak pernah terpakai untuk biaya administrasi, biaya administrasi diambil dari pengenaan biaya pada pemakai.

II. Pengelolaan Wakaf
Prof M.A. Mannan sebagai pakar ekonomi Islam terkemuka, melakukan terobosan baru dalam aplikasi wakaf ini. Beliau mengembangkan apa yang disebut dengan wakaf tunai dengan menggunakan mekanisme bank (Social Investment Bank Limited, Bangladesh). Wacana ini sebenarnya sudah dibahas dalam literatur Hanafi dan Maliki. Dalam dua literature tersebut disebutkan bahwa wakaf tunai selain dapat digunakan dalam pembiayaan pembangunan sarana dalam bentuk pinjaman, juga dapat digunakan dalam bentuk pembiayaan mudharabah.

Kontroversi yang mengemuka dalam mekanisme wakaf tunai ini berkisar pada sah tidaknya menggunakan dana wakaf diinvestasikan, yang secara logika memiliki resiko musnah.[iv] Selain itu, dengan melakukan investasi berarti dana wakaf akan selamanya berbentuk uang, hal ini akan menimbulkan pertanyaan tentang nilai intrinsic uang yang pada hakikatnya tidak memiliki nilai. Berbeda dengan kasus klasik (yang dijadikan landasan dalam implementasi wakaf tunai) yang nota bene nilai uang terjaga akibat logam yang digunakan sebagai uang adalah logam mulia; emas dan perak (dinar dan dirham). Jadi wakaf tunai dengan sistem mata uang yang ada saat ini, implementasinya memiliki resiko nilai uang tereduksi akibat inflasi, disamping resiko pelanggaran kaidah syariat ketika mekanismenya melalui investasi.

Secara logika wakaf tunai dengan memutarkan dana wakaf pada aktifitas investasi, sebenarnya aktifitas penggunaan harta wakaf terletak pada aktifitas investasi bukan pada aktifitas pengambilan manfaat dari returns (bagi hasil) investasi tersebut. Hal ini merujuk dari pengertian harta dalam fikih muamalah, yang membagi harta menjadi harta umum (yang tak dapat dimiliki secara perorangan) atau malul ashl dan harta hasil dari harta ashl (yang dapat dimiliki secara perorangan) atau malul tsamarah.[v] Dalam konteks wakaf yang diinvestasikan, harta wakaf termasuk harta ashl sedangkan returns-nya merupakan harta tsamarah. Dengan demikian mekanisme wakaf hakikatnya ada pada aktifitas investasi tadi yang menggunakan harta ashl. Jadi kalaupun disepakati mekanisme wakaf tunai jenis ini, sepatutnya pemegang amanah harta wakaf memfokuskan pada usaha-usaha investasi harta wakaf yang memberikan manfaat besar kepada ummat (awqaf properties financing).

Pengelolaan wakaf menggunakan institusi bank menerapkan semacam deposito berjangka (temporer wakaf deposits) dalam pengelolaan wakaf tunai. Yang pertama deposito wakaf temporer yang berbasis pinjaman, dimana uang yang disimpan oleh nasabah dibank diikhlaskan dengan niat wakaf untuk diambil manfaatnya oleh pengguna dalam membiayai program-program pembangunan sarana umum (awqaf properties), tanpa ada biaya tambahan kecuali biaya administrasi yang diperbolehkan syariat. Yang kedua deposito wakaf temporer yang berbasis investasi, ia mengkhususkan penggunaan depositonya hanya untuk investasi sarana umum, dimana keuntungannya adalah juga menjadi hak wakif (lihat lampiran 2).

Keduanya tetap mensyaratkan penggunaan dana wakaf tersebut harus pada proyek untuk kepentingan umum, seperti proyek bangunan sekolah, jalan, jembatan, pasar dan fasilitas umumlainnya (awqaf properties financing). Jadi bukan proyek-proyek komersil, seperti pembiayaan sebuah perusahaan, kredit perorangan dan lain sebagainya.

Dengan demikian dapat disimpulkan jenis-jenis wakaf tunai yang dapat dilakukan:
Wakaf Tunai dengan tujuan membeli awqaf properties.
Wakaf Tunai dalam bentuk Pinjaman (Temporary Wakaf Deposits in Loan Basis).
Wakaf Tunai dalam bentuk Investasi (Temporary Wakaf Deposits in Investment Basis).

Jadi untuk sementara ini pada isu wakaf tunai, institusi wakaf dapat mengelola wakaf tunai definitive (jelas niat dan tujuan penyalurannya) dan wakaf tunai mutlak. Dengan demikian sebenarnya terdapat potensi atas alasan syar’i wakaf barang untuk dikelola seperti mengelola wakaf tunai yang mutlak. Misalkan atas alasan biaya pemeliharaan yang cukup tinggi dibandingkan dengan keuntungan yang di dapat, sebuah gedung wakaf dapat disewakan yang hasilnya dipergunakan sesuai dengan tujuan akad wakaf (meskipun hal ini birokrasinya haruslah ketat, misalnya harus melalui persetujuan mahkamah). Namun sepatutnya inovasi-inovasi dalam pemecahan masalah implementasi instrumen Islam dilakukan kajian dan kesepakatan para fuqaha/ulama yang memiliki kredibilitas.

III. Institusi Wakaf
Penerimaan wakaf berdasarkan literatur sejarah dilakukan oleh institusi Baitul Mal. Baitul mal merupakan institusi dominan dalam sebuah pemerintahan Islam ketika dulu. Baitul mallah yang berperan secara kongkrit menjalankan program-program pembangunan melalui divisi-divisi kerja yang ada dalam lembaga ini, disamping tugas utamanya sebagai bendahara negara (treasury house). Dalam konteks perekonomian kontemporer yang tidak (belum) menjadikan baitul mal sebagai institusi negara, diperlukan modifikasi institusi dalam pengelolaan wakaf tunai ini.

Modifikasi institusi juga menyesuaikan diri dengan kompleksitas dan perkembangan perekonomian yang ada. Dan dalam konteks kekinian institusi wakaf dapat berbentuk lembaga wakaf atau bank wakaf (mekanismenya dapat dilihat pada lampiran 1, 2 dan 3).

Dibandingkan dengan negara lain, Indonesia belum memiliki badan wakaf resmi negara yang secara spesifik mengelola jenis harta ini untuk kepentingan masyarakat luas, meskipun sudah memiliki undang-undang perwakafan tanah. Biasanya pengelolaan wakaf, menjadi tugas dari lembaga-lembaga perorangan atau lembaga-lembaga amil zakat baik yang dikelola oleh pemerintah maupun oleh swasta.

IV. Implikasi Ekonomi
Dengan karakteristik seperti ini wakaf tunai diharapkan memiliki mobilisasi harta wakaf yang lebih cepat dibandingkan dengan wakaf benda kongkrit. Dengan begitu diharapkan juga pengaruhnya terhadap pembangunan ekonomi, khususnya pada tujuan pengentasan kemiskinan, penurunan tingkat pengangguran dan penekanan angka permasalahn social dapat dengan maksimal diperoleh.

Bentukan aktifitas penggunaan wakaf tunai dapat berupa pendirian gedung dan pelayanan kesehatan, pendidikan, perpustakaan, penelitian ilmiah, penjagaan lingkungan, pinjaman kepada pengusaha kecil, tempat parkir, jalan, jembatan, bendungan dll. Artinya wakaf tunai merupakan instrumen investasi publik yang dapat secara signifikan menekan biaya social yang harus dipikul masyarakat. Sehingga wakaf tunai kemudian memiliki kontribusi yang cukup besar dalam meningkatkan kesejahteraan. Jadi investasi publik dari wakaf tunai ini mengimbangi investasi di dunia usaha yang bertujuan pada peningkatan kinerja ekonomi secara riil.

Dapat dibayangkan begitu efektifnya harta wakaf digunakan oleh negara dalam rangka peningkatan kualitas hidup rakyatnya. Dengan karakteristik tak akan punah dan terus bertambah menjadikan wakaf sebagai variable yang signifikan bagi program pembangunan pemerintah. Kontribusi wakaf pada program pendidikan, kesehatan, pembangunan jalan, sarana dan prasarana social lainnya membuat hidup dan kehidupan rakyat semakin lancar, ia bukan hanya menekan biaya yang harus ditanggung oleh rakyat tapi juga meringankan beban negara. Jadi semakin banyak harta negara dalam bentuk wakaf maka akan semakin kecil biaya-biaya social yang harus ditanggung masyarakat, begitu juga biaya-biaya social yang harus dikeluarkan negara.

Meskipun begitu, Nejatullah Siddiqi[vi] mengungkapkan bahwa ada yang perlu diperhatikan ketika ada kecenderungan meningkatnya rasio harta negara dalam bentuk wakaf. Karena dengan ketentuan bahwa harta wakaf tidak dikenakan pajak tanah (kharaj), maka peningkatan jenis harta ini akan semakin mengurangi pendapatan negara (Islam) dari pos pajak tanah. Argumentasi logis Siddiqi ini cukup beralasan melihat asumsi-asumsi dasar dari pengelolaan anggaran negara yang menggunakan prinsip-prinsip Islam.

Namun perlu diingat bahwa ketika wakaf dikelola negara, sebenarnya akan mengurangi biaya yang harus dikeluarkan atau ditanggung negara dalam bidang social yang sepatutnya diambil dari pos penerimaan seperti kharaj dan lain-lain. Jadi diharapkan wakaf tidak kemudian membebani negara atau pertumbuhannya memberikan dampak negatif pada penerimaan negara. Apalagi dengan variasi jenis harta wakaf yang dikelola seperti adanya wakaf tunai, membuat kekhawatiran Siddiqi ini dapat ditekan.

V. Kesimpulan
Terlepas dari perbedaan pendapat pada mekanisme pemberdayaan instrumen wakaf akibat perbedaan interpretasi dari aturan dan prinsip-prinsip syariah, wakaf tunai diakui memiliki potensi yang sangat besar dalam mendorong pembangunan ekonomi. Dapat dikatakan semakin banyak benda atau dana wakaf yang terkumpul maka akan semakin sedikit biaya social yang harus ditanggung oleh masyarakat dalam kehidupan mereka, sekaligus akan mereduksi pengeluaran pemerintah bagi program-program pembangunannya yang bersifat pelayanan publik.

Pada hakikatnya wakaf merupakan instrumen ekonomi Islam yang bersifat social (sukarela), ia melengkapi instrumen-instrumen lainnya seperti Zakat, Kharaj, Jizyah dan lain-lain dalam memastikan kesejahteraan dunia akhirat (falah) bagi masyarakat luas.

Dalam system ekonomi Islam wakaf tunai diakui memiliki impak yang lebih cepat dibandingkan jenis wakaf benda kongkrit, akibat sifat fleksibilitas yang dimiliki wakaf jenis ini dalam menyikapi kondisi lingkungan yang ada. Efektifitas instrumen ini bagi perekonomian sangat tergantung dari peran negara dalam penggunaannya. Sehingga saat ini diperlukan sebuah perencanaan yang matang oleh pemerintah dalam rangka implementasinya di perekonomian, baik pada kesiapan regulasi berupa undang-undang maupun kesiapan institusi yang integrative dengan institusi-institusi ekonomi yang lain. Wallahu a’lam bishawwab.
[i] Adijani Al Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia: Dalam Teori dan Praktek, Rajawali Pers, Cetakan ke 4, 2002.

[ii] http://islamic-world.net/economic/waqf/waqaf_fiqh.html

[iii] Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Rajawali Press (bekerja sama dengan IAIN Walisongo Semarang), Jakarta, November 2002.

[iv] Bahwa kefitrahan usaha adalah untung dan rugi, sehingga ketika wakaf tunai dikelola ia memiliki resiko untuk musnah akibat dari pengelolaan yang berakhir rugi.

[v] Ghufron A. Mas’adi, op. cit.

[vi] Muhammad Nejatullah Siddiqi, Role of the State in the Economy: An Islamic Perspective, The Islamic Foundation, Leicester UK, 1996.


Referensi

Adijani Al Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia: Dalam Teori dan Praktek,
Rajawali Pers, Cetakan ke 4, 2002.

Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Rajawali Press (bekerja sama dengan
IAIN Walisongo Semarang), Jakarta, November 2002.

http://islamic-world.net/economic/waqf/waqaf_fiqh.html

http://islamic-world.net/economic/waqf/waqaf_revival.html

http://islamic-world.net/economic/waqf/waqaf_development.html

http://islamic-world.net/economic/waqf/waqaf_financing.html

Imam Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, Asy Syifa, Jilid 2 (1990).

Muhammad Akram Khan, ‘The Role of Government in the Economy,” The American
Journal of Islamic Social Sciences, Vol. 14, No. 2, 1997.

Muhammad Najatullah Siddiqi, Role of the State in the Economy: an Islamic Perspective,
The Islamic Foundation, 1996.

Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam,
Rabbani Press, Jakarta (1995).